Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4187 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nur Karim
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2014
899.222 NUR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2013
016.899 222 KAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
011.31 KAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005
R 011.31 KAT
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Mamlahatun Buduroh
"ABSTRAK Penelitian ini membahas naskah Hikayat Pandawa koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Hikayat Pandawa berisi cerita Mahabharata bagian Adiparwa yang mengisahkan asal-usul keluarga bharata, Pandawa dan Kurawa. Naskah ini termasuk dalam kategori cerita wayang. Naskah disalin di Betawi pada abad ke-19. Penelitian terhadap Hikayat Pandawa dilakukan dengan menggunakan metode filologi dalam menghasilkan edisi teks dan pendekatan sosiologi sebagai dasar analisis isi teks. Edisi teks disajikan dengan menggunakan edisi kritis dan tinjauan naskah dilakukan untuk melihat situasi sosial masyarakat tempat penyalinan naskah berlangsung melalui perbandingan teks sejenis. Berdasarkan fisik naskah dan tinjauan isi, dapat diungkapkan bahwa Hikayat Pandawa disalin di Pecenongan. Selanjutnya, kajian dilakukan dengan membandingkan unsur daur hidup dalam isi cerita yang meliputi kelahiran, perkawinan, dan kematian. Berdasarkan perbandingan unsur cerita tersebut dapat diketahui bahwa Hikayat Pandawa merupakan cerita gubahan yang menampilkan unsur keindahan karya sastra Melayu yang dipengaruhi oleh ideologi Hindu-Budha dan Islam serta warna lokal Betawi.

ABSTRACT
This research discusses the Hikayat Pandawa collection of the National Library of the Republic of Indonesia. Hikayat Pandawa contains the story of the Mahabharata part of Adiparwa which tells the origin of the family of the bharata, Pandawa and Kurawa. This text belongs to the category of wayang stories. Manuscripts were copied in Betawi in the 19th century. Research on Hikayat Pandawa was carried out using the method of philology in producing text editions and sociological approaches as a basis for analyzing of text. The text editions are presented using critical editions and analysis of manuscripts conducted to look at the social situation of the community where the manuscript was copied through a comparison of similar texts. Based on the physical and analysis of the contents, it can be revealed that the Hikayat Pandawa was copied in Pecenongan. Furthermore, the study was conducted by comparing the elements of the life cycle of the story which included birth, marriage, and death. Based on the comparison of the elements of the story, it can be seen that Hikayat Pandawa is a composition of stories featuring elements of the beauty of Malay literature influenced by Hindu-Buddhist, Islamic ideologies and culture of Betawi.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
D2597
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Syamtasiyah Ahyat
Tangerang Selatan: SAM (Serat Alam Media), 2014
305.4 ITA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Khumaeroh
"Penelitian ini memfokuskan pada mendeskripsikan jenis kalimat bahasa Melayu dalam naskah ke-19 koleksi Abraham Cornelis Cohen Stuart. Kelima naskah surat tersebut merupakan hasil penulusuran dari katalog induk naskah-naskah Perpustakaan Nasional RI, yang diuraikan oleh T.E. Behrend (1998)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
S10950
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Fadli H. S.
"Tesis ini berjudul ulama Betawi, studi tentang jaringan ulama Betawi dan kontribusinya terhadap perkembangan Islam abad ke-19 dan 20. Tesis ini meneliti tentang jaringan ulama Betawi yang belajar langsung kepada ulama Timur Tengah, khususnya Makkah dan Madinah serta upaya pembaharuan keagamaan di Betawi abad ke-19 dan 20.
Tesis ini mencoba mengembangkan teori Azyumardi Azra yang mengungkapkan adanya keterkaitan intelektual antara ulama Nusantara dengan ulama Makkah dan upaya pembaharuan yang dilakukan oleh mereka ketika kembali ke tanah air. Perbedaan hanya terletak pada ruang dan waktu.
