Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64916 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yohanes Satrya Wibawa
"Latar belakang: Nyeri perineum adalah keluhan umum di kalangan wanita setelah persalinan pervaginam yang dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Berbagai faktor determinan persalinan telah diidentifikasi berpengaruh terhadap peningkatan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Studi sebelumnya telah berfokus pada nyeri persalinan dan manajemen nyeri pasca operasi caesar tetapi tidak pada faktor yang dapat memperberat derajat nyeri.
Tujuan: Menganalisis dan menilai hubungan faktor determinan persalinan pervaginam dan derajat nyeri perineum postpartum dalam 24 jam setelah persalinan pervaginam.
Metode: Ini adalah studi kasus-kontrol dengan subyek pasien yang menjalani persalinan pervaginam baik secara spontan atau dengan bantuan alat dengan indikasi apa pun di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, selama tahun 2020. Nyeri perineum dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dalam waktu 24 jam pasca persalinan setelah pemberian Asam Mefenamat 500mg dosis tunggal secara oral. Perbandingan dilakukan dengan Chi-square atau uji eksak Fisher dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 205 subjek dilibatkan dalam penelitian ini. Peningkatan nyeri perineum (VAS 4-10) ditemukan pada 41 kasus (20%). Peningkatan nyeri perineum banyak ditemukan pada subyek berusia di bawah 30 tahun (p=0,04). Ditemukan hubungan bermakna antara berat badan lahir bayi baru lahir > 3.000 gram dengan nyeri perineum (p<0.001) dengan aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). Terdapat juga hubungan bermakna antara derajat robekan perineum dengan nyeri perineum postpartum (p 0,006) dengan aOR 41,25. Prosedur episiotomi juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan peningkatan nyeri perineum postpartum (p < 0,001) dengan aOR 45,2
Kesimpulan: Berat lahir bayi, derajat robekan perineum, dan episiotomi telah terbukti menjadi faktor yang dapat meningkatkan nyeri perineum setelah persalinan pervaginam. Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan dalam mengelola nyeri perineum postpartum untuk mencegah morbiditas jangka panjang dari persalinan pervaginam. Studi tambahan dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk kesimpulan yang tepat.

Background: Perineal pain is a common complaint among women after vaginal delivery that may lead to long term morbidity. Various determinant factors in labour have been identified have influence on increasing perineal pain after vaginal delivery. Previous studies have focused on labor pain and post-cesarean delivery pain management but not on the determinant factors.
Objective: Analyze and assess the association of determinant factors in vaginal delivery and the postpartum perineal pain within 24 hours after vaginal delivery.
Methods: This was case-control study including patient underwent vaginal delivery either spontaneously or with assisted vaginal delivery at any indication at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, during 2020. Perineal pain was assessed with Visual Analog Scale (VAS) within 24 hours post delivery after administration of Mefenamic Acid 500mg single dose orally. Comparisons were made with Chi-square or Fisher’s exact test continued with multivariate analysis with logistic regression.
Results: A total of 205 subjects were included in the study. Increased perineal pain (VAS 4-10) was found in 41 cases (20%). Increase perineal pain was commonly found in subjects under 30 years old (p = 0.04). Found significant association between newborn birthweight > 3.000 gram with perineal pain (p<0.001) with aOR 8.38 CI 95% (2,8–24,97). There was also significant association between degree of perineal tears with postpartum perineal pain (p 0.006) with aOR 41.25. Episiotomy procedure also shows significant association with increase postpartum perineal pain (p < 0.001) with aOR 45.2.
Conclusions: Neonatal birthweight, degree of perineal tear, and episiotomy have been shown to be determinant factors increasing perineal pain after vaginal delivery. These factors should be taken into consideration in managing postpartum perineal pain in order to prevent long-term morbidity from vaginal delivery. Additional studies with larger samples are needed for exact conclusion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syahniar Mukmina
"ABSTRAK

Latar belakang: Persalinan pervaginam merupakan salah satu faktor risiko terjadinya disfungsi dasar panggul. Proses persalinan menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul dan saraf sehingga tejadi penurunan fungsi otot. Disfungsi dasar panggul merupakan kondisi yang umum terjadi dan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup. Salah satu tata laksana konservatifnya adalah dengan melatih kekuatan otot dasar panggul. Stimulasi elektromagnetik merupakan metode yang tidak invasif untuk tata laksana disfungsi dasar panggul. Namun, penelitian yang pernah dipublikasi mengenai efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul terbatas.

