Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168605 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Furqan Sultan Deyis
"Garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan oleh produsen atau penjual kepada konsumen sebagai pemenuhan terhadap hak-hak serta jaminan terhadap konsumen atas barang yang dijual bebas dari kecacatan dan kerusakan yang tidak diketahui sebelumnya. Pemberian garansi ini merupakan suatu bentuk pelindungan hukum terhadap konsumen yang juga bagian dari kewajiban pelaku usaha dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumennya, di samping juga pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba suatu barang dan/atau jasa tertentu terhadap konsumennya. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 7 huruf e, namun dalam praktiknya pemberian garansi oleh pelaku usaha terhadap konsumen ini tidak sepenuhnya dilaksanakan, sehingga merugikan bagi pihak konsumen. Dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif, tipologi penelitian berupa deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif dan menganalisisnya berdasarkan ketentuan yang berlaku serta memberikan rekomendasi untuk dibuatnya pengaturan khusus terkait garansi barang non elektronik dan juga menjelaskan bahwa seluruh kewajiban pelaku usaha dalam UUPK pada dasarnya berlaku termasuk juga memberikan jaminan atau garansi pada barang, maka hasil dari penelitian ini adalah dibutuhkan pengaturan lebih lanjut mengenai pemberian garansi terhadap barang khususnya mengenai daftar barang non elektronik yang wajib diberikan garansi serta diperlukannya sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab dalam memberikan garansi. Selain itu, dalam putusan a quo seharusnya pelaku usaha (Toko GMT Sparepart Handphone) tetap berkewajiban atau bertanggung jawab dalam memberikan garansi barang terhadap konsumen, dikarenakan pada dasarnya ketentuan kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK bersifat kumulatif yang berarti seluruh kewajiban wajib dilaksanakan, dimana dengan dijalankannya satu kewajiban tidak menghilangkan kewajiban lainnya.

Guarantee is a form of service provided by manufacturers or sellers to consumers as a fulfillment of rights and guarantees to consumers for goods sold free of defects and damage that were not previously known. The provision of this guarantee is a form of legal protection for consumers which is also part of the obligations of business actors and the responsibilities of business actors towards their consumers, in addition, business actors are obliged to provide opportunities for consumers to test and/or try certain goods and/or services on their consumers. . This is in accordance with the mandate of the Consumer Protection Act, especially Article 7 letter e, but in practice the guarantee given by business actors to consumers is not fully implemented, causing harm to the consumer. By using a juridical-normative research form, the research typology is in the form of a descriptive-analytical research with a qualitative approach and analyzes it based on applicable provisions and provides recommendations for making special arrangements related to guarantees for non-electronic goods and also explains that all obligations of business actors in the UUPK basically apply including provide guarantees or guarantees for goods, the results of this study are that further arrangements are needed regarding the provision of guarantees for goods, especially regarding the list of non-electronic goods that must be guaranteed and the need for strict sanctions against business actors who are not responsible for providing guarantees. Apart from that, in the a quo decision the business actor (GMT Sparepart Handphone Store) should still be obliged or responsible for guaranteeing goods to consumers, because basically the provisions on the obligations of business actors in Article 7 of the UUPK are cumulative which means that all obligations must be carried out, where by performance of one obligation does not eliminate other obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktaviana Azalia Putri Widyanti
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan produk berupa mobil bekas. Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang berminat membeli mobil bekas dan meningkatnya transaksi jual beli mobil bekas berarti hukum perlindungan konsumen harus lebih ditegakkan. Pelaku usaha harus sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya yaitu memberikan jaminan dan bertanggung jawab atas kenikmatan dan kecacatan yang terdapat pada produk. Kewajiban tersebut termasuk kepada fasilitas layanan purna jual yang disediakan pelaku usaha dari mulai servis berkala sampai perbaikan terhadap komponen mobil. Jangan sampai pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga melakukan perbuatan yang tidak baik yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Sehingga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk bekas dan bagaimana batasan tanggung jawab tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang melekat pada produk bekas merupakan tanggung jawab produk yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian mengenai batasan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 huruf e Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab tuntutan ganti rugi konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan terhadap barang tersebut. Selain itu, pelaku usaha juga dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah lewat masa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewat masa jaminan.

