Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87270 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karel Daud Rahardian
"Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang paling berbahaya dan menular. Salah satu obat yang umumnya digunakan untuk pasien pengidap tuberkulosis adalah isoniazid. Isoniazid biasanya diberikan dalam bentuk sediaan tablet konvensional. Akan tetapi, jenis sediaan tersebut sulit dikonsumsi untuk anak-anak, dikarenakan sulit untuk ditelan. Oleh karena itu, dikembangkanlah sediaan tablet cepat hancur yang mengandung isoniazid sebagai alternatif terapi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat tablet cepat hancur isoniazid dengan metode kempa langsung serta membandingkan konsentrasi dua superdisintegran, yaitu crospovidone dan sodium starch glycolate (SSG). Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan lima formula dengan variasi konsentrasi crospovidone dan SSG, yaitu F1 (1:0), F2 (0:1), F3 (1:4), F4 (1:1), dan F5 (4:1). Evaluasi yang dilakukan antara lain uji sifat alir, kompabilitas, organoleptis, kadar, keseragaman ukuran, keragaman bobot, keregasan, kekerasan, waktu hancur, waktu pembasahan, disolusi, dan stabilitas selama 4 minggu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelima formula memenuhi syarat tablet cepat hancur, yaitu terdisintegrasi di bawah 1 menit, dengan F1 memiliki waktu paling cepat (27,18 ± 6,71 detik) dan memiliki jumlah obat terdisolusi paling banyak (93 ± 1,30%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tablet cepat hancur F1 yang diperoleh dengan metode kempa langsung merupakan tablet cepat hancur paling baik.

Tuberculosis is one of the most dangerous and infectious diseases. One of the drug that is commonly used for patients with tuberculosis is isoniazid. Isoniazid is usually given in conventional tablet dosage forms. However, this type of dosage form is difficult to consume for children, because it is hard to swallow. Therefore, a fast disintegrating tablet containing isoniazid was developed as an alternative therapy. This study aims to make isoniazid fast disintegrating tablets by direct compression method and to compare the concentration ratio of two superdisintegrants, crospovidone and sodium starch glycolate (SSG). In this study, a comparison was made of five formulas with various concentrations of crospovidone and SSG, namely F1 (1:0), F2 (0:1), F3 (1:4), F4 (1:1), dan F5 (4:1). Evaluations carried out included flow properties, compatibility, organoleptic, size uniformity, weight variation, friability, hardness, disintegration time, wetting time, dissolution, and physical stability for 4 weeks. The results showed that the five formulas met the requirements for fast disintegrating tablets,where they disintegrated less than 1 minute, with F1 having the fastest time (27.18 ± 6.71 seconds) and having the most amount of drug dissolved (93 ± 1.30%). So it can be concluded that the fast disintegrating tablet F1 obtained by direct compression method is the best fast disintegrating tablet."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Ramadhan
"

Pasien pediatri merupakan golongan yang rentan terkena tuberkulosis. Kompleksnya regimen terapi serta masih minimnya sediaan yang ramah pasien pediatri menjadi suatu tantangan dalam pengobatan tuberkulosis. Hal tersebut memberikan potensi pengembangan suatu sediaan yang dapat menyederhanakan regimen terapi serta ramah bagi pasien pediatri. Film berlapis cepat hancur kombinasi dosis tetap menjadi solusi dari tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses pengobatan tuberkulosis pada pasien pediatri. Penelitian bertujuan untuk memperoleh film cepat hancur berlapis kombinasi dosis tetap yang mengandung rifampisin dan isoniazid dengan metode solvent casting. Terdapat tujuh formula film lapis rifampisin dan tujuh formula film lapis isoniazid dengan masing-masing formula memiliki variasi konsentrasi HPMC dan PVA yakni R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). Ketujuh formula dari masing-masing film lapis dikarakterisasi dengan tujuan menentukan formula film terbaik yang nantinya akan dikombinasikan menjadi sediaan utuh. Karakterisasi tersebut mencakup evaluasi organoleptis, kekuatan peregangan, waktu disintegrasi dan persentase kelembapan. Setelah ditentukan formula terbaik dari masing-masing film, kedua film dikombinasikan dan diuji kembali. Uji yang dilakukan diantaranya uji yang telah dilakukan pada proses karakterisasi ditambah dengan uji penetapan kadar serta uji disolusi. Hasil karakterisasi menunjukkan formula R6 dari masing-masing formula film lapis memiliki karakteristik terbaik dari segi organoleptis dan waktu disintegrasi dengan waktu disintegrasi sebesar 49,94 ± 3,38 detik untuk film lapis rifampisin dan 38,84 ± 4,27 detik untuk film lapis isoniazid. Film lapis rifampisin R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,7478 ± 0,0233 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,29 ± 1,36%. Sedangkan film lapis isoniazid R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,8136 ± 0,0612 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,60 ± 1,23%. Film cepat hancur kombinasi dosis tetap yang diperoleh memiliki organoleptis yang baik, waktu disintegrasi yang cepat yakni 52,82 ± 2,76 detik namun tidak memenuhi kriteria uji penetapan kadar dan uji disolusi yang diinginkan.


