Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135213 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rendy Agustian
"Latar belakang dan tujuan: Penggunaan asam traneksamat intravena pada bedah jantung bertujuan untuk mengurangi komplikasi perdarahan pascabedah. Asam traneksamat secara topikal (intraperikardial) bekerja secara lokal dan meminimalisasi efek samping sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan asam traneksamat topikal lebih efektif terhadap jumlah perdarahan dan kebutuhan transfusi darah pascabedah dibandingkan dengan plasebo pada bedah pintas arteri koroner .
Metode: Randomisasi 44 sampel menjadi kelompok asam traneksamat topikal (n = 22) dan kelompok plasebo (n = 22). Variabel dengan sebaran normal menggunakan statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal menggunakan statistik nonparametrik Mann-Whitney test. 
Hasil: Perdarahan inisial (asam traneksamat 47,50 (10-105) mL vs plasebo 75 (10-160) mL menunjukkan  p = 0,012), perdarahan 6 jam pascabedah (asam traneksamat 135,50 (80-285) mL vs plasebo 190 (35-480) mL menunjukkan p = 0,021, kebutuhan transfusi trombosit (asam traneksamat 0(0-136) mL vs plasebo 0(0-993) menunjukkan p = 0,027), dan kebutuhan transfusi kriopresipitat (asam traneksamat 0(0-0) mL vs plasebo 0 (0-347) menunjukkan p = 0,034).
Simpulan: Asam traneksamat topikal efektif mengurangi perdarahan, dan kebutuhan transfusi darah pascabedah pintas arteri koroner.

Background and purpose: Administration of intravenous tranexamic acid in cardiac surgery aimed to reduce postoperative bleeding complications. Tranexamic acid topically (intrapericardially) works locally and minimizes systemic side effects. This study aims to determine whether topical tranexamic acid is more effective on the amount of bleeding and the need for postoperative blood transfusion compared with placebo in patients undergoing CABG on-pump surgery. This study aims to determine whether topical tranexamic acid is more effective in reducing postoperative bleeding and decreasing postoperative blood transfusion  compared to placebo in patients underwent on-pump CABG. 
Methods: 44 samples are randomized into the tranexamid acid group (n = 22) and the placebo group (n = 22). Variables with normal distribution were carried out with independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics Mann-Whitney test.
Result: Postoperative bleeding and transfusion in the tranexamic acid group compared to the placebo group showed differences as follows: initial bleeding (tranexamic acid 47.50 (10-105) mL vs. placebo 75 (10-160) mL, p = 0.012), 6 hours postoperative bleeding (tranexamic acid 135.50 (80-285) mL vs. placebo 190 (35-480) mL, p = 0.021), Postoperative bleeding requiring platelet transfusion (tranexamic acid 0(0-136) mL vs. placebo 0(0-993), p = 0.027), and postoperative bleeding requiring cryoprecipitate transfusion (tranexamic acid 0(0-0) mL vs. placebo 0 (0-347), p = 0.034).
Conclusion: Topical tranexamic effectively reduces postoperative bleeding and minimize postoperative blood transfusion in CABG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Bastian Parningotan
"Latar belakang: Perdarahan pada operasi OPCAB dapat terjadi didasari oleh mekanisme aktivasi jalur fibrinolisis akibat trauma bedah. Asam traneksamat yang diberikan secara topikal bekerja sebagai antifibrinolitik secara lokal dengan efek samping sistemik minimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keunggulan penggunaan asam traneksamat topikal dibandingkan plasebo pada pasien yang menjalani operasi OPCAB pada perdarahan pascaoperasi.
Metode: Randomisasi 44 sampel menjadi kelompok asam traneksamat topikal (n = 22) dan kelompok plasebo (n = 22). Pengukuran volume perdarahan dilakukan empat kesempatan, pada perdarahan inisial, enam jam, 24 jam dan 48 jam pascaoperasi. Transfusi komponen darah (PRBC, TC, FFP, kriopresipitat) dicatat selama masa perawatan. Variabel dengan sebaran normal menggunakan statistik independent t-test, sedangkan data dengan sebaran tidak normal menggunakan statistik nonparametrik uji Mann-Whitney.