Tujuan: Mengetahui efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam.

Metode: Kuasi eksperimen dengan desain tes sebelum dan tes sesudah pada satu kelompok tanpa menggunakan kontrol.

Hasil: Sebanyak 10 subjek dilakukan stimulasi elektromagnetik. Kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca stimulasi elektromagnetik lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi elektromagnetik dengan nilai  median berturut-turut 33,70 (21,25) dan 43,45 (22,2) (p= 0,008). Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum dengan nilai p berturut-turut sebesar 0,394, 0,425, dan 0,223. 

 

Kesimpulan: Kekuatan kontraksi otot dasar panggul setelah diberikan stimulasi elektromagnetik cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi. Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum. 


ABSTRACT


Background: Vaginal delivery is an important risk factor for developing pelvic floor muscle dysfunction. Delivery induces damage to both pelvic floor mucle and nerve so that its function may be impaired. Pelvic floor dysfunction is a common condition and closely related to decreased quality of life. Popular conservative treatment for this condition is routine exercise of pelvic floor muscle. In the other hand, electromagnetic stimulation was introduced as an less invasive treatment of choice. However, research publication regarding electromagnetic stimulation effect to the strength of pelvic floor muscle is scarce.

Objectives: Exploring the effect of electromagnetic stimulation to the strength of pelvic floor muscle contraction after vaginal delivery.

Methods:  This is a quasi-experimental study comparing pre and post intervention in one set of patients without control.

Results: Electromagnetic stimulation program was completed in 10 subjects. The strength of pelvic floor muscle contraction after the program was significantly higher than before the program 33,7 (21,25) and 43,45 (22,2) respectively, p = 0,008). Fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture were not associated with pelvic floor muscle contraction (p=0,394, p=0,425, and p=0,223 respectively).

Conclusion: The strength of pelvic floor muscle contraction after electromagnetic stimulation was higher than before the procedure. No difference was identified regarding pelvic floor contraction after vaginal delivery based on fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture.

