Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3414 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Viona Rezika
"Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan sediaan emulsi antiaging berbahan aktif lilin propolis. Pengujian dilakukan terhadap lilin propolis meliputi penentuan kadar flavonoid total, penentuan kadar polifenol total, dan pengujian aktivitas antioksidan. Kadar flavonoid total diuji menggunakan reagen AlCl3 dan CH3COOK dengan kuersetin sebagai larutan standar. Penentuan kadar polifenol total dilakukan menggunakan metode Folin-Ciocalteu dengan asam galat sebagai larutan standar. Aktivitas antioksidan diukur dengan menggunakan reagen DPPH. Lilin propolis selanjutnya digunakan sebagai bahan aktif antiaging dalam formulasi sediaan emulsi. Selain lilin propolis, bahan yang digunakan dalam formulasi ini meliputi aquades, gliserin, EDTA, xanthan gum, ammonium acryloyldimethyltaurate/VP copolymer, phenoxyethanol, chlorphenesin, arachidyl alcohol, behenyl alcohol, arachidyl glucoside, cetyl alcohol, dan isopropyl myristate. Emulsi yang dihasilkan dievaluasi berdasarkan stabilitasnya pada berbagai kondisi, meliputi kondisi suhu ruang, suhu 45oC, 4oC, jemur, dan siklus. Adapun parameter yang diukur adalah organoleptis, pH, dan viskositas. Untuk mengetahui performa antiaging emulsi, dilakukan uji aktivitas antiglikasi dengan Bovine Serum Albumine (BSA) dan fruktosa sebagai reagen. Berdasarkan hasil pengujian, lilin propolis memiliki kadar flavonoid total sebesar 41,01 ± 1,62 mg QE/g lilin propolis, kadar polifenol total sebesar 53,51 ± 35,11 mg GAE/g lilin propolis, dan nilai IC50 aktivitas antioksidan sebesar 413,91 ppm. Sediaan emulsi stabil pada berbagai kondisi, ditunjukkan dari parameter homogenitas, pH, dan viskositas yang masih dalam memenuhi standar SNI 16-4399-1996 tentang Sediaan Tabir Surya. Pengujian aktivitas antiglikasi dilakukan pada lilin propolis dan emulsi antiaging untuk mengetahui kemampuan inhibisi pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs) sebagai parameter kemampuan antiaging. Hasil pengujian menunjukkan lilin propolis mampu menginhibisi pembentukan AGEs sebesar 86,54%. Sementara itu, sediaan emulsi memiliki kemampuan inhibisi reaksi glikasi sebesar 29,25% untuk konsentrasi 5,0% lilin propolis, dan 51,94% untuk konsentrasi 8,5% lilin propolis. Persentase inhibisi AGEs emulsi dengan konsentrasi 2,5% lilin propolis tidak dapat ditentukan karena data yang diperoleh tidak valid.

