Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118427 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dhiena Alya Puteri
"Penulisan ini memiliki tujuan untuk mengetahui keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan untuk mengetahui implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu mengenai bagaimana keabsahan perkawinan beda agama berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan bagaimana implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan tentang perkawinan beda agama. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif, dengan sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder yang berkaitan dengan hal yang Penulis teliti yakni Penetapan Pengadilan Negeri Kudus Nomor Nomor 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1974 Tentang Kompilasi Hukum Islam, dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait dengan perkawinan, serta sumber data sekunder berupa buku-buku, jurnal hukum, internet, yang berkaitan dengan topik penelitian. Hasil dari penelitian menunjukkan kesimpulan bahwa Perkawinan beda agama merupakan tidak sah atau tidak boleh dilakukan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana dijelaskan bahwa sahnya perkawinan harus dilaksakan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Peristiwa ini apabila merujuk dalam Pasal tersebut dapat diartikan bahwa perkawinan hanya dapat dilangsungkan apabila para pihak dalam hal ini yaitu calon suami dan istri menganut agama yang sama. Lalu implikasi hukum terhadap penetapan pengadilan PN Kudus mengenai perkawinan beda agama ini dinyatakan sah karena adanya pengaturan dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dapat dicatatkannya perkawinan yang berdasarkan dari penetapan pengadilan yang mana perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan itu adalah perkawinan beda agama. Maka dengan itu dapat diketahui bahwa pengaturan mengenai perkawinan, khususnya perkawinan beda agama di Indonesia masih belum diatur secara jelas dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan, sehingga menyebabkan adanya kendala dalam proses perkawinan beda agama.

This research aims to determine the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and to determine the legal implications of court decisions on interfaith marriages. The problems to be studied in this research are about how the validity of interfaith marriages based on Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and how the legal implications of court decisions on interfaith marriages. This research uses normative juridical legal research, with the data sources used are secondary data sources related to the matters that the author examines, namely the Decision of the Kudus District Court Number 209/Pdt.P/2020/PN.Kds, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration, Presidential Instruction No. 1 of 1974 concerning the Compilation of Islamic Law, and other laws and regulations related to marriage, as well as secondary data sources in the form of books, legal journals, the internet, which are related to the research topic. The results of the study show the conclusion that marriages of different religions are invalid or may not be carried out in accordance with Article 2 of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage which explains that the validity of marriage must be carried out in accordance with their respective religions and beliefs. This incident, when referring to the Article, can be interpreted that marriage can only be held if the parties in this case, namely the prospective husband and wife, adhere to the same religion. Then the legal implications of the court decision of the Kudus District Court regarding this interfaith marriage are declared valid because of the regulation in Article 35 letter a of Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration which can be recorded marriages based on court decisions which marriages based on court decisions are interfaith marriages. Therefore, it can be seen that the regulation of marriage, especially interfaith marriage in Indonesia is still not clearly and firmly regulated in the legislation, thus causing obstacles in the process of interfaith marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Betrice Viosania
"Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama, sehingga pengaturan mengenai perkawinan beda agama menjadi multitafsir. Kondisi ini menjadi dasar isu dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. Para Pemohon yang memiliki perbedaan agama memohon agar perkawinan mereka dapat disahkan oleh Pengadilan. Atas dasar tersebut, dalam tulisan ini akan menganalisis mengenai (1) pengaturan mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, dan (2) kesesuaian pertimbangan hakim dengan peraturan perundang-undangan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak yang mengabulkan perkawinan beda agama. Untuk menjawab permasalahan yang ada, digunakan metode penelitian yuridis normatif. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa (1) perkawinan beda agama berdasarkan peraturan di Indonesia diserahkan kembali kepada ajaran agama masing-masing calon mempelai. Dimana perkawinan beda agama tidaklah dibenarkan, sebab tidak sesuai dengan hukum dan ajaran agama-agama yang berlaku di Indonesia. Sehingga, suatu perkawinan beda agama dianggap tidak sah dan batal demi hukum. (2) berdasarkan hasil analisis dari sumber perundang-undangan yang ada, keputusan Hakim dalam Penetapan Pengadilan Negeri Makale Nomor: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama tidaklah tepat. Sebab perkawinan tersebut tidak sah menurut hukum agama, sehingga seharusnya tidak dapat dicatatkan oleh lembaga negara.

