Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181267 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"When we talk about consumer protection (especially in Indonesia), it must be recognized that there's imbalance relationship between producer and consumer. In this regard, by and large, consumer has not good position when he will sue for damages caused by producer's negligence. Meanwhile, Indonesia has no good legal system concerning whit that issue. In the interest of consumer protection. It mus be considered to adopt strict liability principle especially relating to product liability. By applying strict liability principle , it can be expected that consumer has no obstacles to prove producer's negligence. Based upon this principle producers have to liable for damages caused by their defective product. Relating to applying that principle, the existing of Indonesian Consumer Protection act is absolutely required."
346 JEPX 4 (1998)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anggia Dyarini M.
"Tesis ini membahas mengenai analisa yuridis sistem pertanggung jawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif dengan pendekatan perundang-undangan yang didukung dengan pendekatan konsep dan perbandingan, yaitu dengan menelaah dan mengkaji ketentuan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta membandingkannya dengan teori hukum dan sistem hukum di negara lain untuk mengetahui sistem pertanggung jawaban hukum yang melindungi kepentingan konsumen perangkat lunak di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di dunia telah memungkinkan dilakukannya transaksi internasional yang melampaui batas Negara dan waktu untuk pengalihan lisensi perangkat lunak sebagai komoditi. Namun permasalahan terhadap perangkat lunak timbul saat perangkat lunak tersebut tidak dapat mengakibatkan komputer bekerja untuk melakukan fungsinya berdasarkan kebutuhan konsumen, atau bahkan mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Selain itu, minimnya kesadaran dan pengetahuan konsumen serta lemahnya peraturan perundangundangan di Indonesia kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dengan mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab hukum pelaku usaha. Kepastian hukum juga merupakan permasalahan yang kerap muncul dalam sistem pertanggungjawaban hukum,perangkat lunak. Berbagai peraturan terkait sebagai substansi hukum perlindungan konsumen di Indonesia belum dapat dikatakan sempurna dalam memfasilitasi kaidah pertanggungjawaban hukum, khususnya terhadap produk perangkat lunak. Timbulnya beragam penafsiran terhadap peraturan perundangundangan di Indonesia menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pertanggungjawaban produk perangkat lunak. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformasi dalam sistem hukum perlindungan konsumen perangkat lunak di Indonesia baik dari segi substansial, struktural dan kultural.

This thesis discusses the juridical analysis of software producers legal liability toward their consumers as the way to protect the consumers in Indonesia. This descriptive research uses doctrinal research method with constitutional approach supported by conceptual and comparative approach, that is, by analysing and study the legal law such as statutes of electronic information and transaction and statutes of consumer protection, and also comparing it with the legal theory and legal system in another country to know about the legal liability system which protects the interest of software consumers in Indonesia. The rapid development of science and technology in the world has enabled the society to do the borderless and timeless international transaction to shift the lisence of software as the commodity. However, the problems emerge when the software failed to make the computer work properly and functionally as the consumers? need or even causes damages on consumers. In addition, the low awareness and knowledge of the consumers and the weakness of regulation in Indonesia sometimes enable the producers to make use of this condition to put aside their law obligation and responsibility as the producer. The rule of law also becomes problem which often emerge in the system of software legal liability. Various related rules or regulations as the law subtance of consumer protection is said to be imperfect yet to facilitate the legal liability law, especially for software product. The various emergence of interpretation of the rules or regulation in Indonesia causes the failure on the rule of software legal liability law. Therefore, It is necessary to reform the legal system of consumer protection for software in Indonesia in terms of legal substance, structure, and culture."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28068
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gabriel Marvin Emilio