Hasil: Perdarahan inisial (72,50 (15-210) vs. 62,5 (10-180), p = 0,878), perdarahan enam jam (145 (55-640) vs. 220 (90-810), p = 0,006), perdarahan 24 jam (327,5 (120-770) vs. 437,5 (250-1620), p = 0,045), perdarahan 48 jam (462,5 (175-1680) vs. 572,5 (311-2060), p = 0,177), tidak ada perbedaan bermakna pada kebutuhan transfusi komponen darah pada kedua kelompok. Efek samping lebih rendah pada kelompok asam traneksamat.
Simpulan: Pemberian asam traneksamat topikal secara klinis lebih unggul dibandingkan plasebo dalam menurunkan volume perdarahan pada 6 jam dan 24 jam pascaoperasi namun tidak lebih unggul dalam menurunkan kebutuhan transfusi darah pada pasien yang menjalani operasi jantung dengan teknik OPCAB.

Background: Bleeding during OPCAB surgery can occur based on the activation mechanism of the fibrinolysis pathway due to surgical trauma. Topically administered tranexamic acid acts as a local antifibrinolytic with minimal systemic side effects. This study aims to determine the advantages of using topical tranexamic acid compared to placebo in patients undergoing OPCAB surgery for postoperative bleeding.
Method: A total of 44 samples were randomized into topical tranexamic acid group (n =22) and placebo group (n = 22). Bleeding volume measurements were carried out four times, at the initial bleeding, six hours, 24 hours, and 48 hours postoperatively. Transfusions of blood components (PRBC, TC, FFP, cryoprecipitate) were recorded throughout the treatment period. Variables with normal distribution were carried out with independent t-test statistical analysis, whereas data with abnormal distribution were analyzed using nonparametric statistics Mann-Whitney test.
Result: Initial bleeding (72.50 (15-210) vs. 62.5 (10-180), p = 0.878), six-hour bleeding (145 (55-640) vs. 220 (90-810), p = 0.006), 24-hour bleeding (327.5 (120-770) vs. 437.5 (250-1620), p = 0.045), 48-hour bleeding (462.5 (175-1680) vs. 572.5 (311) -2060), p = 0.177), there was no significant difference in the need for blood component transfusions in the two groups. The side effects were lower in the tranexamic acid group.
Conclusion: Topical tranexamic acid administration is clinically superior to placebo in reducing bleeding volume at 6 hours and 24 hours postoperatively but not superior in reducing the need for blood transfusions in patients undergoing cardiac surgery using the OPCAB technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andhiky Raymonanda Madangsai
"Latar belakang: Bedah pintas arteri koroner merupakan tindakan yang memiliki risiko kematian. Terdapat beberapa skor prediksi mortalitas jangka pendek yang saat ini digunakan untuk memprediksi risiko kematian 30 hari pasien pasca-bedah pintas arteri koroner salah satunya skor ACEF. Namun skor yang telah digunakan saat ini masih memerlukan penyempurnaan karena kemampuan prediksinya yang belum optimal. Peningkatan kadar glukosa darah berkaitan erat dengan peningkatan mortalitas. Namun peranan glukosa darah sebagai prediktor mortalitas belum terdapat dalam skoring ACEF.
Tujuan: Mengetahui kemampuan kadar glukosa darah satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner sebagai prediktor mortalitas 30 hari dan kemampuan sebagai modifikator skor ACEF.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien yang menjalani prosedur bedah pintas arteri koroner di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode januari 2015 hingga desember 2022. Pada data umur, kreatinin, fraksi ejeksi, glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan kematian dari rekam medis pasien dibuat model prediksi dan dilakukan analisis performa diskriminasi dan kalibrasi.
