Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120299 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adara Skyla Sakinah
"Ketentuan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) seringkali disalahgunakan oleh masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peristiwa hukum perjanjian utang dengan jaminan hak atas tanah 送ang dikemas dalam bentuk PPJB dengan klausul ƒhak membeli kembali ƒang bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan tanah debitur kepada kreditur jika debitur wanprestasi. Adapun, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah akibat hukum perjanjian utang yang dibuat sebagai perjanjian jual beli hak atas tanah dengan hak membeli kembali, keabsahan Akta Jual Beli (AJB) jika PPJB yang mendasarinya memuat klausul hak membeli kembali, dan peran serta tanggung jawab notaris dan PPAT jika terdapat perbedaan fakta hukum antara PPJB yang ditata dengan AJB berdasarkan kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 407 K/Pdt/2022. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis menunjukkan bahwa perjanjian hutang yang dikemas sebagai perjanjian jual beli hak atas tanah dengan hak membeli kembali memutuskan bahwa perjanjian menjadi batal demi hukum. Uang yang disebutkan dalam PPJB bukanlah uang pembayaran jual beli, melainkan uang pinjaman, sehingga perbuatan hukum pada AJB dianggap tidak memenuhi unsur tunai dan transaksi jual beli tidak sah. Notaris berperan penting dalam hal transaksi jual beli hak atas tanah, salah satunya adalah pembuatan PPJB. Namun dalam praktiknya pembuatan PPJB tidak selalu dilakukan di hadapan notaris. Hal ini memicu terjadinya permasalahan hukum, seperti pemuatan klausul terlarang dalam PPJB yang bersangkutan. Dengan demikian, jika para pihak hendak membuat suatu AJB, PPAT harus menyelaraskan antara data dan dokumen yang benar serta keselarasannya dengan undang-undang.

The existence of the Conditional of Sales and Purchase Agreement (CSPA) is frequently abused by the public. This is evidenced by the inclusion of a buyback rights clause in the CSPA to envelope a loan arrangement with land rights security with the purpose of transferring land ownership from the debtor to the creditor in the event of default. Issues raised by this study relate to legal ramifications of a debt agreement made as a land sale and purchase agreement with buyback rights, legality of the Deed of Sale and Purchase (DSP) if the underlying contains a buyback rights clause, and roles and responsibilities of a notary and Land Deed Official (LDO) if there are discrepancies of legal facts between the CSPA and DSP based on Supreme Court Decision Number 407 K/Pdt/2022. The method of law research used is normative judicial with explanatory research type. Result of analysis indicate that the debt arrangement, disguised as land sale and purchase agreement with buyback rights, renders the contract null and void. The money stipulated in the CSPA is not the payment for the sale and purchase, rather as a lent money, therefore legal actions on the DSP does not fulfill the cash element and the transaction is illegal. However, in practice the CSPA is not always prepared before the notary. This trigger legal issues, such as the inclusion of illegal clauses in the CSPA. Accordingly, the LDO shall properly take into account the conformity between data and documents as well as the law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febyola Berlyani Sugiarto
"Dalam rangka memberikan kepastian hukum maka peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus dituangkan dalam Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun apabila persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang belum dipenuhi maka dapat dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai perjanjian pendahuluan. Dalam kenyataannya, PPJB sering disalahgunakan untuk menutupi perbuatan hukum yang tidak seharusnya dilakukan guna mengalihkan kepemilikan hak atas tanah, yaitu melalui pencantuman klausula “membeli kembali” sebagaimana ditemukan dalam kasus yang ada pada Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 215/PDT/2021/PT.SMG. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” serta tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta jual beli (AJB) berdasarkan PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali”. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk menjawab kedua masalah tersebut. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen (kepustakaan), selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” menurut putusan hakim a quo adalah sah dan mengikat. Namun putusan tersebut tidak tepat, karena PPJB dengan klausula “membeli kembali” tidak dikenal dalam Hukum Adat, selain itu juga merupakan suatu penyelundupan hukum yang menjadikan isi PPJB tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan, kausa terlarang, dan pelanggaran iktikad baik sehingga mengakibatkan PPJB menjadi cacat hukum dan seharusnya batal demi hukum. Adapun AJB yang dibuat berdasarkan PPJB semacam itu juga menjadi tidak sah, terlebih dalam pembuatan AJB di hadapan PPAT pihak penjual tidak dihadirkan, oleh karena itu AJB tersebut tidak memenuhi syarat formiil sehingga harus dinyatakan batal demi hukum; Kedua, tanggung jawab PPAT dalam pembuatan AJB berdasarkan PPJB yang mengandung unsur cacat hukum adalah tanggung jawab secara perdata. Hal ini disebabkan karena PPAT telah lalai dalam membuat AJB tanpa memperhatikan keabsahan dokumen yang berkaitan dengan AJB, selain itu juga tidak dihadirkannya salah satu pihak pada saat pembuatan AJB. Namun PPAT dalam kasus yang ada dalam putusan a quo telah meninggal dunia sehingga pertanggungjawaban secara perdata yang harus ditanggung oleh PPAT menjadi gugur.

