Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 201194 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angelica Klaras Hanum
"Perkawinan pada dasarnya merupakan persatuan antara dua orang yang saling menyepakati untuk mengikatkan dirinya sebagai pasangan suami istri. Indonesia sebagai negara multikultural yang menjunjung tinggi adanya persatuan dalam perbedaan sebagaimana diartikan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” merefleksikan makna tersebut salah satunya melalui pluralitas agama yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya keberadaan enam agama yang diakui dan tersebar di Indonesia. Pluralitas agama tersebut tentu saja merupakan hal yang positif dan sudah sepatutnya dibanggakan oleh Indonesia sebagai negara. Meski begitu, tak jarang hal ini menimbulkan adanya permasalahan sosial, salah satunya adalah perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda. Melalui penulisan ini, Penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, berdasarkan agama Islam dan Kristen, juga kesesuaian peraturan perundang-undangan tersebut dengan implementasinya dalam Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang juga bersifat yuridis-normatif dengan data sekunder dan bahan hukum primer. Penulis melihat masih terdapatnya permasalahan hukum dalam penerapan hukumnya dikarenakan pengaturan yang kurang jelas dan spesifik mengenai perkawinan beda agama khususnya antara agama Islam dengan agama Kristen. Sehingga melalui penelitian ini Penulis menyampaikan analisisnya terkait penerapan yang sudah seharusnya diterapkan dan saran Penulis sebagai jalan keluar dari permasalahan hukum yang timbul yaitu dengan pengadaan pengaturan yang khusus dan spesifik mengenai mekanisme dan akibat hukum yang terang dan jelas berdasarkan Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Hal tersebut bertujuan sebagai tindakan preventif dari lahirnya permasalahan hukum yang timbul dari praktik perkawinan beda agama dan sebagai saran upaya yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim yang menetapkan perkara yang menjadi pembahasan Penulis untuk memeriksa dan mengadili kembali dengan mempertimbangkan pengaturan yang ada sebaik-baiknya.

Marriage is a union between two people who mutually agree to bind themselves as husband and wife. Indonesia as a multicultural country that upholds unity in diversity as defined in "Unity in Diversity" reflects this meaning, one of which is through the plurality of religions in Indonesia. This is proven by the existence of six religions that are recognized and spread across Indonesia. The plurality of religions is certainly a positive thing and Indonesia as a country should be proud of. Even so, not infrequently this creates social problems, one of which is interfaith marriage. Interfaith marriage is a marriage bond between a man and a woman with a different religious or belief background. Through this writing, the author will explain how interfaith marriages are regulated in Indonesia, based on Islam and Christianity, as well as the compatibility of these laws and regulations with their implementation in Determination Number 71/PDT.P/2017/PN.BLA. The research method used by the author in compiling this research is a normative legal research method with a qualitative approach which is also juridical-normative with secondary data and primary legal materials. The author sees that there are still legal problems in the application of the law due to unclear and specific arrangements regarding interfaith marriages, especially between Islam and Christianity. So that through this research the author conveys his analysis regarding the application that should have been implemented and the author's suggestion as a way out of the legal problems that arise, namely by procuring special and specific arrangements regarding mechanisms and legal consequences that are clear and clear based on Stipulation Number 71/PDT.P/ 2017/PN. BLA. This is intended as a preventive measure against the birth of legal issues arising from the practice of interfaith marriages and as a suggestion for efforts that can be made by the Panel of Judges who determine the case being discussed by the Author to examine and re-trial by considering the existing arrangements as well as possible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Amalia
"Dalam perkembangannya terdapat dua kasus yang sama mengenai permohonan izin perkawinan beda agama namun terdapat perbedaan dalam penetapannya. Dalam penetapan Nomor 46/Pdt.P/2016/Pn.Skt hakim menerima, sedangkan dalam penetapan Nomor 71/Pdt.P/2017/Pn.Bla hakim menolak. Akibatnya terdapat perbedaan pandangan apakah perkawinan beda agama diperbolehkan atau tidak di Indonesia. Penulisan Skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Hal ini bertujuan untuk mempelajari lebih jauh terkait peraturan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, serta menganalisis kasus perkawinan beda agama yang telah terjadi. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa Undang-Undang Perkawinan bukannya tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama, namun karena Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal perkawinan beda agama sehingga keabsahan perkawinan dikembalikan kepada hukum agamanya masing-masing. Dan adanya Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan merupakan merupakan bentuk peran negara dalam hal administrasi mengenai pencatatan bagi perkawinan beda agama untuk mencatatkan perkawinannya melalui penetapan pengadilan, sehingga perkawinan tersebut dapat dicatatkan agar terjaminnya kepastian hukum terhadap perkawinan beda agama.