Hasil: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner dan variabel ACEF dari 322 pasien dikaji dan dianalisis. Terdapat 11,8% pasien meninggal dengan median Glukosa Darah Sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner 220.  Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner memiliki AUC terbesar 0,537. Skor ACEF memiliki AUC 0,843. Modifikasi skor ACEF dengan glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner berupa skor prediksi baru memiliki AUC 0,843
Simpulan: Glukosa darah sewaktu satu jam pasca-bedah pintas arteri koroner tidak dapat memprediksi mortalitas 30 hari.

Background: Coronary Artery Bypass Graft Surgery (CABG) is one of cardiac surgery with risk of mortality. There are already many scores to predict mortality in 30 days after CABG, one of them is ACEF score. Although it is relatively easy to use, ACEF score is still considered imperfect. Other studies have shown that hyperglycemia increases risk of mortality, including post CABG. Hyperglycemia or blood glucose is still rarely found in established scoring systems.
Objective: To find added predictive value of adding blood glucose to ACEF score in predicting 30-days post CABG mortality.
Methods: This study is a retrospective cohort study. Data was collected from medical records of patients who went CABG in RSUPN Cipto Mangunkusumo from January 2015 to December 2022. Age, creatinine, ejection fraction, and mortality were analyzed and synthesized to make new models. We calibrated and found the discrimination of new model.
Results: We analyzed one hour-post CABG blood glucose level and ACEF score component from 322 patients. Thity-day mortality following surgery was observed in 38 subjects (11.8%). The median blood glucose was 220. The AUC of blood glucose to predict 30-days mortality is 0,537. The AUC of ACEF score in this study is 0,843. The model of adding blood glucose to ACEF score has AUC 0,843.
Conclusion: One hour post CABG blood glucose level didn’t add predictive value to ACEF of 30 days post CABG mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Imasanti
"Latar belakang: Program rehabilitasi jantung pada pasien pasca bedah pintas arterikoroner BPAK dapat dilaksanakan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit,dimana hambatan utama pada program rehabilitasi di rumah sakit adalah jarak tempattinggal yang jauh. Mengingat kesulitan ini, untuk meningkatkan jangkauan pelayananprogram rehabilitasi jantung perlu dikembangkan ke arah program latihan mandiri dirumahdengan menggunakan pemantauan jarak jauh / telemonitor elektrokardiografi Tele-EKG .Pemantauan ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap programlatihan mandiri dirumah.
Tujuan: Menilai efek pemantauan jarak jauh untuk meningkatkan kepatuhan pasien pascaBPAK yang menjalani program latihan mandiri.
Metode: Pasien BPAK yang masuk kriteria inklusi dirandomisasi dan dibagi dua kelompok dengan dan tanpa alat pemantauan jarak jauh . Dilakukan dua kali uji latih treadmilldengan metode bruce, yaitu setelah kedua kelompok menyelesaikan program rehabilitasifase II dirumah sakit sebagai baseline, dan setelah latihan dirumah selama 12 minggupasca-intervensi sebagai evaluasi akhir program. Selanjutnya dilakukan analisis statistikantara kedua kelompok untuk melihat pengaruh pemantauan jarak jauh terhadap kepatuhanprogram latihan mandiri.
Hasil penelitian: Sebanyak 44 pasien diikut sertakan pada penelitian ini. Dari hasilevaluasi, tidak didapatkan tingkat kepatuhan yang lebih baik antara kelompok intervensi n= 20 dan kontrol n = 24 95 vs 70,8 ; p = 0,054 , demikian pula peningkatan durasidan kapasitas aerobik uji latih [ 57,90 81,14 detik vs 21,67 61,22 detik; p = 0,099 , dan 0,77 1,19 METs vs 0,33 1,05 METs; p = 0,193 ].
Kesimpulan: Pasien pasca bedah pintas arteri koroner yang menjalani program latihanmandiri dengan pemantauan jarak jauh tidak mempunyai kepatuhan yang lebih baikterhadap program latihan mandiri.

