Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 192630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rini Wulandari
"Penelitian ini bertujuan mengkaji strategi “soft law” kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia di bawah payung hukum internasional tentang anti-money laundering (AML). Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan tiga teori utama, yaitu teori global criminology (Friedrichs, 2007), teori realitas sosial kejahatan (Quinney, 2004) dan teori bekerjanya hukum (Chambliss dan Seidman, 1971). Berdasarkan identifikasi, eksplorasi dan interpretasi data penelitian ditemukan tiga strategi kebijakan kriminal anti-pencucian uang di Indonesia. Pertama, kebijakan anti-pencucian uang perlu mengharmonisasi standar hukum internasional terkait tindak pidana pencucian uang. Perbedaan sistem hukum tidak semestinya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk mengadopsi atau mengikuti rekomendasi FATF. Adanya satu standar hukum global akan memudahkan Indonesia melakukan penegakan hukum karena TPPU merupakan kejahatan lintas negara dan lintas yurisdiksi yang memerlukan kesamaan visi internasional. Kedua, kebijakan anti-pencucian uang di Indonesia perlu disesuaikan dengan konteks hukum nasional, normal sosial dan budaya yang hidup di masyarakat serta kompleksitas kejahatan pencucian uang itu sendiri. Sehingga ada usulan agar UU PPTPPU yang berlaku saat ini perlu direvisi untuk menjangkau kemutakhiran modus kejahatan pencucian uang. Terakhir, strategi soft law dalam konstruksi kebijakan anti-pencucian uang perlu diimplementasikan dengan mempertajam aturan dan norma-norma turunan yang di dalam peraturan yang dibuat lembaga penegak hukum dan pemegang peran seperti Polri, PPATK, Bank Indonesia dan OJK. Aturan-aturan tersebut bisa langsung mengadopsi ketentuan-ketentuan yang merupakan rekomendasi FATF dan UU PPTPPU.

This study aims to examine the "soft law" strategy of anti-money laundering criminal policies in Indonesia under the umbrella of international law on anti-money laundering (AML). The research uses a qualitative approach using three main theories, namely the theory of global criminology (Friedrichs, 2007), the theory of the social reality of crime (Quinney, 2004) and the theory of the working of law (Chambliss and Seidman, 1971). Based on the identification, exploration, and interpretation of research data, three anti-money laundering criminal policy strategies in Indonesia were found. First, anti-money laundering policies need to harmonize international legal standards regarding money laundering crimes. Differences in legal systems should not be an obstacle for Indonesia to adopt or follow FATF recommendations. The existence of one global legal standard will make it easier for Indonesia to enforce the law because money laundering is a transnational and cross-jurisdictional crime that requires a common international vision. Second, anti-money laundering policies in Indonesia need to be adapted to the context of national law, social and cultural norms that live in society and the complexity of the crime of money laundering itself. So there is a suggestion that the current UU PPTPPU needs to be revised to reach the latest modes of money laundering crimes. Finally, the soft law strategy in the construction of anti-money laundering policies needs to be implemented by sharpening the derived rules and norms in the regulations made by law enforcement agencies and role holders such as the National Police, PPATK, Bank Indonesia and OJK. These rules can directly adopt the provisions which are the recommendations of the FATF and the PPTPPU Law."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Natassja Emmanuela Rawung
"Pencucian uang merupakan tindak kriminal tergolong baru namun berdampak fatal dalam perekonomian global. Urgensi negara-negara untuk menangani masalah tersebut mendorong terbentuknya Financial Action Task Force (FATF) yang berfungsi untuk menegakkan rezim anti pencucian uang internasional dan mempromosikan rezim tersebut ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia serta keterlibatan FATF dalam proses tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif yang bersifat deduktif berdasarkan data dari studi pustaka dengan menggunakan teori siklus hidup norma sebagai landasan argumen. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, mengambil kesimpulan bahwa FATF berfungsi sebagai norm entrepreneur yang mendorong pemerintah Indonesia untuk membentuk rezim anti pencucian uang. Penulis menemukan bahwa FATF menggunakan mekanisme sosialisasi norma berupa daftar hitam untuk mempromosikan norma sekaligus memberikan tekanan kepada Indonesia untuk patuh. Hal ini menunjukkan bahwa FATF memiliki keterlibatan yang signifikan dalam proses pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Keseluruhan proses tersebut merupakan bagian dari tahapan siklus hidup norma, yaitu kemunculan norma, norm cascade dan internalisasi norma.