Pediatric patients are vulnerable group susceptible to tuberculosis. The complexity of the treatment regimen and the limited availability of pediatric-friendly formulations pose challenges in tuberculosis treatment. This presents an opportunity for the development of a formulation that can simplify the treatment regimen and be patient-friendly for pediatric patients. Fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations offer a solution to the challenges faced in the tuberculosis treatment process in pediatric patients. The research aimed to obtain fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations containing rifampicin and isoniazid using the solvent casting method. There were seven formulations of rifampicin films and seven formulations of isoniazid films, each with variations in HPMC and PVA concentrations, namely R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). The seven formulations of each film were characterized to determine the best film formulation that would later be combined into a complete formulation. The characterization included organoleptic evaluation, tensile strength, disintegration time, and moisture content. After determining the best formulation for each film, the two films were combined and retested. The tests conducted included the previously performed characterization tests, as well as assay and dissolution testing. The characterization results showed that formulation R6 of each film had the best characteristics in terms of organoleptic properties and disintegration time, with a disintegration time of 49.94 ± 3.38 seconds for rifampicin film and 38.84 ± 4.27 seconds for isoniazid film. Rifampicin film R6 had a tensile strength of 0.7478 ± 0.0233 N/mm2 and a moisture content of 15.29 ± 1.36%. Meanwhile, isoniazid film R6 had a tensile strength of 0.8136 ± 0.0612 N/mm2 and a moisture content of 15.60 ± 1.23%. The obtained fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations had good organoleptic properties and fast disintegration time of 52.82 ± 2.76 seconds but did not meet the criteria for assay and desired dissolution testing.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faishal Andzar
"Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi salah satu permasalahan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Terapi tuberkulosis yang biasanya dominan dalam administrasi oral memiliki berbagai permasalahan, yaitu salah satunya adalah rendahnya konsentrasi obat pada tempat infeksi Mycobacterium tuberculosis, yaitu di alveolus.Penghantaran obat antituberculosis langsung ke paru-paru merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan konsentrasi obat di lokasi infeksi sehingga efektivitas terapi meningkat. Isoniazid merupakan salah satu lini terapi pertama terapi tuberkulosis. Namun, serbuk isoniazid perlu memiliki sifat arodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh eksipien L-leusin dan/atau amonium bikarbonat terhadap sifat aerodinamis dan profil pelepasan obat serbuk inhalasi isoniazid. Semua formula serbuk inhalasi isoniazid dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh kemudian dikarakterisasi morfologi, kandungan lembab, densitas bulk, distribusi ukuran partikel, sifat aerodinamis, gugus fungsi, kadar, serta profil pelepasan dalam medium simulasi paru-paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan L-leusin meningkatkan sifat aerodinamis, sementara penambahan amonium bikarbonat tidak meningkatkan sifat aerodinamis secara signifikan. Formula serbuk inhalasi isoniazid dengan kombinasi eksipien L-leusin dan amonium bikarbonat memiliki sifat aerodinamis paling baik dengan nilai persentase emitted fraction (EF) 62,08%±1,80 dan fine particle fraction (FPF) 50,39%±6,13 dan diameter aerodinamis (MMAD) 5,68±0,35 µm. Uji pelepasan obat secara in-vitro menunjukkan bahwa semua formula dapat terdisolusi hingga 100% dalam waktu 45 menit. Namun, penambahan amonium bikarbonat tidak mampu mengubah morfologi serbuk inhalasi isoniazid menjadi berpori seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, optimasi parameter proses penyemprotan diperlukan untuk menghasilkan partikel dengan pori.

