Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107310 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oktaviana Azalia Putri Widyanti
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan produk berupa mobil bekas. Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang berminat membeli mobil bekas dan meningkatnya transaksi jual beli mobil bekas berarti hukum perlindungan konsumen harus lebih ditegakkan. Pelaku usaha harus sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya yaitu memberikan jaminan dan bertanggung jawab atas kenikmatan dan kecacatan yang terdapat pada produk. Kewajiban tersebut termasuk kepada fasilitas layanan purna jual yang disediakan pelaku usaha dari mulai servis berkala sampai perbaikan terhadap komponen mobil. Jangan sampai pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga melakukan perbuatan yang tidak baik yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Sehingga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk bekas dan bagaimana batasan tanggung jawab tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang melekat pada produk bekas merupakan tanggung jawab produk yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian mengenai batasan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 huruf e Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab tuntutan ganti rugi konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan terhadap barang tersebut. Selain itu, pelaku usaha juga dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah lewat masa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewat masa jaminan.

This thesis discusses the responsibilities of business actors for product sales in the form of used cars. The increasing number of consumers who are interested in buying used cars and the increase in used car buying and selling transactions means that consumer protection laws must be more enforced. Business actors must seriously carry out their obligations, namely providing guarantees and taking responsibility for the enjoyment and defects found in the product. This obligation includes after-sales service facilities provided by business actors starting from periodic servicing to repairs to car components. Do not let business actors violate consumer rights and also commit bad actions that result in consumers experiencing losses. So that the problems discussed in this study are regarding the responsibility of business actors for used products and how to limit this responsibility. This research uses a normative-juridical method through literature studies and interviews with source person. This research explains that the responsibility of business actors attached to used products is product responsibility which is regulated in Pasal 19 (1) UUPK. Then regarding the limitation of the responsibilities of business actors it has been regulated in Pasal 24 (2) and Pasal 27 e UUPK. Business actors are released from responsibility for claims for consumer compensation if other business actors who buy goods and/or services resell them to consumers by making changes to the goods. In addition, business actors are also released from responsibility if the prosecution period of four years has passed since the goods were purchased or the warranty period has passed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqan Sultan Deyis
"Garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan oleh produsen atau penjual kepada konsumen sebagai pemenuhan terhadap hak-hak serta jaminan terhadap konsumen atas barang yang dijual bebas dari kecacatan dan kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya. Pemberian garansi ini merupakan suatu bentuk pelindungan hukum terhadap konsumen yang juga bagian dari kewajiban pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumennya, di samping juga pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba suatu barang dan/atau jasa tertentu terhadap konsumennya. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 7 huruf e, namun dalam praktiknya pemberian garansi oleh pelaku usaha terhadap konsumen ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, sehingga merugikan bagi pihak konsumen. Dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif, tipologi penelitian berupa deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif dan menganalisisnya berdasarkan ketentuan yang berlaku serta memberikan rekomendasi untuk dibuatnya pengaturan khusus terkait garansi barang non elektronik dan juga menjelaskan bahwa seluruh kewajiban pelaku usaha dalam UUPK pada dasarnya berlaku termasuk juga memberikan jaminan atau garansi pada barang, maka hasil dari penelitian ini adalah dibutuhkan pengaturan lebih lanjut mengenai pemberian garansi terhadap barang khususnya mengenai daftar barang non elektronik yang wajib diberikan garansi serta diperlukannya sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan garansi. Selain itu, dalam putusan a quo seharusnya pelaku usaha (Toko GMT Sparepart Handphone) tetap berkewajiban atau bertanggung jawab dalam memberikan garansi barang terhadap konsumen, dikarenakan pada dasarnya ketentuan kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK bersifat kumulatif yang berarti seluruh kewajiban wajib dilaksanakan, dimana dengan dijalankannya satu kewajiban tidak menghilangkan kewajiban lainnya.

