Ditemukan 131806 dokumen yang sesuai dengan query
Anggita Andrea Larasati
"Keberadaan pilihan hukum Inggris dalam kontrak asuransi laut melekat pada praktik yang terbentuk selama ratusan tahun. Para pihak yang berkedudukan di Indonesia pun menggunakan polis yang memilih hukum Inggris untuk kontrak asuransi lautnya. Pengadilan Indonesia berpotensi mengadili sengketa kontrak asuransi laut yang memilih hukum Inggris, sehingga penting bagi pengadilan untuk menentukan hukum yang berlaku dan forum yang berwenang. Dalam kurun waktu 2010 hingga 2022, terdapat delapan kasus kontrak asuransi laut yang diadili oleh pengadilan Indonesia. Kedelapan perkara tersebut timbul dari polis yang mengandung pilihan hukum Inggris. Alih-alih memakai hukum Inggris untuk mengadili perkara-perkara tersebut, pengadilan Indonesia menyatakan ketidakberwenangannya atas dasar keberlakuan hukum Inggris. Para pihak diharuskan untuk menyelesaikan sengketanya di pengadilan Inggris. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dengan bahan pustaka untuk mengkaji ketentuan hukum dan putusan pengadilan Indonesia. Penelitian ini berpendapat bahwa pengadilan Indonesia memerlukan suatu pedoman untuk menentukan hukum yang berlaku dan forum yang berwenang dalam menangani kontrak asuransi laut
The existence of English choice of law in marine insurance contracts adheres to the practice established for hundreds of years. Indonesian parties also conclude marine insurance contracts which incorporates an English choice of law clause therein. The Indonesian court might adjudicate disputes rising from such contracts, therefore it is crucial for courts to determine the applicable law and competent forum. From 2010 until 2022, there had been eight marine insurance contract cases brought before the Indonesian court. Instead of using the English law to judge them, the Indonesian court states its incompetence to hear the case. The parties are required to bring their case before the English court. This research is conducted with juridical-normative method utilizing legal documents and literatures to study the existing regulations and Indonesian court judgments. It argues that the Indonesian court needs a guideline to determine the applicable law and competent forum in resolving marine insurance contract cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kalalo, Kevin Paul Dylan
"Pasal 53 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk memberikan pertimbangan hukum yang didasarkan pada dasar dan alasan hukum yang tepat dan benar dalam putusannya. Hal ini juga berlaku dalam konteks Hukum Perdata Internasional (HPI), seperti perkara pewarisan internasional. Perkara pewarisan internasional adalah perkara pewarisan yang memiliki unsur asing. Lebih lanjut, terdapat pertanyaan dan/atau isu HPI dalam perkara pewarisan internasional yang mencakup hukum waris internasional, perkawinan campuran internasional, kewenangan mengadili hakim, dan isu hak orang asing atas harta warisan. Skripsi ini akan menganalisis tentang penyelesaian perkara pewarisan internasional dan sikap pengadilan Indonesia dalam menentukan hukum waris yang berlaku dari sepuluh perkara, yaitu Agnes Lee (2008), Agnes Lee (2015), Erlina, Reiger, Helga, Berg, Adolphe, Kirk, Whitechurch, dan Tan Mui Joon. Berdasarkan pengkajian dari sepuluh putusan tersebut, hakim masih belum dapat memberikan pertimbangan hukum yang tepat dan lengkap sesuai dengan ilmu HPI mengenai pertanyaan dan/atau isu yang muncul dalam setiap perkara. Selain itu, skripsi ini juga hendak menjelaskan tentang ruang lingkup HPI dalam pewarisan internasional. Terakhir, skripsi ini akan membahas tentang kehadiran RUU HPI sebagai solusi untuk memberikan kepastian hukum bagi hakim dalam menentukan hukum yang berlaku dalam pewarisan internasional. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode doktrinal dengan bahan pustaka untuk mengkaji ketentuan hukum dan putusan pengadilan Indonesia.
