Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135096 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rachma Allysa Vidya Putri Augustine
"Candida sp. merupakan jamur komensal penyebab infeksi invasif kandidiasis. Candida albicans memiliki sifat dominan sehingga Candida lain sulit untuk dideteksi dan dapat mengarah pada kesalahan terapi. Candida non-albicans seperti Candida krusei juga memiliki resistensi terhadap obat antijamur. Metode deteksi menggunakan qPCR dapat mempersingkat waktu untuk diagnosis dan memiliki spesifisitas deteksi yang baik untuk deteksi kandidiasis invasif. Namun penggunaan metode ini memerlukan primer spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi spesifisitas novel primer Ca2 yang mendeteksi Candida albicans dan Cc3 yang mendeteksi Candida krusei serta membedakan keduanya dari spesies Candida dan jamur lainnya. Pengujian spesifisitas dilakukan menggunakan metode qPCR berbasis intercalating dye SYBR Green dengan suhu annealing 60℃ untuk primer Ca2 dan 58℃ untuk primer Cc3, masing-masing sebanyak 40 siklus. Pengujian dilakukan terhadap sebelas spesies jamur Candida termasuk C. albicans dan C. krusei; satu spesies teleomorf jamur Candida, Clavispora lusitaniae; dan dua spesies jamur dari genus lain, yaitu Malassezia dan Aspergillus. Hasil uji primer Ca2 menunjukkan nilai Ct 25,23 dan Tm 83,58 untuk Candida albicans, sedangkan primer Cc3 menunjukkan nilai Ct 35,00 dan Tm 88,24 untuk Candida krusei serta Ct 23,41 dan Tm 88,80 untuk Clavispora lusitaniae. Primer Ca2 spesifik mendeteksi C. albicans. Sementara itu primer Cc3 tidak spesifik mendeteksi Candida krusei, namun dapat mendeteksi Clavispora lusitaniae. Walaupun demikian, primer Cc3 masih dapat digunakan untuk penggunaan klinis karena rendahnya infeksi Clavispora lusitaniae di Indonesia.

Candida sp. are commensal yeasts that can result in invasive infection such as Candidiasis. Candida albicans-dominant characteristic caused medication error due to difficulty of other Candida detection. Candida non-albicans such as Candida krusei has high resistance against antifungi drugs. Detection method using qPCR offers shorter amount of time for diagnosis and has high specificity for detecting invasive candidiasis. However, this method requires specific primers. In this study, we evaluate specificity of novel primer Ca2 for detecting Candida albicans and Cc3 for detecting Candida krusei and differentiate both species from other Candida and yeast species. The specificity test was done in qPCR with intercalating dye SYBR Green applying 40 cycles and annealing temperature at 60 ℃ for Ca2 and 58℃ for Cc3. Samples are eleven Candida species including C. albicans and C. krusei; one species of Candida in a teleomorph form, Clavispora lusitaniae; and two species of another genus, Malassezia and Aspergillus. Primer Ca2 identified Candida albicans with Ct value 25,23 and Tm 83,58. Primer Cc3 identified Candida krusei with Ct value 35,00 and Tm 88,24 as well as Clavispora lusitaniae with Ct value 23,41 and Tm 88,80. Primer Ca2 specific for detecting C. albicans and primer Cc3 not specific for detecting Candida krusei, but also able to detecting Clavispora lusitaniae.However, the primer still acceptable for clinical use due to low prevalence of Clavispora lusitaniae infection in Indonesia."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Meuthia Arifin
"Candida albicans merupakan salah satu patogen umum penyebab kandidiasis invasif yang memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. qPCR berbasis intercalating dye dapat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk pendeteksian Candida albicans karena waktu pemrosesannya yang cepat dan dapat menggunakan volume sampel yang sedikit. Tetapi, penggunaan intercalating dye memiliki kelemahan yaitu dapat berikatan pada semua DNA untai ganda, sehingga diperlukan primer yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida albicans menggunakan qPCR berbasis intercalating dye dengan melakukan perancangan primer spesifik untuk Candida albicans, pengujian spesifisitas primer terhadap spesies fungi lain, dan pengujian sensitivitas metode qPCR menggunakan sampel darah utuh. Hasil perancangan primer spesifik merupakan primer Ca2 yang memiliki panjang 22 dan 19 oligonukleotida untuk deteksi qPCR. Primer yang dirancang menargetkan gen ITS yang merupakan housekeeping gene untuk fungi. Hasil uji spesifisitas primer terhadap tiga spesies Candida lain dan satu spesies Malassezia menunjukkan melting curve yang memiliki puncak tunggal pada sampel yang terdapat DNA Candida albicans dan DNA campuran, yang menandakan primer secara spesifik mendeteksi Candida albicans. Hasil uji sensitivitas pada darah utuh menunjukkan hasil bahwa metode qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Ca2 dapat mendeteksi DNA Candida albicans dalam sampel darah utuh hingga batas 100 sel/mL.