Money laundering is a relatively new crime, yet it has a fatal impact on the global economy. The urgency of countries to deal with these problems has prompted the formation of a Financial Action Task Force (FATF) whose function is to enforce the international anti-money laundering regime and promote the regime to other countries, including Indonesia. This paper aims to explain the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia and the involvement of the FATF within the process. The research method used is a qualitative approach that is deductive in nature based on data from literature studies, while using the norm life cycle theory as the basis of the argument. Based on the analysis that has been done, it can be concluded that the FATF functions as a norm entrepreneur which pressured the Indonesian government to establish an anti- money laundering regime. The author finds that the FATF uses a norm socialization mechanism in the form of a blacklist in order to promote norms as well as to put pressure on Indonesia to comply. This shows that the FATF has a significant involvement in the process of establishing an anti-money laundering regime in Indonesia. The whole process is part of the stages of the norm life cycle, namely the norm emergence, the norm cascade and the norm internalization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhika Widagdho Putro
"Financial Action Task Force on Money laundering (FATF), dibentuk sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi internasional untuk memerangi money laundering. FATF merupakan intergovernmental body sekaligus suatu policy-making body yang berisikan para pakar di bidang hukum, keuangan dan penegakan hukum yang membantu yurisdiksi negara dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia sendiri tidak dapat dilepaskan dari peran FATF itu sendiri, yang mana Indonesia dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATF pada bulan Juni 200. Penelitian ini akan membahas mengenai rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering dan penerapannya dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif melalui bahan-bahan kepustakaan, dokumen dan literatur.

Financial Action Task Force on Money laundering (FATF) was formed as a task force with the task of preparing international recommendations to combat money laundering. FATF is an intergovernmental body as well as a policy-making body which consists of experts in the legal, financial and law enforcement to help countries in order to prepare the legislation of anti money laundering regulation. The Development of anti-money laundering regime in Indonesia could not be separated from the role of the FATF itself, to which Indonesia was in the list of Non-Cooperative Countries and Territories (NCCTs) by FATF in June 200. This research will examine about the Recommendation of Financial Action Task Force on Money and its implementations in the anti-money laundering regime in Indonesia. The methodology used in conducting this study is normative research through library materials, documents and literature."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44792
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Refki Saputra
"Kriminalisasi aktivitas pencucian uang, pada dasarnya merupakan respon atas sulitnya mengungkap kejahatan terorganisir. Hal ini dilakukan karena pelaku menggunakan teknik-teknik pencucian uang untuk menyembunyikan harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Melalui pendekatan anti-pencucian uang, proses penegakan hukum diarahkan tidak hanya sekedar menemukan pelaku kejahatan, melainkan juga mencari harta kekayaan hasil kejahatan. Rezim anti-pencucian uang kemudian dianggap sebagai strategi baru dalam memberantas kejahatan dengan merampas hasil kejahatannya. Tatkala para pelaku kejahatan dihalangi untuk menikmati hasil kejahatannya, maka diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga menjadi sirna. Regulasi anti-pencucian uang di Indonesia, sejauh ini sudah cukup memberikan panduan kepada institusi yang terlibat dalam implementasi rezim anti-pencucian uang sebagai bagian dari upaya memberantas kejahatan (tindak pidana asal). Hal ini misalnya tampak dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan upaya penelusuran hasil kejahatan. Misalnya terkait dengan ketentuan pelaporan dan analisis transaksi keuangan, upaya mengamankan aset hasil kejahatan dalam ketentuan terkait dengan penundaan, penghentian transaksi, pemblokiran, penyitaan, hingga upaya perampasan hasil kejahatan. Agar dapat memaksimalkan pemberantasan kejahatan, maka perlu adanya kesamaan persepsi diantara penegak hukum, bahwa kriminalisasi aktivitas pencucian uang merupakan pintu masuk dalam mengungkap kejahatan. Proses pembuktian harus dilakukan secara efisien dengan menggunakan mekanisme pembuktian terbalik. Selain itu juga, proses peradilan tindak pidana pencucian uang harus selalu diarahkan untuk menemukan hasil kejahatan untuk kemudian dirampas atau dikembalikan kepada yang berhak.