Article 53 paragraph (2) of the Judicial Power Act requires judges to provide legal considerations based on the proper and correct legal basis and reasoning in their decisions. This also applies in the context of Private International Law (PIL), such as cases involving international succession. International succession cases are cases that involves foreign elements. Furthermore, there are questions and/or PIL issues in international succession cases, including international succession law, international mixed marriages, jurisdiction, and issues related to the rights of foreigners to inheritance. This thesis will analyze how Indonesian court adjudicating international succession cases and the stance of the Indonesian court in determining applicable succession laws from ten cases: Agnes Lee (2008), Agnes Lee (2015), Erlina, Reiger, Helga, Berg, Adolphe, Kirk, Whitechurch, and Tan Mui Joon. Based on the examination of these ten decisions, judges still struggle to provide legal considerations on questions and/or issues arising, with a proper legal basis and reasoning in accordance with PIL. Moreover, this thesis will also explain the scope of PIL in international succession. Finally, the thesis will discuss the presence of the PIL Bill as a solution to provide legal certainty for judges in determining the applicable laws in international succession cases. This research is conducted using a doctrinal method with literature as the basis for examining legal provisions and decisions of the Indonesian court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Adityawardhana Putra
"Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak mengenal secara eksplisit mengenai Kuasi Kontrak. Namun, Kuasi Kontrak dapat dipersamakan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Negotiorum Gestio (Perwakilan Sukarela) dan Solutio Indebiti (Pembayaran yang tidak wajib) pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum Common law yakni mengenai ketentuan mengenai Negotiorum Gestio dan Solutio Indebiti dengan Kuasi Kontrak sebagai Equitable Remedies di Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kuasi kontrak dalam hal pengertian, syarat, dan bentuk pemulihannya. Adanya perbedaan dan persamaan yang ditermukan dalam penelitian ini adalah akibat dari adanya perbedaan tradisi hukum yang dianut oleh ketiga negara.
Indonesian Civil Code did not openly recognize the term of Quasi Contract. However, the concept of Quasi Contract are identical with the provisions regarding Negotiorum Gestio (Managements of another's affais) and Solutio Indebiti in the Indonesian Civil Code. This Paper compares the law of contracts in Indonesia with Common Law, regarding the provisions of Negotiorum Gestio and Solutio Indebiti (Payment of Something not Owed) with Quasi Contract as an Equitable Remedies in England and United States. This study is a normative juridical research. Results of this study shows that there are similarity and differences concerning Quasi Contract in sense of Definition, Terms, and Remedies. Similaritis and differences found, are the results of the difference law tradition that the three countries abide to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ersee Libert Yehezkiel
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan pencantuman klausula baku dalam kontrak elektronik yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen serta Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dikaitkan dengan Consumer Rights Act 2015 dan UK eIDAS sebagai peraturan di negara Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis-normatif dengan pendekatan perbandingan hukum dengan penulisan deskriptif analitis. Assessment of fairness dapat diberlakukan sebagai bentuk mitigasi dan perlindungan hukum terhadap pihak yang berpotensi mengalami kerugian terhadap adanya klausula baku dalam suatu kontrak elektronik. Namun, perlu adanya tinjauan kembali terhadap negara yang menerapkan prosedur tersebut, yaitu Inggris.
This thesis discusses the regulation of the inclusion of standard clauses in electronic contracts which are regulated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 19 of 2016 concerning Amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions, associated with Consumer Rights Act 2015 and UK eIDAS as regulations in the UK. The research method used is the juridical-normative method with a comparative law approach with analytical descriptive writing. Assessment of fairness can be applied as a form of mitigation and legal protection for parties who have the potential to suffer losses due to the existence of standard clauses in an electronic contract. However, there needs to be a review of the country that implements the procedure, Which is United Kingdom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ghema Ramadan Haruman
"Pembahasan dari segi-segi Hukum Perdata Internasional (HPI) terhadap perkara perbuatan melawan hukum (PMH) yang memiliki unsur asing sangat penting dilakukan demi menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara tersebut dan hukum yang berlaku.