In order to provide legal certainty, the transfer of land rights through buying and selling must be stated in the Sale and Purchase Deed before the Land Deed Making Officer (PPAT). However, if the requirements specified by law have not been met, a Sale Purchase Agreement (PPJB) can be made as a preliminary agreement. In reality, PPJB is often misused to cover up legal actions that should not have been taken to transfer ownership of land rights, namely through the inclusion of a “buy back” clause as found in the case in the Semarang High Court Decision Number 215/PDT/2021/PT. SMG . The issues raised in this study are related to the legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause and the PPAT's responsibility in making a sale and purchase deed (AJB) based on the PPJB which contains a "buy back" clause. This doctrinal legal research was conducted to answer these two problems. Secondary data collected through document study (library), then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, several things can be stated as follows: First, legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause according to the judge's decisiona quo is valid and binding. However, this decision is not correct, because the PPJB with the "buy back" clause is not recognized in customary law, besides that it is also a law smuggling which makes the contents of the PPJB contain elements of misuse of circumstances, prohibited causes, and violations of good faith so that the PPJB becomes legally flawed and should be null and void. As for AJB made based on such PPJB also becomes invalid, especially in the making of AJB before the PPAT the seller is not presented, therefore the AJB does not meet the formal requirements so it must be declared null and void; Second, PPAT's responsibility in making AJB based on PPJB which contains elements of legal defects is a civil responsibility. This was because the PPAT had neglected to make the AJB without regard to the validity of the documents related to the AJB, besides that one of the parties was not present at the time the AJB was made. But PPAT in the case that is in the decisiona quo has passed away so that the civil liability that must be borne by the PPAT is null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angel Fransisca Christy Manga
"Perjanjian hutang piutang dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Namun, yang kerap terjadi adalah para pihak mengikatkan diri ke dalam suatu perjanjian hutang piutang secara lisan membentuk suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) atas objek yang dijadikan jaminan perjanjian hutang piutang lisan yang bersangkutan, sebagaimana terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2288/K/PDT/2020. Permasalahan utama yang diangkat adalah terkait dengan kedudukan hukum perjanjian hutang piutang lisan berdasarkan hukum pembuktian dan akibat penyelundupan hukum perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2288/K/PDT/2020. Guna menjawab permasalahan tersebut, digunakan metode penelitian doktrinal, dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa perjanjian hutang piutang lisan in casu terbukti dengan alat bukti persangkaan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 173 HIR, yang ditarik dari alat bukti saksi, dan tertulis seperti Akta PPJB dengan klausul hak membeli kembali dan laporan appraiser atas objek sengketa yang menyatakan perbedaan nilai ril objek sengketa dengan harga yang diperjanjikan dalam Akta PPJB dan telah dibayar lunas 2,5 (dua setengah) bulan sebelum pembuatan Akta PPJB. Perjanjian hutang piutang lisan yang dibuat sebagai pendahuluan Akta PPJB yang memuat klausul hak membeli kembali adalah suatu penyelundupan hukum karena telah memenuhi unsur penyelundupan hukum dan telah melanggar syarat objektif sahnya perjanjian, yaitu kausa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Berangkat dari itu, Akta PPJB in casu harusnya batal demi hukum.