Essentially, marriage law in Indonesia does not specifically regulate the marriage of couples of different religions. Thus, the regulation for interfaith marriage is multi-interpretation. This condition became the basis in Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. The Plaintiffs, who have different religions, requested that their marriage be legalized by the Court. On this basis, this paper will analyze (1) the regulation of marriage between different religions in Indonesia, and (2) the suitability of the judge's consideration with the laws and regulations in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022 Pn Mak which granted the interfaith marriage. To answer the existing problem, a normative juridical research method is used. The research of this study results that (1) Indonesian regulations for interfaith marriages are consigned back to the religious teachings of each prospective bride and groom. A marriage between different religions is not justified because it is not according to the laws and teachings of the religions that apply in Indonesia. Therefore, interfaith marriage is considered unauthorized and void in the sake of law. (2) based on the results of the analysis of existing statutory sources, the Judge's decision in the Makale District Court Determination Number: 2/Pdt.P/2022/PN Mak. which granted the application for interfaith marriage was not legitimate, because interfaith marriage is not valid according to the religious law. Thus, it should not have been recorded by state."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adillah Yuswanti
"Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi ketentuan sesuai dengan maksud Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 Pasal tersebut jo Pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, maka administrasi kependudukan yang di dalamnya mengatur mengenai pencatatan sipil diharapkan dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berhubungan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya perlakuan yang diskriminatif. Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin siri, kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.
Metode yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan. Banyak perdebatan mengenai hal tersebut karena mengakibatkan disahkan atau tidak perkawinan oleh Para Pihal yang melakukan perkawinan beda agama. Dalam kasus yang telah ditetapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri Bogor, terdapat dua penetapan yang berbeda mengenai permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.
Berdasarkan penelitian dari kedua putusan hakim, diperoleh hasil bahwa Penulis lebih menyetujui Penetapan Hakim Nomor 111/Pdt.P/PN.Bgr, karena UU 1/1974 tidak secara tegas mengatur perkawinan beda agama, Pasal 35 huruf a dapat dijadikan sebagai pemenuhan secara administratif dalam hal pencatatan perkawinan.

Marriage not registered is marriage has materially complied with in accordance with the intent of Article 2 paragraph 1 of Marriage Act, but does not meet the provisions of paragraph 2 of that Article in conjunction with Article 10, paragraph 3 PP No. 9 of 1975. With the enactment of Law No. 23 of 2006, the population administration in which governs the civil registry is expected to provide the fulfillment of administrative rights as well as the protection of public services related to civil documents without discrimination. In the context of the registration of marriages, many terms used to designate a marriage that is not listed, there is a mention under the hand marriage, marriage siri, married muezzin, and often also called marriage Kyai.
The method used is empirical juridical, is a study in addition to seeing the positive aspects of the law also look at the implementation or practice in the field. A lot of debate about that because lead was passed or not marriage by the pihal who perform interfaith marriage. In cases that have been set by District Court Judge Bogor, there are two different determination regarding listing application interfaith marriage.
The data analysis technique used is descriptive qualitative, ie after the data collected is then poured in the form of a logical and systematic description, then analyzed to obtain clarity problem solving, then the conclusions drawn deductively, from things that are common to the things that are special.