Candida albicans is a common pathogen that can cause invasive candidiasis which has a fairly high mortality rate so a fast, sensitive, and specific detection method is needed to get the right diagnosis and treatment. Intercalating dye-based qPCR can be one of the methods used for the detection of Candida albicans because of its fast-processing time and use of a small volume sample. However, the use of intercalating dye has a disadvantage, as it can bind to all double-stranded DNA, so a specific primer is needed. This study aims to develop a Candida albicans detection method using intercalating dye-based qPCR by designing a specific primer for Candida albicans, testing the primer specificity for other fungal species, and testing the sensitivity of the qPCR method using whole blood samples. The results of the design of specific primers are Ca2 primers which have lengths of 22 and 19 oligonucleotides for qPCR detection. The primers are designed to target the ITS gene which is a housekeeping gene for fungi. The results of the primer specificity test for three other Candida species and one Malassezia species showed a melting curve that had a single peak in the sample containing Candida albicans DNA and mixed DNA, which indicated that the primer specifically detected Candida albicans. The results of the sensitivity test showed that the intercalating dye-based qPCR method using Ca2 primers could detect Candida albicans DNA in whole blood samples up to a limit of 100 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firyal Fairuztsana Nugraha
"Candida krusei merupakan organisme komensal pada manusia sehat, namun pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh dapat menjadi patogen oportunistik. Candida krusei memiliki prevalensi yang rendah, namun tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat dengan sensitivitas serta spesifisitas yang tinggi. Quantitative PCR berbasis intercalating dye merupakan teknik amplifikasi DNA yang mendeteksi secara real-time, namun dapat berikatan secara non-spesifik pada DNA untai ganda yang rentan terhadap kesalahan sehingga diperlukan primer yang baik dan spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida krusei menggunakan qPCR berbasis intecalating dye dengan merancang primer secara in silico dengan target gen ITS yang memiliki karakteristik baik dan spesifik terhadap Candida krusei serta dilakukan uji spesifisitas primer pada beberapa spesies jamur dan uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) manusia. Hasil perancangan primer yang diperoleh adalah primer Cc3 yang memiliki panjang masing-masing adalah 20 dan 18 oligonukleotida dengan karakterisasi yang baik. Hasil uji spesifisitas dengan qPCR berbasis intercalating dye pada tiga Candida sp. dan satu spesies Malassezia menunjukkan hasil yang spesifik dimana hanya dapat mendeteksi Candida krusei. Hasil uji sensitivitas pada sampel biologis (whole blood) menunjukkan bahwa qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Cc3 mampu mendeteksi hingga batas 1000 sel/mL.