The criminalization of money laundering activities, essentially a response to the difficulty of uncovering organized crime. This is done because the perpetrators use techniques of money laundering to conceal wealth obtained from the crime. Through the anti-money laundering approach, law enforcement process directed not only to find the perpetrators, but also to seek the proceeds of crime. Anti-money laundering regime is then considered as a new strategy to fight against crime by seizing the proceeds of crime. When the perpetrators are prevented from enjoying the proceeds of crime, it is expected that the motivation to commit crimes also be annihilated. Anti-money laundering regulation in Indonesia, so far is sufficient to provide guidance to the institutions involved in the implementation of anti-money laundering regime as part of efforts to combat crime (predicate offenses). It can be seen from the provisions relating to the search effort of criminal proceeds. For instance associated with the provision of financial transaction reporting and analysis, to secure the assets of criminal proceeds in the provisions relating to delays, termination of the transaction, blocking, seizure, up to confiscation of proceeds of crime. In order to maximize efforts to fight crime, we need a shared understanding among law enforcement agencies, that the criminalization of money laundering activity is an entry point to uncovering crime. Trial process must be done efficiently by using the reversal of burden of proof. In addition, the judicial process of money laundering should always be directed to locate the proceeds of crime, to be seized or returned to those entitled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wind Kuncahyo
"Perkembangan teknologi informasi yang dimanfaatkan dalam industri jasa keuangan, lebih dikenal dengan Financial Technology (Fintech) telah mendorong lahirnya Penyedia Jasa Keuangan (PJK) baru sebagai alternatif sumber pendanaan bagi dunia usaha sekaligus pilihan sarana investasi bagi masyarakat, salah satu PJK baru tersebut adalah Penyelenggara Securities Crowdfunding. Dalam ekosistem Securites Crowdfunding terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu, Penerbit, Pemodal dan Penyelenggara/Platform. Securities Crowdfunding akan melibatkan sangat banyak orang sebagai Pemodal yang akan menginvestasikan dananya pada Penerbit berupa suatu badan usaha termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Banyaknya jumlah Pemodal dengan nilai investasi yang bervariasi akan menghasilkan kumpulan dana sangat besar yang mengalir melalui mekanisme Securities Crowdfunding. Adanya aliran dana yang besar berpotensi dimanfaatkan pelaku kejahatan untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Penelitian ini akan mengkaji pengaturan program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme (APU PPT) dan menganalisis risiko TPPU dan TPPT yang dihadapi oleh Securities Crowdfunding. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu, menggunakan bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer yakni peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum sekunder yakni buku, jurnal, maupun hasil penelitian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan wawancara dengan narasumber. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa Penyelenggara Securities Crowdfunding memiliki kewajiban untuk menerapkan program APU PPT namun diperlukan peraturan pelaksana sebagai panduan bagi Penyelenggara untuk mengimplementasikan program APU PPT. Adapun saran yang diberikan Penulis adalah perlunya diberikan waktu yang memadai bagi Penyelenggara untuk mempersiapkan diri dalam menerapkan program APU PPT.