Background: Cardiac rehabilitation CR program in patient who had coronary artery bypass surgery CABG surgery could be institution based or home based, but there were many barriers for home based CR program that influence the patient's adherence to the program. As an effort to overcome the barrier of distance, confidence, and safe feeling, electrocardiography telemonitoring ECGTM could be used But there wes no data regarding the effect of the electrocardiography telemonitoring to the adherence to the home based CR program in Indonesia.
Aim: To assess the effect of electrocardiography telemonitoring to the adherence to homebased CR program for the patients who have had CABG surgery.
Methods: Patients after having CABG surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita Jakarta who have finished phase II CR program were recruited consecutively and were radomized to the intervention group which used ECGTM and to the control group which did not use ECGTM for 3 months home based CR program. Home based exercise was based on the result of exercise stress testing using Bruce Protocol. Adherence was defined as compliance to the minimum of 3 sessions per week for 12 weeks CR program.
Results: A total of 44 patients completed the study, The adherence to the CR program of the intervention group n 20 and control group n 24 was not different 95 vs 70,8 p 0.054 , and neither was the exercise testing duration 57.9 81.1 vs 21.7 61.2 seconds, p 0.099 , and the improvement of functional capacity 0.77 1.2 vs 0.33 1.05 METS, p 0.193.
Conclusion: The aplication of electrocardiography telemonitoring did not increase the patients adherence to home based CR program.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57640
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rasco Sandy
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (FA) awitan dini pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi yang sering terjadi. Aritmia ini merupakan fenomena sementara dan mayoritas pasien akan mengalami konversi ke irama sinus saat dipulangkan. Meskipun bersifat sementara, FA awitan baru pasca-BPAK berpotensi mengalami rekurensi sehingga dapat meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang.
Tujuan. Mengetahui peran FA awitan baru pasca-BPAK dalam mempengaruhi kesintasan tiga tahun.
Metode. Studi dengan desain kohort retrospektif menggunakan analisis kesintasan yang meneliti 196 pasien yang menjalani BPAK di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam rentang waktu Januari 2012 sampai Desember 2015. Eksklusi dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat FA sebelum operasi, menjalani operasi tanpa mesin pintas jantung-paru, dan yang meninggal dalam 30 hari pascaoperasi. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan ada tidaknya FA awitan baru pasca-BPAK, yang selanjutnya ditelusuri status kematiannya dalam tiga tahun sejak operasi. Kurva Kaplan-Meier digunakan untuk menilai kesintasan tiga tahun dan dilakukan uji regresi Cox sebagai uji multivariat terhadap variabel perancu (usia ≥60 tahun, penyakit paru obstruktif kronis, diabetes melitus, gangguan ginjal, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah) untuk mendapatkan nilai adjusted hazard ratio (HR).
Hasil. Sebanyak 29,59% pasien mengalami FA awitan baru pasca-BPAK. Angka mortalitas tiga tahun pasien yang mengalami FA awitan baru pasca-BPAK baru lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalaminya (15,52% vs 3,62%). Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara signifikan menurunkan kesintasan tiga tahun (p=0,008; HR. Pada analisis multivariat, FA awitan dini pascaBPAK merupakan faktor independen terhadap penurunan kesintasan tiga tahun (adjusted HR 4,04; IK 95% 1,34-12,14).
Simpulan. Fibrilasi atrium awitan baru pasca-BPAK secara independen menurunkan kesintasan tiga tahun.

Background. New-onset atrial fibrillation after coronary artery bypass grafting (CABG) is a common postoperative complication. This arrhytmia considered as temporary phenomenon which the majority are converted back to sinus rhythm when the patients discharged from the hospital. Despite its transience, those arrhythmia can recur and increasing the long term mortality.
Objective. To determine the role of new-onset atrial fibrillation after CABG on three year survival.
Method. This is a retrospective cohort study using survival analysis of patients who underwent coronary artery bypass grafting since January 2012 to December 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients who had atrial fibrillation before surgery, who had surgery without cardiopulmonary bypass machine, and who died in 30 days after surgery were excluded. Subjects were divided into two category based of the presence of newonset atrial fibrillation after CABG and the mortality status was followed up until 3 years post-surgery. The Kaplan-Meier curve was used to determine the three-year survival of the patients who had new-onset atrial fibrillation after CABG and Cox regression test used as multivariate analysis with confounding variables in order to get adjusted hazard ratio (HR).