Tuberculosis is a major health problem in many developing countries, including Indonesia. The therapy for tuberculosis primarily consists of orally consumed drugs, which can result in several issues, including low concentration of antibiotics at the alveoli, the primary site of infection of Mycobacterium tuberculosis. Pulmonary delivery of anti-tuberculosis drugs is one of strategies to provide adequate concentrations at the site of infection, thus increase effectiveness of therapy. Isoniazid is one of the first-line drugs for tuberculosis therapy. However, isoniazid powder should exhibit good aerodynamic properties to be deposited in the lungs. Thus, this study aimed to examine the effect of L-leucine and/or ammonium bicarbonate on aerodynamic properties and drug release profile of isoniazid inhalation powder. All formulations were produced by spray drying, with or without L-leucine and/or ammonium bicarbonate. The obtained powder was characterized by its morphology, moisture content, bulk density, particle size distribution, aerodynamic properties, functional group, content assay, and drug release profile in simulated lung medium. The results showed that the addition of L-leucine increased the aerodynamic properties of isoniazid, while the addition of ammonium bicarbonate did not increase the aerodynamic properties significantly. Isoniazid inhalation powder with combination of 5% w/w L-leucine and 5% w/w ammonium bicarbonate exhibited the best aerodynamic properties with emitted fraction (EF) 62.08%±1.80% and fine particle fraction (FPF) 50.39%±6.13%, and aerodynamic diameter (MMAD) 5.68±0.35 µm. In-vitro drug release test showed that isoniazid in all formulations can be dissolved up to 100% within 45 minutes. However, the addition of ammonium bicarbonate could not form large porous particles as expected. Therefore, further research is required to optimize spray drying parameters in order to achieve the desired particles."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Naufal Giovanni
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang dalam terapi pengobatannya membutuhkan kepatuhan dalam mengonsumsi obat antituberkulosis, durasi terapi yang lama, dan pengobatannya tidak boleh terputus terutama pada kelompok yang rentan yaitu pediatri. Salah satu obat lini pertama pada penyakit tuberkulosis adalah isoniazid. Sediaan yang saat ini umum digunakan untuk diberikan pada pasien pediatri adalah berupa tablet dan sirup. Namun, kendala pada sediaan tersebut adalah kesulitan saat proses penelanan pada sediaan tablet dan membutuhkan alat tambahan seperti sendok takar pada sediaan sirup. Hal tersebut  memberikan potensi pada pengembangan sediaan baru untuk obat TB yaitu sediaan orodispersible film (ODF). Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan orodispersible film (ODF) isoniazid dengan menggunakan kombinasi polimer pembentuk film yaitu polivinil alkohol (PVA) dan Carbopol 971 dengan menggunakan metode solvent casting. Sebanyak tujuh formula ODF dibuat dengan perbandingan PVA-Carbopol 971 yaitu 100:0 (F1); 80:20 (F2); 60:40 (F3); 50:50 (F4); 40:60 (F5); 20:80 (F6), dan 0:100 (F7). Ketujuh formula ODF tersebut dilakukan evaluasi yang bertujuan untuk menentukan formula terbaik. Evaluasi yang dilakukan di antaranya organoleptis, folding endurance, tensile strength, waktu disintegrasi, penetapan kadar, dan profil disolusi. Setelah diperoleh formula terbaik yang didapatkan dari hasil evaluasi, dilakukan uji stabilitas selama 1 bulan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa formula terbaik ODF yang dihasilkan adalah formula F2. Formula F2 memiliki karakteristik organoleptis yang baik yaitu halus, homogen, tipis, dan fleksibel. Nilai waktu disintegrasi yang diperoleh sebesar 57,00 ± 8,18 detik, tensile strength sebesar 10,18 ± 1,23%, dan tidak menunjukkan kerusakan setelah dilipat sebanyak 300 kali. Nilai kandungan isoniazid pada formula F2 ODF adalah sebesar 2,90 ± 0,30 mg/cm². Profil disolusi pada formula F2 menunjukkan nilai terbaik daripada formula lainnya dengan jumlah obat terdisolusi 100,21 ± 29,44% pada menit ke-45. Selain itu, formula F2 memiliki stabilitas yang baik selama penyimpanan 4 minggu pada suhu 40 ± 2oC dan RH sebesar 75 ± 5%.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that requires adherence to medication, long treatment duration, and uninterrupted therapy, especially in vulnerable groups such as pediatric patients. One of the first-line drugs for tuberculosis is isoniazid. The formulations commonly used for pediatric patients are tablets and syrups. However, the challenge with these formulations is difficulty in swallowing tablets and the need for additional tools such as measuring spoons for syrups. This situation presents the potential for the development of a new formulation, namely orodispersible film (ODF). This study aims to develop isoniazid orodispersible film (ODF) using a combination of film-forming polymers, namely polyvinyl alcohol (PVA) and Carbopol 971, through the solvent casting method. Seven ODF