Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48507 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Saras Dewi
Serpong : Marjin Kiri, 2015
304.2 SAR e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
D. Dwidjoseputro
Jakarta: Erlangga , 1994
304.2 DWI e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
D. Dwidjoseputro
Jakarta: Erlangga, 1994
577 DWI e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mattulada, H. Andi
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994
304.2 MAT l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Suprihadi Sastrosupeno
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984
304.2 SUP m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sumardi
"ABSTRAK
Kewang adalah lembaga sosial di desa-desa Pulau Saparua, yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap tindakan semena-mena dari penduduk luar desa maupun penduduk desa itu sendiri, terhadap segala yang tumbuh dan hidup di atas tanah-tanah desa yang merupakan lumbung alami dari masyarakat itu sendiri. Salah satu usaha Kewang dalam melaksanakan fungsinya, ialah menetapkan Sasi. Sasi adalah larangan untuk memetik hasil atau panenan dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya agar tanaman dapat memberikan hasil yang optimal. Dalam melaksanakan fungsinya, Kewang berpedoman pada norma-norma pengendali (adat istiadat).
Lembaga social ini sudah ada sebelum bangsa-bangsa Eropa (Portugis, 1512; Belanda, 1599) menguasai Saparua. Maka tradisi Kewang ini sebenarnya telah lama berakar dalam masyarakat Saparua. Peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan juga tidak diragukan lagi. Tetapi seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka efektivitas fungsi Kewang ini terus merosot, sehingga banyak desa-desa di pulau Saparua yang meninggalkan tradisi Kewangnya.
Salah satu desa di pulau Saparua yang cukup lama mempertahankan fungsi Kewangnya adalah desa Ihamahu. Malahan atas keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan di desanya, pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 1982, Korps Kewang Ihamahu memperoleh penghargaan Lingkungan Hidup Nasional berupa pahatan Kalpataru tiga dimensi berlapiskan emas murni. Tampaknya saat itulah puncak keberhasilan Kewang desa Ihamahu, karena pada masa-masa berikutnya efektivitas fungsinya terus merosot, menyusul kewang-kewang lainnya di banyak desa desa dalam wilayah pulau Saparua.
Kenyataan sebagaimana diuraikan di atas telah mengundang pertanyaan, faktor-faktor apa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap makin melemahnya efektivitas fungsi Kewang di Pulau Saparua.
Dengan menggunakan desain survai dalam telaah korelasi, dipilih enam variabel yang akan diamati kaitan fungsionalnya. Variabel-variabel itu ialah: Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, Fertumbuhan Penduduk, Efektivitas Fungsi Norma Pengendali, Sikap Pimpinan Desa, dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
- Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, dan Pertumbuhan Penduduk, tidak berkorelasi secara signifikan dengan Efektivitas Fungsi Norma Pengendali.
- Efektivitas Fungsi Norma Pengendali tidak berkorelasi secara langsung dengan Efektivitas Fungsi Kewang, tapi melalui Sikap Pimpinan Desa.
Maka dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan: Bahwa norma pengendali atau adat-istiadat tidak selalu dapat melakukan pengendalian sosial terhadap masyarakat. Sebaliknya keputusan-keputusan pimpinan formallah yang justru memegang peranan penting.
Berkenaan dengan itu, usaha pelestarian kemampuan lingkungan di desa oleh masyarakat tidak akan dapat diandalkan tanpa peranan aktif pimpinan desa. Berdasarkan kenyataan tersebut betapapun kedudukan dan peranan pimpinan formal yang didukung oleh sistem pemerintahan nasional masih lebih penting daripada pimpinan adat, walaupun seringkali kehadiran pimpinan formal itu menimbulkan kecemburuan sosial.

ABSTRACT
Kewang is a social institution in the villages of Pulau Saparua which functions as a controlling agent toward arbitrary action of inhabitants living outside the village as well as inhabitants of the village itself, toward all what grows and lives on village land which forms a natural rice-barn of the society itself. One of the efforts of Kewang in the performance of its function is to determine Sasi. Sasi is a prohibition to collect harvest in certain periods. The objective thereof is to facilitate the vegetation to provide its optimal yield.
In performing its function Kewang is guided by controlling norms based on customs and traditions.
This social institution existed already before European nations (Portuguese, 1512; Dutch, 1599), governed Saparua. Therefore this Kewang tradition is in fact rooted in the Saparuan society since a long time ago.
Its role the management of natural resources and environment is also not to be doubted any more. In line with the development in the society, however, the effectiveness of the Kewang function is ever declining so that many villages in Saparua leaves their Kewang tradition. One of the villages in Pulau Saparua which has maintained the Kewang function long enough is the village of Ihamahu. For its success in managing natural resources and environment .in its village, at the commemoration of Life Environment Day on 5 June 1982 Ihamahu Kewang Corps has obtained National Life Environment appreciation in the form of a Kalpataru three dimensioned carving with a lining of pure gold. It seems that it was the peak of successful Kewang achievement in the village of Ihamahu because at the therafter following periods the effectiveness of its function is ever declining, following other Kewang in many villages in the Pulau Saparua region.
The fact as described above has raised the question; what factors are really responsible for the weakening of the effectiveness of the Kewang function in Pulau Saparua. In the application of a survey design in a correlation research six variables were chosen of which the functional correlation ship will be observed. Mentioned variables are: Level of Education, Contact with the Outside World, Population Growth, Effectiveness of the Controlling Norm Function, attitude of the Village Headman, and the Kewang Effectiveness Function.
The investigation result shows that:
- Levels of Education, Contacts with the Outside World, and Population Growth have no significant correlation with Controlling Norm Effectiveness Function.
- Controlling Norm Effectiveness Function has no direct correlation with Kewang Effectiveness Function, but is the case via (through) the attitude of village headman.