This study aimed to develop an anti-aging emulsion by incorporating propolis wax as an active ingredient. Propolis wax underwent tests to determine its total flavonoid and polyphenol content, as well as its antioxidant activity. Total flavonoid content was measured using AlCl3 and CH3COOK reagents, with quercetin as the standard solution. Total polyphenol content was determined using the Folin-Ciocalteu method with gallic acid as the standard solution. Antioxidant activity was evaluated using DPPH as reagent. Propolis wax was then used in the emulsion formulation, along with other ingredients such as distilled water, glycerin, EDTA, and xanthan gum. The stability of the resulting emulsion was assessed under different conditions, including room temperature, 45oC, 4oC, sun exposure, and cycling. Organoleptic properties, pH, and viscosity were measured as parameters. The emulsion's anti-aging performance was evaluated using an antiglycation activity assay with Bovine Serum Albumin (BSA) and fructose. Test results revealed that propolis wax had a total flavonoid content of 41.01 ± 1.62 mg QE/g, a total polyphenol content of 53.51 ± 35.11 mg GAE/g, and an antioxidant activity IC50 value of 413.91 ppm. The emulsion demonstrated stability, meeting the standards of SNI 16-4399-1996 in terms of homogeneity, pH, and viscosity. The antiglycation activity assay showed that propolis wax inhibited AGEs formation by 86.54%. The emulsion exhibited glycation reaction inhibition percentages of 29.25% and 51.94% at concentrations of 5.0% and 8.5% propolis wax, respectively. However, the AGEs inhibition percentage for the emulsion with 2.5% propolis wax concentration could not be determined due to invalid data."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daisy Christina
"Dewasa ini antioksidan menjadi topik penting dalam berbagai disiplin ilmu. Antioksidan merupakan senyawa inhibitor yang dapat menghambat reaksi autooksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Antioksidan sangat diperlukan oleh setiap tubuh manusia. Antioksidan dapat diperoleh dari berbagai bahan alam, salah satunya yaitu propolis. Propolis adalah getah alami yang dikumpulkan oleh lebah, didapatkan dari tumbuh-tumbuhan yang berada di sekitar sarang lebah. Untuk menjadikan propolis sebuah produk yang dapat dikonsumsi, propolis perlu melalui proses ekstraksi, di mana pelarut yang seringkali digunakan adalah etanol. Meskipun memiliki banyak kelebihan, namun etanol juga memiliki kelemahan seperti sisa rasa yang kuat, reaksi samping, dan intoleransi terhadap alkohol dari beberapa orang Konishi et al., 2004 . Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan mengekstrak propolis Tetragonula sp. kasar dan halus menggunakan empat variasi pelarut organik, yakni minyak zaitun/olive oil, minyak kelapa/virgin coconut oil VCO , propilen glikol PG , dan lesitin. Dari berbagai jenis pelarut tersebut, maka diharapkan akan didapatkan pelarut terbaik dalam mengekstrak propolis. Pemilihan pelarut terbaik tersebut dapat ditentukan melalui berbagai uji, yaitu pengujian kandungan flavonoid dan polifenol, serta aktivitas antioksidan. Untuk menguji kandungan flavonoid, dapat dilakukan dengan metode AlCl3 dan hasil terbaik yang didapatkan adalah pada ekstrak propolis kasar-VCO sebesar 2509,767 615,02 ?g/mL. Untuk menguji kandungan polifenol, dapat dilakukan dengan metode Folin Ciocialteu dan hasil terbaik yang didapatkan adalah ekstrak propolis reguler-VCO sebesar 1391 171,47 ?g/mL. Untuk menguji aktivitas antioksidan, dapat dilakukan dengan metode DPPH dan hasil terbaik yang didapatkan adalah ekstrak propolis halus-VCO dengan nilai IC50 sebesar 1,559 0,222 ?g/mL