Result. New-onset atrial fibrillation after CABG occurred in 29,59% patients. Patients with new-onset atrial fibrillation after CABG had higher three-year mortality (15,52% vs 3,62%). New-onset atrial fibrillation after CABG significantly decreased three-year survival (p=0,008; HR 4,42; 95% CI; 1,49-13,2). In multivariate analysis, it was concluded that new-onset atrial fibrillation after CABG was an independent factor of the three-year survival decline (adjusted HR 4,04; 95% CI; 1,34-12,14).
Conclusion. New-onset atrial fibrillation after CABG independently decreased the threeyear survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Gilang Pamungkas
"Pendahuluan: Pasien pasca Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dapat mengalami penurunan kapasitas fungsional dan produktivitas. Hal ini dikarenakan adanya penurunan curah jantung dan penghancuran protein otot (aktin dan miosin). Latihan berjalan dilakukan untuk meningkatkan pompa jantung dan keseimbangan metabolisme. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional dan produktivitas ada pasien pasca BPAK.
Metode: Penelitian ini menggunakan Randomized Controlled Trial (RCT) dengan single blind pada outcome assessor. Jumlah responden pada penelitian ini berjumlah 42 orang yang dibagi menjadi 21 orang di kelompok intervensi maupun kontrol.
Hasil: Penelitian ini menunjukkan hasil adanya pengaruh yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kapasitas fungsional (0,008<0,05), gangguan dalam bekerja (0,011<0,05), dan gangguan aktivitas(0,044<0,05). Hasil juga menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna antara latihan berjalan terhadap kehilangan waktu kerja (0,967>0,05) dan gangguan pekerjaan keseluruhan (0,696).
Diskusi: Latihan berjalan meningkatkan pompa jantung dan metabolisme. hal tersebut meningkatkan pengeluaran Adenosine Triphospat (ATP) sehingga meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien.
Kesimpulan: Latihan berjalan meningkatkan kapasitas fungsional dan produktivitas pada pasien pasca BPAK.

Introduction: Patients after coronary artery bypass graft (CABG) may experience reduced functional capacity and productivity. This is due to decreased cardiac output and destruction of muscle proteins (actin and myosin). Walking exercise is performed to improve cardiac pump and metabolic balance. This study aims to assess the effect of walking training on functional capacity and productivity in patients after BPAK.
Methods: This study used a Randomized Controlled Trial (RCT) with a single blind on the outcome assessor. The number of respondents in this study amounted to 42 people who were divided into 21 people in the intervention and control groups.
Results: This study showed a significant effect of walking training on functional capacity(0,008<0,05), work interference(0,011<0,05), and activity interference(0,044<0,05). The results also showed no significant difference between walking training on lost work time (0,967>0,05)and overall work interference(0,696>0,05).
Discussion: Walking exercise improves cardiac pump and metabolism, which increases Adenosine Triphosphate (ATP) expenditure, thereby improving functional capacity and productivity in patients.
Conclusion: Walking exercise improves functional capacity and productivity in patients after BPAK.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Ramadantie
"Tujuan: Kegagalan dalam ekstubasi pascaoperasi pintas pembuluh darah jantung dapat mempengaruhi morbiditas dan kematian pasien. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat faktor risiko (intraoperasi) kegagalan ekstubasi kurang dari sama dengan 24 jam pascaoperasi pintas pembuluh darah jantung.
Metode: Studi kohort retrospektif pada 315 pasien yang di operasi pintas pembuluh darah koroner jantung/ coronary artery bypass graft (CABG) yang dirawat di Ruangan Intensif Jantung RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo dari Januari 2016 hingga Juni 2020. Pengamatan pasien selama 24 jam pascaoperasi (keluaran: ekstubasi) dengan titik potong variabel independen yaitu penggunaan mesin cardiopulmonary bypass (CPB) adalah 107 menit dan klem silang aorta adalah 84 menit.