Hence from the mentioned investigation result can be concluded that a Controlling Norm or Customs and Tradition is not always in a position to perform a social control on society. Contrariwise the decisions of the formal leading authority just play an important role. In connection thereof the effort to make an everlasting environment in the village by the society cannot be relied on without the active role of the village headman. Based on mentioned fact, however that may be, the position and the role of the formal leading authority backed (supported) by a national government system is more important than a backing adat authority, although the pretence of a formal leading authority often cause a social suspicion.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I.R. Poedjawijatna
Jakarta: Bina Aksara, 1987
128 POE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita Zelvita T.
"Kecemasan beberapa kalangan atas krisis ekologi pada dasawarsa terakhir ternyata membawa dampak yang signifikan secara teoritis. Karena ternyata terdapat permasalahan yang lebih fundamental di balik fakta krisis ekologi yaitu, krisis persepsi. Paradigma antroposentris-instrumental yang digunakan ternyata merupakan biang masalah, karena di dalam model berpikir ini terdapat kerangka konseptual opresif yang mengabaikan relasi manusia dengan alam. Paradigma ini hanya memandang alam sebagai sumberdaya dan bernilai sebatas kemanfaatannya bagi manusia. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan paradigma. Permasalahan seputar Mengapa terjadi pergeseran paradigma ? Apa alternatifnya? Apa kelebihan konsep tersebut dan apa relevansinya secara teoritis ? adalah pertanyaan yang coba dijawab dalam skripsi ini. Penulisan skripsi ini difokuskan pada konsep dan gerakan deep ecology yang muncul sebagai kepedulian etis dengan mempertanyakan asumsi di balik permasalahan. Deep ecology merupakan usaha untuk merubah cara pandang antroposentris. Ide deep ecology, menurut penggagasnya, Arne Naess, lahir dari kepedulian atas relasi dominan yang eksploitatif. Perubahan paradigma ini dimulai dari kesadaran psikologis manusia akan posisi ontologis alam. Relasi yang terjalin memberikan konsekuensi etis yang berdampak besar dalam objektivitas ilmu pengetahuan. Sementara gerakan deep ecology sendiri merupakan aktualisasi komitmen dari konsekuensi etis dalam kehidupan sehari-hari. Metode dari penulisan skripsi ini adalah deskripsi interpretatif dari analisis atas literatur karya Naess tentang deep ecology. Dalam pembahasan ini ditemukan bahwa Deep ecology sendiri yang menolak paradigma antroposentris, tak terelakkan merupakan ekstensifikasi dari etika antroposentris. Deep ecology dianggap sebagai gerakan radikal karena memperluas cakupan moralnya tidak terbatas pada manusia tapi pada keseluruhan komunitas ekologis. Relevansi teoritis dari konsep deep ecology adalah tidak berkutat di tataran teoritis tapi diaktualisasikan pada komitrnen etis dalam gaya hidup seseorang. Agar fondasi etikanya otonom, deep ecology menganggap bahwa tiap anggota komunitas ekologis memiliki nilai intrinsik. Nilai intrinsik yang dimaksud adalah nilai yang terdapat pada entitas, tidak tergantung pada fungsi entitas tersebut bagi manusia. Konsep mengenai nilai.intrinsik disuntikan oleh deep ecology karena nilai fungsional dari alam merupakan alasan sikap dominasi manusia terhadap alam. Perluasan nilai kemanusiaan yang tidak terpisahkan dari alam oleh Naess dituangkan dalam ecosophy Tnya. Dan kerangka filsafat personal ini, Naess menganjurkan perubahan paradigma dilandaskan pada ecosophy personal yang sesuai dengan logika derivasi. Tujuan dilakukan penulisan skripsi ini adalah mengangkat konsep deep ecology Arne Naess sebagai alternatif dari paradigma antroposentris yang sarat dengan dominasi.

Abstract
Public anxiety of environmental crisis in late decade, brings significant impact in realm of theoritics. Appearently it is because the underlying assumptions behind environmental problem, a crisis of perception. Instrumental-antropocentric view, which is used by science is the source of problems, because in this way of thingking exists opresif conceptual framework which neglect the man and nature relations. These paradigm viewing nature as resources and valued according its used for human purposes. The emergence of deep ecology idea and its movement as ethical concern which is questioning the underlying assumption behind the problem. Deep ecology is an effort to change the antropocentric way of thingking with non antopocentric approach. The deep ecology idea, according to the founder, Arne Naess, is born because the concerning of exploitative dominance relations. Formerly, this change of paradigm begin from human self-awareness for nature ontological position. The interconnectedness between man and nature produce ethical consequences which also give a big impact in science objectivity. While, the deep ecology movement itself commited for actualization in our daily life. Unavoidable, deep ecology is an ethical extension of antropocentric ethics. Deep ecology viewed as radical movement because extent the moral consideration not only in human but also to entire enviromental community. Deep ecology not ceased in theoritical realm but also derived its idea in ethical commitment in personal lifestyle. So, in order that the ethical foundation autonomous, deep ecology consider that natural world has intrinsic value. Intrinsic value mean valuing nature in and of itself. These value is independent and not depend on the function of the entity for human purposes. The intrinsic value concept incited by deep ecology because the instrumental value of nature was the reason of human domination. The extension of humanity is unseparable from nature. These idea is translating in Naess Ecosophy T . From this personal philosophical framework, Naess propose the change of paradigm based in personal ecosophy which suitable with derivational logic. Keywords : Ethical extension, interconnectedness, web of life, deep ecology, ecosophy T, gestalts, self-realisation, intrinsic value, community, contextual identity, biospheric egalitarianism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Abidin
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002
128 ZAI f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>