Nowadays, there are two similar cases concerning permission of inter religions marriage but there are differences in judge rsquo s verdict. In verdict number 46 Pdt.P 2016 Pn.Skt the judge accept, whereas in the verdict number 71 Pdt.P 2017 Pn.Bla the judge rejected. Consequently there are differences in whether the inter religions marriage is allowed or not in Indonesia. This research uses normative legal research, by using statute approach and case approach. It aims to learn more associated with setting up inter religions marriage in Law No. 1 of 1974, as well as analyzing some cases of inter religions marriage that has taken place. In this study it was found that the Law Number 1 of 1974 on Marriage is not regulating the inter religions marriage, but the Marriage Law does not recognize the inter religions marriage so that the validity of the marriage is returned to the perspective of religious law. And the existence of Article 35 point a of the Population Administration Act is a form of state 39 s role in administrative matters of recording for the inter religions marriage to register their marriage through the determination of the court, so that the marriage can be recorded in order to ensure legal certainty to the inter religions marriage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Nurul Permatasari
"Penelitian ini berjudul pengesahan perkawinan beda agama yang dilangsukan di Indonesia. Permasalahan penelitian ini meliputi pengaturan mengenai perkawinan beda agama dan pertimbangan hakim mengenai pengesahan perkawinan beda agama, sebagaimana yang terdapat dalam Penetapan Pengadilan Negeri Purwokwerto Nomor 54/Pdt.P/2019/PN Pwt. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis normatif, tipologi penelitian deskriptif analitis, menggunakan data sekunder, dengan yang dan dianalisis secara kualitatif, dengan bentuk laporan deskriptif analitis. Simpulan penelitian ini adalah hakim dalam pertimbangannya tidak mengindahkan aturan undang-undang perkawinan mengenai sahnya perkawinan, dimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sahnya perkawinan harus diperbolehkan oleh kedua agama calon mempelai, dan bukan hanya dari satu calon mempelai saja dan artinya hakim menganalisis diluar dari kewenangannya. Hakim dalam pertimbangannya ini hanya melihat dari dispensasi yang diberikan oleh salah satu agama, namun tidak mengindahkan aturan agama yang lain. Hakim diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Administrasi Kependudukan bukan untuk mengesahkan perkawinan tetapi hanya berwenang untuk memerintahkan mencatatkan perkawinan beda agama, yang artinya hakim tidak berwenang untuk mengesahkan suatu perkawinan, karena sahnya perkawinan berdasarkan agama.