Berdasarkan sejumlah perkara PMH bernuansa asing yang dibahas di dalam tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa konvensi-konvensi HPI di bidang penerbangan turut berperan penting dalam menentukan forum yang berwenang untuk mengadili perkara-perkara tersebut dan hukum yang berlaku.
The analysis from Private International Law aspects in relation to tort which contains of foreign element is important in order to determine forum jurisdictions and the applicable law. Based on the tort cases that are discussed in this writing, it can be concluded that Private International Law conventions in aviation sector take important role in order to determine forum jurisdictions and the applicable law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46755
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Heru Annas Syahdio
"Skripsi ini membahas mengenai kewenangan Pengadilan Niaga dalam kepailitan asuransi syariah menurut UU 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan PKPU yang menjadi sebuah diskursus tersendiri dalam paradigma perluasan kewenangan Pengadilan Agama serta ketentuan kepailitan syariah (taflis) dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Utang menurut hukum kepailitan di Indonesia didefinisikan secara luas mencakup setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, dan utang menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah juga setiap kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang. Berbeda dengan asuransi konvensional di mana pertanggungan terjadi antara perusahaan asuransi dengan pemegang polis, dalam asuransi syariah pertanggungan terjadi di antara para pemegang polis dengan perusahaan asuransi syariah sebagai pengelola dana tabarru'. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan atas akibat dan penyelesaian perbedaan arti utang secara konvensional dan syariah. Pertanyaan tersebut pernah dihadapi oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan memutuskan kepailitan terhadap PT Asuransi Syariah Mubarakah yang akan diulas dalam penelitian ini.
This study discusses about the Commercial Court's competence in sharia insurance bankruptcy according to UU 37 of 2004 which has become a discussion under the expansion of Religious Court's competence and sharia bankruptcy (taflis) terms under Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Debt under the Indonesian Bankruptcy Law is defined broadly to include any obligation that is or can be stated in monetary amount, and under Sharia Economic Law Compilation debt is also defined as any obligation that is or can be stated in monetary amount. Contrary to Conventional Insurance where insurance occurs between the policy holder and the Conventional Insurance Company, Sharia Insurance occurs between the policy holder themselves with Sharia Insurance Company acts as the administrator of tabarru' fund. It raises questions as to the implication and adjudication of conventional and sharia debt differences. That question was faced by the Commercial Court at Central Jakarta District Court who checks and decides the bankruptcy of PT Asuransi Syariah Mubarakah which will be further discussed in this study."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Valencia Wijaya
"Prinsip itikad paling baik atau utmost good faith menitikberatkan pada adanya pengungkapan informasi material yang benar dan sejujur-jujurnya. Apabila prinsip ini tidak dipenuhi, perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Dengan demikian, prinsip ini pun harus dipenuhi oleh para pihak, baik oleh penanggung maupun tertanggung. Akan tetapi, nyatanya di dalam pelaksanaanya prinsip ini kerap kali mendapati berbagai pelanggaran. Dalam Putusan Nomor 240/Pdt.G/2020/PN JKT. SEL, terdapat pembatalan sepihak perjanjian asuransi oleh PT Prudential Life Insurance selaku penanggung terhadap Alm. Waozaro Harefa selaku tertanggung atas dasar Alm. Waozaro Harefa telah menyembunyikan fakta material berupa penyakit yang dideritanya sebelum adanya penutupan asuransi. Akan tetapi, apabila dicermati lebih lanjut, ditemukan fakta bahwa melalui agennya PT Prudential Life Insurance telah melakukan pemeriksaan medis setelah pembayaran premi pertama. Selain itu, agen asuransi juga memintakan biaya premi setelah Alm. Waozaro meninggal dunia dan biaya untuk pengurusan klaim yang nyatanya tidak sesuai dengan prosedur dari perusahaan PT Prudential Life Insurance. Melalui metode penulisan doktrinal, tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai pemenuhan prinsip utmost good faith dan bentuk pertanggungjawaban dari agen asuransi dalam pelanggaran prinsip utmost good faith. Dalam hal ini, ditemukan bahwa penanggung telah memenuhi prinsip utmost good faith dengan baik karena pembayaran premi pertama tidak serta merta mengartikan bahwa asuransi telah ditutup, tetapi biaya tersebut hanya merupakan “titipan” belaka. Kemudian, yang telah melakukan pelanggaran prinsip utmost good faith adalah tertanggung karena telah melakukan misrepresentasi ketika melakukan pengisian SPAJ. Kemudian, terkait pertanggungjawaban agen, agen dapat dimintakan pertanggungajawaban karena telah melakukan tindakan yang melebihi kewenangan yang diberikan kepadanya. Dalam tulisan ini, ditemukan juga kekeliruan hakim dalam memutuskan perkara karena hakim menghukum perusahaan asuransi, perusahaan keagenan, dan ahli waris agen asuransi untuk bertanggung jawab secara tanggung renteng atas pembayaran klaim.