This thesis discusses the responsibilities of business actors for product sales in the form of used cars. The increasing number of consumers who are interested in buying used cars and the increase in used car buying and selling transactions means that consumer protection laws must be more enforced. Business actors must seriously carry out their obligations, namely providing guarantees and taking responsibility for the enjoyment and defects found in the product. This obligation includes after-sales service facilities provided by business actors starting from periodic servicing to repairs to car components. Do not let business actors violate consumer rights and also commit bad actions that result in consumers experiencing losses. So that the problems discussed in this study are regarding the responsibility of business actors for used products and how to limit this responsibility. This research uses a normative-juridical method through literature studies and interviews with source person. This research explains that the responsibility of business actors attached to used products is product responsibility which is regulated in Pasal 19 (1) UUPK. Then regarding the limitation of the responsibilities of business actors it has been regulated in Pasal 24 (2) and Pasal 27 e UUPK. Business actors are released from responsibility for claims for consumer compensation if other business actors who buy goods and/or services resell them to consumers by making changes to the goods. In addition, business actors are also released from responsibility if the prosecution period of four years has passed since the goods were purchased or the warranty period has passed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zikra Fitrianti
"Berdasarkan kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 164/K/Pdt/2018 Juncto Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 36/Pdt/2017/PT.MDN Juncto Putusan Pengadilan Negri Tebing Tinggi Nomor 34/ Pdt. G/2015/PN.TBT dimana jual beli tanah telah dilakukan dengan dibawah tangan dan atas tanah tersebut dijual kembali oleh penjual secara pura-pura kepada pihak ketiga dan selanjutnya oleh pihak ketiga, tanah tersebut dijadikan agunan dengan Hak Tanggungan kepada Bank. Yang menjadi pokok permasalahan adalah, Bagaimanakah akibat hukum terhadap jual beli tanah dibawah tangan dan dijual kembali serta dijadikan agunan kepada Bank dalam putusan ini berdasarkan ketentuan yang berlaku dan Bagaimanakah Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan tersebut dikaitkan dengan kesesuaian dengan norma hukum dan kepatutan. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, namun syaratsyarat materiil sudah terpenuhi, dan pembeli selaku Penggugat dapat membuktikan dalildalilnya serta Tergugat juga mengakui adanya jual beli yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat I dan II atas tanah tersebut. Maka, sudah sepatutnya jual beli dalam kasus ini adalah sah berdasarkan bukti bukti yang ada dan Bank selaku pemegang Hak Tanggung beritikad tidak baik, tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, dan tidak menerapkan prinsip 5 C dalam melakukan penilaian terhadap debitur dan dalam analisis, Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV, dan Tergugat V terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karenanya, pertimbangan hakim yang sesuai dengan norma hukum dan kepatutan adalah menolak permohonan kasasi oleh Bank.

Based on the Case in the Supreme Court Decision with the number of 164 / K / Pdt / 2018 Juncto the High Court in Medan Decision with the number 36 / Pdt / 2017 / PT.MDN Juncto The Tebing Tinggi State Court Decision Number 34 / Pdt. G / 2015 / PN.TBT where the Sale and Purchase of land rights have been carried out under the hands and the land is resold by the seller pretending to be to a third party and then by a third party, the land is used as collateral with a mortgage to the bank. The main problem is, What is the legal consequence of the sale and purchase of land in a private deed and resales and used as collateral to the Bank in the decision based on the applicable provisions and What is the Judge's consideration in the Court Decision related to conformity with legal norms and propriety. In order to answer this problem, legal research was carried out with a normative juridical approach, using secondary data obtained by literature study and the results of the research are analytical prescriptive. The results of the analysis show that although the sale and purchase was not carried out before the PPAT, the material requirements had been met, and the Buyer as the Plaintiff could prove his arguments and the Defendant also acknowledged that the sale and purchase was carried out between the plaintiffs and defendants I and II on the land. So it is rightly, for the sale and purchase in this case to be validated based on existing evidence and the Bank as the holder of the Liability Rights is considered has bad intentions, does not apply the principle of prudence, and does not apply the 5 C principle in assessing debtors and in analysis, Defendant I, Defendant II, Defendant III, Defendant IV, and Defendant V are proven to have committed illegal acts. Therefore, the judge's consideration in accordance with legal norms and propriety is to reject the appeal by the Bank."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Daffa Firdaus
"Perkembangan ekonomi nasional yang terjadi saat ini tentu menciptakan peluang ekonomi yang besar bagi masyarakat Indonesia, salah satu sektor yang bermunculan saat ini adalah sektor pangan. Produsen pangan memiliki tanggung jawab utama terhadap produk pangan yang diedarkan dan dipasarkan, menyangkut gangguan kesehatan dan kematian orang yang mengkonsumsinya. Maka dari itu, perlu adanya pelindungan bagi para konsumen. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengangkat tiga pokok rumusan permasalahan yaitu pengaturan kewajiban Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang produk pangan, perlindungan bagi konsumen, dan upaya pemerintah terhadap pelaku UMKM yang tidak memenuhi standarisasi. Tujuan daripada penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan untuk UMKM Pangan terhadap SNI. Lebih lanjut penulisan ini menggunakan metodologi yuridis-normatif. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah, cara untuk meningkatkan keamanan untuk para konsumen adalah dengan meingkatkan pengawasan oleh lembaga pengawas makanan.