Nowadays, antioxidant is an important topic in many disciplines. Antioxidants are inhibitory compounds that can inhibit the autooxidation reaction by binding to free radicals and highly reactive molecules. Antioxidants are needed by every human body because of the condition of the human body. Antioxidants can be obtained from various natural materials, one of which is propolis. Propolis is a natural sap collected by bees, obtained from plants that surround the honeycomb. To make propolis as a product that can be consumed, propolis is necessary through the extraction process, where the solvent is often used is ethanol. Although it has many advantages, but ethanol also has weaknesses such as strong residual flavor, side reactions, and intolerance to alcohol from some people Konishi et al., 2004 . This is what prompted the authors to conduct research by extracting propolis using four varieties of organic solvents, namely olive oil, virgin coconut oil VCO , propylene glycol PG , and lecithin. Of the various types of solvent, it is expected to get the best solvent in extracting propolis. The selection of the best solvent can be determined through various tests, which are total flavonoids and polyphenols content assay and antioxidant activity assay. To test the flavonoid content, it can be done by AlCl3 method and the best result obtained is rough propolis VCO extract of 2509.767 615.02 g mL. To test the polyphenol content, it can be done by Folin Ciocalteu method and the best result obtained is soft propolis VCO extract of 1391 171.47 g mL. To test the antioxidant activity, it can be done with DPPH method and the best result obtained is soft propolis VCO extract of 1.559 0.222 g mL."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Abigael Hotma Parsaulian
"Proses ekstraksi propolis menghasilkan produk samping berupa propolis wax yang cenderung tidak diinginkan oleh masyarakat. Sifat antimikroba dan antioksidan dari propolis wax dapat dimanfaatkan menjadi zat aktif pada sabun transparan. Sabun propolis wax transparan yang dihasilkan secara kualitas syarat mutu SNI 06-3532-1994 tidak berbeda nyata dengan sabun propolis komersil yang telah dijual di pasaran. Sampel diuji aktivitas antimikroba menggunakan metode Total Plate Count.
Hasil persentase penghambatan mikroba asal tangan sabun propolis wax dengan kadar 1%; 1,5%; dan 2% secara berturut-turut yaitu 28,25%; 45,06% dan 62,62% sedangkan sabun komersil Lifebuoy dengan uji yang sama memiliki persentase penghambatan mikroba sebesar 53,54%. Untuk hasil uji organoleptik, dari segi penampakan dan aroma sabun panelis lebih menyukai sabun propolis wax 1%, sedangkan dari segi kesan halus dan busa yang dihasilkan panelis lebih menyukai sabun propolis wax 2%.

The extraction process of propolis produces by-products named propolis wax tends unwanted by people. Antimicrobial and antioxidant properties of propolis wax can be utilized as an active substance in transparent soap. Propolis wax transparent soap produced in the quality of SNI 06-3532-1994, are not significantly different with propolis soap commercial that has been sold in the market. Then the antimicrobial activity of samples were tested using Total Plate Count method.
The percentage inhibition of microbial origin hands of propolis wax transparent soap 1%, 1.5% and 2% respectively are 28.25%, 45.06% and 62.62%, while commercial Lifebuoy soap with the same test has microbial inhibition percentage of 53.54%. For organoleptic test results, in terms of appearance and scent soap panelists prefer the propolis wax soap 1%, while in terms of subtle impression and the resulting foam soap panelists preferred 2% propolis wax.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S47639
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Azizah
"Kandungan polifenol lilin propolis terbukti masih efektif dalam menginhibisi pertumbuhan jamur Candida albicans yang terdapat pada vagina wanita yang mengalami keputihan. Sediaan obat keputihan dengan bahan aktif lilin propolis yang dipilih adalah supositoria vagina (ovula). Pada variasi komposisi ovula 1 dan 2 memiliki bobot rata-rata 2,3335±0,022 dan 2,3234±0,018. Ovula 1, 2 dan kontrol memiliki waktu leleh rata-rata 17 menit, 5,3 menit dan 6 menit. Konsistensi dari terendah ke tertinggi ovula 2