Candida krusei is a commensal organism in healthy humans, but in patients with immunocompromised it can become an opportunistic pathogen. Candida krusei has a low prevalence with a fairly mortality rate. Intercalating dye-based quantitative PCR is a DNA amplification technique that allows real-time detection, however it can binds to any double-stranded DNA unspecifically which is error-prone, primer with a good characteristics and specific is needed. This study aims to develop a Candida krusei detection method using intercalating dye-based quantitative PCR was carried out by primers designing in silico with the target gene for ITS which has good characteristics for Candida krusei, and specificity tests in several fungal species and sensitivity tests in human biological sample (whole blood). The primer design results obtained are primer Cc3 which has lengths of 20 and 18 oligonucleotides with good characterization. The results of the specificity tests with intercalating dye-based qPCR in three Candida sp. and one Malassezia sp. showed specific results which were only able to detect Candida krusei. The results of the sensitivity tests in whole blood sample showed that intercalating dye-based qPCR using a primer that had been designed was able to detect up to 1000 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Alelda Rara Fatimah
"Pada penelitian ini, asam oleat diesterifikasi dengan dry metanol dan katalis HCl pekat dengan menggunakan refluks selama 6 jam pada suhu 60°C. Metil oleat yang terbentuk kemudian diamidasi dengan asam amino glisina dan fenilalanina yang dibantu dengan pelarut assetonitril. Selain itu, dilakukan juga amidasi langsung dari asam oleat dengan bantuan disikloheksilkarbodiimida (DCC) sebagai agen pengopling selama 2 jam pada suhu 0°C. Produk lipoamida yang terbentuk di identifikasi dengan KLT, di purifikasi dengan kromatografi kolom, dan di karakterisasi dengan FTIR. Aktivitas antifungi amida asam oleat juga ditentukan dengan metode difusi cakram terhadap Candida albicans. Hasil uji menunjukkan bahwa N-oleilglisina ACN memiliki aktivitas antifungi dengan kategori sedang, N-oleilfenilalanina ACN berkategori sedang, N- oleilglisina DCC tidak ada aktivitas, dan N- oleilfenilalanina DCC berkategori sedang.

In this study, oleic acid was esterified with dry methanol and concentrated HCl catalyst using reflux for 6 hours at 60oC. The methyl oleate formed then amidated by glycine and phenylalanine using acetonitrile as a solvent. In addition, direct amidation of oleic acid was also carried using dicyclohexylcarbodiimide (DCC) as a coupling agent for 2 hours at 0oC temperature. The formed lipoamide product was identified by TLC, purified by column chromatography, and characterized by FTIR. The antifungal activity of oleic acid amide was also determined by disc diffusion method against Candida albicans. The result showed that N- oleylglycine ACN has moderate antifungal activity, N-oleylphenylalanine ACN has moderate category, N-oleylglycine DCC has no activity, and N-oleylphenylalanine DCC has moderate category."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shuffa Chilla Mayhana
"Pendahuluan: Candida sp. Menyumbang 40.9% dari seluruh kasus di seluruh dunia. Namun, resistensi obat terus meningkat akibat kemampuan jamur ini untuk beradaptasi. Oleh karena itu, obat antijamur alternatif untuk melawan kandidiasis invasive sangat dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa propolis, sebuah produk dari sarang lebah yang bertekstur seperti lilinn, memiliki sifat antijamut. Walaupun demikian, studi yang menyelidiki efektivitas Propolis Brunei (PB) sebagai obat antijamur alternatif masih langka. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi efek PB terhadap pertumbuhan candida albicans (CA). Metode: Studi ini menggunakan metode difusi agar dan mikrodilusi. Melalui difusi agar, peneliti mengevaluasi zona inhibisi. Sedangkan, melalui mikrodilusi, peneliti mengevaluasi optical density difference (ODD), minimum inhibitory concentration (MIC), dan percentage of inhibition (%I). CA ATCC 90028 dipaparkan dengan ekstrak etanol propolis dengan tiga konsentrasi berbeda: 50 mg/ml, 70 mg/ml, dan 100 mg/ml. Flukonazole diguanakan sebagai control positif. Hasil: Rerata zona inhibisi PB 50 mg/ml (10 mm), 70 mg/ml (9 mm), dan 100 mg/ml (11,5 mm) lebih rendah daripada flukonazol (15,5 mm). ODD PB 100 mg/ml lebih tinggi dari tes sampel yang lainnya (0.0703 nm). %I PB 50 mg/ml (79.15%), 70 mg/ml (91.18%), dan 100 mg/ml (92.76%) lebih tinggi daripada flukonazol (21.82%). MIC adalah 50 mg/ml. Kesimpulan: PB memiliki efek antifungal terhadap pertumbuhan CA. Terdapat hubungan yang signifikan antaran zona inhibisi dan ODD PB jika dibandingkan dengan flukonazol. Terdapat korelasi negatif antara zona inhibisi dan ODD ketika membandingkan ketiga konsentrasi PB. Terdapat korelasi positif diantara konsentasi PB dan %I.

