Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154614 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nababan, Naomi Astrid Sridinanti
"Petshop merupakan salah satu usaha yang memberikan jasa pelayanannya kepada hewan peliharaan. Namun, dalam praktiknya terdapat kelalaian yang dilakukan oleh pelaku usaha petshop yang dapat menimbulkan kerugian kepada hewan peliharaan dan pemilik hewan peliharaan tersebut. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen hadir sebagai suatu landasan hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen yang merasa haknya telah dilanggar. Selain itu, terdapat beberapa peraturan lain yang juga dapat dijadikan acuan dalam memperlakukan hewan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan negara Singapura yang telah memiliki berbagai peraturan yang wajib dipatuhi oleh pemilik usaha, khususnya pemilik usaha petshop sebelum membuka usahanya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana peraturan di Indonesia terkait perlindungan terhadap konsumen dan hewan serta bagaimana perbandingannya dengan negara Singapura.

Petshop is a business that provides services to pets. However, in practice there are negligence committed by pet shop business actors which can cause harm to the pet and the owner of the pet. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Protection exists as a legal basis to provide protection to consumers who feel their rights have been violated. In addition, there are several other regulations that can also be used as a reference in treating animals in Indonesia. This is different from the country of Singapore which already has various regulations that must be obeyed by business owners, especially pet shop business owners before opening a business. Using normative juridical research methods, this paper will analyze how regulations in Indonesia relate to the protection of consumers and animals and how they compare with Singapore."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larasati Putri
"Berkembangnya bisnis makanan hewan peliharaan yang tidak diikuti dengan kejelasan regulasi terkait makanan hewan peliharaan, salah satunya mengenai ketentuan label pada makanan hewan peliharaan menimbulkan isu yang signifikan. Hal tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan hewan peliharaan yaitu tidak mencantumkan label apa pun pada makanan hewan peliharaan yang dijual sehingga banyak hewan sakit karena adanya kandungan yang tidak cocok, makanan telah kadaluwarsa, atau makanan yang palsu. Berbeda dengan Indonesia, Jepang telah memiliki regulasi yang sangat ketat terkait makanan hewan peliharaan. Dengan metode penelitian doktrinal menggunakan metode perbandingan, penelitian ini akan membahas bagaimana pelindungan hukum terkait label pada makanan hewan peliharaan di Indonesia dan Jepang apabila dibandingkan dengan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki pelindungan hukum yang cukup terkait pelabelan pada makanan hewan peliharaan apabila dibandingkan dengan Jepang yang memiliki aturan yang sudah sangat komprehensif. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya menyempurnakan peraturan yang ada dengan menambahkan ketentuan yang secara spesifik mengatur makanan hewan peliharaan sebagaimana telah diatur di Jepang karena dengan ketentuan yang jelas, hak konsumen untuk mendapatkan produk yang terjamin keamanannya meningkat.

The growth of the pet food business in Indonesia, not accompanied by clear regulations regarding pet food, particularly in terms of labeling, has raised significant issues. This situation is exploited by pet food business operators who do not include any labels on the pet food they sell. This has led to many pets getting sick due to inappropriate content, expired food, or counterfeit products. In contrast, Japan has stringent regulations regarding pet food. Using a doctrinal research method with a comparative approach, this study aims to discuss how legal protection related to labeling on pet food in Indonesia compares to that in Japan. It can be concluded that Indonesia does not yet have sufficient legal protection concerning the labeling of pet food, especially when compared to Japan, which has comprehensive regulations. Therefore, the Indonesian government should refine existing regulations by adding specific provisions that govern pet food, similar to what is already established in Japan. With clear regulations, consumer rights to receive products with guaranteed safety will enhance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Ivannie Romauli
"Tindakan pemberian potongan harga atau diskon merupakan strategi yang digunakan oleh pelaku usaha untuk meningkatkan penjualan. Namun, dalam praktiknya banyak pelaku usaha yang menggunakan strategi ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dengan menawarkan potongan harga palsu tidak sesuai dengan informasi yang sebenarnya. Tindakan ini merugikan konsumen karena melanggar haknya sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen, yaitu hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Sayangnya, dalam praktiknya tindakan ini belum dapat diatasi secara maksimal di Indonesia. Dalam melakukan analisis, Penulis menggunakan penelitian doktrinal dimana penulis berfokus pada doktrin yang berupa aturan, norma, dan nilai yang ada. Penulis mencoba untuk mengidentifikasi apakah tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelangaran melalui contoh kasus di Indonesia yang memiliki indikasi tindakan potongan harga palsu dan membandingkan dengan Australia terhadap pengaturan dan penanganan kasus yang serupa. Dari hasil penelitian Penulis tersebut, tindakan potongan harga palsu merupakan bentuk pelanggaran hukum perlindungan konsumen, tetapi nyatanya peraturan yang terdapat di Indonesia dan lembaga konsumen belum dapat mengatasi kasus ini dengan optimal sedangkan Australia dinilai lebih unggul dalam mengatasi tindakan potongan harga palsu ini. Oleh karena itu, timbul urgensi untuk melakukan pembaharuan peraturan dan penegakan hukum terhadap tindakan pelanggaran potongan harga palsu di Indonesia.