"Praktik kegiatan bisnis anjuran (endorsement) di Indonesia telah berkembang secara pesat seiring maraknya penggunaan media sosial. Namun ketentuan hukum positif di Indonesia belum secara jelas mengatur dan membatasi praktik endorsement. Regulasi di Indonesia belum mengatur hubungan hukum yang mendasari kegiatan endorsement dan beban pertanggungjawaban di antara para pelaku usaha periklanan. Implikasi yang terjadi adalah konsumen berada di posisi yang lemah karena minimnya informasi yang dapat ia peroleh atas suatu konten endorsement yang ditayangkan. Konsumen berpotensi menjadi objek eksploitasi dari suatu iklan endorsement akibat kepercayaan yang mereka berikan kepada penganjur (endorser). Hal ini tentu berdampak pada bahaya laten terhadap pelanggaran hak-hak konsumen yang dijamin menurut hukum perlindungan konsumen. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan bahan hukum utamanya adalah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Etika Pariwara Indonesia Amendemen 2020, hukum perjanjian pemberian kuasa, teori pertanggungjawaban produk, teori pertanggungjawaban profesional, serta teori lainnya untuk menjawab permasalahan yang telah diungkapkan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan endorsement merupakan praktik periklanan yang didasari oleh hubungan hukum perjanjian pemberian kuasa sehingga pengiklan dan perusahaan periklanan bertanggungjawab terhadap konsumen. Pengiklan bertanggung jawab berdasarkan tanggung jawab produk, sedangkan perusahaan periklanan bertanggung jawab berdasarkan tanggung jawab profesional. Oleh karena itu, baik pengiklan maupun perusahaan periklanan harus berhati-hati dan mematuhi hukum perlindungan konsumen dalam melaksanakan kegiatan endorsement. Adapun teori hubungan perjanjian pemberian kuasa tersebut harus diuji di pengadilan oleh konsumen dan pemerintah diharapkan segera memperbaharui UUPK untuk memperjelas ketentuan kegiatan endorsement di Indonesia.

The practice of endorsement business in Indonesia has grown rapidly along with the widespread use of social media. However, the provisions of positive law in Indonesia have not clearly regulated and limited the practice of endorsement. Regulations in Indonesia have not regulated the legal relationship that underlies endorsement activities and the burden of responsibility among advertising business actors. The implication that occurs is that consumers are in a weak position because of the lack of information that they can get on an endorsement content that is broadcast. Consumers have the potential to become the object of exploitation of an endorsement advertisement due to the trust they give to the endorser. This certainly has an impact on the latent danger of violating consumer rights which are guaranteed according to consumer protection law. This study uses a normative juridical method with the main legal material being the provisions of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK), Indonesian Advertising Ethics Amendment of 2020, law of power of attorney agreement, product liability theory, professional responsibility theory, and other theories to answer the problems that have been raised. The conclusion of this study is that endorsement activities are advertising practices based on the legal relationship of power of attorney agreement so that advertisers and advertising companies are responsible for consumers. Advertisers are responsible under product liability, while advertising companies are held accountable under professional liability. Therefore, both advertisers and advertising companies must be careful and comply with consumer protection laws in carrying out endorsement activities. The theory of the relationship between the power of attorney agreement must be tested in court by consumers and the government is expected to immediately update the UUPK to clarify the provisions for endorsement activities in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqan Sultan Deyis
"Garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan oleh produsen atau penjual kepada konsumen sebagai pemenuhan terhadap hak-hak serta jaminan terhadap konsumen atas barang yang dijual bebas dari kecacatan dan kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya. Pemberian garansi ini merupakan suatu bentuk pelindungan hukum terhadap konsumen yang juga bagian dari kewajiban pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumennya, di samping juga pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba suatu barang dan/atau jasa tertentu terhadap konsumennya. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 7 huruf e, namun dalam praktiknya pemberian garansi oleh pelaku usaha terhadap konsumen ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, sehingga merugikan bagi pihak konsumen. Dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif, tipologi penelitian berupa deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif dan menganalisisnya berdasarkan ketentuan yang berlaku serta memberikan rekomendasi untuk dibuatnya pengaturan khusus terkait garansi barang non elektronik dan juga menjelaskan bahwa seluruh kewajiban pelaku usaha dalam UUPK pada dasarnya berlaku termasuk juga memberikan jaminan atau garansi pada barang, maka hasil dari penelitian ini adalah dibutuhkan pengaturan lebih lanjut mengenai pemberian garansi terhadap barang khususnya mengenai daftar barang non elektronik yang wajib diberikan garansi serta diperlukannya sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan garansi. Selain itu, dalam putusan a quo seharusnya pelaku usaha (Toko GMT Sparepart Handphone) tetap berkewajiban atau bertanggung jawab dalam memberikan garansi barang terhadap konsumen, dikarenakan pada dasarnya ketentuan kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK bersifat kumulatif yang berarti seluruh kewajiban wajib dilaksanakan, dimana dengan dijalankannya satu kewajiban tidak menghilangkan kewajiban lainnya.