Based on the research of both the judge's ruling, the result that the author is approved Determination Judge No. 111 / Pdt.P / PN.Bgr, because the Law 1/1974 does not expressly regulate interfaith marriage, Article 35 letter a can be used as an administrative compliance in terms of registration of marriages.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T42908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Noval Pahlevi
"Mengenai perkawinan beda agama tidak diatur secara jelas, yang mana UU Perkawinan sendiri mengembalikan lagi kepada agama dan kepercayaannya masing-masing yang hendak melaksanakan perkawinan. Mayoritas agama yang diakui di Indonesia sendiri melarang perkawinan beda agama, namun perkawinan beda agama masih marak terjadi, setidaknya sampai sebelum terbitnya SEMA 2/2023 yang isinya melarang Hakim untuk mengabulkan permohonan pencatatan yang didaftarkan ke pengadilan. Dalam skripsi ini, Penulis membahas mengenai pengaturan perkawinan beda agama sebelum dan sesudah keluarnya SEMA 2/2023. Untuk mendukung pembahasan, Penulis melakukan analisis terhadap Penetapan Nomor 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr terkait dengan permohonan perkawinan yang dikabulkan setelah keluarnya SEMA 2/2023. Penulis menggunakan penelitian dalam bentuk yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis agar dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang Penulis angkat dalam penelitian ini. Dari penelitian ini bisa disimpulkan bahwa SEMA 2/2023 tidak mengatur juga secara jelas bahwa perkawinan beda agama karena kembali lagi kepada UU Perkawinan, yang jelas adalah bahwa Hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan yang diajukan ke pengadilan untuk tujuan kepastian hukum. Oleh karena itu, menurut Penulis perkawinan beda agama sebaiknya dihindari karena dari segi pencatatannya rumit, terlebih setelah terbitnya SEMA 2/2023.

Regarding interfaith marriages, the Marriage Law itself returns to the religion and beliefs of each person who wants to get married. The majority of recognized religions in Indonesia prohibit interfaith marriages, but interfaith marriages were still rampant, at least until the issuance of SEMA 2/2023, which prohibits judges from granting applications for registration registered with the court. In this thesis, the author discusses the regulation of interfaith marriages before and after the issuance of SEMA 2/2023. To support the discussion, the author analyzes Stipulation Number 423/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Utr related to the marriage application granted after the issuance of SEMA 2/2023. The author uses normative juridical research which is descriptive analytical in order to find answers to the problems that the author raises in this study. From this research, it can be concluded that SEMA 2/2023 does not clearly regulate interfaith marriages because it returns to the Marriage Law, what is clear is that Judges are prohibited from granting applications submitted to the court for the purpose of legal certainty. Therefore, according to the author, interfaith marriages should be avoided due to the complexity of recording, especially after the issuance of SEMA 2/2023."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Klaras Hanum
"Perkawinan pada dasarnya merupakan persatuan antara dua orang yang saling menyepakati untuk mengikatkan dirinya sebagai pasangan suami istri. Indonesia sebagai negara multikultural yang menjunjung tinggi adanya persatuan dalam perbedaan sebagaimana diartikan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” merefleksikan makna tersebut salah satunya melalui pluralitas agama yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya keberadaan enam agama yang diakui dan tersebar di Indonesia. Pluralitas agama tersebut tentu saja merupakan hal yang positif dan sudah sepatutnya dibanggakan oleh Indonesia sebagai negara. Meski begitu, tak jarang hal ini menimbulkan adanya permasalahan sosial, salah satunya adalah perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda. Melalui penulisan ini, Penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, berdasarkan agama Islam dan Kristen, juga kesesuaian peraturan perundang-undangan tersebut dengan implementasinya dalam Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang juga bersifat yuridis-normatif dengan data sekunder dan bahan hukum primer. Penulis melihat masih terdapatnya permasalahan hukum dalam penerapan hukumnya dikarenakan pengaturan yang kurang jelas dan spesifik mengenai perkawinan beda agama khususnya antara agama Islam dengan agama Kristen. Sehingga melalui penelitian ini Penulis menyampaikan analisisnya terkait penerapan yang sudah seharusnya diterapkan dan saran Penulis sebagai jalan keluar dari permasalahan hukum yang timbul yaitu dengan pengadaan pengaturan yang khusus dan spesifik mengenai mekanisme dan akibat hukum yang terang dan jelas berdasarkan Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Hal tersebut bertujuan sebagai tindakan preventif dari lahirnya permasalahan hukum yang timbul dari praktik perkawinan beda agama dan sebagai saran upaya yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim yang menetapkan perkara yang menjadi pembahasan Penulis untuk memeriksa dan mengadili kembali dengan mempertimbangkan pengaturan yang ada sebaik-baiknya.