Guarantee is a form of service provided by manufacturers or sellers to consumers as a fulfillment of rights and guarantees to consumers for goods sold free of defects and damage that were not previously known. The provision of this guarantee is a form of legal protection for consumers which is also part of the obligations of business actors and the responsibilities of business actors towards their consumers, in addition, business actors are obliged to provide opportunities for consumers to test and/or try certain goods and/or services on their consumers. . This is in accordance with the mandate of the Consumer Protection Act, especially Article 7 letter e, but in practice the guarantee given by business actors to consumers is not fully implemented, causing harm to the consumer. By using a juridical-normative research form, the research typology is in the form of a descriptive-analytical research with a qualitative approach and analyzes it based on applicable provisions and provides recommendations for making special arrangements related to guarantees for non-electronic goods and also explains that all obligations of business actors in the UUPK basically apply including provide guarantees or guarantees for goods, the results of this study are that further arrangements are needed regarding the provision of guarantees for goods, especially regarding the list of non-electronic goods that must be guaranteed and the need for strict sanctions against business actors who are not responsible for providing guarantees. Apart from that, in the a quo decision the business actor (GMT Sparepart Handphone Store) should still be obliged or responsible for guaranteeing goods to consumers, because basically the provisions on the obligations of business actors in Article 7 of the UUPK are cumulative which means that all obligations must be carried out, where by performance of one obligation does not eliminate other obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliandy Dasdo P Tambun
"ABSTRAK
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, seiring dengan perkembangan dari produk olahan pangan semakin maju, sehingga tidak jarang demi mencapai tujuan tertentu pelaku usaha melakukan pencampuran/pengoplosan terhadap produk olahan pangan. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan mempunyai kriteria tersendiri apabila ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen, hal ini sehubungan dengan kepentingan konsumen guna mendapatkan pangan yang layak serta sesuai dengan standar kesehatan yang memadai. Pelaku usaha sendiri memiliki tanggung jawab terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos, dalam hal ini peran pemerintah sebagai fungsi kontrol di antara pelaku usaha dan konsumen memegang peranan yang sangat signifikan. Guna menjawab permasalahan di dalam tesis ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkaji tentang hukum normatif doktrinal , dalam hal ini Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, maupun peraturan hukum lainnya. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen tidak terlepas dari inti utama fungsi dari pangan itu sendiri, dimana suatu produk olahan pangan merupakan pangan yang telah diberikan BTP Bahan Tambahan Pangan dalam proses produksi. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos mengacu kepada ketentuan perubahan/pengoplosan yang dimaknai dengan Perubahan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau Barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. Dengan demikian pengoplosan yang bersifat negatif merupakan kegiatan memproduksi dan memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan standar keamanan pangan dan menyebabkan berubahnya mutu pangan.