The act of providing discounts is a strategy used by businesses to increase sales. However, in practice, many business actors use this strategy not in accordance with applicable regulations, namely by offering false discounts that are not in accordance with actual information. This action is detrimental to consumers because it violates their rights as stipulated in Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection, namely the right to obtain correct information. Unfortunately, in practice this action has not been able to be overcome optimally in Indonesia. In conducting the analysis, the author uses doctrinal research where the author focuses on doctrine in the form of existing rules, norms, and values. The author tries to identify whether the act can be considered as a violation through examples of cases in Indonesia that have indications of fraudulent discounts and compares with Australia on the regulation and handling of similar cases. From the results of the author's research, the act of fake discount is a form of violation of consumer protection law, but in fact the regulations contained in Indonesia and consumer institutions have not been able to overcome this case optimally while Australia is considered superior in overcoming this fake discount. Therefore, there is an urgency to reform regulations and law enforcement against false discount violations in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Riana Putri
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan hak atas informasi, hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan, hak untuk memilih jasa dalam putusan, hubungan hukum antara konnsumen dan pelaku usaha serta analisis terhadap putusan mengenai pertanggungjawaban PT Wahana Auto Ekamarga. Terkait dengan pembahasan tersebut, digunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. PT Wahana Auto Ekamarga melanggar hak konsumen untuk didengar keluhannya dan hak konsumen untuk memilih jasa. Sesuai dengan asas konsensualisme, di antara R.E. Baringbing dan PT Wahana Auto Ekamarga telah terjadi hubungan kontrak. Atas pelanggaran hak-hak konsumen dan wanprestasi, PT Wahana Auto Ekamarga seharusnya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian konsumen.
Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam layanan jasa bengkel, pelaku usaha sebaiknya tidak melakukan perbaikan sebelum ada kesepakatan dari pihak konsumen meskipun perbaikan sebenarnya dibutuhkan, konsumen sebaiknya membaca petunjuk perawatan berkala dalam buku manual dan majelis BPSK serta majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani perkara ini sebaiknya dapat menjadikan tindakan pelaku usaha yang telah melakukan perbaikan tidak sesuai dengan kesepakatan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kesalahan pelaku usaha.