Hasil: Analisis multivariat dengan cox regresi menemukan gabungan pemakaian CPB > 107 menit dan klem silang aorta > 84 menit merupakan faktor kegagalan ekstubasi < 24 jam pascaoperasi CABG (HR 0,6; IK 95% 0,52-0,9; p-value 0,017;). Selain itu faktor preoperasi, yaitu gagal jantung NYHA III-IV (HR 0,44; IK 95% 0,23-0,85, p-value 0,015), fraksi ejeksi <40% (HR 0,58; IK 95% 0,4-0,82; p-value 0,002), pasien dengan riwayat merokok (HR 0,73; IK 95% 0,56-0,97; p-value 0,03), Gangguan fungsi ginjal (HR 0,73; ; IK 95% 0,5-0,9; p-value 0,03) merupakan faktor risiko kegagalan ekstubasi < 24 jam pascaoperasi CABG.
Kesimpulan: Gabungan pemakaian mesin CPB dan klem aorta yang lama menyebabkan kegagalan ekstubasi kurang dari sama dengan 24 jam pascaoperasi CABG.

Objective: Extubation Failure after Coronary Artery Bypass Graft (CABG) surgery can adversely affect patient morbidity and mortality. The aim this study is to see the intraoperative risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours postoperation CABG.
Methode: A retrospective cohort of 315 patients who underwent CABG surgery treated in the Intensive Cardiac Care RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo within January 2016 until June 2020. Patient observation for 24 hours after CABG surgery (outcome: ekstubation), the cut of point for cardiopulmonary bypass machine (CPB) use is 107 minutes and the aortic cross clamp is 84 minutes.
Results: Multivariat analysis with cox regresion found that the use of CPB > 107 minutes and aortic cross clamp > 84 minutes is the risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery (HR 0,6; 95% CI 0,52-0,9; p-value 0,017). In addition, preoperation risk factor, congestive heart failure NYHA III-IV (HR 0,44; 95% CI 0,23-0,85; p-value 0,015), ejection fraction < 40% (HR 0,58; 95% CI 0,4-0,82; p-value 0,002), patient with smoking history (HR 0,73; 95% CI 0,56-0,97; p-value 0,03), impaired kidney function (HR 0,73; 95% CI 0,5-0,9; p-value 0,03) is a risk factor for extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery.
Conclusion: Combination using CPB machine and aortic cross clamp for long duration causes extubation failure less than or equal to 24 hours after CABG surgery.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ponisih
"ABSTRAK
Nama : Ponisih Program Studi : EpidemiologiJudul : Determinan Mediastinitis Pascabedah Pintas Arteri KoronerDi RSUPN Dr.Cipto MangunkusumoPembimbing : Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Tujuan: Mediastinitis pascabedah BPAK adalah komplikasi yang jarang namunmematikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui determinan dan sistem skoringmediastinitis pascabedah BPAK.Metode: Studi kohort retrospektif yang melibatkan 706 pasien operasi BPAK di RSUPNDr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2011 hingga Desember 2017. Definisimediastinitis disesuaikan dengan definisi CDC infeksi kasus spesifik, yangmelatarbelakangi resternotomi debridement. Terdapat delapan faktor risiko yangberpotensi mediastinitis dalam analisa univariate.Hasil: Dari 706 pasien BPAK, terjadi insiden mediastinitis sebanyak 35 pasien. Lima daridelapan variable tersebut bertahan dalam analisa multivariate yaitu diabetes mellitusdengan OR sebesar 4.46 IK95 = 2,01-9,89 , IMT ge; 26,5 kg/m2 dengan OR 3,34 IK95 =1,61-6,97 dan lama operasi ge; 300 menit dengan OR 3,43 IK95=1,67-7,04 , usia ge;60 tahun dengan OR 2,01 IK 95 =0,97-4,19 , dan pemedahan ulang karena perdarahandengan OR sebesar 3,10 IK 95 = 0,94-10,27 .Kesimpulan: Determinan utama yaitu diabetes mellitus, obesitas, usia, lama operasi danpembedahan ulang karena perdarahan.Kata kunci: bedah pintas arteri koroner; determinan mediastinitis.