This research is entitled the legalization of the interfaith marriage held in Indonesia. The problem of this research covers a regulation of interfaith marriage and the judge’s consideration for the legalization of interfaith marriage, as contained in the Purwokerto Judicial Court Decision number 54/Pdt.P/2019/Pn Pwt. The research method is normative juridical, typology of the research used was descriptive analytical, using secondary data, and analyzed qualitatively, in the form of analytical descriptive reports. The conclusion of this research is that the judges in their consideration didn’t heed the marriage law regarding the validity of marriage , where in article 2 paragraph (1) of the Marriage Law, the marriage must be permitted by the two prospective bride-to-be, and not only by one prospective bride and its mean the judge in their analyzes outside of their authority. The judges in their consideration only consider from the excemption by one religion, but they didn’t heed the rules of other religions.The judges were given authority by the Population Administration Law not to validating marriage but only has the authority to order the registry office to register of interfaith marriages , which means that the judge is not to validating a marriage, because marriage is legitimately based on religion."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53722
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adera Sembodotitis
"ABSTRAK
Undang-Undang Perkawinan menyerahkan pengesahan perkawinan kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Mengenai perkawinan beda agama, ada agama yang membolehkan dan ada juga yang melarang. Namun, walaupun sudah jelas diatur oleh agamanya, masih banyak terjadi perkawinan beda agama. Selain itu, dalam Undang-Undang Perkawinan belum jelas dan tegas pengaturan tentang perkawinan beda agama. Salah satu akibat dari adanya perkawinan beda agama, ada pihak-pihak yang ingin membatalkannya. Hal ini menarik untuk dikaji, tentang bagaimana pengaturan masing-masing agama tentang perkawinan beda agama dan apakah pembatalan perkawinan beda agama dapat dilakukan. Dalam skripsi ini, penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama serta pembatalannya oleh pihak ketiga. Untuk mendukung pembahasan, penulis melakukan analisis Putusan Nomor 119/Pdt.G/2015/PN.Sby terkait dengan gugatan pembatalan perkawinan. Untuk menemukan jawaban, Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat memecahkan masalah. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pembatalan perkawinan beda agama oleh pihak ketiga dimungkinkan terjadi. Oleh karenanya, sebaiknya menghindari terjadinya perkawinan beda agama, karena akan muncul permasalahan dalam rumah tangga untuk ke depannya, dan tentunya karena dapat dibatalkan.

ABSTRACT
Marriage Law refers to each partys respective religion and belief for its marriage legitimation. Regarding interfaith marriage, some religions will allow and some will forbid. However, even though each religion clearly has its own set of rules, there have been many cases where interfaith marriages occur. Furthermore, there is no clarity in the Marriage Law in its arrangement on interfaith marriage. One of the consequences of an interfaith marriage is there could be a risk of a marriage cancellation by other party. This issue is indeed appealing to be studied, on how the arrangement of each religion regarding interfaith marriage and whether an interfaith marriage cancellation possible. In this thesis, the author discusses interfaith marriages and its cancellations by third parties. To support the discussion, the author conducted a legal analysis of Verdict Number 119/Pdt.G/2015/PN.Sby concerning the lawsuit for marriage cancellation. In order to solve the problem, the method used to facilitate the research for this thesis is normative juridical descriptive analysis. The type of data used in this research is secondary data. From this research, it is concluded that the cancellation of interfaith marriage done by a third party is indeed possible. Therefore, the decision to commit interfaith marriages should be avoided, for in the future there will be problems arise in the household, and surely because it is possible to cancel them."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiena Alya Puteri
"Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan untuk mengetahui implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagaimana implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder yang berkaitan dengan hal yang Penulis teliti yakni Penetapan Pengadilan Negeri Kudus Nomor Nomor 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait dengan perkawinan, serta sumber data sekunder berupa buku-buku, jurnal hukum, internet, yang berkaitan dengan topik penelitian. Hasil dari penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa Perkawinan beda agama merupakan tidak sah atau tidak boleh dilakukan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana dijelaskan bahwa sahnya perkawinan harus dilaksakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Peristiwa ini apabila merujuk dalam Pasal tersebut dapat diartikan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan apabila para pihak dalam hal ini yaitu calon suami dan istri menganut agama yang sama. Lalu implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan PN Kudus mengenai perkawinan beda agama ini dinyatakan sah karena adanya pengaturan dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dapat dicatatkannya perkawinan yang berdasarkan dari penetapan pengadilan yang mana perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan itu adalah perkawinan beda agama. Maka dengan itu dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai perkawinan, khususnya perkawinan beda agama di Indonesia masih belum diatur secara jelas dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menyebabkan adanya kendala dalam proses perkawinan beda agama.