ABSTRACT
Food is a basic need for human survival, along with the development of food processing products, it is common for achieving certain objectives of business executors to mixing the processed food products. The policy of mixing processed food products has its own criteria when viewed from the perspective of consumer protection law, and it is in line with the interest of consumers to obtain good standards for food and also health. The business executors have responsibility for the processed food product which has mixed, and in this case the government plays a significant role as a controller for the business executors and consumers. In order to answer the problem in this thesis, the writer uses normative juridical research method, which is research that examines about normative law doctrinal , in this case Law no. 8 of 1999 on Consumer Protection, Law No. 18 of 2012 on Food, as well as other legal regulations. From the point of view of consumer protection law, the policy of mixing a processed food product is inseparable from the main core of the function of the food itself, where a processed food product has been given food additives in the production process. The responsibility of the business executors on processed food products that are mixed refers to the provisions of change, which is the change of goods and or services performed by business execitors or goods and or services not in accordance with the example, quality, and composition. Therefore, a negative mixing is an activity to produce and trade food that is not in accordance with the food safety standards dan cause changes in the food quality. "
2017
T50258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zikra Fitrianti
"Berdasarkan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 164/K/Pdt/2018 Juncto Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 36/Pdt/2017/PT.MDN Juncto Putusan Pengadilan Negri Tebing Tinggi Nomor 34/ Pdt. G/2015/PN.TBT dimana jual beli tanah telah dilakukan dengan dibawah tangan dan atas tanah tersebut dijual kembali oleh penjual secara pura-pura kepada pihak ketiga dan selanjutnya oleh pihak ketiga, tanah tersebut dijadikan agunan dengan Hak Tanggungan kepada Bank. Yang menjadi pokok permasalahan adalah, Bagaimanakah akibat hukum terhadap jual beli tanah dibawah tangan dan dijual kembali serta dijadikan agunan kepada Bank dalam putusan ini berdasarkan ketentuan yang berlaku dan Bagaimanakah Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan tersebut dikaitkan dengan kesesuaian dengan norma hukum dan kepatutan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, namun syaratsyarat materiil sudah terpenuhi, dan pembeli selaku Penggugat dapat membuktikan dalildalilnya serta Tergugat juga mengakui adanya jual beli yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat I dan II atas tanah tersebut. Maka, sudah sepatutnya jual beli dalam kasus ini adalah sah berdasarkan bukti bukti yang ada dan Bank selaku pemegang Hak Tanggung beritikad tidak baik, tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, dan tidak menerapkan prinsip 5 C dalam melakukan penilaian terhadap debitur dan dalam analisis, Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, pertimbangan hakim yang sesuai dengan norma hukum dan kepatutan adalah menolak permohonan kasasi oleh Bank.

Based on the Case in the Supreme Court Decision with the number of 164 / K / Pdt / 2018 Juncto the High Court in Medan Decision with the number 36 / Pdt / 2017 / PT.MDN Juncto The Tebing Tinggi State Court Decision Number 34 / Pdt. G / 2015 / PN.TBT where the Sale and Purchase of land rights have been carried out under the hands and the land is resold by the seller pretending to be to a third party and then by a third party, the land is used as collateral with a mortgage to the bank. The main problem is, What is the legal consequence of the sale and purchase of land in a private deed and resales and used as collateral to the Bank in the decision based on the applicable provisions and What is the Judge's consideration in the Court Decision related to conformity with legal norms and propriety. In order to answer this problem, legal research was carried out with a normative juridical approach, using secondary data obtained by literature study and the results of the research are analytical prescriptive. The results of the analysis show that although the sale and purchase was not carried out before the PPAT, the material requirements had been met, and the Buyer as the Plaintiff could prove his arguments and the Defendant also acknowledged that the sale and purchase was carried out between the plaintiffs and defendants I and II on the land. So it is rightly, for the sale and purchase in this case to be validated based on existing evidence and the Bank as the holder of the Liability Rights is considered has bad intentions, does not apply the principle of prudence, and does not apply the 5 C principle in assessing debtors and in analysis, Defendant I, Defendant II, Defendant III, Defendant IV, and Defendant V are proven to have committed illegal acts. Therefore, the judge's consideration in accordance with legal norms and propriety is to reject the appeal by the Bank."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bethsyanna Putri Supriadi
"Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik. Dalam melaksanakan jabatannya Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah harus menjunjung tinggi harkat dan martabatnya dengan selalu berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan Kode Etik Jabatan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada kenyataannya terdapat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan dan Kode Etik Jabatannya, sehingga, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah tersangkut masalah, salah satunya tindak pidana penggelapan uang jual beli tanah yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertindak selaku perantara dalam jual beli. Maka dengan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan dalam tesis ini yaitu mengenai 1. Bagaimana akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan kedalam Akta Jual Beli akibat uang jual beli tidak diserahkan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 771 K/Pid/2018? 2.Bagaimanakah tanggung jawab Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku perantara dalam jual beli tanah yang tidak menyerahkan uang jual beli sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan ke dalam Akta Jual Beli. Bentuk penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Perbuatan yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat pembuat Akta Tanah tidak menimbulkan akibat hukum terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuatnya, sedangkan terhadap para pihak akibat hukumnya adalah jual beli batal sehingga tidak terjadi perpindahan hak dari penjual kepada pembeli. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan tindakan tidak menyerahkan uang jual beli tersebut terdapat tiga pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pertanggungjawaban secara pidana, perdata dan administratif. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan jabatannya tidak melebihi batas kewenangannya, dalam hal ini sebagai perantara jual beli.