Polyphenols in propolis wax proved to be still effective in inhibits the growth of Candida albicans in women’s vagina who experience vaginal discharge. Selected drug with active agent was vaginal suppository (ovule). Ovule 1 and 2 had an average weight: 2.3335±0.022 and 2.3234±0.018. Ovule 1, 2 and control had the average melting time: 17, 5.3 and 6 minutes. The consistency of the lowest to the highest: ovula 2< 1"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64182
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syavina Maura Zahrani
"Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronis pada organ reproduksi wanita dengan gejala utama nyeri pelvis kronis, dismenore, dan dispareunia yang dapat disebabkan oleh stres oksidatif akibat rendahnya kadar antioksidan, seperti vitamin C, sehingga terjadi kerusakan sel. Levonorgestrel adalah terapi hormonal yang sering digunakan untuk meredakan rasa nyeri pada endometriosis, tetapi dapat memperberat proses inflamasi, sehingga dibutuhkan suatu terapi adjuvan, seperti propolis yang mengandung antioksidan yang tinggi. Penelitian ini menggunakan desain uji klinis dengan alokasi acak dan tersamar ganda. Subjek penelitian adalah 24 wanita yang sedang mendapatkan terapi implan levonorgestrel dan diminta untuk menerima propolis atau plasebo dua kali sehari dengan dosis 1 tetes/10 kg berat badan (kgBB) per kali. Sampel darah kemudian diambil pada 4 minggu setelah intervensi dan dilakukan pemisahan serum. Pengukuran kadar vitamin C serum dilakukan dengan metode spektrofotometri dan analisis statistik dilakukan dengan uji t tidak berpasangan apabila data berdistribusi normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok (p<0,001), yaitu kadar vitamin C serum lebih tinggi pada kelompok propolis (0,202+0,057) dibandingkan kelompok plasebo (0,069+0,028). Dengan demikian, pemberian propolis meningkatkan kadar vitamin C serum pada pasien endometriosis setelah intervensi 4 minggu. 

Endometriosis is a chronic inflammatory reproductive disease in women which main symptoms are chronic pelvic pain, dysmenorrhea, and dyspareunia that can be triggered by oxidative stress due to decreased antioxidants, such as vitamin C that may cause cell damage. Levonorgestrel is a hormonal therapy that is commonly used for endometriosis to relieve pain but it can worsen the inflammatory process, so an adjuvant therapy is needed, such as propolis that contains high antioxidant level. This study used clinical trial design with random allocation and double-blinded. The study subject is 24 women that receive levonorgestrel therapy and were asked to consume propolis or placebo randomly two times a day with a dose of 1 drop/10 kg body weight (kgBW) per time. Blood samples were then taken after 4 weeks and serum separation was performed. Serum vitamin C levels were measured using spectrophotometric method and statistical analysis used independent t-test if the data were normally distributed. The result showed that there is a significant difference between the two groups (p<0,001), in which the concentration of serum vitamin C is higher in the propolis group (0,202+0,057) compared to the placebo group (0,069+0,028). In conclusion, the administration of propolis results in significantly higher serum vitamin C concentration after 4-week intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anissa Permatadietha Ardiellaputri
"Propolis dan kurkumin telah terbukti sebagai herbal yang memiliki aktivitas antibakteri. Keduanya dapat dikembangkan menjadi bahan aktif obat kumur yang diperuntukkan untuk pencegahan oral biofilm. Untuk menghantarkan aktivitas biologis tersebut, obat kumur dibuat dalam bentuk sediaan nanoemulsi yang akan bekerja secara efektif melewati permukaan lapisan biofilm dan berpenetrasi secara cepat menuju sel target. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan formula obat kumur yang memiliki sifat fisik dan stabilitas terbaik serta teruji kemampuannya sebagai agen antibiofilm. Propolis A.mellifera dan kurkumin Curcuma domestica Val., masing-masing akan diformulasikan menjadi sebuah sediaan obat kumur menggunakan metode homogenisasi gabungan, pengadukan dan ultrasonikasi. Pada masing-masing formula, dilakukan jumlah variasi surfaktan dan kosurfaktan untuk mengetahui penga-ruhnya terhadap stabilitas sediaan. Formula yang lulus uji stabilitas kemudian akan diuji kemampuan antitbofilmnya secara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula dengan perbandingan tween 80 dan gliserin 2:1 (v/v) merupakan formula dengan stabilitas fisik terbaik. Tween 80 dan gliserin terbukti tidak mampu bekerja secara tunggal untuk menghasilkan sediaan nanoemulsi yang stabil. Secara in vitro, obat kumur propolis dan obat kumur kurkumin teruji mampu menghambat pertumbuhan koloni primer Streptococcus mutans pada lapisan biofilm. Obat kumur propolis dilaporkan bekerja lebih efektif dengan kadar optimum 5% (v/v) dan persentase penghambatan biofilm sebesar 48,54%.