Guarantee is a form of service provided by manufacturers or sellers to consumers as a fulfillment of rights and guarantees to consumers for goods sold free of defects and damage that were not previously known. The provision of this guarantee is a form of legal protection for consumers which is also part of the obligations of business actors and the responsibilities of business actors towards their consumers, in addition, business actors are obliged to provide opportunities for consumers to test and/or try certain goods and/or services on their consumers. . This is in accordance with the mandate of the Consumer Protection Act, especially Article 7 letter e, but in practice the guarantee given by business actors to consumers is not fully implemented, causing harm to the consumer. By using a juridical-normative research form, the research typology is in the form of a descriptive-analytical research with a qualitative approach and analyzes it based on applicable provisions and provides recommendations for making special arrangements related to guarantees for non-electronic goods and also explains that all obligations of business actors in the UUPK basically apply including provide guarantees or guarantees for goods, the results of this study are that further arrangements are needed regarding the provision of guarantees for goods, especially regarding the list of non-electronic goods that must be guaranteed and the need for strict sanctions against business actors who are not responsible for providing guarantees. Apart from that, in the a quo decision the business actor (GMT Sparepart Handphone Store) should still be obliged or responsible for guaranteeing goods to consumers, because basically the provisions on the obligations of business actors in Article 7 of the UUPK are cumulative which means that all obligations must be carried out, where by performance of one obligation does not eliminate other obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Akbar Hariadi
"ABSTRAK
Berdasarkan Pasal 1 ayat 10 UU Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Namun sayangnya klausula baku di dalam perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, terutama klausula baku yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha klausula eksonerasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen cenderung dianggap sebagai buah dari itikad tidak baik pelaku usaha dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan memanfaatkan posisi tawar konsumen yang rendah. Pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah ldquo;bagaimana perbandingan konsep pengalihan tanggung jawab pelaku usaha antara pendapat ahli, UU Perlindungan konsumen dan putusan pengadilan dalam sengketa perlindungan konsumen rdquo;. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data studi kepustakaan dan dokumen terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pembatasan dari pemaknaan klausula eksonerasi baik dari pendapat ahli, UU Perlindungan Konsumen sendiri ataupun penafsiran makna Majelis Hakim Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

ABSTRACT
Based on Article 1 Paragraph 10 of the Consumer Protection Law in Indonesia, Standard Clause are rules or provisions and conditions which have been prepared and determined first unilaterally by a supplier in a document and or agreement binding and must be fulfilled by the consumer. Unfortunately, the standard clause in the standarized agreement issued by the supplier, usually transfering the responsibility of supplier exoneration clause as stated in Article 18 Paragraph 1 of the Consumer Protection Law. The standard clause tends to be regarded as the result of bad faith of business actor rsquo s on seeking maximum profit, including from the weakness of consumer position. Article 18 Paragraph 1 of the Consumer Protection Law formulate the subject matter on this thesis is how to compare the concept of transfer of business actors 39 responsibility between expert opinion, Consumer Protection Law in Indonesia and court decision in consumer protection dispute . To answer the question the authors use normative juridical research methods with library data collection techniques, and related documents. The result of this thesis shows that there is no restriction on the meaning of exoneration clause either from expert opinion, Consumer Protection Law in Indonesia itself or interpretation of Judges of Badan Penyelesaian Sengketa Kosnsumen. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktaviana Azalia Putri Widyanti