The development of the national economy that is currently happening certainly creates great economic opportunities for the people of Indonesia, one of the sectors that is emerging at this time is the food sector. Food producers have primary responsibility for the food products that are distributed and marketed, regarding health problems and deaths of people who consume them. Therefore, there is a need for protection for consumers. Based on this, the authors raise three main problem formulations, namely regulation of obligations of Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) against the provisions of the Indonesian National Standard (SNI) regarding food products, protection for consumers, and government efforts against MSME actors who do not meet standardization. The purpose of this writing is to find out and analyze the arrangements for Food SMEs against SNI. Furthermore, this writing uses a juridical-normative methodology. The conclusion drawn from this research is that the way to improve security for consumers is to increase supervision by food supervisory agencies. In addition, the government can conduct outreach to business actors and consumers about the importance of SNI so that people can better understand and be more careful in buy food products."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Savitri Islamiana Putri
"Kebutuhan akan perumahan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk dapat dipenuhi sebagai tempat tinggal. Dalam praktiknya, penjualan rumah oleh pelaku usaha developer dilakukan sebelum rumah tersebut selesai dibangun dengan melalui pesanan terlebih dahulu. Pembelian rumah yang melalui pesanan akan dituangkan ke dalam perjanjian jual beli perumahan, yang dikenal dengan sebutan Perjanjian Pengikatan Jual Beli PPJB antara pelaku usaha dan konsumen. Perjanjian jual beli perumahan ini merupakan kesepakatan yang dijadikan pedoman dalam proses pembangunan rumah untuk saling memenuhi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak sebagaimana yang diperjanjikan.
Akan tetapi, dalam pelaksanaannya ternyata developer wanprestasi untuk membangun rumah yang dipesan oleh konsumennya yaitu berupa keterlambatan dalam serah terima rumah yang tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, seperti yang terjadi pada kasus yang menjadi topik dalam penelitian ini. Oleh karena janji-janji yang tidak kunjung dipenuhi dan juga timbul masalah karena perbuatan developer maka pembeli akhirnya mengadukan pelaku usaha tersebut ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK Tangerang Selatan. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis normatif.
Hasil Penelitian ini disimpulkan bahwa pelaku usaha telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen UUPK , Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman, KEPMENPERA tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah; Dalam PPJB Perumahan Discovery Eola Bintaro ini terdapat klausula baku yang melanggar ketentuan Pasal 18 ayat 1 UUPK; dan Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh developer selaku pelaku usaha terhadap perjanjian jual beli perumahan yang menyebabkan kerugian dapat diminta pertanggungjawaban berupa tanggung jawab perdata maupun pidana.Kata Kunci: Pelindungan Konsumen, Perjanjian Jual Beli Perumahan, Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah, Konsumen, Pelaku Usaha, Keterlambatan Serah Terima Rumah.

The need for housing is a basic human needs to be met as a residence. In practice, the sale of house by developer carried out before the house was completed through advance orders. House purchases through orders will be submitted into the housing purchase and sale agreement, that is known as the house preliminary sale and purchase agreement PPJB between businesses developer and consumers. Residential purchase and sale agreement is an agreement that is used as guidelines in the construction process to fulfill the rights and obligations mutually of each party as agreed.
However, in practice the developer default to build a house that was ordered by the consumer in the form of a delay in the handover of the house that does not comply with the agreements that have been agreed upon, as occured in the case as subject of this research. Because of promises not being fulfilled and problem appear caused by developer, then finally consumer denounce the business actors to Consumer Dispute Settlement Board BPSK South Tangerang. The research method in this case is juridical normative.