Marriage is a union between two people who mutually agree to bind themselves as husband and wife. Indonesia as a multicultural country that upholds unity in diversity as defined in "Unity in Diversity" reflects this meaning, one of which is through the plurality of religions in Indonesia. This is proven by the existence of six religions that are recognized and spread across Indonesia. The plurality of religions is certainly a positive thing and Indonesia as a country should be proud of. Even so, not infrequently this creates social problems, one of which is interfaith marriage. Interfaith marriage is a marriage bond between a man and a woman with a different religious or belief background. Through this writing, the author will explain how interfaith marriages are regulated in Indonesia, based on Islam and Christianity, as well as the compatibility of these laws and regulations with their implementation in Determination Number 71/PDT.P/2017/PN.BLA. The research method used by the author in compiling this research is a normative legal research method with a qualitative approach which is also juridical-normative with secondary data and primary legal materials. The author sees that there are still legal problems in the application of the law due to unclear and specific arrangements regarding interfaith marriages, especially between Islam and Christianity. So that through this research the author conveys his analysis regarding the application that should have been implemented and the author's suggestion as a way out of the legal problems that arise, namely by procuring special and specific arrangements regarding mechanisms and legal consequences that are clear and clear based on Stipulation Number 71/PDT.P/ 2017/PN. BLA. This is intended as a preventive measure against the birth of legal issues arising from the practice of interfaith marriages and as a suggestion for efforts that can be made by the Panel of Judges who determine the case being discussed by the Author to examine and re-trial by considering the existing arrangements as well as possible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsabita Raihana Hanifa
"Perkawinan beda agama tidak diatur pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, tidak menutup kemungkinan masyarakat membutuhkan suatu aturan yang menjadi dasar hubungan perkawinan khususnya bagi pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama. Keberadaan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menjadi sarana untuk mendapatkan penetapan agar perkawinan termasuk di dalamnya yaitu perkawinan beda agama dapat dilakukan pencatatan secara resmi oleh Negara. Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah wewenang pengadilan negeri dalam memberi keputusan terhadap permohonan pengesahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menjadi dasar pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam memberi keputusan dalam perkara nomor 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dengan menghasilkan data deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa peraturan mengenai perkawinan, khususnya perkawinan beda agama di Indonesia masih belum diatur secara tegas dan jelas ke dalam beberapa peraturan, sehingga menyebabkan permasalahan dalam proses perkawinan beda agama. Selain itu, praktik perkawinan beda agama dalam peradilan Indonesia masih belum memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga pembuat undang-undang seharusnya melakukan unifikasi hukum agar dapat memberikan kepastian hukum kepada Hakim maupun masyarakat, serta meminimalisir terjadinya permasalahan-permasalahan dalam proses pencatatan perkawinan beda agama.

The implementation of interfaith marriages is not regulated in Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. However, this does not rule out the possibility that the community needs a rule that forms the basis of marital relations, especially for couples who wish to enter into interfaith marriages. The existence of Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration is a means of obtaining a stipulation so that marriages including interfaith marriages can be officially recorded by the State. As for the main problem in this study is the authority of the district court in giving decisions regarding applications for the legalization of interfaith marriages after the enactment of Law Number 24 of 2013 concerning Amendments to Law Number 23 of 2006 concerning Population Administration which became the basis for the judges' considerations at the District Court Surabaya in giving a decision in case number 916/Pdt.P/2022/PN.Sby. The research method used in this study is normative juridical research using secondary data which includes primary legal materials and secondary legal materials. The analytical method used in this study is a qualitative analysis method by producing analytical descriptive data. Based on the research conducted, it is known that regulations regarding marriage, especially interfaith marriages in Indonesia, are still not regulated explicitly and clearly into several regulations, causing problems in the process of interfaith marriages. In addition, the practice of interfaith marriages in Indonesian courts still does not comply with statutory provisions, so legislators should carry out legal unification in order to provide legal certainty to judges and the public, as well as minimize the occurrence of problems in the process of registering interfaith marriages."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dio Bintang Gidete