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan produk berupa mobil bekas. Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang berminat membeli mobil bekas dan meningkatnya transaksi jual beli mobil bekas berarti hukum perlindungan konsumen harus lebih ditegakkan. Pelaku usaha harus sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya yaitu memberikan jaminan dan bertanggung jawab atas kenikmatan dan kecacatan yang terdapat pada produk. Kewajiban tersebut termasuk kepada fasilitas layanan purna jual yang disediakan pelaku usaha dari mulai servis berkala sampai perbaikan terhadap komponen mobil. Jangan sampai pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga melakukan perbuatan yang tidak baik yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Sehingga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk bekas dan bagaimana batasan tanggung jawab tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang melekat pada produk bekas merupakan tanggung jawab produk yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian mengenai batasan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 huruf e Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab tuntutan ganti rugi konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan terhadap barang tersebut. Selain itu, pelaku usaha juga dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah lewat masa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewat masa jaminan.

This thesis discusses the responsibilities of business actors for product sales in the form of used cars. The increasing number of consumers who are interested in buying used cars and the increase in used car buying and selling transactions means that consumer protection laws must be more enforced. Business actors must seriously carry out their obligations, namely providing guarantees and taking responsibility for the enjoyment and defects found in the product. This obligation includes after-sales service facilities provided by business actors starting from periodic servicing to repairs to car components. Do not let business actors violate consumer rights and also commit bad actions that result in consumers experiencing losses. So that the problems discussed in this study are regarding the responsibility of business actors for used products and how to limit this responsibility. This research uses a normative-juridical method through literature studies and interviews with source person. This research explains that the responsibility of business actors attached to used products is product responsibility which is regulated in Pasal 19 (1) UUPK. Then regarding the limitation of the responsibilities of business actors it has been regulated in Pasal 24 (2) and Pasal 27 e UUPK. Business actors are released from responsibility for claims for consumer compensation if other business actors who buy goods and/or services resell them to consumers by making changes to the goods. In addition, business actors are also released from responsibility if the prosecution period of four years has passed since the goods were purchased or the warranty period has passed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Bachtiar
"Di dalam transaksi bisnis, produsen biasanya adalah pihak yang lebih kuat dimana konsumen adalah pihak yang lebih lemah. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa produsen memiliki pengetahuan dan kekuasaan lebih banyak atas produk yang diproduksinya dibandingkan konsumen. Atas dasar fakta tersebut, konsumen memerlukan perlindungan yang memadai. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa produsen harus bertanggungjawab atas segala kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Tanggung jawab itu dinamakan tanggung jawab produk (product liability).
Thesis ini menyoroti perihal klausula baku yang biasanya digunakan oleh produsen yang merupakan badan hukum, khususnya perseroan terbatas dalam menjual produk-produknya. Secara spesifik, analisis terhadap permasalahan ini berhubungan dengan tanggung jawab produk dari perusahaan produsen tersebut, dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham dan direksi, dan penggunaan klausula baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
Bahanbahan untuk penelitian ini dikumpulkan melalui sumber kepustakaan, menggunakan metodologi penelitian hukum dengan tujuan menemukan hukum objektif pada awalnya, untuk kemudian diikuti dengan menemukan hukum subjektif dalam prosesnya. Hukum subjektif ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum normatif. Sebagai tambahan, penelitian ini juga menggunakan analisis kualitatif karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk menguji kualitas dari substansi hukum normatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab produk dari produsen?perseroan terbatas memiliki sifat terbatas sehingga konsumen harus cerdik dalam menjamin ganti kerugian yang bisa diperolehnya dari semua kerugian yang dideritanya sebagai akibat mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Juga dapat disimpulkan bahwa peraturan-peraturan tentang klausula baku di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 masih perlu diperiksa dan ditinjau ulang, khususnya, yang berkaitan dengan prinsip misbruik van omstandigheden, dan korelasi antara pencantuman klausula baku tersebut dengan syaratsyarat sahnya perjanjian. Juga diperlukan pengamatan lebih jelas akan beberapa kondisi dalam pertanggungjawaban direksi perseroan terbatas, dalam artian kajian ulang akan seberapa kuat perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap hartanya mempengaruhi tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga dan tanggung jawabnya sebagai direksi terhadap status perlindungan harta pemegang saham yang terbatas.