The results of this research concluded that businesses have violated the provisions of Law No. 8 Year 1999 about Consumer Protection, Law No. 1 Year 2011 about Housing and Neighborhoods, KEPMENPERA on Guidelines for the Sale and Purchase of House Housing PPJB Discovery Eola in Bintaro, there are standard clauses that violate the provisions of Article 18 paragraph 1 of Law No. 8 Year 1999 and Based on the violations committed by developers as businesses towards the purchase agreement the housing that causes the loss can be held accountable in the form of civil or criminal liability.Keywords Consumer Protection, The Sale and Purchase Agreement, Consumer, Business Communities, Delay Handover Building."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66807
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bethsyanna Putri Supriadi
"Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai pejabat umum memiliki kewenangan untuk membuat akta otentik. Dalam melaksanakan jabatannya Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah harus menjunjung tinggi harkat dan martabatnya dengan selalu berpedoman kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan Kode Etik Jabatan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pada kenyataannya terdapat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melanggar Peraturan Perundang-Undangan dan Kode Etik Jabatannya, sehingga, Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah tersangkut masalah, salah satunya tindak pidana penggelapan uang jual beli tanah yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertindak selaku perantara dalam jual beli. Maka dengan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan dalam tesis ini yaitu mengenai 1. Bagaimana akibat hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan kedalam Akta Jual Beli akibat uang jual beli tidak diserahkan oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 771 K/Pid/2018? 2.Bagaimanakah tanggung jawab Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku perantara dalam jual beli tanah yang tidak menyerahkan uang jual beli sehingga Perjanjian Pengikatan Jual Beli tidak dapat dilanjutkan ke dalam Akta Jual Beli. Bentuk penelitian yang dipakai adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif analitis. Perbuatan yang dilakukan oleh Notaris/Pejabat pembuat Akta Tanah tidak menimbulkan akibat hukum terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuatnya, sedangkan terhadap para pihak akibat hukumnya adalah jual beli batal sehingga tidak terjadi perpindahan hak dari penjual kepada pembeli. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang melakukan tindakan tidak menyerahkan uang jual beli tersebut terdapat tiga pertanggungjawaban yang dapat dikenakan terhadap Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pertanggungjawaban secara pidana, perdata dan administratif. Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan jabatannya tidak melebihi batas kewenangannya, dalam hal ini sebagai perantara jual beli.

Notary/Land deed official as a public officials has the authority to make an authentic deeds. In performing their job Notary/Land deed official they must uphold their valence and dignity by always guided upon applied regulations and Code of Ethics of Notary/Land deed official. In fact, there are some Notary/land deed official that violates applied regulations and Code of Ethics of Notary/land deed official, thus, the Notary/land deed official has some issues, one of them is Criminal Act of Embezzlement of Sales and Purchase Money conducted by Notary/land deed official as  Mediator of Land sales and purchase. So with the background of the problem mentioned, the writer formulate the issue in this thesis are about how the legal consequences of the Settled Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds due to Sales and Purchase Money not be given by Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase according to the Supreme Court Verdict Number 771 K/Pid/2018? How the responsibility of a Notary/land deed official as a Mediator of Land Sales and Purchase who not given the sales and purchase money causing the Commitment of Sale and Purchase Agreement Cannot be Executed to be Sales and Purchase Deeds. The form of research used in this thesis is normative with research typology is descriptive analytical. The action that conducted by Notary/Land deed official not incur legal consequences of the Commitment of Sale and Purchase Agreement, and for the parties is the sale and purchase become null and void so the rights of the land can not be pass from the seller to the buyer. Notary/land deed offcial who conducted the act of not given sales of purchase money are three responsibilities that can be charged to them are criminal responsibility, civil/private responsibility, and administrative responsibility. Notary/land deed official in performing their jobs not exceeding the limits of their authority, in this case as a mediator of land sales and purchase."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghaida Mastura
"Tesis ini membahas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128K/PID/2017 dan Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor 13/B/MPPN/VII/2019 mengenai Notaris yang membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual dengan objek yang sama kepada beberapa pihak. Sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek dalam akta-akta tersebut adalah seritifikat yang dititipkan di kantor Notaris sebagai jaminan perjanjian utang piutang. Karena di tengah jalan pihak debitur menghilang, pihak kreditur meminta Notaris untuk menjualkan sertifikat hak atas tanah tersebut. Notaris kemudian membuat KTP palsu dan meminta seorang rekannya untuk mengaku sebagai pemilik sertifikat hak atas tanah tersebut dan bertindak sebagai penjual dengan menggunakan nama sesuai KTP yang telah dibuat oleh Notaris. Permasalahan dalam tesis ini mengenai akibat hukum terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang dibuat oleh Notaris yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku dan sudah tepat atau tidaknya sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris atas perbuatannya. Metode penelitian dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan jenis data sekunder, alat pengumpulan data berupa studi literatur, dan metode analisis kualitatif. Tipologi yang digunakan bersifat deskriptif yang menghasilkan penelitian deskriptif-analitis. Hasil penelitian diperoleh bahwa akibat hukum terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual yang dibuat oleh Notaris adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat subjektif maupun syarat objektif suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dijatuhkan kepada Notaris sudah tepat namun masih terdapat satu sanksi lagi yang dapat dibebankan kepada Notaris yaitu sanksi perdata berupa ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan atas perbuatannya.