This research aims to determine the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and to determine the legal implications of court decisions on interfaith marriages. The problems to be studied in this research are about how the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and how the legal implications of court decisions on interfaith marriages. This research uses normative juridical legal research, with the data sources used are secondary data sources related to the matters that the author examines, namely the Decision of the Kudus District Court Number 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration, Presidential Instruction No. 1 of 1974 concerning the Compilation of Islamic Law, and other laws and regulations related to marriage, as well as secondary data sources in the form of books, legal journals, the internet, which are related to the research topic. The results of the study show the conclusion that marriages of different religions are invalid or may not be carried out in accordance with Article 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage which explains that the validity of marriage must be carried out in accordance with their respective religions and beliefs. This incident, when referring to the Article, can be interpreted that marriage can only be held if the parties in this case, namely the prospective husband and wife, adhere to the same religion. Then the legal implications of the court decision of the Kudus District Court regarding this interfaith marriage are declared valid because of the regulation in Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration which can be recorded marriages based on court decisions which marriages based on court decisions are interfaith marriages. Therefore, it can be seen that the regulation of marriage, especially interfaith marriage in Indonesia is still not clearly and firmly regulated in the legislation, thus causing obstacles in the process of interfaith marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Betrice Viosania
"Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama menjadi multitafsir. Kondisi ini menjadi dasar isu dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. Para Pemohon yang memiliki perbedaan agama memohon agar perkawinan mereka dapat disahkan oleh Pengadilan. Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini akan menganalisis mengenai (1) pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, dan (2) kesesuaian pertimbangan hakim dengan peraturan perundang-undangan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak yang mengabulkan perkawinan beda agama. Untuk menjawab permasalahan yang ada, digunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) perkawinan beda agama berdasarkan peraturan di Indonesia diserahkan kembali kepada ajaran agama masing-masing calon mempelai. Dimana perkawinan beda agama tidaklah dibenarkan, sebab tidak sesuai dengan hukum dan ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga, suatu perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum. (2) berdasarkan hasil analisis dari sumber perundang-undangan yang ada, keputusan Hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama tidaklah tepat. Sebab perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum agama, sehingga seharusnya tidak dapat dicatatkan oleh lembaga negara.

Essentially, marriage law in Indonesia does not specifically regulate the marriage of couples of different religions. Thus, the regulation for interfaith marriage is multi-interpretation. This condition became the basis in Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. The Plaintiffs, who have different religions, requested that their marriage be legalized by the Court. On this basis, this paper will analyze (1) the regulation of marriage between different religions in Indonesia, and (2) the suitability of the judge's consideration with the laws and regulations in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak which granted the interfaith marriage. To answer the existing problem, a normative juridical research method is used. The research of this study results that (1) Indonesian regulations for interfaith marriages are consigned back to the religious teachings of each prospective bride and groom. A marriage between different religions is not justified because it is not according to the laws and teachings of the religions that apply in Indonesia. Therefore, interfaith marriage is considered unauthorized and void in the sake of law. (2) based on the results of the analysis of existing statutory sources, the Judge's decision in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. which granted the application for interfaith marriage was not legitimate, because interfaith marriage is not valid according to the religious law. Thus, it should not have been recorded by state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond
"Skripsi ini membahas mengenai tiga hal utama yakni: tinjauan yuridis mengenai sahnya suatu perceraian dari perkawinan antar agama yang ditinjau dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) yang mengacu pada hukum agama masing-masing calon suami-istri dimana suami beragama Islam dan istri beragama Katolik sehingga ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Hukum Kanonik, akibat hukum perceraian dari perkawinan tersebut terhadap status suami-istri, anak dan hak kewarisan pada anak dari perceraian tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan analisis kualitatif atas data sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah :(1) Upaya perceraian dapat ditempuh karena perkawinan antar agama yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat sah secara hukum yaitu secara hukum positif dan hukum Katolik. Perceraian yang dilakukan oleh Penggugat dan Tergugat adalah sah tetapi sah secara sipil, tetapi tidak secara agama Katolik. (2)Akibat hukum perceraian terhadap anak tersebut adalah anak sah namun, terhadap suami dan istri memiliki implikasi yang berbeda karena agama yang berbeda. (3) Hak kewarisan anak yang lahir dari perkawinan antar agama dalam kasus ini kewarisan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)