In a business transaction, the producer is normally the stronger party while the consumer is the weaker one. This is due to the fact that the producer has more knowledge and power over his products compared to the consumer. For this reason, the consumer needs protection. Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection provides that a producer shall be liable to any damages suffered by a consumer as the result of consuming the product he has bought from the producer. That liability is called product liability. And the focus of this thesis is on the product liability of standard clauses by legal entity producer, particularly limited liability company in regards to its board of directors as a representative party.
This thesis focuses on the standard clauses which are normally used by a limited liability company producer in selling its products. Specifically, the analysis relates to the product liability of such company producer, the extent of such liability vis-à-vis the limited liability of its shareholders and board of directors, and the use of standard clauses as provided in Law Number 8 Year 1999.
Materials for this study are collected by means of literature technique, using normative law research methodology for purposes of finding the objective law first, and then, from the relevant legal issues found in that process, finding the subjective law. This subjective law is subsequently analyzed by using legal science approaches, namely statute approach and principle approach. In addition, a qualitative analysis is also made because the target of this study is to test the quality of the legal norm substance.
The study reveals that the product liability is absorbed by the liability of the company which is limited in nature to the effect that the consumer needs to be smart enough to ensure that he would get the indemnity for any damages he has suffered from the product. It can also be concluded that the provisions on standard clauses in Law Number 8 Year 1999 need to be reviewed and revised, particularly, regarding misbruik van omstandigheden and the effect of the use of such standard clauses on the conditions for validity of a contract. As to the liability of the board of directors, it also needs to be reviewed in order to know how effective the legal protection granted to it by Law Number 40 Year 2007 concerning Limited Liability Company affects its liability to third parties and the limited liability of the shareholders of the company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29239
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adil Rahmat Yulian
"Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha atas barang yang memiliki cacat tersembunyi berkaitan dengan kasus pada putusan Mahkamah Agung No.848 K/Pdt/2016 dan putusan Mahkamah Agung No. 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013. Bentuk penelitian pada skripsi ini adalah penelitian hukum normative dengan Metode penelitian kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur secara khusus mengenai cacat tersembunyi serta membedakan antara cacat tersembunyi yang diketahui penjual dan cacat yang tidak diketahui penjual, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak membedakan hal itu melainkan atas semua produk cacat pelaku usaha wajib bertanggungjawab. Menurut KUH Perdata Pengecualian tanggung jawab untuk cacat tersembunyi dimungkinkan sepanjang telah diperjanjikan sebelumnya namun menurut UUPK hal ini tidak diperbolehkan. Dalam kasus I terdapat beberapa poin dalam putusan yang tidak sesuai menurut KUH-Perdata dan/atau UUPK, sedangkan pada kasus II Putusan telah sesuai, dari hasil penelitian ini penulis menyarankan kepada setiap orang yang mengikatkan diri dalam perjanjian untuk menghargai apa yang telah diperjanjikan; jika konsumen mendapatkan produk yang dimilikinya terdapat cacat tersembunyi sehingga merasa dirugikan maka tetaplah mempertahankan hak-haknya salah satunya dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

