Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130656 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karina Anindhita Nugroho
"Seiring dengan majunya teknologi serta globalisasi menyebabkan lahirnya peluang bagi para pelaku di Industri musik untuk menyesuaikan karya ciptanya pada era digital. Salah satunya adalah kegiatan pengaransemenan atau daur ulang suatu karya cipta lagu menjadi karya yang baru. Dalam melakukan kegiatan aransemen diperlukan adanya teknik serta keahlian yang dilakukan oleh Arranger maupun Komposer. Sebagai bentuk dari pelestarian suatu karya musik, Undang-Undang Hak Cipta menyertakan adanya Hak Eksklusif yang dimiliki oleh Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta dimana salah satunya adalah kegiatan untuk mengaransemen sebuah karya cipta lagu. Kegiatan aransemen kemudian menjadi hak bagi para pihak yang memiliki wewenang untuk melakukan daur ulang tersebut. Namun, pada Industri Musik saat ini banyak sekali pihak-pihak yang melakukan aransemen hingga mendapatkan hasil ekonomi dari karya tersebut tanpa adanya prosedur yang dilakukan sesuai dengan keberlakuan Undang-Undang Hak Cipta. Terhadap adanya karya aransemen yang lahir atas karya turunan dari sebuah ciptaan dimana karya tersebut merupakan hasil fiksasi oleh Arranger. Problematika yang mendasari penelitian ini berkaitan dengan bentuk ciptaan dari Aransemen Musik serta kedudukan Arranger sebagai Pihak utama tetapi bukan sebagai Pencipta atas adanya ketidaksesuain dalam Undang-Undang Hak Cipta. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan waawancara serta perbandingan dengan Undang-Undang di Amerika Serikat. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa hasil dari karya cipta aransemen merupakan ciptaan tersendiri karena lahir dari Hak Eksklusif Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta. Namun, yang menjadi problematika adalah kedudukan Arrangersebagai pihak utama yang tidak termasuk dalam Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta. Kemudian adanya keterkaitan pada Hak Ekonomi serta Hak Moral dari Pencipta untuk kemudian dapat mengklasifikasikan apakah benar adanya pelanggaran Hak Cipta atau tidak.

Along with the advancement of technology and globalization, it causes the birth of opportunities for actors in the music industry to adapt their creative works to the digital era. One of them is the activity of arranging or recycling a song into a new work. Arranging activities require techniques and expertise carried out by arrangers and composers. As a form of preservation of a musical work, the Copyright Act includes the existence of Exclusive Rights owned by the Creator and Copyright Holder where one of them is the activity to arrange a song copyrighted work. The arrangement activity then becomes the right for the parties who have the authority to recycle it. However, in the Music Industry today there are many parties who make arrangements to get economic results from the work without any procedures carried out in accordance with the enforceability of the Copyright Act. Against the existence of arrangement works that are born on derivative works of a work where the work is the result of fixation by the Arranger. The problems underlying this research relate to the form of creation of the Music Arrangement as well as the position of the Arranger as the main party but not as the Creator for the existence of inconsistencies in the Copyright Law. This research was conducted using juridical-normative research method with data obtained by literature study and interviews as well as comparison with the Law in the United States. The results of the research show that the results of the copyrighted work of arrangement is a separate creation because it was born from the exclusive rights of the creator and copyright holder. However, what is problematic is the position of Arranger as the main party that is not included in the Creator in the Copyright Act. Then there is a connection to the Economic Rights and Moral Rights of the Creator to then be able to classify whether there is a true copyright infringement or not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Kadek Andini Swari
"Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur tentang definisi dari hak cipta yang diperoleh berdasarkan prinsip deklaratif. Akan tetapi, dalam Undang-Undang ini tidak tercantum definisi yang pasti tentang prinsip deklaratif tersebut yang membuat tidak adanya kepastian hukum karena akan sulit untuk menentukan siapa yang berhak memperoleh hak cipta. Tidak adanya penjelasan mengenai prinsip deklaratif secara pasti menimbulkan miskonsepsi terhadap seorang pencipta memerlukan suatu tindakan terntentu untuk melindungi ciptaannya yaitu pencatatan ciptaan. Sehingga, tidak terjamin kepastian hukum antara prinsip deklaratif dengan pencatatan ciptaan. Pesatnya perkembangan industri musik saat ini juga akan berdampak pada kegusaran pencipta suatu karya dalam hal ini pencipta musik dan/atau lagu. Dengan menggunakan metodologi hukum normatif, maka akan dijabarkan mengenai makna deklaratif dalam undang-undang hak cipta pada karya musik dan/atau lagu serta menganalisis kepastian hukum antara prinsip deklaratif dan pencatatan. Hasil dari penelitian ini yakni makna prinsip deklaratif dalam undang-undang hak cipta adalah pernah dinyatakannya suatu ciptaan ke hadapan publik. Jaminan kepastian hukum terhadap prinsip deklaratif yakni dengan adanya sanksi pidana dan perdata terhadap pelanggar hak cipta. Sebaiknya, untuk membuat prinsip deklaratif berjalan dengan efektif maka diperlukan kesadaran bagi pencipta untuk melakukan dokumentasi atau semacamnya dalam jumlah yang banyak pada saat menyatakan suatu ciptaan pertama kali sebagai bukti yang kuat jika terjadi sengketa di kemudian hari.