Debt agreements can be made either in an unwritten or written format. However, what often happens is that parties that bind themselves into an unwritten debt agreement would then form a Sales and Purchase Agreement Deed on the object used as a collateral in the previous unwritten debt agreement, as happened in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. The main issues raised are related to the legal position of an unwritten debt agreement based on the law of evidence, and the consequences of legal evasion in an unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to a Sales and Purchase Agreement Deed in the Supreme Court Decision Number 2288/K/PDT/2020. To provide answers for the issues above, a doctrinal research method is used, with a qualitative analysis method. The results found that the unwritten debt agreement in this case is proven by the judge’s presumption as stipulated in Article 173 of the HIR, that is drawn from witness evidence and written evidence, such as the Sales and Purchase Deed with the right to repurchase clause, and the appraiser’s report on the disputed object, which states the obvious difference between the real value and the agreed value that had been fully paid 2,5 (two and a half) months prior to making the Sales and Purchase Agreement Deed. The unwritten debt agreement made as a preliminary agreement to the Sales and Purchase Agreement Deed containing the right to repurchase clause is a form of a legal evasion, because it has fulfilled the elements of legal evasion and has violated one of the objective requirements for the validity of an agreement which is regulated in Article 1320 of the Civil Code. Therefore, the Sales and Purchase Agreement Deed in this case should be null and void."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Christie
"ABSTRAK
Perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian pendahuluan yang dilakukan oleh
calon penjual dan calon pembeli dalam jual beli hak atas tanah karena terdapat
syarat yang belum dipenuhi oleh salah satu pihak sehingga jual beli dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah belum dapat dilakukan. Perjanjian Pengikatan Jual
Beli sangat penting untuk dilakukan agar dapat meminimalisir sengketa yang
mungkin timbul selama angsuran berjalan. Sebaiknya Perjanjian Pengikatan Jual
Beli dibuat dalam bentuk Notariil sehingga dapat memberikan perlindungan
hukum kepada para pihak sebagaimana kekuatan perlindungan hukum yang
dimiliki oleh akta otentik dan juga para pihak dapat memberitahukan secara jelas
maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian ini kepada Notaris sehingga isi dari
Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat melindungi hak-hak dari para pihak dan
juga para pihak dapat mengetahui dengan jelas kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukannya, yang mana hal ini tidak terdapat dalam Perjanjian Pengikatan Jual
Beli yang dibuat dibawah tangan khususnya yang dibuat oleh pihak Developer.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, juga dengan
melalui wawancara kepada pihak Notaris dan developer di Jakarta.

Abstract
Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB) is an introductory agreement made
by and between the potential purchaser and potential buyer in the process of sale
and purchase of right on land since there are still unfulfilled requirement by one of
parties so that the sale and purchase can?t be executed before the Land Deed
Officer. This Sale and Purchase Binding Agreement is very important to minimize
the potential dispute arising during the period of installment payment. It is
suggested to prepare a Sale and Purchase Binding Agreement in form of Notary
deed to give legal protection to the parties as provided by an authentic deed and
the parties can clearly state the aim and objective of agreement so that the content
of Sale and Purchase Binding Agreement will involve rights and obligation of the
parties which is not included in the Sale and Purchase Binding Agreement
privately made especially by the Developer. This research used juridical and
normative research method and interview with Notary Public and Developer in
Jakarta."
2012
T31523
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afif Izzuddin Alfaruqi
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mengenai praktek jual beli tanah di Indonesia dengan metode perjanjian pengikatan jual beli dengan pemberian surat kuasa mutlak atas tanah yang dibuat oleh Notaris/PPAT. Objek dalam penelitian ini adalah putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 35/Pdt.G/2014/PN.DPS mengenai sengketa antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang melakukan pemindahan hak milik atas tanah dengan perjanjian pengikatan jual beli disertai surat kuasa mutlak untuk menjual/mengalihkan hak atas tanahnya tersebut. Data primer didapatkan dengan cara wawancara kepada narasumber dan data sekunder didapatkan dari buku-buku, penelitian terdahulu, dan peraturan perundang-undangan terkait. Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif, yaitu dengan cara memaparkan data yang diperoleh oleh penulis disertai analisis yang mendalam berdasarkan data yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemindahan hak milik atas tanah dengan metode perjanjian pengikatan jual beli disertai surat kuasa mutlak untuk mengalihkan/menjual kepemilikan hak atas tanah adalah perbuatan penyelundupan hukum dan Notaris/PPAT yang membuatkan akta telah melakukan pelanggaran hukum.

The purpose of this research is to analyze the practice of land title transaction with binding sale and purchase agreement with the irrevocable power of attorney which is created by Notary/PPAT. The object of this research is the Denpasar Court Decision Number 35/Pdt.G/2014/PN.DPS on any dispute between Indonesian and foreigner who did the transfer of the land title over bind sales agreement with irrevocable power of attorney to sell/transfer the rights of the land. Primary data obtained by interviews with informants and secondary data obtained from books, previous studies, and related legislative products. Data analysis was performed using descriptive-qualitative method, by describing the data which was obtained by the author accompanied by in-depth analysis based on data that have been collected previously.