ABSTRACT
Name PonisihStudy Program Magister EpidemiologyTitle Deteminants MediastinitisPost Coronary Artery Bypass Graft CABG SurgeryIn Cipto Mangunkusumo HospitalCounsellor Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Objective Mediastinitis post CABG is a rare but serious complication. This studiobjective is to asses determinants and scoring system of mediastinitis post CABG.Methode A retrospective cohort study of 706 patients from January 2011 until December2017 in Cipto Mangunkusumo Hospital. The definition of mediastinitis according toCenter Disease Control Surveylance and patient had a resternotomy debridement surgeryfor the infections. There are eight factors potential as a determinants from univariateanalysis age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery, surgical reintervention,delay sternal closure, valve surgery involves and ventilatory day , where necessaryfollowed in multivariate analysis.Result 35 out of 706 patients develop mediastinitis. Five variable were identifed as aindependent predictor of mediastinitis diabetes mellitus OR 4.46 95 CI 2.01 9.89 ,body mass index ge 26.5 kg m2 OR 3,34 95 CI 1.61 6.97 duration surgery ge 300minutes OR 3,43 95 CI 1.67 7.04 , age ge 60 years OR 2.01 95 CI 0.97 4.19 , andsurgical reintervention OR 3.10 95 CI 0.94 10.27 Conclusion Determinants of mediastinitis post CABG in Cipto Mangunkusumo Hospitalwere age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery and surgical reintervention.Key words coronary artery bypass graft surgery determinants mediastinitis"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vienna Rossimarina
"Latar belakang: Pasien pascabedah pintas arteri koroner (BPAK) mengalami penurunan fungsi paru akibat inflamasi perioperatif sehingga terjadi ketidakcocokan ventilasi/perfusi dan kelemahan otot pernapasan. Akibatnya saat beraktivitas, terjadi keterbatasan oksigen sehingga terjadi kelelahan otot lebih cepat dan kapasitas fungsional rendah. Latihan pernapasan diharapkan membantu memperbaiki kapasitas fungsional melalui perbaikan fungsi paru.
Tujuan: Membuktikan manfaat latihan pernapasan terhadap kapasitas fungsional yang diukur dengan 6 Minutes walk test (6MWT) pada pasien pasca-BPAK yang menjalani rehabilitasi kardiovaskular fase II.
Metode: Uji klinis dengan merandomisasi subjek pada kelompok perlakuan yang mendapat adjuvan latihan pernapasan atau menjalani program rehabilitasi standard. Diukur kapasitas inspirasi dan 6MWT pada awal dan akhir rehabilitasi fase II.
Hasil: Dua puluh delapan subjek dirandomisasi menjadi 14 kelompok perlakuan dan 14 kelompok standard. Setelah menjalani program rehabilitasi, kelompok perlakuan dan standard mengalami peningkatan jarak 6MWT yang tidak berbeda bermakna (67 ± 62.9 meter VS. 53 ± 65.7 meter; p = 0.556 ) walau kelompok perlakuan mengalami peningkatan kapasitas inspirasi lebih baik daripada kelompok standard (1357 ± 691.4 mL VS 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Simpulan: Latihan pernapasan sebagai latihan adjuvan rehabilitasi kardiovaskular fase II pasca-BPAK tidak memperbaiki jarak 6MWT secara bermakna dibandingkan program rehabilitasi standard, hanya mempercepat perbaikan fungsi paru.

Background : Patients undergoing coronary artery bypass graft (CABG) surgery develop pulmonary dysfunction due to inflammation and respiratory muscle weakness, hence ventilation/perfusion mismatch occurs then leads to low functional capacity. Respiratory training has been identified to improve functional capacity by recovering pulmonary function faster.