The principle of utmost good faith emphasizes the disclosure of true and honest material information. This principle is one of the essences of insurance agreements because if this principle is not fulfilled, the contract will be null and void. Thus, this principle must be fulfilled by both parties, the insurer and the insured. However, in practice, this principle often encounters various violations. In Decision Number 240/Pdt.G/2020/PN JKT. SEL, there is an issue regarding the unilateral cancellation of the insurance agreement by PT Prudential Life Insurance as the insurer against the late Waozaro Harefa as the insured based on the late Waozaro Harefa concealing material facts, namely a pre-existing illness, before the insurance contract is concluded. However, it was found that through its agent PT Prudential Life Insurance had conducted a medical examination after the first premium payment. In addition, the insurance agent also asked for premium fees after the late Waozaro died and fees for managing claims which in fact were not in accordance with the procedures of the company PT Prudential Life Insurance. Through the doctrinal writing method, this paper will further discuss the fulfilment of the principle of utmost good faith and the form of liability of insurance agents in violation of the principle of utmost good faith. In this case, it is found that the insurer has fulfilled the principle of utmost good faith well because the payment of the first premium does not necessarily mean that the insurance has been closed, but the fee is only a mere "deposit". Then, the one who has violated the principle of utmost good faith is the insured because he has made a misrepresentation when filling out the SPAJ. Then, regarding the agent's liability, the agent can be held liable because he has taken actions that exceed the authority given to him. In this paper, there was also a misjudgement by the judge in deciding the case because the judge punished the insurance company, the agency company, and the heirs of the insurance agent to be jointly and severally liable for the payment of the claim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ricky Hendrika
"Forum Arbitrase merupakkan forum penyelesaian sengketa yang acapkali dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perjanjian perdagangan karena alasan-alasan efektivitas dan biayanya yang murah. Namun dengan perkembangan perekonomian dunia yang diiringi dengan kebebasan para pihak dalam hal menerapkan Pilihan Forum, hasil penyelesaian sengketa demikian berpotensi untuk mengandung unsur-unsur asing sebagai akibat dari para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, terletak pada wilayah hukum yang berbeda, dan/atau bahkan memilih forum Arbitrase asing yang tunduk pada ketentuan hukum yang berlainan dari pihak dalam perjanjian perdagangan tersebut. Kemudian dalam keberlakuannya, putusan Arbitrase dapat dimintakan permohonan pembatalannya ke pengadilan negeri. Meskipun demikian, Indonesia yang memiliki ketentuan hukum Arbitrase nya sendiri, yakni UU No, 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS), serta negara anggota New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (Konvensi New York 1958), menjadi subjek terhadap dua ketentuan pembatalan putusan Arbitrase yang berbeda. Dalam pengaturannya, ketentuan pembatalan UUAAPS hanya dapat berlaku bagi putusan Arbitrase nasional, sedangkan Konvensi New York 1958 berlaku bagi Putusan Arbitrase Internasional. Kendati demikian, suatu putusan Arbitrase dapat mengandung unsur asing, dan hal ini seringkali mengundang interpretasi yang turut berpengaruh pada penerapan UUAAPS dan Konvensi New York 1958. Kenyataan ini merupakan salah satu ruang lingkup kajian Hukum Perdata Internasional karena dalam hal penentuan kewenangan oleh pengadilan negeri dalam perkara pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing, timbul pertanyaan “Pengadilan negara manakah yang berwenang untuk mengadili pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing tersebut?” Melalui penelitian yuridis-normatif, skripsi ini akan menganalisis praktik kewenangan mengadili oleh pengadilan negeri di Indonesia sehubungan dengan penerapan pasal-pasal pembatalan Arbitrase yang ada