The focus of this study is the liability of business actors for products containing hidden defects related to the case of the Supreme Court's decision No. 848 K/Pdt/2016 and the Supreme Court's decision No. 265 K/Pdt.Sus-BPSK/2013. The form of study in this thesis is normative legal with qualitative methods. Based on the results of the study, it can be concluded that Indonesia Civil Code specifically regulates hidden defects and distinguishes between hidden defects known to the seller and defects unknown to the seller, while the Consumer Protection Law does not distinguish this, but for all defective products of business actors must be responsible. According to the Civil Code, the exception of liability for hidden defects is possible as long as it has been previously agreed, but according to the consumer protection act, this is not allowed. In the first case, there are several points in the decision that is not in accordance with the Civil Code and/or the consumer protection law, while in the second case the decision is appropriate, from the results of this study the author suggests to everyone who binds themselves in the agreement. to honor what has been promised; if the consumer gets a product that has a hidden defect so that he feels aggrieved, then he must continue to defend his rights, one of which is by filing a lawsuit to the Court or through the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Alkhawarijmi
"Paylater merupakan layanan pembayaran yang disedikan oleh pelaku usaha jasa keuangan untuk memenuhi keperluan konsumsi konsumen atas barang yang dibelinya dari e-commerce. Layanan Paylater memiliki persyaratan yang lebih mudah ketimbang kartu kredit perbankan. Persyaratan yang mudah berisiko pada kerugian terhadap masyarakat selaku pengguna layanan Paylater, salah satunya berupa pembobolan layanan Paylater. Penanganan kasus pembobolan pada layanan Paylater oleh pelaku usaha jasa keuangan tidak selalu berjalan dengan maksimal. Tujuan dari penelitian ini menganalisis bentuk respon yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha jasa keuangan terhadap laporan terhadap kasus pembobolan layanan Paylater milik konsumen. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan didukung oleh data sekunder berupa hasil penelusuran studi kepustakaan atau literatur dan pendekatan metode kualitatif berupa observasi suatu fenomena dengan hasil penelitian yang deskriptif analitis dan preskriptif. Hasil penelitian ini mewajibkan pelaku usaha jasa keuangan mengupayakan dua hak konsumen saat menangani kasus pembobolan yaitu hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa dan hak konsumen untuk didengar pendapatnya mengenai barang dan/atau jasa yang digunakan. Pelaku usaha jasa keuangan bertanggung jawab untuk mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan terkait layanan penanganan pengaduan, serta memperkuat sistem elektronik. Tanggung jawab pelaku usaha jasa keuangan merujuk pada peraturan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, POJK Nomor 18/ POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan, POJK Nomor 35 /POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan, dan POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan.

Paylater is a payment service provided by financial service businesses to meet consumers' consumption needs for goods they buy from e-commerce. Paylater services have easier requirements than bank credit cards. Easy requirements risk harm to the community as users of Paylater services, one of which is in the form of Paylater service breaches. The handling of cases of break-ins in Paylater services by financial service businesses does not always run optimally. The aim of this study is to analyze the response that should be made by financial service businesses to reports on consumer Paylater service breaches. This research was carried out using a juridical-normative research form supported by secondary data in the form of results of library research or literature searches and a qualitative method approach in the form of observation of a phenomenon with descriptive analytical and prescriptive research results. The results of this study oblige financial service businesses to seek two consumer rights when handling fraud cases, namely the right to comfort, security, and safety in consuming goods and/or services and the consumer's right to have their opinion heard regarding the goods and/or services used. Financial services businesses are responsible for evaluating and improving policies related to complaint handling services, as well as strengthening electronic systems. The responsibilities of financial service businesses refer to the regulations of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection, POJK Number 18/POJK.07/2018 concerning Consumer Complaint Services in the Financial Services Sector, POJK Number 35/POJK.05/2018 concerning Conducting Business of Financing Companies, and POJK Number 6/POJK.07/2022 concerning Consumer Protection in the Financial Services Sector."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>