"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Priyatini
"Disfungsi dasar panggul adalah komplikasi persalinan per vaginam dengan manifestasi utama prolaps organ panggul (POP), inkontinensia urin dan inkontinensia fekal sehingga menurunkan kualitas hidup. Diduga terdapat peran jaringan ikat kolagen dan elastin, namun biopsi berulang memiliki risiko perdarahan, nyeri serta infeksi. Oleh karena itu, dipikirkan produk metabolitkolagen dan elastin serum untuk mewakili kadar kolagen dan elastin di jaringan penunjang dasar panggul. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan penanda serum produk metabolit kolagen dan elastin untuk memprediksi disfungsi dasar panggul setelah persalinan per vaginam.
Penelitian tahap pertama menggunakan desain prospektif kohort satu sisi untuk mengukur angka kejadian disfungsi dasar panggul 3 bulan setelah persalinan. Penelitian dilakukan di Poliklinik Obstetri Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo dan Puskesmas di lingkungan DKI Jakarta, selama periode Januari 2015 sampai Juli 2019. Tahap kedua menggunakan desain nested case control untuk menganalisis hubungan penanda serum kolagen dan elastin serta aktivitas MMP-9 pada kehamilan dan setelah persalinan dengan disfungsi dasar panggul. Penanda metabolit kolagen dan elastin (ICTP, desmosin), remodeling kolagen dan elastin (PINP, PIIINP, tropoelastin), serta MMP-9 diukur pada saat hamil, 24–48 jam, dan 6 minggu setelah persalinan. Tiga bulan setelah persalinan, inkontinensia urin, tekanan dan POP dinilai berdasarkan gejala, pemeriksaan POP-Q dan tes batuk. Data luaran sebelum dan sesudah persalinan dianalisis dengan uji t tidak berpasangan dan uji Mann Whitney.
Dari 177 calon subjek, 4 subjek dieksklusi dan 113 subjek drop out. Dari 60 subjek yang diinklusi, 38 (63,3%) mengalami POP derajat 2 dan 25 subjek di antaranya (41,7%) mengalami sistokel derajat 2. Tidak ada perbedaan rerata seluruh marker degradasi dan sintesis kolagen 1,3 dan elastin serta MMP-9 antara kelompok POP dan kontrol. Analisis dilakukan dengan analisis kategorik menggunakan titik potong pada variabel yang memiliki AUC > 0.6. Pada hasil analisis bivariat prolaps organ panggul didapatkan hasil yang bermakna adalah yang memiliki nilai variabel p < 0,05 yaitu PINP setelah persalinan dan ICTP setelah persalinan. Setelah itu, dilakukan analisis multivariat dengan mengambil nilai variabel p < 0,25 ditemukan pada biomarker PINP setelah persalinan 106,9 dengan RR = 1,76 (95%CI: 1,14–3,00). Pada hasil analisis bivariat sistokel didapatkan hasil yang bermakna adalah yang memiliki nilai variabel p < 0,05 yaitu PINP kehamilan dan PINP setelah persalinan. Setelah itu, dilakukan analisis multivariat sistokel dengan menggambil nilai variabel p < 0.25 yaitu ditemukan biomarker PINP setelah persalinan 106,9 dengan RR = 2,53 (95%CI: 1,05–6,09).

Pelvic floor dysfunction is a complication of vaginal delivery with the main manifestations of pelvic organ prolapse (POP), urinary incontinence and fecal incontinence, thereby reducing quality of life. It is suspected that there is a role for collagen and elastin connective tissue, but repeated biopsies carry the risk of bleeding, pain and infection. Therefore, it was considered the metabolic products of serum collagen and elastin to represent the levels of collagen and elastin in the pelvic floor supporting tissues. The aim of this study was to obtain serum markers of collagen and elastin metabolism products to predict pelvic floor dysfunction after vaginal delivery.
The first phase of the study used a one-sided prospective cohort design to measure the incidence of pelvic floor dysfunction 3 months after delivery. The study was conducted at the Obstetrics Polyclinic, Department of Obstetrics and Gynecology, FKUI/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and Puskesmas in DKI Jakarta, during the period January 2015 to July 2019. The second phase used a nested case control design to analyze the relationship between serum collagen and elastin markers and MMP-9 activity in pregnancy and after delivery with pelvic floor dysfunction. Markers of collagen and elastin metabolism (ICTP, desmosin), collagen and elastin remodeling (PINP, PIIINP, tropoelastin), and MMP-9 were measured during pregnancy, 24–48 hours, and 6 weeks after delivery. Three months after delivery, urinary incontinence, pressure and POP were assessed on the basis of symptoms, POP-Q examination and cough test. The outcome data before and after delivery were analyzed by unpaired t test and Mann Whitney test.
From 177 prospective subjects, 4 subjects were excluded and 113 subjects dropped out. Of the 60 included subjects, 38 (63.3%) had grade 2 POP and 25 (41.7%) had grade 2 cystocele. There was no difference in the mean of all markers of degradation and synthesis of collagen 1,3 and elastin and MMP-9 between the POP and control groups. The analysis was carried out by categorical analysis using cut points on variables that had AUC > 0.6. In the bivariate analysis of pelvic organ prolapse, significant results were obtained which had a variable value of p < 0.05, there were PINP after delivery and ICTP after delivery. After that, multivariate analysis was carried out by taking the variable value p < 0.25 it was found in PINP biomarkers after delivery ≥ 106.9 with RR = 1.76 (95% CI: 1,14–3,00). In the results of bivariate cystocele analysis, significant results were obtained which had a variable value of p < 0.05, there were PINP during pregnancy and PINP after delivery. After that, multivariate analysis of cystocele was carried out by taking the value of the variable p < 0.25, it was found in PINP biomarkers after delivery ≥ 106.9 with RR = 2.53 (95% CI: 1,05–6,09).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nila Marwiyah
"Nyeri dan kecemasan merupakan hal yang normal ketika ibu menghadapi persalinan, namun jika mengalami nyeri dan kecemasan yang berlebihan akan menimbulkan komplikasi selama proses persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paket Touching, Massage, Acupressure (T.M.A) oleh keluarga terhadap nyeri persalinan dan proses persalinan. Penelitian ini merupakan operasional research. Sampel dalam penelitian ini 94 ibu hamil yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu 47 orang sebagai kelompok intervensi dan 47 kelompok kontrol yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner FPRS, FAS, lembar observasi proses persalinan dan wawancara.
Hasil wawancara keluarga mengatakan bahwa pengetahuan keluarga bertambah dan adanya manfaat setelah penerapan paket T.M.A. Hasil uji statistik dengan menggunakan Chi Square menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada proses persalinan (power, p=0,028); passanger p=0,006; passageway p=0,048; position p=0,048; psikologis p=0,000) dan nyeri persalinan (p=0,003) antara kedua kelompok intervensi dan kontrol. Hal ini menunjukan bahwa pendampingan keluarga dengan menggunakan paket T.M.A berpengaruh terhadap proses persalinan dan nyeri persalinan. Paket T.M.A diharapkan menjadi intervensi non farmakologis dalam keperawatan untuk menurunkan nyeri dan kecemasan pada ibu bersalin.