"Penetapan Pengadilan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel berkaitan dengan pencatatan perkawinan tidak sah memiliki implikasi hukum yang signifikan. Penetapan ini berdampak pada status hukum pasangan yang melaksanakan perkawinan serta akibat hukum yang timbul dari perkawinan antaragama. Putusan tersebut seolah-menunjukan bahwa suatu pengakuan perkawinan dari negara dapat diberikan meskipun belum tentu perkawinan tersebut sah. Secara hukum suatu perkawinan yang tidak sah dari sudut pandang hukum mempengaruhi hak dan kewajiban kedua pihak. Hal ini mencakup hak-hak terkait harta bersama, pewarisan, anak yang lahir, serta hak-hak lain yang terkait dengan status perkawinan mereka. Analisis dalam studi ini menunjukkan bahwa akibat hukum dari pencatatan perkawinan yang dinyatakan tidak sah meliputi pembatalan status hukum perkawinan yang telah tercatat, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai sebagai suami istri yang menjadi subjek perkara. Selain itu, aspek sosial dan psikologis dari ketidaksahteraan yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat juga menjadi perhatian penting. Studi ini menyoroti pentingnya kejelasan hukum terkait prosedur pencatatan perkawinan dan perlindungan hukum bagi individu yang terlibat dalam perkawinan antaragama yang dinyatakan tidak sah. Implikasi hukum yang dihasilkan dari Putusan Nomor 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel menjadi bagian dari diskusi lebih lanjut dalam merevisi kebijakan dan perundang-undangan yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan serta perlindungan hukum bagi individu yang terkena dampak dari ketidakpastian hukum atas perkawinan mereka. Dalam konteks sosial, putusan ini juga menggaris bawahi pentingnya kesadaran akan hukum dan prosedur hukum terkait perkawinan. Melalui pemahaman yang lebih baik tentang implikasi hukum dari pencatatan perkawinan yang tidak sah, masyarakat diharapkan dapat menghindari permasalahan hukum yang kompleks dan potensial merugikan di masa depan.

Court Determination Number 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel regarding the registration of invalid marriages has significant legal implications. This determination has an impact on the legal status of couples whose marriages are invalid according to applicable law in Indonesia, especially in the South Jakarta area. The ruling shows that registration of marriages that are invalid under the law can have detrimental consequences. Legally, a marriage that is invalid in the eyes of the court affects the rights and obligations of both parties. This includes rights related to joint property, child custody, and other rights related to legal marital status. The analysis in this study shows that the legal consequences of registering an invalid marriage include the cancellation of the legal status of a registered marriage, the rights and obligations of both parties who are the subject of the case, as well as the implications for the status of children born from the marriage. Apart from that, the social and psychological aspects of the ill-being experienced by the parties involved are also important concerns. This study highlights the importance of legal clarity regarding marriage registration procedures and legal protection for individuals involved in invalid marriages. The legal implications resulting from Decision Number 508/Pdt.P/2022/PN.Jkt.Sel are part of further discussions in revising policies and legislation relating to marriage registration as well as legal protection for individuals affected by illegitimate marriages. In a social context, this decision also underlines the importance of awareness of the law and legal procedures related to marriage. Through a better understanding of the legal implications of invalid marriage registration, it is hoped that society can avoid complex and potentially detrimental legal problems in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Labiba Fathin