This Thesis reviews three main things : a thought of the legality of a divorce from a inter faith marriage based on The Act of Marriage No.1 of 1974 chapter 2 verse 1which is based on the religious law of each spouses where as the husband is Moslem and the wife is Catholic therefore, based on the Compilation of Islamic Law and Canonic Law, the legal implication of a different faith marriage to the couple and the child, and the inheritance right of the child from its divorcement. The research is a normative legal research with qualitative analysis on secondary data. The results of this research are : (1) The divorcement could be done because the different faith marriage that done by Plaintiff and Defendant is legal based on Positive Law and Catholic Law. The divorcement done by Plaintiff and Defendant is legal, but civil legally, not a Catholic legally. (2) The legal implication of the divorcement are to the child and to the couple where as the child is a legal child but to the couple, there is a different implication because of different faith. (3) The inheritance right of the child bore from this marriage is the inheritance based on Indonesian Civil Code."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S56384
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devika Hadianti Deliana
"Selama ini, perkawinan beda agama memiliki kekosongan hukum sebab tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara tegas mengenai perkawinan tersebut. Sahnya perkawinan menurut Pasal 2 UU Perkawinan dikembalikan kepada agama masing-masing mempelai. Namun, dari keenam agama di Indonesia tidak ada yang menyarankan umatnya untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama. Pasal 35 UU Adminduk juga hanya mengatur secara administrasi bahwa perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Kekosongan hukum ini terus berlanjut hingga Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA 2/2023 yang berisi larangan bagi hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Dalam skripsi ini, Penulis membahas bagaimana keterikatan SEMA 2/2023 kepada hakim dan apa yang terjadi jika hakim melanggar aturan tersebut. Penulis juga membahas bagimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia baik sebelum maupun setelah SEMA 2/2023 berlaku. Penelitian ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Pada penelitian ini, Penulis juga melakukan analisis perbandingan terhadap dua penetapan, yaitu Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr dan Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp yang diputus dengan amar penetapan berbeda. Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr amarnya adalah kabul sedangkan   pada Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, hakim memutuskan untuk menolak. Penulis menganalisis pertimbangan hakim yang digunakan pada masing-masing penetapan dan  mengaitkannya dengan SEMA 2/2023 mengingat kedua perkara tersebut terjadi setelah SEMA 2/2023 diundangkan. Terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr, pertimbangan hakim tidak menyebutkan aturan agama atau pandangan dari tokoh keagamaan dalam memandang perkawinan beda agama Para Pemohon serta tidak menghiraukan kehadiran SEMA 2/2023. Sedangkan pada Penetapan Nomor 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, pertimbangan hakim telah didasarkan pada aturan agama Para Pemohon dan SEMA 2/2023.

Interfaith marriages  has long faced  a legal vacuum in Indonesia due to the absence of  explicit statutory regulations governing such marriages. The validity of a marriage, according to Article 2 of the Marriage Law, is referred back to the perspective religions of the spouses. However, none of the six recognized religions in Indonesia recommend their followers to marry someone of a different faith. Article 35 of the  Civil Registration Law only administratively regulates that such marriages can be registered. This legal vacuum, persisted until the Supreme Court issued Circular Letter (SEMA) 2/2023, which  prohibits judges from granting applications for the registration of interfaith marriages. This thesis discusses the binding force of SEMA 2/2023 on judges and the consequences if a judge violates this rule. The authors also discusses how interfaith marriage is regulated in Indonesia, both before and after the implementation of SEMA 2/2023. This research employs a doctrinal research method. In this study, The Author also conducts a comparative analysis of two court rulings, namely Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr and Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, which were decided with different stipulations. Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr granted the petition, while Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, the judge decided to reject the petition.  The author analyzes the judges’ considerations used in each ruling and connects them to SEMA 2/2023, considering both cases occurred after SEMA 2-2023 was promulgated. Regarding Ruling Number 423/Pdt.P/2023/Pn Jkt.Utr, the judge’s considerations were not mentioned on religious rules or views from religious figures in viewing interfaith marriages of the Petitioners and disregarded the existence of SEMA 2/2023. Meanwhile, in Ruling Number 40/Pdt.P/2024/Pn Wgp, the judge’s considerations were based on the religious rules of the Petitioners and SEMA 2/2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imania Ainiputri Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai pencatatan perkawinan dalam perkawinan Islam di Indonesia. Pencatatan perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan lebih khususnya bagi umat Islam dalam KHI. Namun dalam prakteknya masih terdapat banyak masyarakat yang belum mencatatkan perkawinannya. Padahal pencatatan perkawinan sangatlah penting agar perkawinan antara umat Islam di Indonesia agar terdata secara hukum dan dapat dibuktikan.Hal ini dikarenakan sebagian umat Islam memilih mematuhi Hukum Islam dibanding Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Hukum Islam menyatakan bahwa selama memenuhi rukun dan syarat perkawinan maka perkawinan adalah sah walaupun tidak dicatatkan.Berangkat dari latar belakang demikian, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah untuk melihat kedudukan pencatatan perkawinan berdasarkan hukum perkawinan Islam dan hukum positif di Indonesia dan bagaimana penerapannya dalam praktik. Permasalahan tersebut dibahas menggunakan metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan secara hukum agama dan kedudukan pencatatan bukanlah syarat sah namun syarat administrasi/formil. Perbandingan yang dilakukan juga menunjukkan bahwa diantara penetapan pengadilan agama terdapat perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 Undang Undang No 1 tahun 1974 dan pasal 6 ayat 2 KHI.