Propolis and curcumin have been reported to have antibacterial activity. Both of those herbs can be developed as anti oral biofilm mouthwash. In order to deliver the biological activity, mouthwash is produced as nanoemulsion that promotes wide distribution throughout oral biofilm and effectively penetrates to target cell. This study aims to create the best mouthwash formulation with great physical characteristics and stability, and also proved as antibiofilm agent. Each propolis A.mellifera and curcumin Curcuma domestica Val. was formulated into a mouthwash using the combined method of homogenization, mixing and ultrasonication. There was a variation amount of tween 80 and glycerine in each formulation to investigate its effect on stability. The proven formula with greatest stability was continued to undergo antibiofilm assay. Result of this study showed that formula with ratio of tween 80 and glycerine 2:1 (v/v) was found to be the best. Tween 80 and glycerin was investigated can‘t work as a single surfactant to produce stable nanoemulsion. Propolis and curcumin mouthwash showed in vitro antibiofilm activities against Streptococcus mutans, the primer colony in biofilm. Propolis mouthwash reported has a better effectiveness with the MIC of biofilm formation was 5% v/v and % inhibition of 48,54%, respectively.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S55211
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tony Supardi
"ABSTRAK
Propolis adalah produk lebah yang banyak terdapat di Indonesia. Pemanfaatan propolis diantaranya sebagai makanan berfungsi tinggi yang bernilai ekonomis, karena propolis memiliki banyak kandungan bioaktif , diantaranya senyawa flavonoid dan polifenol. Propolis bersifat hidrofob, sehingga tidak optimal diserap tubuh, oleh karena itu harus diolah terlebih dahulu. Untuk mendapatkan produk yang bernilai tinggi maka dibuat inovasi terhadap produk olahan propolis, diantaranya yaitu dengan membuat nanofood propolis. Tujuan pembuatan nanofood propolis yaitu agar kandungan bioaktif propolis dapat diserap optimal oleh tubuh. Nanofood propolis menggunakan penyalut yang bersumber dari protein yaitu casein micelle yang dapat menyalut senyawa bioaktif hidrofob dalam propolis. Hasil pemisahan propolis dengan wax nya optimal pada konsentrasi etanol 70%, sehingga propolis ini digunakan untuk penyalutan. Untuk menghasilkan partikel nano digunakan gelombang ultrasonik terhadap produk, dan untuk memisahkan partikel nano dilakukan proses mikrofiltrasi. Efisiensi penyalutan propolis untuk senyawa polifenol hasilnya 67,05%, sementara untuk senyawa flavonoid 93,9 %, . Dari hasil analisa distribusi ukuran partikel menggunakan Particle Size Analyzer (PSA), produk nanofood sebelum mikrofiltrasi memiliki diameter 1353.7 nm, sedangkan produk sesudah mikrofiltrasi memiliki diameter 316,1 nm.

ABSTRACT
Propolis is a bee product that is widely available in Indonesia. Utilization of propolis as a food of which serves a high economic value, because the propolis has many content of bioactive compounds including flavonoids and polyphenols. Propolis is hydrophobic, so it is not absorbed optimal, therefore, must be processed first. To obtain a high-value product innovations will be made to the processed product propolis, including by production nanofood propolis. The purpose to production nanofood propolis is bioactive content can be absorbed by the body optimally. Nanofood propolis using a encapsulation derived from the protein casein micelle can encapsulate hydrophobic bioactive compounds in propolis. The results of purification propolis was optimal at 70% ethanol concentration, so that propolis is used for encapsulated. nanoparticles produce used ultrasonic waves to the product, and to separate the nano particles made microfiltration process. Encapsulation efficiency propolis for polyphenolic compounds is 67.05%, while for flavonoid compounds 93.9%. Analysis of particle size distribution using a Particle Size Analyzer (PSA), a product nanofood propolis before microfiltration has a diameter of 1353.7 nm, while the products after microfiltration has a diameter of 316.1 nm
"
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
S1473
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Max Raymond Jonathan
"ABSTRAK