Introduction: Among all cases, candida species accounts for 40.9% cases worldwide. However, drug-resistance is rising due to its adaptive nature. Thus, an alternative anti-fungal drug to combat invasive candidiasis is needed. Studies have shown that propolis, a wax-like beehive product, possess anti-fungal properties. Still, studies investigating the effectiveness of Brunei propolis (BP) as an alternative anti-fungal drug are still scarce. This study aims to evaluate the effects of BP against the growth of Candida albicans (CA). Methods: Researcher conducted agar diffusion and micro-dilution method. Through agar diffusion, inhibition zone was evaluated. Meanwhile, through micro-dilution, the author evaluated the optical density difference (ODD), minimum inhibitory concentration (MIC), and percentage of inhibition (%I). CA ATCC 90028 was tested against Propolis extract in three different concentrations: 50 mg/ml, 70 mg/ml, and 100 mg/ml. Fluconazole was the positive control. Results: The mean inhibition zone of BP 50 mg/ml (10 mm), 70 mg/ml (9 mm), and 100 mg/ml (11.5 mm) are lower than fluconazole (15.5 mm). ODD of BP 100 mg/ml is higher than other test samples (0.0703). %I of BP 50 mg/ml (79.15%), 70 mg/ml (91.18%), and 100 mg/ml (92.76%) are higher than fluconazole (21.82%). MIC value is 50 mg/ml. Conclusion: BP possess anti-fungal effects towards CA. There is a significant association between inhibition zone and ODD of BP with respect to fluconazole. There is a negative association between all BP concentrations. There is a positive association between BP concentration and %I."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Jararizki Budi Subasira
"Indonesia adalah negara tropis yang memiliki kelembaban tinggi, kondisi ini memudahkan manusia untuk mengalami infeksi akibat jamur. Salah satu jamur yang dapat menginfeksi manusia adalah Candida albicans. C. albicans dapat menyebabkan kandidiasis yang merupakan infeksi jamur dengan insiden tinggi. Perawatan antijamur dapat dilakukan dengan menggunakan obat antijamur. Infeksi jamur sering terjadi yang menyebabkan penggunaan obat antijamur mengalami resistensi, oleh karena itu, kebutuhan untuk memeriksa senyawa aktif dari bahan alami yang memiliki aktivitas antijamur perlu ditingkatkan. Salah satu tanaman yang tersebar di Indonesia yang dikenal memiliki berbagai manfaat kesehatan adalah Tanduk Cananga (Artabotrys hexapetalus (L.f) Bhandari). Tanduk Cananga telah diketahui memiliki aktivitas antijamur dalam ekstrak metanol dari daun. Penelitian ini dilakukan untuk menguji aktivitas antijamur ekstrak dan fraksi diklorometana dari kulit tanduk Kanenanga. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi menggunakan pelarut heksana dan diklorometana. Diikuti dengan fraksinasi menggunakan metode kromatografi kolom. Tes aktivitas antijamur dilakukan secara in vitro dengan metode mikrodilusi. Hasil penelitian ini menunjukkan ekstrak diklorometana kulit tanduk Cananga memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans dengan konsentrasi penghambatan minimum 200 μg/mL. Fraksi Dichloromethane I dan II memiliki aktivitas antijamur Candida albicans dengan konsentrasi penghambatan minimum 50 μg/mL, fraksi diklorometana III, IV, V, VI, VII, dan VIII memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans dengan konsentrasi penghambatan minimum 100 μg/mL mL. Disimpulkan bahwa ekstrak dan fraksi diklorometana memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans.