This thesis discusses about the implementation of the right to information, the right to be heard on expressing opinion and complaints, the right to choose the services, legal relation between consumer and entrepreneur, as well as analysis of decision about responsibility of PT Wahana Auto Ekamarga for the loss suffered by consumers of garage services. The Law that is being used related in this thesis is Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. PT Wahana Auto Ekamarga violated the rights of the consumer to be heard in expressing complaints and to choose the services. In accordance with the principle of consensualism, contractual relationship between R.E. Baringbing and PT Wahana Auto Ekamarga has been made. For that infringement of consumer rights and breach of contract, PT Wahana Auto Ekamarga should be responsible to indemnify the damages suffered by consumer.
Research suggest that entrepreneur should not do the repairment before consumer gives their agreement despite it is needed, consumer should read the periodic maintenance instructions in the manual, and the judges that handled this case should be able to make the act of entreprenuer who repair that not based on the agreement from consumer as a basis of consideration in determining the mistake of entrepreneur.Keyword Consumer Protection Legal Relation The Rights of The Consumers."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S67370
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indiskya Ranaila Virgiesqy
"Tindakan greenwashing merupakan salah satu bentuk dari strategi pemasaran oleh pelaku usaha yang dianggap menyesatkan konsumen. Namun demikian, praktik yang menyesatkan ini sayangnya belum menjadi isu yang cukup diperhatikan di Indonesia, baik oleh masyarakat selaku konsumen itu sendiri, maupun oleh penegak hukum. Padahal tindakan menyesatkan ini berpotensi untuk melanggar hak-hak konsumen sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam melakukan analisa, Penulis menggunakan penelitian deskriptif-analitis, yakni dengan memberikan pemaparan secara rinci terkait dengan tindakan greenwashing dan menghubungkannya dengan peran hukum perlindungan konsumen Indonesia dalam rangka mencegah tindakan tersebut. Penulis mencoba untuk mencari tahu apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan turut memberikan contoh kasus di Indonesia yang terindikasi sebagai perbuatan greenwashing. Selain itu, Penulis juga melakukan komparasi dengan negara Amerika Serikat, Inggris, dan Australia dalam mengatur dan menangani tindakan ini, mengingat bahwa terdapat beberapa kasus greenwashing yang telah terjadi dan/atau ditangani di ketiga negara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis, tindakan greenwashing dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam hukum perlindungan konsumen, namun dalam praktiknya peraturan-peraturan tersebut belum berperan dalam mencegah atau menanggulangi tindakan greenwashing, terlebih pembahasan mengenai tindakan ini secara umum juga belum awam di Indonesia. Adapun berkaitan dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, ketiga negara tersebut pada dasarnya lebih unggul dalam menangani tindakan greenwashing. Hal ini berangkat dari fakta bahwa masing-masing dari mereka telah mengintegrasikan hukum perlindungan konsumen mereka dengan aspek-aspek lingkungan, serta keaktifan dari otoritas perlindungan konsumen dalam melakukan investigasi dan penuntutan terhadap para aktor yang terindikasi melakukan tindakan tersebut. Demikian menimbulkan urgensi untuk melakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang secara langsung mengintegrasikan hak-hak konsumen dengan aspek lingkungan seperti halnya yang diterapkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

Greenwashing is a form of marketing strategy by business actors that are considered to mislead consumers. However, unfortunately, this misleading practice has not become an issue that is sufficiently addressed in Indonesia, both by the public as consumers, or by law enforcers. In fact, this misleading action has the potential to violate consumer rights as stated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. In conducting the analysis, the author uses descriptive-analytical research, namely by providing a detailed explanation related to greenwashing and linking it to the role of Indonesian consumer protection law in order to prevent this action. The author tries to find out whether this action can be categorized as a violation contained in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, by also providing examples of cases in Indonesia which are indicated as greenwashing actions. In addition, the author also makes comparisons with the United States, UK and Australia in regulating and handling this action, bearing in mind that there have been several cases of greenwashing that have occurred and/or been handled in these three countries. Based on the results of research conducted by the author, greenwashing actions can be categorized as a violation of consumer protection law, but in practice these regulations have not played a role in preventing or tackling greenwashing actions, moreover the discussion regarding this action in general is also not common in Indonesia. As for what happened in the United States, UK and Australia, these three countries are basically superior in dealing with greenwashing. This stems from the fact that each of them has integrated their consumer protection laws with environmental aspects, as well as the activeness of the consumer protection authorities in conducting investigations and prosecutions of actors who are indicated to have committed these actions. This creates an urgency to renew Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection which directly integrates consumer rights with environmental aspects as implemented by the United States, UK and Australia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Thufail Iman
"Industri kuliner dan pangan olahan di Indonesia berkembang pesat dan memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, seiring pertumbuhan ini, muncul masalah kurangnya informasi tentang kehalalan produk yang dijual, yang berdampak pada kerugian konsumen, terutama konsumen Muslim. Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum terkait informasi kehalalan produk kuliner dan pangan olahan di Indonesia dengan pendekatan yuridis normatif, menganalisis UU Perlindungan Konsumen dan UU Jaminan Produk Halal beserta peraturan turunannya dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen berhak atas informasi jelas tentang kehalalan produk, dan pelaku usaha berkewajiban memberi informasi akurat sesuai hukum. Label halal dipandang sebagai upaya menyediakan informasi yang cukup dalam konteks jaminan produk halal. Selain itu, kesimpulan penelitian menyarankan bahwa keterangan tidak halal yang terstandarisasi dapat mengurangi potensi misinformasi bagi konsumen. Dengan demikian, untuk memastikan informasi yang cukup terkait kandungan halal sebagai bentuk perlindungan konsumen, pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan label halal dan keterangan tidak halal yang terstandarisasi.