Pain and anxiety is normal when a mother facing labor. Excessive pain and anxiety will cause complications during childbirth. This research aimed to know the effect of touching package, Massage, Acupressure (TMA) by the family to the pain of labor and delivery process. This research operasional research. The sample were 94 pregnant women that divided into two groups: 47 as intervention group and 47 control group that taken with consecutive sampling technique. Collection data using questionnaires FPRS, FAS and observation sheet delivery process.
The results obtained in the interview, participant said that family knowledge has increased and they feel the benefit of the TMA package. The quantitatif result showed there was a significant difference in labor process (power, p=0,028); passenger p=0,006; passageway p=0,048; position p=0,048; psychological response p=0,000) and pain (p=0,003) between the intervention and control groups. This shows that the family what used TMA package influence on labor process and pain. Touching package, Massage, Acupressure (TMA) is expected as an intervention non farmakologis in decreased pain and anxiety maternal.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
T42987
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Luther
"ABSTRAK
Pendahuluan: Dispareunia adalah beban utama pada wanita usia reproduktif. Kondisi ini memiliki dampak langsung pada kehidupan pernikahan, sosial dan professional dari wanita usia reproduktif. Faktor yang dapat berkontribusi dalam terjadinya dyspareunia adalah rupture perineum.Metode:Desain studi potong lintang digunakan dengan memberikan kuesioner Female Sexual Function Index FSFI terhadap wanita postpartum yang terdiagnosis dengan ruptur perineum akibat persalinan per vaginam. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Tangerang pada bulan Oktober sampai Desember 2017. Pasien yang memiliki inflamasi panggul kronis dan riwayat dispareunia sebelumnya dieksklusi.Hasil: Sebanyak 93 subjek terlibat dalam studi ini.; 59 subjek memiliki ruptur perineum ringan derajat I dan II sedangkan 34 subjek lainnya memilki ruptur perineum derajat berat derajat III dan IV . Ditemukan bahwa ruptur perineum berkaitan dengan tejradinya dyspareunia setelah 3-6 bulan setelah terjadi rupture perineum. Kesimpulan: Ruptur perineum derajat III dan IV meningkatkan risiiko terjadinya dyspareunia 3-6 bulan postpartum sampai 5 kali lipat. Studi prospektif selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar yang menginvestigasi risiko dispareunia pada perempuan dengan rupture perineum sebaiknya dilakukan.