This dissertation discusses the Supreme Court's Ruling No. 1128K/PID/2017 and the Central Supervisory Assembly of Notary's Ruling No. 13/B/MPVN/VII/2019 about the Notary who conducted Conditional Sale and Purchase Agreement and Deed of Authorization to Sell on the same object for several parties. The certificate of land right as the object of those deeds is the one which stored on the Notary office as the collateral on loan agreement. As the debtor stopped paying the debt, the creditor asked the Notary to sell the certificate of land right. The problem raised on this dissertation is the legal implication towards Conditional Sale and Purchase Agreement dan Deed of Authorization to Sell made by the notary that is not inline with the applicable law and the sanction that had been charged to the Notary. The research method of this dissertation is juridical normative using secondary data with literature review as data gathering tools, and using qualitative analysis method. The research typology is descriptive making an analytical-descriptive research. The research shows that the legal implication towards the deeds is null and void because they not meet the subjective and objective requirements of an agreement on article no. 1320 Code of Civil Law and the criminal sanction as well as administrative sanction to the notary are appropriate. However, there is still one other sanction that can be charged to the notary, that is, private sanction in the form of compensation for the injured party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juliandy Dasdo P Tambun
"ABSTRAK
Pangan merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia, seiring dengan perkembangan dari produk olahan pangan semakin maju, sehingga tidak jarang demi mencapai tujuan tertentu pelaku usaha melakukan pencampuran/pengoplosan terhadap produk olahan pangan. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan mempunyai kriteria tersendiri apabila ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen, hal ini sehubungan dengan kepentingan konsumen guna mendapatkan pangan yang layak serta sesuai dengan standar kesehatan yang memadai. Pelaku usaha sendiri memiliki tanggung jawab terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos, dalam hal ini peran pemerintah sebagai fungsi kontrol di antara pelaku usaha dan konsumen memegang peranan yang sangat signifikan. Guna menjawab permasalahan di dalam tesis ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengkaji tentang hukum normatif doktrinal , dalam hal ini Undang-Undang no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, maupun peraturan hukum lainnya. Kebijakan dari pengoplosan atau pencampuran suatu produk olahan pangan ditinjau dari sudut pandang hukum perlindungan konsumen tidak terlepas dari inti utama fungsi dari pangan itu sendiri, dimana suatu produk olahan pangan merupakan pangan yang telah diberikan BTP Bahan Tambahan Pangan dalam proses produksi. Tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk olahan pangan yang dicampur atau dioplos mengacu kepada ketentuan perubahan/pengoplosan yang dimaknai dengan Perubahan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau Barang dan/atau jasa tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi. Dengan demikian pengoplosan yang bersifat negatif merupakan kegiatan memproduksi dan memperdagangkan pangan yang tidak sesuai dengan standar keamanan pangan dan menyebabkan berubahnya mutu pangan.