The culinary and processed food industries in Indonesia are rapidly growing and making a significant contribution to the national economy. However, alongside this growth, there is a problem with inadequate information regarding the halal status of products being sold, which has negative implications for consumers, particularly Muslim consumers. This study aims to examine the legal protections related to halal information on culinary and processed food products in Indonesia through a normative juridical approach, analyzing the Consumer Protection Act, the Halal Product Assurance Act, their derivative regulations, and other relevant legislation. The findings indicate that consumers have the right to clear information regarding the halal status of products, and business operators are legally obligated to provide accurate information. The halal label is viewed as an effort to provide sufficient information in the context of halal product assurance. Additionally, the study concludes that a standardized "non-halal" label could be a solution to mitigate potential misinformation for consumers. Thus, to ensure adequate information on halal content as a form of consumer protection, the government can maximize the use of standardized halal and non-halal labeling."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Margaretha
"Penggunaan transportasi sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Salah satu transportasi yang paling banyak digunakan adalah transportasi darat, terkhusus kendaraan bermotor roda dua (sepeda motor). Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat inovasi baru terhadap desain sepeda motor yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan rasa aman serta nyaman bagi para pengendara. Rangka eSAF yang digunakan pada sepeda motor Honda merupakan salah satu bentuk inovasi yang ditawarkan oleh PT. Astra Honda Motor. Pada hakikatnya, setiap kendaraan bermotor roda dua yang akan diproduksi dan diperjualbelikan haruslah sesuai dengan ketentuan mengenai standar kendaraan bermotor roda dua di Indonesia. Namun, sangat disayangkan, pada kenyataannya, terdapat beberapa kasus kerusakan pada rangka eSAF motor Honda, berupa korosi hingga patahnya rangka tersebut, akibat bagian dalam rangka yang tidak terlapisi oleh coating. Melalui metode penelitian yuridis-normatif, skripsi ini akan membahas mengenai kesesuaian perlindungan hak konsumen, tanggung jawab pelaku usaha, serta peran pemerintah dalam mengupayakan perlindungan konsumen atas kerusakan rangka eSAF, dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lebih lanjut, skripsi ini juga akan memberikan saran kepada pemerintah, pelaku usaha, serta konsumen sebagai upaya pencegahan untuk meminimalisir terjadinya kejadian serupa di kemudian hari.

Transportation has become a basic need for people to carry out their daily lives. One of the most widely used forms of transportation is land transportation, especially two-wheeled motorized vehicles (motorcycles). As time goes by, new innovations to motorcycle design aim to increase efficiency and a sense of safety and comfort for riders. The eSAF frame used on Honda motorcycles is one form of innovation offered by PT Astra Honda Motor. In essence, every two-wheeled motorized vehicle that will be produced and traded must comply with the provisions regarding the standards of two-wheeled motorized vehicles in Indonesia. Unfortunately, there are several cases of damage to the eSAF frame of Honda motorcycles, in the form of corrosion to broken frames due to the inside of the frame not being appropriately coated. Through the juridical-normative research method, this thesis will discuss the suitability of the protection of consumer rights, the responsibility of entrepreneurs, as well as the role of the government in seeking consumer protection for eSAF frame damage, with the provisions stipulated in Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Furthermore, this thesis will also provide suggestions to the government, entrepreneurs, and consumers as a preventive effort to minimize the occurrence of similar incidents in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Monica
"Skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban pengangkut udara niaga atas hilangnya bagasi tercatat berisi barang berharga, ditinjau dari teori atau prinsip-prinsip pertanggungjawaban pengangkut dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (selanjutnya disebut Permenhub Nomor 77 Tahun 2011).
Skripsi ini mengambil satu contoh kasus, yaitu kasus antara Umbu S. Samapatty dengan Lion Air. Dalam kasus, Umbu S. Samapatty menggunakan jasa pengangkutan dari Lion Air, namun ternyata Lion Air l menghilangkan bagasi tercatat milik Umbu S. Samapatty. Umbu S. Samapatty sayangnya tidak melaporkan mengenai isi dari bagasi tercatatnya tersebut, dimana ternyata isinya adalah barang-barang berharga dengan nilai kurang lebih 2,9 Miliar. Rupiah.
Penelitian membahas mengenai sisi perlindungan konsumen dalam hal terdapat kelalaian dari pelaku usaha dan juga membahas perlindungan dari sisi perlindungan pelaku usaha. Penelitian ini membahas pula mengenai Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1) Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 dan ada atau tidaknya penerapan teori dan peraturan perundang-undangan yang baik pada putusan Majelis Hakim.