The results of this research indicate that the transfer of the land title by the method of binding sale and purchase agreement with the irrevocable power of attorney to sell/transfer their land title is the act of law smuggling and Notary/PPAT who made the deed has violated the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58542
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atira Azrani
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana konsep mekanisme pengalihan piutang secara subrogasi dalam perjanjian kredit dengan jaminan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah berdasarkan peraturannya di Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pada dasarnya, subrogasi diatur dalam KUHPerdata yaitu penggantian hak terhadap pihak yang berpiutang kepada pihak ketiga yang membayarkan kepada pihak yang berpiutang yang disebabkan atas suatu perjanjian maupun undang-undang.  Lebih lanjut, subrogasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk penyelamatan kredit. Dalam Putusan Nomor 442/Pdt/2020/Pt.Sby, pengalihan piutang secara subrogasi dan jaminan yang dibebankan dalam perjanjian kredit adalah tanah dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak atas Tanah (PPJB Tanah). Maka dari itu, penulis mengkaji aspek hukum terhadap pengalihan hak atas tanah dengan PPJB sebagai jaminan dari perjanjian kredit yang telah dialihkan secara subrogasi kepada pihak ketiga.

This paper analyzes how the concept of the mechanism for transferring receivables by subrogation in a credit agreement with the collateral of a binding agreement for the sale and purchase of land rights based on its regulations in Indonesia. This paper is prepared by using doctrinal research method. Basically, subrogation is regulated in the Civil Code, which is the replacement of the rights of the indebted party to the third party who pays the indebted party caused by an agreement or law.  Furthermore, subrogation can be utilized as a way to rescue credit. In Decision Number 442/Pdt/2020/Pt.Sby, the transfer of receivables by subrogation and the collateral charged in the credit agreement is land with a Land Sale and Purchase Agreement (PPJB Tanah). Therefore, the author examines the legal aspects of the transfer of land rights with PPJB as collateral for credit agreements that have been transferred subrogated to third parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Iqbal Fadillah
"Penelitian ini membahas mengenai Akta Pengakuan Hutang dengan menggunakan jaminan berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli berupa tanah dan bangunan, bukan dengan Hak Tanggungan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1277 K/Pdt/2017. Oleh karena jaminan yang diberikan berupa tanah dan bangunan, paling tepat adalah menggunakan Lembaga Hak Tanggungan sebagai jaminan sebagai jaminan pelaksanaan pelunasan hutang. Penelitian ini mengangkat permasalahan tentang bagaimanakah implikasi hukum Akta Pengakuan Hutang dan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat oleh Notaris pada saat yang bersamaan dan bagaimana tanggung jawab notaris yang membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang memuat klausula telah beralihnya hak atas tanah. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bentuk penelitian normatif. Jenis data dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian ini menggunakan metode analisis data secara deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai bentuk jaminan pelunasan suatu hutang yang tercantum dalam Akta Pengakuan Hutang dengan jaminan berupa hak atas tanah, bentuk jaminan ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, seharusnya bentuk jaminan yang digunakan terhadap obyek hak atas tanah tersebut adalah Hak Tanggungan. Notaris yang membuat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai bentuk jaminan pelunasan dapat dibebankan pertanggungjawaban perdata karena telah membuat akta yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

The thesis is to analyze Deed of Credit Acknowledgement, using warranty in form of Sales Purchase Agreement upon Sales Purchase Object of land and building, not using the Mortgage Deed, based on the decision of the Supreme Court Adjudication of Republic Indonesia Number 1277 K/Pdt/2017. As the given warranties are in form of land and building, therefore the most appropriate is to apply Mortgage Deed as the warranty on credit settlement. This study raises the issue of how the legal implications of the Deed of Credit Acknowledgement and the Sales Purchase Agreement made by a Notary at the same time and how the responsibilities of a notary who make the Sales Purchase Agreement which contains a clause on land rights have been transferred. To answer these problems, this study uses a normative form of research. The type of data that used in this study is secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials. This study uses descriptive data analysis methods with a qualitative approach. The results of this research is show that the use of the Sales Purchase Agreement as a form of guarantee of repayment of a debt contained in the Deed of Credit Acknowledgement with collateral in the form of land rights, this form of collateral is not in accordance with applicable regulations, should be the form of collateral used for the object of land rights these are Mortgage Deed. A notary who makes a Deed of Sale and Purchase Agreement as a form of guarantee of repayment may be liable for civil liability for making a deed that is not in accordance with the provisions of the legislation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maena Vianny