The development of information technology used in the financial services industry, better known as Financial Technology (Fintech), has prompted the establishment of new Financial Service Providers (FSP) as an alternative source of funding for the business world as well as a choice of investment facilities for the public. One of the FSP is Securities Crowdfunding. There are 3 (three) parties involved in the Securites Crowdfunding ecosystem, namely, the Issuer, the Investor, and the Platform. Securities Crowdfunding will involve a lot of people as investors who will invest their funds in the issuer in the form of a business entity including Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs). The large number of investors with varying investment values will result in a very large pool of funds flowing through the Securities Crowdfunding mechanism. The existence of a large flow of funds has the potential to be used by criminals to commit Money Laundering (ML) and Terrorism Financing (TF) crimes. This study will research the regulation of the Anti-Money Laundering and Counter Terrorism Financing (AML CFT) program and analyze the ML risks faced by Securities Crowdfunding. This research is a legal research using normative juridical research methods. The author uses library materials consisting of primary legal materials such as laws and regulations, and secondary legal materials such as books, journals, and research finding. In addition, the author utilizes interviews to support the data. The conclusion obtained from this research is that Securities Crowdfunding Platform has an obligation to implement the AML-CFT program and a regulation is needed as a guide for the Platform to implement the program. The author suggests that it is necessary to give adequate time for the Platform to prepare themselves in implementing the AML-CFT program."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amalia
"Pendekatan follow the money berupaya menemukan uang/harta benda/kekayaan lain yang dapat dijadikan sebagai alat bukti obyek kejahatan dan sudah barang tentu setelah melalui analisis transaksi keuangan dan dapat diduga bahwa uang tersebut sebagai hasil kejahatan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif berupa studi kepustakaan yaitu dengan meneliti dokumen berupa literatur buku-buku, peraturan-peraturan dan juga melakukan wawancara dengan narasumber. Pendekatan follow the money dalam memberantas tindak pidana khususnya tindak pidana pencucian uang dirasakan masih lemah, dari segi penegakan hukum di Indonesia masih banyak yang enggan untuk menerapkan pendekatan ini. Di dalam follow the money terdapat tindakan progresif yang didasarkan kepada pengungkapan kasus yang dimulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pembuktian di persidangan melalui pendekatan follow the money sebagai complementary dari pendekatan follow the suspect yang sudah mendarah daging dipahami dan dipedomani oleh penegak hukum, sehingga apabila follow the suspect juga dilengkapi dengan pendekatan follow the money maka akan memperoleh hasil yang maksimal.

Follow the money approach tries to find the money property other property that can be used as evidence the object of the crime after going through the analysis of financial transactions and can be presumed that the money as proceeds of crime. By using normative juridical research method in the form of a literature study to examine the document in the form of literature books, regulations, and also conduct interviews with sources. Follow the money approach in combating the crime of money laundering in particular is still weak, in terms of law enforcement in Indonesia many are reluctant to adopt this approach. In follow the money there is a progressive action based on the disclosure of the starting level of inquiry, investigation, prosecution, and proof at trial through approaches follow the money as a complementary approach of follow the suspect ingrained understood and guided by law enforcement, so that if follow the suspect is also equipped with an approach follow the money it will get the maximum results."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47431
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Broome, John
Hong Kong: Sweet & Maxwell Asia, 2005
345.023 Bro a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Safitri
"ABSTRAK
Tesis ini membahas penerapan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) dengan memfokuskan pada studi kasus terkait upaya pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Analisis dalam tesis ini menggunakan dasar teori yang dikemukakan oleh Stephen D. Krasner bahwa dalam rezim internasional terdapat hubungan yang erat antara basic causal variables (pengaruh dan kepentingan) dan outcomes and related behaviour sebagai faktor penyebab terjadinya suatu tingkah laku dalam sistem internasional. Berdasarkan teori ini diketahui bahwa pengaruh G7 dalam pembentukan FATF sebagai organisasi internasional yang mengeluarkan Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) dan kepentingan Indonesia dalam dunia internasional telah menjadi latar belakang pemerintah mematuhi dan menerapkan rekomendasi FATF sebagai standar internasional dalam rezim anti pencucian uang. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa melalui peningkatan kepatuhan dengan menerapkan rekomendasi FATF khususnya terhadap sektor perbankan, Indonesia mampu menjaga integritas sektor perbankan nasional serta pencitraan negara.