"Perkawinan campuran Menurut UU No. 1 Tahun 1974 telah banyak dilakukan oleh WNI, perbuatan hukum tersebut menimbulkan suatu permasalahan, antara lain mengenai kedudukan anak akibat perkawinan apabila ditinjau dari Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pembahasan permasalahan tersebut pada penulisan yang berjudul Kedudukan Anak Akibat Perkawinan Campuran Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Ditinjau dari Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 dan Undang-Undang Kewarganegaraan No .12 Tahun 2006 (Analisis Yuridis Penetapan No. 90/Pdt. P/2005/PN.Jak.Sel), akan ditunjang oleh satu Penetapan Pengadilan No. 90/Pdt.P/2005/PN.Jak.Sel. Penulisan ini menggunakan metodologi penulisan kepustakaan dan lapangan yang bersifat yuridis-normatif dengan tipologi penulisan deskriptif dan metode analisis data kualitatif. Hal tersebut untuk memberikan pendeskripsian mengenai ketentuan kedudukan anak dalam perkawinan campuran ditinjau dari UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan dan UU No. 1 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. UU No. 62 Tahun 1958 Toentang Kewarganegaraan menganut asas ius sanguinis, apabila ibu berkewarganegaraan Indonesia dan bapak berkewarganegraan Asing akan menimbulkan permasal ahan bagi kedudukan anak disebabkan status anak sebagai WNA, sehingga banyak dari wanita Indonesia pelaku perkawinan campuran memilih jalan keluar dengan memberikan status anak luar kawin pada anaknya. UU No. 62 Tahun 1958 tersebut telah diganti dengan UU No . 12 Tahun 200 yang disahkan oleh DPR pada 11 Juli 2006 dan disahkan oleh Presiden pada 1 Agustus 2006, UU No. 12 Tahun 2006 ini memberikan kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak dari perkawinan campuran sebelum anak berumur 18 tahun. Dengan demikian, pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak dari perkawinan campuran pada UU No. 12 Tahun 2006 telah memberikan solusi bagi permasalahan kedudukan anak yang terdapat dalam UU No. 62 Tahun 1958."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S21367
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Najma Amira Abdullah
"anak-anak yang dilahirkan, pernikahan adalah awal sebuah keluarga dan merupakan komitmen seumur hidup. Studi kasus yang diteliti pada tesis ini adalah Penetapan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: 12/Pdt.P/2022 PN Ptk. Pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam tesis ini yakni mengenai pertimbangan Hakim atas dikabulkannya permohonan perkawinan beda agama antara RNA dan MYR dan terkait implikasi terhadap kedudukan anak atas perkawinan beda agama antara RNA dan MYR yang faktanya belum mendapatkan pencatatan perkawinan meskipun sudah ada Penetapan
Pengadilan Negeri Kota Pontianak yang memberikan izin atas perkawinan beda agama mereka dan memerintahkan Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pontianak untuk melakukan pencatatan perkawinan RNA dan MYR. Namun faktanya hingga saat ini untuk perkawinan beda agama tersebut belum dapat dilakukan
pencatatan perkawinan karena adanya penahan dari Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pontianak. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dan menggunakan teknik pengumpulan data berupa
studi pustaka dan wawancara. Hakim telah tepat dengan memperhatikan seluruh faktafakta hukum dan bukti yang diberikan oleh RNA dan MYR untuk mengeluarkan penetapannya. Seharusnya dengan adanya Penetapan dari Pengadilan tersebut
perkawinan beda agama RNA dan MYR dapat segera dicatatkan yang mana telah sesuai dengan persyaratan pencatatan perkawinan beda agama dalam peraturan perundangundangan, pencatatan perkawinan tersebut berguna untuk melindungi status keperdataan perkawinan mereka beserta anak-anak yang akan dilahirkan dari
perkawinan tersebut.

The event of marriage gives birth to a legal relationship between the couple and the children born, marriage is the beginning of a family and is a lifelong commitment. The
case study researched in this thesis is the Determination of the Pontianak District Court Number: 12/Pdt.P/2022 PN Ptk. The subject matter to be discussed in this thesis is regarding the Judge’s consideration of the granting of the application for an interfaith marriage between RNA and MYR and related to the impact on the position of the child of the interfaith marriage between RNA and MYR, which in fact has not yet received a marriage registration even though there has been a Pontianak City District Court Stipulation giving permission for their interfaith marriage and ordering the Head of the Pontianak City Population and Civil Registration Office to register the marriage of RNA
and MYR. However, the fact is that until now, the interfaith marriage has not been able to be registered due to the detention of the Pontianak City Population and Civil Registration Office. This research is descriptive in nature using normative legal
research methods and using data collection techniques in the form of literature studies and interviews. The judge was right by paying attention to all legal facts and evidence provided by RNA and MYR to issue the stipulation. With the stipulation from the Court, the interfaith marriage of RNA and MYR should be immediately recorded which is in accordance with the requirements for recording interfaith marriages in the legislation,
the marriage registration is useful to protect the civil status of their marriage and the children who will be born from the marriage.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>