"Perbuatan hukum dengan tujuan peralihan hak atas tanah salah satunya dapat dilakukan melalui jual beli yang kemudian dibuatkan akta autentik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang untuk dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Namun dalam kenyataannya, terdapat Akta Jual Beli (AJB) dengan tujuan peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh pihak yang tidak berwenang sebagaimana ditemukan dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1869K/PDT/2022. Permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dalam proses pembuatan AJB dengan tujuan peralihan hak atas tanah yang kemudian dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru. Untuk dapat memberikan penjelasan ekstensif terkait permasalahan utama tersebut maka dilakukan analisis tentang akibat hukum terhadap AJB peralihan hak atas tanah yang dibuat secara melawan hukum. Selain itu juga mengenai tanggung jawab PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap prosedur dalam pembuatan AJB peralihan hak atas tanah. Data sekunder yang didapatkan melalui studi dokumen pada penelitian doktrinal ini adalah berupa bahan-bahan hukum yang diperkuat dengan wawancara kepada narasumber dan kemudian dilakukan analisis secara kualitatif. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa meskipun terdapat perbedaan akibat hukum dari AJB yang diteliti seharusnya kedua AJB tersebut tidak dapat dilakukan peralihan kepada pemegang hak baru karena tidak memenuhi persyaratan formil pembuatan AJB yakni dilakukan di hadapan PPAT yang berwenang dan PPAT yang melakukan pelanggaran terhadap prosedur pembuatan AJB hak atas tanah diberikan sanksi baik secara administratif dengan pemberhentian secara tidak hormat, perdata dengan gugatan ganti rugi dan bahkan berpotensi diberikan sanksi pidana apabila memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 264 dan 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

One of the legal actions to transfer land rights can be carried out through sale and purchase, which is then made an authentic deed by a Land Deed Official (PPAT) authorized to transfer to the new right holder by the Government Regulation Number 24 of 1997 regarding Land Registration. However, in reality, there are Land Title Deeds made by unauthorized parties as found in the case of Supreme Court Decision Number 1869K/PDT/2022. The main problem discussed in this thesis is related to the tort of law in the process of making AJB in order to transfer land rights to new rights holders. To be able to provide an extensive explanation related to the main problem, an analysis is carried out on the legal consequencesof the Land Title Deed for the transfer of land rights made against the law In addition, it is also about the responsibility of the PPAT who violates the procedure in making AJB for the transfer of land rights. Secondary data obtained through document studies in this doctrinal research is in the form of legal materials reinforced by interviews with sources and then analyzed qualitatively. From the results of the research, it can be explained that although there are differences in the legal consequences of the AJBs studied, the two AJBs should not be transferred to the new right holder because they do not fulfill the formal requirements for making AJBs, which are carried out in the presence of an authorized PPAT and PPATs who violate the procedures for making AJBs of land rights are given sanctions both administratively with dishonorable dismissal, civil with compensation claims and even potentially criminal sanctions if they meet the elements in Articles 264 and 266 of the Criminal Code.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reynaldi Liwandi
"Peraturan yang berlaku dalam jual beli tanah yang objeknya berstatus Letter C adalah berdasarkan Hukum Tanah Nasional, yang dimana dianggap telah terjadi peralihan hak atas tanah dengan dilakukannya syarat terang dan tunai. Sehingga apabila proses jual beli baru didasarkan pada Perjanjian Pengikatan Jual Beli, belum terjadi peralihan hak atas tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah pertimbangan hukum dan putusan hakim terkait peralihan tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Lunas dan perlindungan hukum yang seharusnya didapatkan pembeli tanah yang berstatus Letter C berdasarkan Akta Autentik Perjanjian Pengikatan Jual Beli Notaris yang telah dibayar lunas dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 538 K/Pdt/2022. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah doktrinal dengan melakukan studi kepustakaan untuk mengolah data sekunder secara kualitatif. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa dalam melakukan pencatatan peralihan hak atas jual beli tanah yang belum bersertipikat harus dilakukan proses pendaftaran tanah terlebih dahulu melalui Kantor Kelurahan dan Kantor Pertanahan setempat berdasarkan kewenangannya masing-masing. Pembeli yang beritikad baik dalam melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas pernyataan yang diberikan oleh penjual terkait kebenaran data objek jual beli dan segala pengurusan lainnya hingga dapat dilakukannya penandatanganan Akta Jual Beli.