Indonesia is a tropical country that has high humidity, this condition makes it easy for humans to experience infections due to fungi. One fungus that can infect humans is Candida albicans. C. albicans can cause candidiasis which is a fungal infection with a high incidence. Antifungal treatment can be done using antifungal drugs. Fungal infections often occur causing the use of antifungal drugs to experience resistance, therefore, the need to examine active compounds from natural substances that have antifungal activity needs to be increased. One of the plants that are spread in Indonesia that is known to have various health benefits is the Cananga Horn (Artabotrys hexapetalus (L.f) Bhandari). Cananga horn has been known to have antifungal activity in methanol extracts from the leaves. This research was conducted to examine the antifungal activity of extracts and dichloromethane fraction from the horn bark of Kanenanga Horn. The extraction method used in this study is the maceration method using hexane and dichloromethane solvents. Followed by fractionation using column chromatography methods. Antifungal activity tests were carried out in vitro by the microdilution method. The results of this study indicate dichloromethane extracts of the skin of the Cananga Horn horn have antifungal activity against Candida albicans with a minimum inhibitory concentration of 200 μg/mL. Dichloromethane fractions I and II have antifungal activity Candida albicans with a minimum inhibitory concentration of 50 μg/mL, dichloromethane fractions III, IV, V, VI, VII, and VIII have antifungal activity against Candida albicans with a minimum inhibitory concentration of 100 μg/mL mL. It was concluded that dichloromethane extracts and fractions had antifungal activity against Candida albicans."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parida Oktama Putri
"Jamur Candida merupakan penyebab infeksi paling banyak ditemukan pada manusia. Spesies paling sering menyebabkan kandidiasis yaitu Candida albicans. Saat ini, insidensi infeksi kandidiasis semakin meningkat. Candida adalah penyebab utama keempat infeksi darah di rumah sakit, dan di Amerika Serikat, angka kematian akibat kandidemia mencapai 40 per tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol secara in vitro dari rekam medis 2010-2015 di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI. Penelitian ini menggunakan studi cross-sectional. Pemilihan sampel menggunakan metode total sampling, data diproses menggunakan SPSS dan dianalisis menggunakan uji Fisher. Dari 546 sampel, hasil uji kepekaan Candida albicans terhadap vorikonazol menunjukkan 407 isolat sensitif 99,8 dan 1 isolat resisten 0,2. Uji kepekaan Candida non albicans terhadap vorikonazol menunjukkan 136 isolat sensitif 98,6 dan 2 isolat resisten 1,4 . Tidak terdapat perbedaan p=0,159 pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol. Vorikonazol memilki aktivitas yang tinggi di dalam in vitro sehingga memberikan hasil yang baik untuk mengeradikasi Candida yang resisten terhadap flukonazol. Sebagai kesimpulan, tidak terdapat perbedaan pola kepekaan Candida albicans dan Candida non albicans terhadap vorikonazol.

Candida is the cause of most infections found in humans, mostly Candia albicans. Candida is the fourth leading cause of blood infection in hospitals, and in the United States, the death rate from Candidaemia reached 40 in year. The aim of this research is to determine the Candida albicans and Candida non albicans susceptibility profile in vitro to voriconazoleof the medical record 2010 2015 at the Mycology Laboratory of the Departement of Parasitology Faculty of Medicine University of Indonesia. This study uses a Cross sectional study. The sample selection was done with total sampling method. Data was processed using SPSS and analyzed using Fisher's test. From 546 samples, the susceptibility profile of Candida albicans are 407 samples 99.8 sensitive and 1 sample 0.2 resistant. Susceptibility profile of Candida non albicans are 136 samples 98.6 sensitive and 2 sample 1.4 resistant. The result indicated no significant association p 0.159 between susceptibility profile of Candida albicans and Candida non albicans to voriconazole. Voriconazole has high in vitro activities so as to provide good results to eradicate the Candida resistant to fluconazole. In conclusion, there are no significant association between Candida albicans and Candida non albicans susceptibility profile to voriconazole.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Ruang lingkup dan Metodologi : Penyebab utama kasus kandidosis adalah Candida albicans. Penanggulangan penyakit ini biasanya dikaitkan dengan pengobatan. Pada umumnya antimikotik yang sering digunakan untuk pengobatan adalah antimikotik golongan azol yaitu ketokonazol dan flukonazol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketokonazol dan flukonazol terhadap pertumbuhan Candida albicans. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Macrodilution/Tube Method. Pengujian terhadap ketokonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,25 µg/ml sampai dengan konsentrasi terendah 128 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam dalam waktu pengamatan 24 dan 48 jam. Pengujian terhadap flukonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,1 µg/ml sampai dengan konsentrasi 51,2 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam, dalam waktu pengamatan 24 dan > 48 jam.