Article 1 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright regulates the definition of copyright obtained based on declarative principles. However, this Law does not include a definite definition of the declarative principle which results in a lack of legal certainty because it will be difficult to determine who has the right to obtain copyright. The absence of an explanation regarding declarative principles definitely creates a misconception that an creator requires certain actions to protect his creation, namely the registration of the creation. Thus, legal certainty is not guaranteed between declarative principles and the recording of works. The current rapid development of the music industry will also have an impact on the anger of the creators of a work, in this case the creators of music and/or songs. By using the normative law methodology, it will be explained regarding the declarative meaning in copyright laws on musical works and/or songs and will analyze legal certainty between declarative principles and recording. The result of this research is that the meaning of the declarative principle in copyright law is that a work has been declared before the public. Guarantee of legal certainty against the declarative principle, namely by the existence of criminal and civil sanctions against copyright violators. Preferably, to make the declarative principle work effectively, awareness is needed for creators to carry out documentation or the like in large quantities when declaring a creation for the first time as strong evidence in the event of a dispute at a later date."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Pasca Julius
"Tesis ini membahas tentang keterkaitan antara ketentuan pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta dengan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian. Keterkaitan yang dimaksud adalah dalam hal pembatasan jangka waktu Perjanjian Pengalihan Hak Cipta yang berakibat pada posisi para pihak dalam perjanjian. Tesis ini membahas lebih lanjut mengenai prinsip keseimbangan dalam perjanjian dan bagaimana implementasinya dalam perjanjian pengalihan Hak Cipta. Penelitian ini adalah penelitian normatif-empiris dan bersifat deskriptif, karena kajiannya berfokus kepada ketentuan peraturan perundang-undangan.

This Thesis elaborates the correlation between the provisions of article 18 of Indonesia Copyright Law Number 28 of 2014 and the Principle of Freedom of Contract. The correlation refers to the term limitation of the Copyright Transfer Agreement which affect the position of the parties in the agreement. This thesis discusses further the principle of equilibrium in the agreement and how it is implemented in the Copyright transfer agreement. This research is a normative-empirical and descriptive, because the study focuses on the provisions of the legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54772
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Berthon Jonathan
"Tulisan ini mengangkat masalah hukum tentang perlindungan hukum lagu daerah di Indonesia. Indonesia memiliki beragam lagu daerah dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Lagu daerah tersebut mengandung cerita dan tradisi yang menunjukan identitas daerah asal lagu tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, memanfaatkan bahan hukum primer dan sekunder. Analisis bahan hukum dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif, dengan penalaran deduktif. Lagu daerah dimiliki oleh Negara berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Hak Cipta. Hampir sebagian besar Lagu Daerah tidak diketahui penciptanya sehingga dapat dengan mudah diubah liriknya dan dibawakan ulang dengan cara yang tidak baik oleh pengguna yang tidak bertanggungjawab sehingga merusak originalitasnya. Akibatnya masyarakat tidak mengetahui secara jelas mengenai keaslian lirik lagu daerah karena tidak lagi orisinil. Lagu daerah sebagai ekspresi budaya tradisional yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta memberikan manfaat bagi masyarakat sebagai amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Namun hingga saat ini belum ada aturan yang jelas dalam Pengaturan mengenai Lagu Daerah ini. Peran negara sangat dibutuhkan dalam pengaturan Lagu Daerah.