The regulations that apply in the sale and purchase of land whose object has Letter C status are based on the National Land Law, which is considered to have occured a transfer of land rights by carrying out clear and cash conditions. Therefore, if the buying and selling process is based on a sale and purchase binding agreement, there has not been a transfer of land rights from the seller to the buyer. The problem raised in this research are legal considerations and judge’s decisions regarding land transfers based on the Sale and Purchase Binding Agreement and the legal protection that should be obtained by the land buyer with Letter C status based on the Authentic Deed of the Notary Sale and Purchase Binding Agreement which has been fully paid in the case of Supreme Court Decision Number 538 K/Pdt/2022. The method used in this research is doctrinal by conducting literature studies to process secondary data qualitatively. From this research, it was found that in recording the transfer of rights to the sale and purchase of land that has not been certified, the land registration process must be carried out first through the District Office and Local Land Office based on their respective authorities. A buyer who has good faith in entering into the Sale and Purchase Binding Agreement has the right to obtain legal protection for statements given by the seller regarding the validity of the data on the object of sale and purchase and all other arrangements until the signing of the Deed of Sale and Purchase can be carried out.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Ratna Sari
"Kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan dengan adanya sertipikat. Salah satu perbuatan hukum untuk memperoleh hak atas tanah adalah dengan jual beli, dimana bukti peralihan hak yang dapat digunakan untuk proses balik nama di Kantor Pertanahan adalah Akta Jual Beli AJB yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT . Ada kalanya sebelum dibuat AJB, terlebih dahulu dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah PPJB sebagai perjanjian pendahuluan. Pada Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 307/Pdt/2010/PT.DKI, Majelis Hakim mengabulkan permohonan banding didasari dengan alasan hukum bahwa Pembanding dinilai telah mempunyai alas hak yang kuat dan benar atas objek sengketa berdasarkan Akta PPJB Nomor 02 tanggal 09 Februari 2007 yang telah dibayar lunas. Pada penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif normatif, yaitu menggambarkan peraturan-peraturan yang berlaku berkenaan dengan permasalahan yang akan diteliti. Pokok permasalahan yang diangkat adalah kekuatan hukum PPJB tersebut, perlindungan hukum terhadap pembeli, serta analisis putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 307/Pdt/2010/PT.DKI.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah kekuatan hukum dari PPJB tersebut telah menandakan sahnya jual beli karena telah terjadi penyerahan secara yuridis dan telah dilakukan pembayaran baik sebagian maupun secara lunas, namun hanya mengikat para pihak dalam perjanjian saja. Selain itu menurut penulis, Majelis Hakim Tingkat Banding kurang tepat dalam menerapkan hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana seharusnya yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah adalah sertipikat. Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah alangkah baiknya apabila Indonesia memiliki peraturan yang jelas terkait dengan PPJB, sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik ataupun sengketa antara para pihak yang terjadi karenanya. Kata Kunci:Jual Beli Tanah, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Sertifikat Hak Atas Tanah

Ownership of land rights must be proved by certificate. One of legal actions to obtain land rights is by buying and selling, where evidence of transfer of rights that can be used to ownership transition process in the Land Office is the Sale and Purchase Deed issued by the Land Deed Officer. Sometimes before Sale and Purchase Deed is created, Conditional Sale and Purchase of Land Agreement is first created as a preliminary agreement. At the Jakarta High Court Verdict Number 307 Pdt 2010 PT.DKI, the Panel of Judges granted the petition of appeal based on the legal grounds that the Appellant was judged to have true entitled on the object of dispute by Conditional Sale and Purchase of Land Agreement Deed Number 02 dated February 9, 2007 which has been paid off. In this thesis, the author uses descriptive normative research methods, which describes the rules and regulations related to the issues to be studied.
The conclusion of this study is the legal force of the Conditional Sale and Purchase of Land Agreement has marked the legitimate of buying and selling because the transfer has occured judicially and the payment has been made in part or in full, but only binding on the parties to the agreement. Also according to the author, the Court of Appeal is less precise in applying the law in accordance with the legislation in force, in which certificate should be the proof of land ownership. The advice can be given by the author is it would be nice if Indonesia has clear rules relating to the Conditional Sale and Purchase of Land Agreement, that could minimize the occurrence of conflict or dispute between the parties that happened because of it. Keyword Sale and Purchase of Land, Sale and Purchase Agreement, Land certificate."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T46832
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>