As one of the dispute resolution forums, arbitration, is often chosen by the parties to resolve commercial agreement disputes due to its effectiveness and cost efficiency. However, as the world’s economy develops, accompanied by the freedom in implementing the choice of forum, the results of such dispute resolution potentially contain foreign elements due to the parties being subject to different legal systems, being located in different jurisdictions, and/or even choosing a foreign arbitration which has different legal system from the parties involved in the commercial agreement. Notwithstanding aforementioned explanation, arbitration award can be requested for its annulment to the district court. Nevertheless, Indonesia with its own Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Arbitration Law), while also participating as the member states of the New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention 1958), is subject to two different provisions for arbitral award annulment. For example, the provisions for the arbitral award annulment in UUAAPS is only applicable for national arbitral award, while the annulment provision in New York Convention 1958 applies to foreign arbitral award. However, an arbitral award may contain foreign elements, which often results in different interpretations in its implementation and influences the application of the Arbitration Law and the New York Convention 1958. This event falls within the scope of Private International Law’s studies because it raises the question of "Which district court has the authority to adjudicate the annulment of arbitral awards containing the foreign elements?" Through normative-juridical research, this undergraduate thesis will analyse the practice of Indonesian district court’s authority in adjudicating the annulment of said arbitral award in relation to the application of existing arbitration annulment regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.
This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Partogi, Emanuel Sion
"Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997, 2015, dan 2019 menyebabkan kerugian bagi masyarakat di Singapura dan Malaysia. Hal ini dapat menjadi dasar menggugat perbuatan melanggar hukum bagi pihak yang merasa dirugikan. Selain itu, tumpahan minyak dalam kasus Sanda v PTTEP Australasia (2009) menyebabkan kerugian bagi sekelompok petani rumput laut di Rote, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Adapun minyak tersebut berasal dari kilang minyak milik PTTEP Australasia yang beroperasi di wilayah Pulau Ashmore dan Cartier, Australia. Adanya pencemaran lintas batas negara menyebabkan suatu persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI), jika muncul gugatan perbuatan melanggar hukum atas pencemaran tersebut. Oleh karenanya penting untuk menentukan hukum yang berlaku atas gugatan perbuatan melanggar hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah pencemaran telah terjadi berdasarkan hukum nasional negara tertentu dan akibat-akibat dari pencemaran tersebut, contohnya pembayaran ganti rugi. Penelitian ini akan membandingkan kaidah HPI Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Australia.
Forest Fires that occurred in Indonesia in 1997, 2015, and 2019 caused massive losses for the citizens of Singapore and Malaysia. On this basis, the plaintiff can file a tort lawsuit to sue for damages. On the other hand, the oil spill in the case of Sanda v PTTEP Australasia (2009) also caused damage to a group of seaweed farmers in Rote, East Nusa Tenggara, Indonesia. In addition, the oil spills came from the wellhead owned and operated by PTTEP Australasia. The wellhead itself is located in the Territory of Ashmore and Cartier Islands, Australia. The presence of pollution across the nation’s border gives rise to the Private International Law issue if the party files the lawsuit. Therefore, determining the applicable law is foremost to analyse. It aims to know whether environmental damage has occurred regarding certain national laws and the outcomes from the damage, e.g., compensation settlement. This research will compare Indonesian, Singaporean, Malaysian, and Australian Private International Law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library