Sebagai sebuah sumber makanan yang berasal dari alam, propolis memiliki potensi sebagai anti bakteri, anti virus, anti jamur, dan juga anti parasit. Uji aktivitas antimikroba pada propolis penting dilakukan untuk mengetahui potensi lebih jauh mengenai propolis. Propolis yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel - sampel Propolis Apis mellifera dan Propolis Trigona spp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dari kedua jenis propolis dalam menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri patogen, yaitu Escherichia coli, Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi,dan Staphylococcus aureus dengan menggunakan metode cakram kertas. Konsentrasi propolis yang digunakan sebesar 300 ppm dan 3000 ppm. Bakteri patogen dibiakkan dan ditanamkan ke dalam Seed Layer. Dari semua data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kuersetin bukan hanya satu – satunya senyawa yang memiliki potensi sebagai antimikroba dalam propolis, karena ada salah satu sampel dimana konsentrasi yang dimiliki jauh lebih kecil, namun memberikan zona aktivitas antibakteri yang dapat menyaingi konsentrasi sampel yang jauh lebih besar. Dari seluruh sampel, aktivitas paling kuat dihasilkan oleh Propolis Apis mellifera asal Arab. Sementara Bacillus subtilis merupakan bakteri yang paling dihambat pertumbuhannya. Kemudian, sampel Propolis Apis mellifera dari merupakan sampel dengan aktivitas inhibisi terbanyak.


ABSTRACT

As a food source that comes from nature, propolis has potentials as an antibacterial, anti-viral, anti-fungal, and anti-parasite. The antimicrobial activity test in propolis is an essential thing to do to know more about the potential of propolis itself. Types of propolis that used in this research are Apis Mellifera Propolis samples and Trigona spp Propolis samples. The aim of this research is to determine the ability of both types of propolis in inhibiting pathogens bacterial growth., namely Escherichia coli, Bacillus subtilis, Pseudomonas aeruginosa, Salmonella typhi,and Staphylococcus aureus using the disk diffusion method. The concentration of propolis that used are 300 ppm and 3000 ppm. The pathogen bacterias cultured and implanted into the seed layer. From all the obtained data, it can be concluded that quercetin is not the only compound that has antimicrobial potential, because there is one sample with small concentration that gives an inhibition zone almost as big as another sample with high concentration. From the entire samples, Propolis from Arab is the most potent sample by producing the biggest zone of inhibition. Meanwhile, the growth of Bacillus subtilis is the most inhibited from all sampels. Propolis from China has the highest inhibition activity compared to another samples.

"
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2014
S57322
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiarrahman
"Propolis merupakan zat yang dihasilkan oleh lebah yang memiliki manfaat sebagai antiviral, antifungal, dan antibacterial activity. Produksi propolis dilakukan melalui ekstraksi menggunakan etanol dan pengenceran menggunakan air sehingga untuk meningkatkan kemurnian produk maka etanol dan air perlu dihilangkan lagi pada produk akhir dengan cara dievaporasi pada tekanan vakum. Proses evaporasi yang sudah dikembangkan belum mampu meregenerasi etanol dengan baik dan kapasitas produksi propolis masih dalam jumlah kecil, sehingga perlu dilakukan proses optimasi dan peningkatan produksi propolis.
Pada penelitian ini disimulasikan evaporator vakum untuk mendapatkan kondisi operasi optimum untuk memproduksi propolis. Pada penelitian ini digunakan program COMSOL Multiphysics yang berbasis Computational Fluid Dynamics(CFD). Dari hasil simulasi yang telah dilakukan dengan melihat profil penurunan etanol dan melakukan variasi kondisi operasi diketahui bahwa kondisi operasi optimum pada suhu 343 K, tekanan 5x10-3 atm serta lama proses evaporasi sekitar 13 jam. Pada kondisi operasi ini mampu memberikan penurunan etanol lebih signifikan daripada variasi kondisi operasi lainnya. Hasil ini masih perlu dievaluasi lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih optimum untuk mengevaporasi solvent.