This thesis discusses about the commercial airplane carrier liability for the case of lost baggage that containing items, in terms of theory or principles of carrier liability and the laws related, namely Law No. 1 of 2009 on Aviation, Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection, as well as the Regulation of the Minister of Transportation No. 77 of 2011 (Permenhub 77/2011) on Air Transport Carrier Liability.
This thesis took a case, which the case between Umbu S. Samapatty against Lion Air. In the case, Umbu S. Samapatty used the transport services of Lion Air, but Lion Air in fact negligently lost the checked baggage of Umbu S. Samapatty. There was a fact also that Umbu S. Samapatty unfortunately didn?t reported the contents of the baggage he carried, a lot of valuable goods with a value of approximately 2.9 billion rupiah.
This research specific-purposes are to discuss the protection to consumer in the event of negligence of businesses and also the protection of the business actors in the event of the factors that influenced by customer action in contributing the lost itself. This study also discusses about Article 5 and Article 6, paragraph (1) Permenhub Number 77 of 2011 and whether or not the theory and application of laws and regulations had been used properly in the verdict of the Judge.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S52669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rashieka Putri Amara
"Perkembangan perusahaan ekspedisi menawarkan berbagai pilihan jasa pengiriman kepada konsumen. Pelaku usaha ekspedisi berusaha mempromosikan produknya melalui berbagai strategi agar menarik minat konsumen. Strategi promosi tersebut dapat berupa positioning, iklan, maupun klausula baku sebagai bentuk pengaturan atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Pada umumnya, pelaku usaha akan mengedepankan keunggulan dan mutu produk dengan tujuan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Menurut fungsinya, promosi berkedudukan sebagai janji pelaku usaha yang harus diwujudkan kepada konsumen. Namun, beberapa keluhan konsumen di media sosial menunjukkan adanya ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu pengiriman esok hari sampai yang dijanjikan pada promosi produk JNE YES dan SiCepat BEST. Skripsi ini membahas mengenai perlindungan hukum atas ketidaksesuaian jasa dengan jaminan mutu produk dengan meninjau alasan konsumen harus mendapatkan kualitas sesuai janji promosi, perbandingan promosi dan pengaturannya dari tiga pelaku usaha ekspedisi, dan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan oleh pelaku usaha berdasarkan permasalahan hukum tersebut. Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan metode analisis data secara kualitatif berdasarkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil dari penelitian adalah informasi-informasi pada positioning, iklan, dan klausula baku harus diwujudkan oleh pelaku usaha mengingat fungsi promosi sebagai janji kepada konsumen. Hal ini juga sebagai bentuk penghormatan dan perlindungan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur.

The development of expedition companies offers a wide selection of delivery services to consumers. Expedition business actors try to promote their products through various strategies to attract consumer interest. The promotional strategy can be in the form of positioning, advertising, or standard clauses as a form of regulation of goods and/or services traded. In general, business actors will prioritize product excellence and quality with the aim of influencing consumer purchasing decisions. According to its function, promotion serves as a promise of business actors that must be realized to consumers. However, several consumer complaints on social media indicate that there is a mismatch between the service and the quality assurance of next-day delivery promised in the JNE YES and SiCepat BEST product promotions. This thesis discusses the legal protection of service discrepancies with product quality assurance by reviewing the reasons consumers must get quality according to promotional promises, comparison of promotions and their arrangements from three expedition business actors, and violations of statutory provisions by business actors based on these legal issues. The form of this research is juridical-normative with qualitative data analysis method based on secondary data obtained through literature study. The result of the research is that information on positioning, advertisements, and standard clauses must be realized by business actors considering the function of promotion as a promise to consumers. This is also a form of respect and protection of consumer rights to correct, clear, and honest information. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>