Hasil dan Kesimpulan : Ketokonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 32 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam dan bersifat menghambat pertumbuhannya pada konsentrasi 8 ug/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam. Flukonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 12,8 µg/ml dengan waktu pemaparan 2 x 24 jam dan konsentrasi 6,4 ug/ml dengan waktu pemaparan 3 x 24 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini ketokonazol bersifat menghambat dan membunuh pertumbuhan Candida albicans dan flukonazol bersifat membunuh pertumbuhannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Anggraeni
"Asam risinoleat sebagai komponen utama minyak jarak diketahui memiliki efek anti-inflamasi yang berpotensi menjadi kandidat antijamur. Pada penelitian ini, asam risinoleat dimodifikasi dengan menggunakan glisina dan fenilalanina membentuk lipoamida melalui reaksi esterifikasi dan amidasi. Reaksi esterifikasi dilakukan dengan mencampurkan asam risinoleat, dry metanol, dan HCl pekat untuk membentuk metil risinoleat. Kemudian, metil risinoleat diamidasi dengan glisina dan fenilalanina. Berdasarkan hasil karakterisasi lipoamida menggunakan FT-IR, didapatkan puncak serapan C-N (stretch) dan N-H (bend) yang muncul pada spektrum yang menandakan keberhasilan produk sintesis. Terhadap produk lipoamida yang terbentuk dilakukan pengujian aktivitas antijamur untuk mengetahui aktivitas penghambatan pertumbuhan terhadap Candida albicans. Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan bahwa lipoamida risinoleat-glisina dan lipoamida risinoleat-fenilalanina memiliki aktivitas antijamur terhadap Candida albicans dengan besarnya zona hambat masing-masing yaitu 9 mm (lemah) dan 8 mm (lemah).

Ricinoleic acid as the main component of castor oil is known to have an anti-inflammatory effect that has the potential to be an antifungal candidate. In this study, ricinoleic acid was modified using glycine and phenylalanine to form lipoamides through esterification and amidation reactions. The esterification reaction was carried out by mixing ricinoleic acid, dry methanol, and concentrated HCl to form methyl ricinoleate. Then, methyl ricinoleate was amidated with glycine and phenylalanine. Based on the results of lipoamide characterization using FT-IR, C-N (stretch) and N-H (bend) absorption peaks appeared on the spectrum indicating the success of the synthesis product. The lipoamide product was tested for antifungal activity to determine the growth inhibitory activity against Candida albicans. Based on the test, it was found that ricinoleic-glycine lipoamide and ricinoleic-phenylalanine lipoamide had antifungal activity against Candida albicans with the inhibition zones of 9 mm (weak) and 8 mm (weak)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The prevalence of Candida albicans infections is increasing in the society. Therefore, an effective and affordable antifungal drug with minimal side effect is needed. Ginger (Zingiber officinale) is a traditional herb which has an antifungal effect in its volatile oil. Objective: to investigate antifungal effect of volatile oil from Zingiber officinale var. rubrum against C. albicans in vitro, to determine the optimum concentration, and finally to determine the correlation between the various concentrations of the oil and the inhibition zone. Material and method: Strain C. albicans tested was obtained from the Departement of Parasitology, Medical Faculty, University of Indonesia. Volatile oil of Zingiber officinale var. rubrum was produced from water and steam distillation of fresh ginger in BALLITRO, Bogor. Concentrations of the volatile oil used were 100%, 50%, 25%, 12.5%, 3.125%, 1.56% and 0.78%. Methods used were colony counting and disk diffusion method (by using 6 mm blank disk). The specimens were divided into two groups, treatment group (C. albicans with application of volatile oil) and control group (C. albicans without application of volatile oil). Result: There was a significant decrease in the amount of C. albicans colonies from 3.125% to 6.25% of concentration. The amount of C. albicans colonies at concentration 6.25% was also significantly lower than in the control group. Moreover, there was strong and positive correlation between the concentration of the volatile oil and the inhibition zone. Conclusion: Volatile oil from Zingiber officinale var. rubrum has an antifungal effect agains C. albicans in vitro with optimum concentration at 6.25%. Increasing concentrations of the oil correlates with increasing inhibition zone."
[Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Journal of Dentistry Indonesia], 2007
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>