Notary/Land deed official as a public officials has the authority to make an authentic deeds. In performing their job Notary/Land deed official they must uphold their valence and dignity by always guided upon applied regulations and Code of Ethics of Notary/Land deed official. In fact, there are some Notary/land deed official that violates applied regulations and Code of Ethics of Notary/land deed official, thus, the Notary/land deed official has some issues, one of them is Criminal Act of Embezzlement of Sales and Purchase Money conducted by Notary/land deed official as  Mediator of Land sales and purchase. So with the background of the problem mentioned, the writer formulate the issue in this thesis are about how the legal consequences of the Settled Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds due to Sales and Purchase Money not be given by Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase according to the Supreme Court Verdict Number 771 K/Pid/2018? How the responsibility of a Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase who not given the sales and purchase money causing the Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds. The form of research used in this thesis is normative with research typology is descriptive analytical. The action that conducted by Notary/Land deed official not incur legal consequences of the Commitment of Sale and Purchase Agreement, and for the parties is the sale and purchase become null and void so the rights of the land can not be pass from the seller to the buyer. Notary/land deed offcial who conducted the act of not given sales of purchase money are three responsibilities that can be charged to them are criminal responsibility, civil/private responsibility, and administrative responsibility. Notary/land deed official in performing their jobs not exceeding the limits of their authority, in this case as a mediator of land sales and purchase."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Fathia Syahidah
"Beberapa sarjana telah melakukan penelitian tentang praktik konsumsi pakaian bekas di Indonesia (Lestari & Asmarani, 2021, Rahmawati et al., 2022). Tren untuk mengkonsumsi pakaian bekas mengalami peningkatan pada kalangan anak muda, terutama melalui kegiatan jual beli di media sosial (Goodstats.id, 2022). Praktik ini dikenal dengan istilah thrifting yang dapat dideskripsikan sebagai suatu praktik untuk membeli atau mencari barang-barang bekas untuk dipakai kembali. Kurylo (2018) mendeskripsikan bahwa konsumen sekarang muncul sebagai subjek yang aktif, mengkonsumsi dan memproduksi budaya dan dapat mengekspresikan agensi mereka dalam produksi konten di media sosial. Dengan mengkaji praktik konsumsi barang bekas di TikTok, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana pola interaksi anak muda Indonesia memanfaatkan media digital dalam mengekspresikan agensi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori praktik dari Bourdieu (1977) dan berargumen bahwa TikTok dapat adalah platform media sosial yang dapat memfasilitasi interaksi dan membentuk relasi antar para penggunanya.  

Several scholars have conducted research on the practice of consuming used clothing in Indonesia (Lestari & Asmarani, 2021, Rahmawati et al., 2022). The trend to consume used clothing has increased among young people, especially through buying and selling activities on social media (Goodstats.id, 2022). This practice is known as thrifting which can be described as a practice to buy or look for used goods to be reused. Kurylo (2018) describes that consumers now emerge as active subjects, consuming and producing culture and can express their agency in content production on social media. By examining the consumption practices of used goods on TikTok, this research aims to analyse how the interaction patterns of Indonesian youth utilise digital media in expressing agency. In this study, the author uses Bourdieu’s (1977) theory of practice and argues that TikTok can be a social media platform that can facilitate interaction and form relationships between its users."