ABSTRACT
Introduction: Dyspareunia is major burden in reproductive-aged women. In fact, it has a direct impact on their marital, social and professional life. One factor that may contribute to the risk of developing dyspareunia is perineal tear. To this date, studies regarding the association between perineal trauma and dyspareunia 3 to 6 months after perianal rupture are scarce. This study aims to investigate the association between both variables.Methods: A cross-sectional study design was used by giving Female Sexual Function Index FSFI questionnaires to postpartum women diagnosed with perineal tear due to vaginal birth. The study was conducted at Cipto Mangukusumo Hospital and Tangerang General Hospital between October and December 2017. Those who had chronic hip inflammation and previous history of dyspareunia were excluded.Results: A total of 93 subjects were involved in this study; 59 had mild first- and second- degree while 34 had third- and fourth- degree perineal tears. We found that perineal tear was associated with the occurrence of dyspareunia after 3 to 6 months after perineal rupture.Conclusions: Grade III to IV perineal tear increased the risk of dyspareunia 3 to 6 months postpartum up to 5-fold. Further prospective studies with larger samples assessing the risk of dyspareunia in those with perineal tear should be conducted.
"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Permata Sari
"Pendahuluan : Retensi urine pasca-persalinan (RUPP) adalah ketidakmampuan berkemih spontan 6 jam pasca persalinan dengan residu urine 200 ml. Penatalaksanaan RUPP dengan pemasangan kateter urine. Elektroakupunktur meningkatkan kontraksi detrusor dan mendorong buang air kecil serta mengurangi volume residu urine dengan efek samping minimal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas elektroakupunktur dalam mempercepat terjadinya proses berkemih dan mengurangi volume residu urine pada pasien dengan RUPP.
Metode: Desain penelitian adalah uji klinis acak tersamar ganda. Penelitian diikuti oleh 60 orang subjek penelitian yang dibagi kedalam kelompok elektroakupunktur (n=30) dan sham (n=30). Pada kelompok elektroakupunktur dilakukan penusukan jarum akupunktur kemudian dihubungkan ke stimulator elektroakupunktur dengan gelombang continuous 2 Hz selama 30 menit. Pada kelompok sham jarum hanya ditempelkan saja, disambungkan ke stimulator elektroakupunktur namun rangsang listrik tidak diberikan. Elektroakupunktur dilakukan 2 kali dalam 24 jam pemasangan kateter urine. Luaran yang dinilai adalah waktu miksi pertama dan volume residu urine 6 jam setelah pelepasan kateter.
Hasil: Waktu miksi spontan pertama pada kelompok elektroakupunktur lebih cepat (p<0,001) dan volume residu urine lebih sedikit dibandingkan kelompok sham (p=0,005).
Kesimpulan: elektroakupunktur mempercepat terjadinya miksi spontan dan mengurangi volume residu urine pada pasien dengan RUPP.