This paper raises the legal issue regarding legal protection of the folk song in Indonesia. Indonesia has various types of folk songs from each region in Indonesia. The Folk songs are taken from songs taken. This research is normative legal research, using a statute approach, utilizing primar and secondary legal materials. Analysis of legal material is carried out using qualitative analysis, with deductive reasoning. The Folk songs provided by the State based on Article 38 of the Copyright Act. Most of the Folk Songs are unknown to the author so that they can be easily changed and re-sung in a bad way by irresponsible users, which undermines their originality. Furthermore, the local song lyrics dont know clearly about authenticity because they are no longer genuine. Folks songs to express traditional culture need to be preserved and provide benefits to the community mandated by the Cultural Progress Act. But until now there are clear rules in the Regulations concerning this Folk Song. The role of the state is very much needed in structuring Folks Songs.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52737
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merdithia Mahadirja
"Kajian ini membahas tentang pengaturan dan penerapan hak moral, terutama di film. Hak moral adalah doktrin yang diakui dalam undang-undang tentang hak cipta di mana seorang penulis memiliki hak yang di luar hak ekonominya. Tapi karena tidak adanya standar minimal yang harus diterapkan oleh negara-negara anggota Dunia Organisasi Perdagangan, dalam penerapannya doktrin ini menimbulkan masalah terutama untuk karya turunan seperti film yang tidak bisa disamakan dengan sastra atau karya seni pada umumnya. Di Penelitian ini membahas tentang bagaimana mengidentifikasi hak moral dalam produksi film yang baik untuk film itu sendiri dan untuk karya lain yang merupakan bagian dari film. Selanjutnya dibahas pula tentang hak-hak moral yang dimiliki oleh produsen, sutradara, aktor/aktris, penulis naskah, sutradara musik dan kru film. Diskusi Hal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konseptual dan a komparatif karena perbedaan konsep hak moral yang ada di negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia. Dalam analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk mengidentifikasi hak moral dari film itu sendiri dan bagian-bagiannya harus diketahui terlebih dahulu, apakah sudah diakui atau belum sebagai penciptaan. Selain itu, juga dapat dilihat bahwa pihak-pihak dalam produksi film dapat hak moral mereka dilindungi jika pekerjaan mereka adalah bagian dari film telah diterbitkan sebelumnya.

This study discusses the regulation and application of moral rights, especially in films. Moral rights are doctrines recognized in copyright laws in which an author has rights that are beyond his economic rights. However, because there is no minimum standard that must be applied by member countries of the World Trade Organization, in its application this doctrine creates problems, especially for derivative works such as films that cannot be equated with literature or works of art in general. This study discusses how to identify moral rights in good film production for the film itself and for other works that are part of the film. Furthermore, it is also discussed about the moral rights of producers, directors, actors/actresses, scriptwriters, music directors and film crews. Discussion This is done using a conceptual and a comparative approach because of the different concepts of moral rights that exist in the member countries of the World Trade Organization. In the analysis of this research, it can be seen that in order to identify the moral rights of the film itself and its parts, it must be known first, whether it has been recognized or not. creation. In addition, it can also be seen that the parties in film production can have their moral rights protected if their work is part of the film previously published.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhief F. Ramadhani
"ABSTRAK
Hak kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan beragama tidak hanya mencakup kebebasan setiap manusia untuk memilih keyakinan yang menurutnya benar, namun juga termasuk hak bagi tiap-tiap manusia untuk mengekspresikan keyakinannya dan juga hak untuk menjalankan segala ajaran agama atau kepercayaan yang diyakininya. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia, khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat, pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara, pendirian rumah ibadat, dan pendidikan agama di sekolah.