Depok: Fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Bachtiar
"Di dalam transaksi bisnis, produsen biasanya adalah pihak yang lebih kuat dimana konsumen adalah pihak yang lebih lemah. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa produsen memiliki pengetahuan dan kekuasaan lebih banyak atas produk yang diproduksinya dibandingkan konsumen. Atas dasar fakta tersebut, konsumen memerlukan perlindungan yang memadai. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa produsen harus bertanggungjawab atas segala kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Tanggung jawab itu dinamakan tanggung jawab produk (product liability).
Thesis ini menyoroti perihal klausula baku yang biasanya digunakan oleh produsen yang merupakan badan hukum, khususnya perseroan terbatas dalam menjual produk-produknya. Secara spesifik, analisis terhadap permasalahan ini berhubungan dengan tanggung jawab produk dari perusahaan produsen tersebut, dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham dan direksi, dan penggunaan klausula baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
Bahanbahan untuk penelitian ini dikumpulkan melalui sumber kepustakaan, menggunakan metodologi penelitian hukum dengan tujuan menemukan hukum objektif pada awalnya, untuk kemudian diikuti dengan menemukan hukum subjektif dalam prosesnya. Hukum subjektif ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum normatif. Sebagai tambahan, penelitian ini juga menggunakan analisis kualitatif karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk menguji kualitas dari substansi hukum normatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab produk dari produsen?perseroan terbatas memiliki sifat terbatas sehingga konsumen harus cerdik dalam menjamin ganti kerugian yang bisa diperolehnya dari semua kerugian yang dideritanya sebagai akibat mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Juga dapat disimpulkan bahwa peraturan-peraturan tentang klausula baku di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 masih perlu diperiksa dan ditinjau ulang, khususnya, yang berkaitan dengan prinsip misbruik van omstandigheden, dan korelasi antara pencantuman klausula baku tersebut dengan syaratsyarat sahnya perjanjian. Juga diperlukan pengamatan lebih jelas akan beberapa kondisi dalam pertanggungjawaban direksi perseroan terbatas, dalam artian kajian ulang akan seberapa kuat perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap hartanya mempengaruhi tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga dan tanggung jawabnya sebagai direksi terhadap status perlindungan harta pemegang saham yang terbatas.

In a business transaction, the producer is normally the stronger party while the consumer is the weaker one. This is due to the fact that the producer has more knowledge and power over his products compared to the consumer. For this reason, the consumer needs protection. Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection provides that a producer shall be liable to any damages suffered by a consumer as the result of consuming the product he has bought from the producer. That liability is called product liability. And the focus of this thesis is on the product liability of standard clauses by legal entity producer, particularly limited liability company in regards to its board of directors as a representative party.
This thesis focuses on the standard clauses which are normally used by a limited liability company producer in selling its products. Specifically, the analysis relates to the product liability of such company producer, the extent of such liability vis-à-vis the limited liability of its shareholders and board of directors, and the use of standard clauses as provided in Law Number 8 Year 1999.
Materials for this study are collected by means of literature technique, using normative law research methodology for purposes of finding the objective law first, and then, from the relevant legal issues found in that process, finding the subjective law. This subjective law is subsequently analyzed by using legal science approaches, namely statute approach and principle approach. In addition, a qualitative analysis is also made because the target of this study is to test the quality of the legal norm substance.