Objectives : To study respiratory training benefit as adjuvant training in 2 phase of cardiovascular rehabilitation program after CABG for improving functional capacity measured by 6 minutes walk test/6MWT distance.
Methods : This single blind clinical trial randomized subjects into intervention group or standard group. Intervention group received respiratory training up to 60% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant to the standard program. Then MIV and 6MWT distance were evaluated.
Result : Twenty eight subjects participated, 14 subjects were in intervention group and others were in standard group. Six MWT distance improvement is not significantly different between groups (67 ± 62.9 VS. 53 ± 65.7 meters respectively; p = 0.556 ). However, intervention group experienced better MIV improvement compared to standard group (1357 ± 691.4 VS. 589 ± 411.5 mL; p = <0.001 ).
Conclusion : Respiratory training as adjuvant training did not improve 6MWT distance among patients undergoing CABG surgery significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Aditya
"Latar Belakang : Morbiditas pasca operasi bedah pintas koroner BPAK masih cukuptinggi. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan inflamasi 48 ndash; 72 jam pasca BPAK danpeningkatan pada sistem renin angiotensin dan aldosteron RAAS. Penyekat EKA diketahuidapat menghambat RAAS dan inflamasi. Namun belum ada penelitian yang membuktikanbahwa penyekat EKA dapat menurunkan inflamasi pada pasien pasca BPAK
Tujuan : Mengetahui efek captopril dalam menurunkan inflamasi yang diukur menggunakanhsCRP pada pasien yang menjalani BPAK elektif.
Metode : Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif. Dilakukan di Rumah SakitJantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita RSJPDHK pada subyek yang menjalani BPAKelektif. Durasi penelitian dilakukan pada bulan Mei hingga Oktober 2016. Subyek dibagidalam dua kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan captorpil pasca BPAK dan tanpacaptopril. Dilakukan pemeriksaan hsCRP serial sebanyak tiga kali yaitu sebelum operasi,hari ketiga pasca operasi dan sebelum pulang rawat.
Hasil Penelitian : Terdapat total 85 subyek, 49 subyek pada kelompok mendapat captoprildan 36 subyek pada kelompok tanpa captopril. Pemeriksaan hsCRP sebelum operasi dan H 3pasca BPAK menunjukkan tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Pemeriksaan hsCRPH 6 pasca BPAK menunjukkan hsCRP pada kelompok yang mendapatkan captopril lebihrendah 31,4 mg/L 10,5 ndash; 154 vs 46,7 mg/L 10,3 ndash; 318 dengan nilai signifikansi P=0,018.
Kesimpulan : Subyek yang mendapatkan captopril mempunyai tingkat inflamasi yang lebihrendah pada H 6 pasca BPAK yang dinilai dengan hsCRP dibandingkan kelompok yangtidak mendapat captopril.

Background Postoperative morbidity of coronary artery bypass surgery CABG is fairlyhigh. This is due to increased of inflammatory response 48 ndash 72 hour after surgery andincreased of renin angiotensin aldosteron system RAAS. ACE inhibitors are known toinhibit inflammation and RAAS. However, no study has proved that ACE inhibitors canreduce inflammation in post operative CABG.
Objective To determine the effect of captopril in reducing hsCRP post CABG surgery.
Methods This is a cohort prospective study that was conducted in Harapan Kita Hospital, on post operative elective CABG subjects on May until October 2016. Subject divided intotwo groups, the group with captopril and the other is without captopril. High sensitive CRPwas measured 3 times day 0 before surgery, day 3 post CABG, day 6 post CABG.
Results There are total 85 subjects, 49 subjects with captopril and 36 subjects withoutcaptopril. There was no difference in hsCRP results before surgery and day 3 post CABG. Inday 6 post CABG, hsCRP examination in captopril group is lower than the group withoutcaptopril 31,4 mg L 10,5 ndash 154 vs 46,7 mg L 10,3 ndash 318 with P 0,018.
Conclusion Subjects with captopril has lower hsCRP at day 6 post CABG than the subjectswithout captopril.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55620
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>