ABSTRACT
This thesis discusses about implementation of Financial Action Task Force (FATF) that focused on case study of the development of anti-money laundering in Indonesia. The analysis in this thesis is based on the theory of Stephen D. Krasner which said that there is a close relation between basic causal variables (power and interest) and outcomes and related behaviour in international regime as a causal factor that contribute to the behavior in international system. Based on this theory, it is understood that the power of G7 in the establishment of Financial Action Task Force (FATF) as an international organization that published Non-Cooperative Countries and Territories (NCCT list) and Indonesia’s interest in international level, had become the reasons of Indonesia’s compliance and implementation towards FATF recommendations as an international standards of anti-money laundering regime. This research is qualitative with descriptive design. The result of research conclude that through enhancement of compliance by implementing FATF recommendations prominently towards banking sector, Indonesia was able to maintain the integrity of the national banking sector and national image. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Nico Andreas
"Perusahaan Pembiayaan menjadi salah satu bagian dari usaha perbankan yang digunakan sebagai sarana dan prasarana bagi pelaku kejahatan untuk melakukan “tindak pidana pencucian uang” yang lebih dikenal dengan istilah money laundering. Secara sederhana, kegiatan money laundering dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni : placement, layering, dan integration.. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 12/POJK.01/2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan mengatur bahwa Perusahaan Pembiayaan diwajibkan untuk menerapkan Program APU dan PPT dengan menugaskan unit kerja khusus dan membuat kebijakan dan Prosedur penerapan program APU dan PPT. Bahwa pada kenyataannya, keterbatasan dana dan alasan efisiensi membuat perusahaan pembiayaan lebih memilih untuk menempatkan fungsi tugas APU dan PPT ini disatukan dengan departement/divisi yang sudah ada sebelumnya. Namun, guna mengetahui adanya indikasi transaksi keuangan yang mencurigakan, Perusahaan Pembiayaan telah membuat indikator yang dijadikan pedoman, antara lain : Pembayaran DP ≥ 75% dari harga kendaraan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); melakukan pembayaran cicilan sebesar 5 (lima) kali cicilan atau lebih sekaligus; Pelunasan dipercepat dilakukan konsumen pada saat ≤ setengah tenor pembiayaan dan dengan nominal ≥ Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah); Transaksi dilakukan oleh konsumen yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana; Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan yang diduga terkait dengan hasil kejahatan/tindak pidana.

The Finance Company is a part of banking business that used as a facility for criminals to do “Money Laundering Crimes” In simple terms, money laundering activities are grouped into three activities, namely: placement, layering, and integration.. Financial Services Authority Regulation No. 12/POJK.01/2017 concerning the Application of the Anti Money Laundering and Prevention of Terrorism Funding Program in the Financial Services Sector regulates that the Finance Company is required to implement the APU and PPT Program by assigning a special unit work and making policies and procedures for implement APU and PPT program. In the fact, funds limitation and efficiency reasons have made Finance Company prefer to place the APU and PPT tasks functions put together with exisiting departments/divisions. However, to be aware of any indications of suspictious financial transactions, the Finance Company has made indicators that used as guidelines, including DP payments ≥ 75% of the vehicles price with a nominal values ≥ Rp. 150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs); make payments of 5 (five) installments or more at once; Accelerated repayment by consumer at or half the tenor of financing and with a nominal ≥ Rp.150.000.000 (one hundred and fifty milions rupiahs). Transactions by consumers who have been designated as suspects in criminal cases; Financial transactions carried out or canceled are suspected to be related to the proceeds of crime / crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T52489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>