The study reveals that the product liability is absorbed by the liability of the company which is limited in nature to the effect that the consumer needs to be smart enough to ensure that he would get the indemnity for any damages he has suffered from the product. It can also be concluded that the provisions on standard clauses in Law Number 8 Year 1999 need to be reviewed and revised, particularly, regarding misbruik van omstandigheden and the effect of the use of such standard clauses on the conditions for validity of a contract. As to the liability of the board of directors, it also needs to be reviewed in order to know how effective the legal protection granted to it by Law Number 40 Year 2007 concerning Limited Liability Company affects its liability to third parties and the limited liability of the shareholders of the company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29239
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Narifah
"Sekarang ini semakin beragam produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha, baik itu produk yang dikonsumsi langsung atau yang dimanfaatkan oleh konsumen. Bila konsumen tidak hatihati dalam memilih barang dan atau jasa yang inginDengan semakin banyaknya Konsumen Perlindungan konsumen sangat diperlukan Yang menjadi pokok permasalahan skripsi ini adalah apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum dan kaitannya kesalahan/kealpaan yang dilakukan oleh pelaku usaha?; Sejauh mana tanggung jawab produsen yang diakomodir dalam Undang - Undang Perlindungan konsumen khususnya dalam kasus keracunan makanan?; serta apa yang seharusnya ditempuh oleh konsumen yang dirugikan haknya sebagai konsumen baik melalui pengadilan atau diluar pengadilan?.
Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Antara konsumen dan pelaku usaha terdapat adanya suatu hubungan hukum. Perbuatan melawan hukum melahirkan perikatan antara pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan pihak yang terkena perbuatan tersebut. Dalam hukum perlindungan konsumen bila pelaku usaha melakukan hal yang merugikan konsumen karena menggunakan atau mengkonsumsi produk yang dihasilkannya, maka dia telah dapat dikategorikan melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membayar ganti rugi kepada konsumen tersebut.
Pelaku usaha memang dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada konsumen bila terjadi kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian terhadap konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha. Penyelesaian sengketa yang ada antara konsumen dan pelaku usaha dapat dilakukan melalui pengadilan maupun diluar pengadilan baik penyelesaian damai kedua pihak yang bersengketa ataupun melalui BPSK dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ulya Faridah
"Tesis ini membahas tentang perlindungan hukum terhadap penjual atas jual beli tanah yang cacat hukum dan Notaris/PPAT yang telah meninggal dunia (studi kasus putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi nomor 41/Pdt.G/2018/Pn Byw.Permasalahan meliputi keabsahan jual beli yang berdasarkan kuitansi kosong dan tanggung jawab PPAT yang telah meninggal dunia atas akta yang dibuatnya cacat hukum.Metode Penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif.Tipe penelitian ini berdasarkan pada tipe deskriptif analitis.Metode data yang digunakan adalah metode kualitatif.Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keabsahan jual beli yang berdasarkan kuitansi kosong yaitu tidak sah karena terdapat unsur itikad tidak baik yang dilakukan oleh pembeli dan tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya cacat hukum yaitu dalam jabatannya melanggar kode etik jabatan Pejabat Pembuat Akta tanah dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian tidak hormat karena telah melakukan pelanggaran berat dalam jabatannya dan terhadap kerugian pihak lain yang dideritanya akibat kesalahan PPAT tersebut dikenakan sanksi perdata berupa kerugian materiil dan kerugian immaterial yang mana dalam hal ini ditanggung oleh ahli waris dikarenakan PPAT yang bersangkutan telah meninggal dunia.

This thesis discusses the legal protection of sellers for the sale and purchase of land that is legally flawed and Notary/PPAT that has passed away (case study of Banyuwangi District Court decision number 41/Pdt.G/2018/PN Byw. Problems include the validity of buying and selling based on receipts blank and the responsibility of PPAT who has passed away on the deed he made is legally flawed. The research method used is normative juridical research. This type of research is based on the analytical descriptive type.The data processing method used is a qualitative method.The results of the study can be concluded that the validity of the deed buying and selling based on fictitious buying and selling using empty receipts, which is invalid because there is an element of bad faith committed by the buyer and the notary`s responsibility for the deed that has been made legally defective in violating the code of ethics disrespectful because he has committed a gross violation in his position and against the loss of another party he suffered due to the error of the PPAT is subject to civil sanctions in the form of material losses and immaterial losses which in this case are borne by the heirs because the PPAT concerned has died."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54175
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>