Introduction : Post-partum urinary retention (PPUR) defined as the inability to urinate spontaneously after 6 hours postpartum with residual urine ≥ 200 ml. Management of PPUR by inserting an urinary catheter. Electroacupuncture increased detrusor contractions, encourage micturition and reduce residual volume with minimal side effects. The purpose of this study was to determine the effectiveness of electroacupuncture in accelerating micturition and reducing residual urine in patients with PPUR.
Methods : this is a double-blind randomized clinical trial. This study was followed by 60 subjects who divided into electroacupuncture (n = 30) and sham (n = 30) groups. In the electroacupuncture group, an acupuncture needle was inserted and connected to electroacupuncture stimulator with continuous wave 2 Hz for 30 minutes. In the sham group the needles only attached and there’s no electrical stimulation was given. Electroacupuncture was performed 2 times within 24 hours while patient using catheter.
Results : The first spontaneous micturition in the electroacupuncture group faster (p<0.001) and residual volume was less in the electroacupuncture group than the sham group (p=0.005).
Conclusion: electroacupuncture accelerates spontaneous micturition and reduces residual urine volume in patients with PPUR.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rajagukguk, Ningsih Tresia
"Ibu mengalami perubahan suasana hati selama periode postpartum. Perubahan suasana hati seperti sering menangis, sedih, marah, lelah dan sulit tidur disebut postpartum blues. Postpartum blues dapat terjadi pada ibu persalinan pervaginam dan sectio caecaria (SC). Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik dan kejadian postpartum blues pada ibu persalinan pervaginam dan SC. Sampel pada penelitian ini berjumlah 91 orang. Teknik sampel yang digunakan yaitu consecutive sampling. Hasil menunjukkan kejadian postpartum blues pada persalinan SC sebesar 88,1% dan pervaginam sebesar 71,9%. Oleh karena itu, petugas kesehatan sebaiknya lebih memperhatikan kondisi ibu postpartum khususnya pada ibu persalinan SC.

Women experience mood swings during the postpartum period. Mood swings such as frequent crying, sadness, anger, fatigue and difficulty sleeping are called postpartum blues. Postpartum blues can occur in vaginal delivery and caecarean section (SC). This research used descriptive design to identify characteristics and the incidence of postpartum blues at vaginal delivery and caecarean section. The participants of this research were 91 postpartum. Sampling technique used in this research was consecutive sampling. The result of this research showed the percentage postpartum blues at caesarean section 88,1% and vaginal delivery 71,9%. Therefore, medical team needs to observe the condition of postpartum, in particular postpartum at caesarean section.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S46089
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wildan Iman Santoso
"Air mata perineum yang parah biasanya disebabkan oleh persalinan pervaginam komplikasi serius. Data tentang tren kejadian robekan perineum derajat berat di Indonesia dan faktor risiko terkait masih terbatas. Karena itu, kami melakukan penelitian untuk mengidentifikasi tren insiden robekan perineum derajat 3 dan 4 serta faktor risiko yang terkait di Indonesia. Penelitian kami adalah penelitian cross sectional observasional berbasis rumah sakit. Data diperoleh dari rekam medis termasuk data dari semua wanita hamil yang melahirkan di RSCM dan mengalami robekan perineum derajat 3 dan 4 antara tahun 2011 dan 2014. Variabel lain yang diukur dalam penelitian ini adalah demografi data karakteristik, berat lahir bayi, usia ibu, paritas dan cara persalinan. Data dianalisis dengan SPSS versi 20.0 untuk komputer MAC dengan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan tren peningkatan dalam insiden, tetapi peningkatannya tidak konsisten untuk waktu tertentu dan memperoleh tren kejadian yang berbeda antara subjek dengan berbagai derajat air mata perineum. Satu-satunya faktor risiko signifikan yang terkait dengan derajat 3 dan 4 robekan perineum adalah multiparitas. Enam faktor lain yang ditemukan tidak signifikan, yaitu usia ibu, usia kehamilan, lamanya persalinan, metode persalinan, berat lahir neonatal dan episiotomi. Sebagai kesimpulan, ada kecenderungan bahwa insiden robekan perineum grade 3 dan 4 meningkat, meskipun peningkatan ini tidak konsisten. Selain itu, multiparitas adalah satu-satunya faktor yang secara signifikan terkait dengan robekan perineum derajat 3 dan 4.