ABSTRACT
The right to freedom of religion is a human right that should not be restricted in any circumstances. Right to freedom of religion not only includes the freedom of every human being to choose beliefs which he said is true, but it also includes a right for every human being to express his convictions and also right to perform any religious doctrine or belief that he believes. Indonesia through Law No. 1/PNPS of 1965 only recognizes six religions: Islam, Christianity, Protestantism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism. State recognition of a particular religion is permissible and does not violate human rights. Unfortunately the state recognition of the six religious impact some human rights violations, especially the adherents of religions, beliefs and religions other than official religions recognized by the state. Impacts arising from the state recognition of certain religions is the dissolution of streams that are considered heretical, the inclusion of religion on identity cards which later became the entrance to the restrictions of the rights of followers of religions, beliefs and religions that are not recognized by the state, the establishment of the synagogue, and religious education in schools."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S439
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafiqi Ramadhan
"ABSTRAK
Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan
berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi
mengharuskan adanya pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak
Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Di dalam UU No. 28
Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 19 Tahun 2002 terdapat pengaturan baru
mengenai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK merupakan badan hukum
nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta untuk mengelola Hak Ekonomi dalam
bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Adapun di dalam tulisan ini
membahas mengenai bagaimana peran dari LMK dalam pengelolaan hak ekonomi
dari Pencipta di bidang Lagu/Musik juga terkait usaha Karaoke sebagai Pengguna
Lagu/Musik untuk tujuan komersial yang harus membayar royalti kepada Pencipta.
Penelitian menggunakan metode Yuridis-Normatif dengan studi kepustakaan yang
dilengkapi dengan wawancara.
ABSTRACT
The development of creative economy into one of Indonesia and various countries
and the rapid growth of information and communication technology requires an
updates for the Copyright Act, considering Copyright become the most important
base of national creative economy. In Law No. 28, 2014 as the revision of Law
No. 19 In 2002 there is a new arrangement of the Collective Management
Organization (CMO). CMO is a nonprofit legal entity authorized by the Author to
manage the economic right in the form of to collect and distribute royalties. As in
this paper describes how the role of CMO in the management of the economic
rights of the creator in the field of Songs/Music also related in Karaoke businesses
as the user of Songs/Music for commercial purposes that have to pay royalties to
the Author. This research using the method of juridical-normative literature study
in addition with interview."
2015
S58245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artna Btari
"Skripsi ini membahas mengenai posisi hak atas rekaman suara sebagai bagian dari hak terkait dalam hak kekayaan intelektual di pengecualian yang diberikan oleh pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Penelitian ini adalah penelitian preskriptif eksploratif atas masalah hukum normatif. Hasil penelitian menyarankan adanya revisi atas bunyi pasal 50 huruf b sehingga mencakup pula mengenai hak terkait dan membuat penafsiran yang jelas atas pasal tersebut.

This mini thesis explains regarding the position of sound recording right as a part of neighboring right in intellectual property right as an exception given from article 50(b) of Law Number 5 Year 1999 regarding Prohibition of Anti Monopoly and Unfair Business Practices. The research approach in writing this mini thesis adopt a prescriptive explorative research upon article 50 b which also includes the explanation of neighboring right and the clear definition towards the article itself."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45031
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurachman Ramadhan
"ABSTRAK
Saat ini dengan majunya ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang medis memungkinkan pasien berada dalam keadaan terminal dan mengalami sakit yang sangat parah atau dalam keadaan tidak sadar yang berkepanjangan, sehingga mati dengan bantuan dokter adalah salah satu jalan yang terbaik euthanasia untuk mengakhirinya. Jika euthanasia ditinjau dari Hak Hidup sebagai Hak Asasi Manusia seharusnya terdapat konsekwensi logis dari adanya sebuah hak yaitu kebolehan untuk tidak memakai hak itu sendiri yang berarti tidak memakai hak untuk hidup adalah memilih untuk mati saja, dan dalam sebuah tindakan euthanasia terdapat pihak yang turut terlibat seperti dokter dan rumah sakit. Perdebatan mengenai pro dan kontra tindakan euthanasia apakah tindakan tersebut bisa dibenarkan berdasarkan hak hidup sebagai hak asasi manusia menjadi sesuatu yang masih menggantung saat ini. Meskipun tindakan euthanasia illegal dibanyak negara tetapi terdapat negara seperti Belanda, Negara Bagian Amerika Serikat Oregon, dan Australia Negara Bagian Nothern Territory yang melegalkan tindakan euthanasia.

ABSTRACT
Nowadays with advanced science especially in the medical field may leave the patient to be in terminal state and experience very severe illness or in a long time unconscious state, because of that die with the help of a doctor is one of the best ways to end it euthanasia . If euthanasia is viewed from the right to life as a human right perspective, there should be a logical consequence of the existence of a right, that is, the permissibility of not using the right itself which means not to use the right to life it self and choose to die , and in an act of euthanasia there are parties involved such as doctors and hospitals. The debate over the pros and cons of euthanasia actions whether the acts can be justified based on the right to life as a human right becomes something that still obscure today. Despite the act of illegal euthanasia in many countries but there are countries such as the Netherlands, Oregon United States and Nothern Territory Australia that legalize the act of euthanasia. "
2017
S70040
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2000
S23955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>