This thesis discusses about Marriage Registration in Islamic Marriage in Indonesia. Marriage Registration has been regulated in Law Number 1 Year 1974 and specifically for moslems in Islamic Marriage Compilation. In reality, there are many people who haven’t registered their marriage yet. On the other side, Marriage Registration is important to record Islamic Marriages as a legal proof. This was caused by most moslems preference to obey Islamic Law rather than the Marriage Law in Indonesia. Islamic Law states a marriage is legal as long as it fulfills Islamic Marriage Law pillars and requirements. In reference to those issues, this thesis concerns about Marriage Registration position in Indonesia Islamic Marriage Law and it's application in reality. Those problems are analyzed by juridical-normative legal research methods. The conclusions are a marriage is legal if it’s comply to the Religious Law. Furthermore, Marriage Registration is only as a formal requirement and not a legal requirement. The comparative study discovers that between Religious Court Orders has different interpretation on Article 2 Law Number 1 Year 1974 and on Article 6 verses 2 Islamic Compilation Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Noval Pahlevi
"Mengenai perkawinan beda agama tidak diatur secara jelas, yang mana UU Perkawinan sendiri mengembalikan lagi kepada agama dan kepercayaannya masing-masing yang hendak melaksanakan perkawinan. Mayoritas agama yang diakui di Indonesia sendiri melarang perkawinan beda agama, namun perkawinan beda agama masih marak terjadi, setidaknya sampai sebelum terbitnya SEMA 2/2023 yang isinya melarang Hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan yang didaftarkan ke pengadilan. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama sebelum dan sesudah keluarnya SEMA 2/2023. Untuk mendukung pembahasan, Penulis melakukan analisis terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr terkait dengan permohonan perkawinan yang dikabulkan setelah keluarnya SEMA 2/2023. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang Penulis angkat dalam penelitian ini. Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa SEMA 2/2023 tidak mengatur juga secara jelas bahwa perkawinan beda agama karena kembali lagi kepada UU Perkawinan, yang jelas adalah bahwa Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan yang diajukan ke pengadilan untuk tujuan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut Penulis perkawinan beda agama sebaiknya dihindari karena dari segi pencatatannya rumit, terlebih setelah terbitnya SEMA 2/2023.

Regarding interfaith marriages, the Marriage Law itself returns to the religion and beliefs of each person who wants to get married. The majority of recognized religions in Indonesia prohibit interfaith marriages, but interfaith marriages were still rampant, at least until the issuance of SEMA 2/2023, which prohibits judges from granting applications for registration registered with the court. In this thesis, the author discusses the regulation of interfaith marriages before and after the issuance of SEMA 2/2023. To support the discussion, the author analyzes Stipulation Number 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr related to the marriage application granted after the issuance of SEMA 2/2023. The author uses normative juridical research which is descriptive analytical in order to find answers to the problems that the author raises in this study. From this research, it can be concluded that SEMA 2/2023 does not clearly regulate interfaith marriages because it returns to the Marriage Law, what is clear is that Judges are prohibited from granting applications submitted to the court for the purpose of legal certainty. Therefore, according to the author, interfaith marriages should be avoided due to the complexity of recording, especially after the issuance of SEMA 2/2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>