ABSTRACT
Food is a basic need for human survival, along with the development of food processing products, it is common for achieving certain objectives of business executors to mixing the processed food products. The policy of mixing processed food products has its own criteria when viewed from the perspective of consumer protection law, and it is in line with the interest of consumers to obtain good standards for food and also health. The business executors have responsibility for the processed food product which has mixed, and in this case the government plays a significant role as a controller for the business executors and consumers. In order to answer the problem in this thesis, the writer uses normative juridical research method, which is research that examines about normative law doctrinal , in this case Law no. 8 of 1999 on Consumer Protection, Law No. 18 of 2012 on Food, as well as other legal regulations. From the point of view of consumer protection law, the policy of mixing a processed food product is inseparable from the main core of the function of the food itself, where a processed food product has been given food additives in the production process. The responsibility of the business executors on processed food products that are mixed refers to the provisions of change, which is the change of goods and or services performed by business execitors or goods and or services not in accordance with the example, quality, and composition. Therefore, a negative mixing is an activity to produce and trade food that is not in accordance with the food safety standards dan cause changes in the food quality. "
2017
T50258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Bachtiar
"Di dalam transaksi bisnis, produsen biasanya adalah pihak yang lebih kuat dimana konsumen adalah pihak yang lebih lemah. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa produsen memiliki pengetahuan dan kekuasaan lebih banyak atas produk yang diproduksinya dibandingkan konsumen. Atas dasar fakta tersebut, konsumen memerlukan perlindungan yang memadai. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa produsen harus bertanggungjawab atas segala kerugian yang diderita konsumen sebagai akibat dari mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Tanggung jawab itu dinamakan tanggung jawab produk (product liability).
Thesis ini menyoroti perihal klausula baku yang biasanya digunakan oleh produsen yang merupakan badan hukum, khususnya perseroan terbatas dalam menjual produk-produknya. Secara spesifik, analisis terhadap permasalahan ini berhubungan dengan tanggung jawab produk dari perusahaan produsen tersebut, dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham dan direksi, dan penggunaan klausula baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
Bahanbahan untuk penelitian ini dikumpulkan melalui sumber kepustakaan, menggunakan metodologi penelitian hukum dengan tujuan menemukan hukum objektif pada awalnya, untuk kemudian diikuti dengan menemukan hukum subjektif dalam prosesnya. Hukum subjektif ini akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan hukum normatif. Sebagai tambahan, penelitian ini juga menggunakan analisis kualitatif karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk menguji kualitas dari substansi hukum normatif.
Penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab produk dari produsen?perseroan terbatas memiliki sifat terbatas sehingga konsumen harus cerdik dalam menjamin ganti kerugian yang bisa diperolehnya dari semua kerugian yang dideritanya sebagai akibat mengkonsumsi produk yang telah dibelinya dari produsen. Juga dapat disimpulkan bahwa peraturan-peraturan tentang klausula baku di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 masih perlu diperiksa dan ditinjau ulang, khususnya, yang berkaitan dengan prinsip misbruik van omstandigheden, dan korelasi antara pencantuman klausula baku tersebut dengan syaratsyarat sahnya perjanjian. Juga diperlukan pengamatan lebih jelas akan beberapa kondisi dalam pertanggungjawaban direksi perseroan terbatas, dalam artian kajian ulang akan seberapa kuat perlindungan hukum yang diberikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap hartanya mempengaruhi tanggung jawabnya terhadap pihak ketiga dan tanggung jawabnya sebagai direksi terhadap status perlindungan harta pemegang saham yang terbatas.

In a business transaction, the producer is normally the stronger party while the consumer is the weaker one. This is due to the fact that the producer has more knowledge and power over his products compared to the consumer. For this reason, the consumer needs protection. Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection provides that a producer shall be liable to any damages suffered by a consumer as the result of consuming the product he has bought from the producer. That liability is called product liability. And the focus of this thesis is on the product liability of standard clauses by legal entity producer, particularly limited liability company in regards to its board of directors as a representative party.
This thesis focuses on the standard clauses which are normally used by a limited liability company producer in selling its products. Specifically, the analysis relates to the product liability of such company producer, the extent of such liability vis-à-vis the limited liability of its shareholders and board of directors, and the use of standard clauses as provided in Law Number 8 Year 1999.
Materials for this study are collected by means of literature technique, using normative law research methodology for purposes of finding the objective law first, and then, from the relevant legal issues found in that process, finding the subjective law. This subjective law is subsequently analyzed by using legal science approaches, namely statute approach and principle approach. In addition, a qualitative analysis is also made because the target of this study is to test the quality of the legal norm substance.
The study reveals that the product liability is absorbed by the liability of the company which is limited in nature to the effect that the consumer needs to be smart enough to ensure that he would get the indemnity for any damages he has suffered from the product. It can also be concluded that the provisions on standard clauses in Law Number 8 Year 1999 need to be reviewed and revised, particularly, regarding misbruik van omstandigheden and the effect of the use of such standard clauses on the conditions for validity of a contract. As to the liability of the board of directors, it also needs to be reviewed in order to know how effective the legal protection granted to it by Law Number 40 Year 2007 concerning Limited Liability Company affects its liability to third parties and the limited liability of the shareholders of the company.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29239
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>