Tesis ini menggunakan pendekatan sosial-intelektual historis untuk menggali fenomena sejarah dengan metode deskriptif-interpretatif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, studi kepustakaan dan observasi langsung di pesantren dan makam ulama Betawi.
Tesis ini menjelaskan hubungan intelektual ulama Betawi yang belajar kepada sejumlah ulama Makkah yang berbeda. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya bermukim selama 7 tahun dan belajar kepada Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, seorang mufti Makkah. Guru Mugni bermukim di Makkah selama 9 tahun dan berguru kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Sementara Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi berguru kepada Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail dan Syaikh Umar Hamdan. Sedangkan Guru Marzuqi menimba ilmu di Makkah selama 7 tahun, Guru Mansur belajar di Makkah selama 4 tahun dan Guru Khalid menuntut ilmu di Makkah selama 11 tahun. Balk Guru Marzuqi, Guru Mansur maupun Guru Khalid belajar kepada Syaikh Sa'id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa'id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki dan Syaikh Abdul Karim al-Dagestani dan lain sebagainya.
Selama di Makkah, mereka mendapatkan pembaharuan keislaman dari ulama Makkah yang menekankan keseimbangan antara syari'ah dan tasawuf. Hal ini terjadi karena mereka berguru kepada ulama Makkah yang bermuara kepada Syaikh al-Qusyasi dan Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, ulama Makkah terkemuka abad ke-17 yang mempelopori gerakan harrnonisasi syari'ah dan tasawuf yang kemudian dikenal dengan gerakan "neo-sufisme ". Setelah memperoleh ilmu yang cukup memadai, mereka kembali ke Betawi dan mengajarkan keilmuan yang telah mereka terima di Makkah kemudian melahirkan ulama Betawi lainnya di abad ke-20 yang melaksanakan kontinuitas pembaharuan keilmuan Islam di Betawi.
Ulama Betawi yang tersebut di atas menggunakan sarana penyebaran pembaharuan yang sama yaitu lewat beberapa karyanya dan berdakwah melalui pengajian dan halaqah yang dilakukan di masjid, langgar, majelis taklim dan pesantren kecuali Sayyid Usman yang menggunakan kitab tulisannya dan percetakan dalam menyebarkan pembaharuan. Ulama Betawi beserta muridnya secara umum menekankan pembaruan yang lebih bersifat evolusioner, bagi mereka pembaruan lebih merupakan proses dialektika intelektual yang tidak dapat dipaksakan sehingga bisa dipahami jika persentuhan Islam dengan budaya Betawi tanpa menimbulkan konflik. Hal ini bisa terjadi karena Islam yang hadir di Betawi lebih bermadzhab Syafi'i dan berfaham Ahli Sunnah Wal Jama'ah yang cenderung lebih toleran dan inklusif serta menghargai budaya dan tradisi lokal.
Hampir semua ulama Betawi memiliki jaringan intelektual guru-murid (intellectual genealogy) yang menyebar ke lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam langgar (mushola), masjid, madrasah, pondok pesantren dan majelis taklim serta mursid-khalifah (mystical genealogy). Pengaruh ulama Betawi melalui kedua bentuk jaringan ini tidak bisa diremehkan. Melalui kedua bentuk jaringan inilah ulama Betawi mentransmisikan wacana dan praktik keagamaan yang mereka terima di Makkah dan Madinah kepada masyarakat Betawi. Maka dapat dikatakan bahwa aktivitas intelektual dan akademik merupakan ciri khas yang paling menonjol dalam jaringan ulama Betawi. Koneksi di antara mereka satu sama lain mengambil bentuk hubungan guru dengan murid yang disebut "hubungan vertikal". Hubungan akademis juga mencakup bentuk-bentuk lain seperti guru dengan guru atau murid dengan murid yang disebut dengan "hubungan horizontal".

This thesis entitle Moslem scholar Betawi, study about network of Moslem scholar Betawi and their contribution to Islamic growth in the 19th to 20`h centuries. This thesis check about network of Moslem scholar of Betawi which learn direct to Moslem scholar in the middle east, specially Makkah and Madinah and also the religious renewal effort in Betawi in thel9th to 20th centuries.