Propolis is substance which produce by honey bees. Propolis has many benefit for the health, such as antiviral, antifungal and antibacterial activity. Propolis was produced by extraction using ethanol and then diluted in water. Increasing the quality of product, solvent needed to remove from the product by means evaporated at vacuum pressure. Evaporation processes which has been developed not able to regenerate the solvent . Based on this condition, it is necessary to optimize evaporation process.
This research simulating a vacuum evaporator to obtain the optimum operating conditions to produce propolis. This research using programme COMSOL Multiphysics, programme based on Computational Fluid Dynamics (CFD). The simulation results that have been made known that the optimum operation condition was at 343K in temperature and pressure of 5x10-3 atm with evaporation time about 13 hours. These results still needed to be evaluated to obtain optimum number of operation condition in evaporating solvent.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2013
S46450
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Friaini Zahra Murti
"Pada penelitian ini glutation akan diformulasikan dalam krim transfersom dan krim nontransfersom, lalu akan diteliti stabilitas kimia dan stabilitas fisik dari kedua krim tersebut. Stabilitas fisik diuji dengan uji stabilitas cycling test dan centrifugal test, berdasarkan hasil uji krim transfersom relatif lebih stabil. Stabilitas kimia dinilai dengan menggunakan Kromatograsfi Cair Kinerja Tinggi dengan kondisi analisis yang digunakan adalah laju alir 0,8 mL/menit, panjang gelombang maksimum 200 nm dan fase gerak dapar fosfat pH 3,0. Waktu retensi glutation 5,747 menit, faktor ikutan 1,219, regresi linear y = 14050x + 68846, r = 0,9992, LOD 6,78 µg/mL dan LOQ 22,63 µg/mL.
Uji stabilitas kimia dengan uji stabilitas dipercepat dengan kondisi 40°C/70% RH menunjukkan hasil kadar tersisa pada krim transfersom 83,44% dan krim non-transfersom 47,92%. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH menunjukkan hasil bahwa glutation pada krim transfersom mempunyai nilai IC50 11,89 µg/mL dan pada krim non-transfersom mempunyai nilai IC50 15,57 µg/mL. Uji penetrasi dengan sel difusi Franz menunjukkan hasil Fluks krim transfersom 510,38 µg.cm-2.jam-1 lebih tinggi dibandingkan krim non-transfersom yaitu 340,12 µg.cm-2.jam-1.

In this study glutathione will be formulated in transferome cream and non-transferome cream, then chemical stability and physical stability will be examined. Physical stability was tested by cycling test and centrifugal test stability tests, where the results of transferome cream were relatively more stable. Chemical stability was assessed by using High Performance Liquid Chromatography with the flow rate 0.8 mL/minute, maximum wavelength 200 nm and mobile phase phosphate buffer pH 3.0. Retention time 5.747 minutes, tailing factor 1.219, linear regression y = 14050x + 68846, r = 0.9992, LOD 6.78 µg/mL and LOQ 22.63 µg/mL.
Chemical stability tested by accelerated stability test with conditions of 40°C/70% RH during 3 months, the results of the remaining levels of transferome cream were 83,44% and non-transfersom cream were 47,92%. The antioxidant activity test using DPPH methode showed that glutathione in transferome cream had an IC50 value 11.89 µg/mL and in non-transferome cream had an IC50 value 15.57 µg/mL. Penetration test using Franz cell diffusion shows that Flux of transfersome cream were  510.38 µg.cm-2.hour-1, higher than non-transferome creams which are 340.12 µg.cm-2.hour-1.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>