Severe perineal tears are usually caused by vaginal delivery serious complications. Data on the incidence trend of severe degree perineum tears in Indonesia and the associated risk factors are still limited. Therefore, we conducted a study to identify trends in incidence of 3rd and 4th degree perineal tears as well as risk factors related in Indonesia. Our research is a cross sectional study hospital-based observational. Data obtained from medical records including data from all pregnant women who deliver at the RSCM and experience 3rd and 4th degree perineal tears between in 2011 and 2014. Other variables measured in this study are characteristic data demographics, baby's birth weight, maternal age, parity and mode of delivery. Data were analyzed with SPSS version 20.0 for MAC computers with univariate, bivariate and multivariate analysis. Results research shows an increasing trend in incidence, but the increase is not consistent for a certain time and obtained a different incidence trend between subjects with varying degrees of perineal tears. The only significant risk factor related to degree 3 and 4 perineal tears is multiparity. Six other factors found to be insignificant, namely maternal age, gestational age, length of time of two deliveries, method labor, neonatal birth weight and episiotomy. In conclusion, there is a trend the incidence of grade 3 and 4 perineal tears is increasing, although this increase is not consistent. In addition, multiparity is the only factor that is significantly related with 3rd and 4th degree perineal tears.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Manu Mahendra
"Latar belakang: Persalinan merupakan peristiwa penting dan unik dalam kehidupan wanita yang memiliki risiko negatif seperti trauma perineum selama persalinan pervaginam. Angka robekan perineum dilaporkan 35,1-78,3% pada primipara dan 34,8-39,6% pada multipara. Faktor risiko terjadinya ruptur perineum cukup beragam dimana masalah ruptur perineum belum dianalisis secara luas sehingga penelitian ini dilakukan untuk memprediksikan kejadian ruptur perineum selama anternatal pada wanita hamil cukup bulan pada persalinan pervaginam.
Metode penelitian: Tahap pertama menggunakan desain deskriptif, tahap kedua dilaksanakan dengan desain case cohort study. Penelitian dilakukan pada Penelitian Multisenter HUGI (Penelitian Multisenter HUGI (RSCM, RS YPK Mandiri), dan RSUD di DKI Jakarta pada bulan Agustus 2023-April 2024. Pengambilan sample menggunakan consecutive sampling sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Pogram for Social Science) dan akan dianalisis menggunakan Analisa regresi logistik dengan p value <0,25.
Hasil: Sebanyak 146 subjek direkrut dengan 118 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah robekan perineum mencapai 77 (65,3%) dan sebagian besar (80%) mengalani robekan derajat 2. Dari analisis diperoleh model prediksi yang terdiri dari paritas (OR=4,64 IK 95%: 1,74-12,33), indeks massa tubuh (OR=2,45 IK 95%: 1,04-5,73), dan AP hiatal (OR=2,26 IK 95%: 0,94-5,42).
Kesimpulan: Variabel yang dapat memprediksikan kejadian robekan perineum pada wanita hamil cukup bulan yang menjalani partus pervaginam adalah paritas, indeks massa tubuh, dan AP hiatal.

Background: Childbirth is an important and unique event in women’s life which have negative risk such as perineal trauma during vaginal birth. It’s said that perineal rupture happened 35,1-78,3% in primipara and 34,9-39,6% in multipara. The risk factors of perineal rupture haven’t widely analyzed. This research was done to analyze the factors of perineal rupture during antenatal care in term pregnancy that going to perform vaginal delivery.
Methods: This research was done in two steps. First step using descriptive design and second step using case cohort study. Research was done in Multicenter HUGI (Dr. Cipto Mangunkusuomo Hospital, YPK Mandiri Hospital) and General Publich Hospital in Jakarta during Agustus 2023-April 2024. Sample was collected using consecutive sampling based on inclusion and exclusion criteria. Data processing using SPSS (Statistical Pogram for Social Science) and analyzed by logistic regression with p value <0,25.
Results: There were 146 recruited subjects of which 118 subjects were met the criteria for inclusion and exclusion. Number of perineal laceration reached 77 (65,3%) mostly perineal rupture grade 2 (80%). Prediction models were obtained consist of parity OR=4,64 IK 95%: 1,74-12,33), body mass index (OR=2,45 IK 95%: 1,04-5,73), and APD (OR=2,26 IK 95%: 0,94-5,42).
Conclussion: Parity, body mass index, and APD were variables of prediction in full term pregnant women undergoing vaginal delivery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>