This thesis try to develop theory of Azyumardi Azra laying open the existence of intellectual related Moslem scholar of Nusantara with Moslem scholar of Makkah and effort of renewal by them when returning to the ground irrigate. Different result however is seen in the place and time.
This thesis use approach of historical intellectual social to convey phenomenon of history with method of analytical descriptive-interpretative. In collecting the data it uses a documentation study, a library research and direct observation in pesantren and resting place of Moslem scholar Betawi.
This thesis explain intellectual relationship Moslem scholar of Betawi which learn to a number of Moslem scholar of different makkah. Sayyid Usman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya live during 7 year and learn to Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, a mufti Makkah. Mugni live in makkah during 9 year and learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani. Habib Ali Abdurrahman al-Habsyi learn to Habib Husein bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Bakri Syatha, Syaikh Muhammad Said Babesail and Syaikh Umar Hamdan. Marzuqi studied in Makkah during 7 year. Mansur learn in Makkah during 4 year. Khalid studied in Makkah during 11 year. Marzuqi, Mansur and also Khalid learn to Syaikh Said al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali al-Maliki and Syaikh Abdul Karim al-Dagestani and others.
During in Makkah, they get Islamic renewal from Moslem scholar of Makkah emphasizing balance between syari'ah and. tasawuf This matter is happened because they learn to Moslem scholar of Makkah which have estuary to Syaikh al-Qusyasi and Syaikh Abdul Aziz al-Zamzami, Moslem scholar notable Makkah in the I7th pioneering balancing movement syar'ah and tasawuf which later then recognized with movement "neo-sufisme". After obtaining science which adequate enough, they return to Betawi and teach their science which have accepted in Makkah later then bear Moslem scholar other Betawi in the 20`h executing continuity Islamic renewal in Betawi.
Moslem scholar of Betawi use medium spreading is same renewal that is passing of their masterpiece and miss ionize to teaching and halaqah in mosque, impinge, ceremony of taklim and pesantren except Sayyid Usman using book of and printing office in propagating renewal. Moslem scholar of Betawi with their pupil in general emphasize renewal having the character of evolusioner, for them the renewal more represent process of intellectual dialectic which cannot be forced so that can be comprehended if touch of Islam culturally Betawi without generating conflict. This matter deflect happened because Islam which attended to Betawi more Syafi'I persuasion and Sunnah Wal Jarna'Ah which tend to more lenient and inclusive and also esteem local tradition and culture.
Most of all Moslem scholar of Betawi have intellectual network of intellectual genealogy disseminating to institutes of education of Islam, example mushola, mosque, school, pesantren and ceremony of taklim and also mursidkhalifah (mystical genealogy). Influence of Moslem scholar of Betawi with this network does not deflect underestimated. Form of network of this is Moslem scholar of Betawi of transmission of religious and practice discourse which they accepted in Makkah and Madinah to society Betawi. So can be said that a intellectual activity and academic represent most uppermost individuality in network of Moslem scholar Betawi. Relation of among them one another take form of relation learns with pupil is called "vertical relation". Academic relation also include cover other forms like teacher with teacher or pupil with pupil is called with "horizontal relation".
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T16829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tamon, Max Laurens
"Minahasa adalah salah satu Kabupaten Daerah Tingkat II di Sulawesi Utara. Kultur masyarakat Minahasa telah membentuk sistem kehidupan masyarakatnya. Kata Mina'esa yang akhirnya menjadi Minahasa yang berarti "tanah yang dipersatukan", adalah sebutan lain dari "Musyawarah Para Ukung" (Vergadering der Doopshoofden) atau "Dewan Wali Pakasaan" (Raad der Doopshoofden). Dewan ini merupakan "lembaga" tertinggi dalam masyarakat Minahasa yang bertahan hingga akhir abad ke-19.
Dewan Wali Pakasaan dalam fungsinya, dapat menangani berbagai permasalahan yang muncul, utamanya seperti konflik dalam masyarakat Selain itu, lembaga ini berfungsi sebagai sarana untuk menampung aspirasi yang datangnya dari masyarakat serta yang terpenting lagi, lembaga ini dapat melawan apa yang disebut "musuh bersama" yaitu bajak laut Mindanao.
Adat-istiadat/tradisi, selalu menjadi dasar bertindak lembaga ini, karena setiap musyawarah dan apa yang dihasilkan dalam musyawarah itu, selalu didasarkan atas prinsip kebersamaan, yaitu prinsip Mina'esa.
Idealisme L Wenzel selaku Residen pertama di Keresidenan Manado sejak tahun 1824, yang mengedepankan adaptasi program pemerintahannya dengan tradisi Minahasa, tidak terwujud. Wenzel sebaliknya menerapkan sistem pemerintahannya itu dengan mengacu pada sistem hukum Barat, yang secara nyata bertentangan dengan kultur Minahasa.
Kondisi yang diciptakan Wenzel tambat laun menjadi pemicu bagi masyarakat Minahasa, khususnya bagi mereka yang telah berpendidikan Barat, untuk menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda agar memberikan otonomi seluas-luasnya bagi Minahasa. Alasannya, pertama, telah ada undang-undang desentralisasi (decentralisatieweb) 1903 tentang otonomisasi di Hindia Belanda; kedua, kuatnya "dorongan" tradisi Mina'esa bagi masyarakat Minahasa; ketiga, walaupun ada beberapa orang anak Minahasa yang duduk sebagai anggota Volksmad, akan tetapi kepentingan Minahasa tidak terakomodasi dalam lembaga itu. Tiga hal inilah yang telah menjadi faktor penentu, sehingga pada tahun 1919, lahirlah apa yang disebut Minahasa Raad (Dewan Minahasa), yang menggantikan fungsi dari Dewan Wali Pakasaan yang telah diselewengkan oleh J.Wenzel dan para penggantinya sepanjang pemerintahannya di Hindia, khususnya di Minahasa.

From Mina'esa to Minahasa Raad (Minahasa Council) the end of Nineteenth Century to the Early of the Twentieth CenturyMinahasa is one the counties in North Sulawesi. The culture of Minahasan society has formed and built their systems and ways of lives. "Minahasa" another name for Vergadering der Doopshoofden (The Forum of the Llkungs) or Rued der Doopshoofden (The Council of Pakasaan). This council was the highest representative in Minahasan society which last until the end of the nineteenth century.
In its function, the council of Pakasaan could overcome kindsof problems such as conflicts which emerged from the people. Furthermore, this council was the place where the people could convey their voices and the most important thing it could fight against the pirates coming from Mindanao that was known as "the enemy of all the Minahasan people".
The customs and the traditions of the people were always the basic principle for the council in taking any decision for the sake of the people. Thus all the results taken this council always reflected their unity and togetherness. This basic principle known as the philosophy of Mina'esa.
Since 1824, J. Wenzel became the first resident in the residence of Manado. As the resident, Wenzel ran his government by applying the mixing of traditions in Minahasa with his own administration program, but unfortunately it did not work. On the other hand, Wenzel ran his government administration system by putting priority on the western law, which obviously contradicted to the culture of Minahasan people.
The condition created by Wenzel eventually became the major source for the Minahasan people especially for those who had received western education to sue their right for governing their own land, claiming the autonomy from the Dutch government. The Minahasan had three reasons for their claim; first, they had already got the law for decentralization (decentralisatieweb) in 1903 which was about the autonomy in Netherlands Indies; second the strong will to conservate the Mina'esa's tradition for the Monaha_san people; third the lack of ability of the Minahasan people who sat in the representative to fight for the sake of Minahasan people. These three reasons became the basic affect that in 1919 they gave birth to the founding of Minahasa Raad (Minahasan Council) which replaced the Pakasaan Council which had been misled by Wenzel and also those who took over his position during his government in Netherlands Indie especially in Minahasa.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T9484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia,
011.31 KAT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>