formulations were prepared with different ratios of PVA-Carbopol 971, including (100:0) F1; (80:20) F2; (60:40) F3; (50:50) F4; (40:60) F5; (20:80) F6, and (0:100) F7. These seven ODF formulations underwent evaluation to determine the best formula. Evaluations included organoleptic characteristics, folding endurance, tensile strength, disintegration time, drug content determination, and dissolution profile. After obtaining the best formula based on evaluation results, stability testing was conducted for one month. The evaluation results showed that the best ODF formula produced was formula F2. Formula F2 exhibits good organoleptic characteristics, being smooth, homogeneous, thin, and flexible. The values of disintegration time is 57.00 ± 8.18 seconds; showing no damage after being folded 300 times in the folding endurance test; and a tensile strength value of 10.18 ± 1.23%. The content of isoniazid in the F2 ODF formula is 2.90 ± 0.30 mg/cm². The dissolution profile of the F2 formula shows the best value compared to other formulas, with 100.21 ± 29.44% of the drug dissolved at 45 minutes. Furthermore, the F2 formula exhibits good stability during a 4-week storage period at 40 ± 2°C and 75 ± 5% RH (relative humidity)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella N Thoha
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 1976
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Padma Hartmaya
"Pirfenidon digunakan untuk pengobatan fibrosis paru idiopatik dengan dosis besar, 801 mg – 2403 mg per hari. Penggunaan tablet konvensional merupakan permasalahan bagi individu dengan disfagia terutama pada obat dengan dosis besar. Oleh sebab itu, pengembangan tablet cepat hancur (TCH) yang dirancang untuk segera hancur di dalam rongga mulut menjadi alternatif tablet konvensional yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh TCH pirfenidon dengan metode kempa langsung serta menganalisis pengaruh konsentrasi croscarmellose sodium (CCS) terhadap waktu hancur. TCH pirfenidon dibuat menggunakan metode kempa langsung menjadi 3 formula dengan variasi konsentrasi CCS adalah 2% (F1), 5% (F2), dan 10% (F3). Evaluasi dilakukan sebelum dan setelah pengempaan tablet meliputi uji sifat alir, penampilan fisik tablet, keseragaman ukuran, keragaman bobot, kekerasan, keregasan, disintegrasi, waktu pembasahan, disolusi, dan uji stabilitas selama 1 bulan. Pengujian massa tablet ketiga formula menunjukkan sifat alir yang baik dan seluruh TCH yang dihasilkan dari ketiga formula memberikan hasil evaluasi yang memenuhi persyaratan TCH. Namun, TCH terpilih adalah F3 karena memiliki waktu hancur dan waktu pembasahan tercepat berturut-turut yaitu 36,27 ± 0,41 detik dan 59,00 ± 2,75 detik, serta jumlah obat terdisolusi yang paling besar (100,03 ± 0,00%) dalam waktu 30 menit. Selain itu, TCH F3 menunjukkan stabilitas yang baik selama penyimpanan 1 bulan pada suhu 30 ± 2°C maupun 40 ± 2°C. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa TCH F3 yang diperoleh menggunakan metode kempa langsung merupakan formula terpilih yang memenuhi persyaratan FDT paling baik.

Pirfenidone is used in large doses for the treatment of idiopathic pulmonary fibrosis, 801 mg – 2403 mg per day. The use of conventional tablets is a problem for individuals with dysphagia, especially in large doses of drugs. Therefore, the development of fast disintegrating tablets (FDT) which are designed to disintegrate in the oral cavity is a suitable alternative to conventional tablets. The purposed of this study were to obtain FDT pirfenidone by direct compression method and to analyzed the effect of croscarmellose sodium (CCS) concentration on disintegration time. FDT pirfenidone was prepared using direct compression method into 3 formula with various CCS concentration, 2% (F1), 5% (F2), and 10% (F3). Evaluations were carried out before and after tablet compression including flow properties test, physical appearance, size uniformity, weight diversity, hardness, friability, disintegration time, wetting time, dissolution, and stability test. The tablet mass of the three formula showed good flow properties and all of the FDT produced from the three formulas gave evaluation results that met the requirements of FDT. However, the selected FDT was F3 because it had the fastest disintegration and wetting times, respectively 36.27 ± 0.41 seconds and 59.00 ± 2.75 seconds, and the largest amount of drug dissolution (100.03 ± 0,00%) within 30 minutes. In addition, FDT F3 showed good stability during storage for 1 month at a temperature of 30±2°C or 40±2°C. Therefore, it can be concluded that FDT F3 obtained by direct compression method is the selected formula that met the best FDT requirements."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Rizki Maharani
"Kulit pisang yang menjadi limbah industri dan rumah tangga dapat diolah dan dimanfaatkan menjadi bahan tambahan pada sediaan farmasi. Kulit pisang dapat memiliki kandungan kadar pati sebesar 70-80% pada keadaan belum matang. Hal ini menunjukkan bahwa kulit pisang berpotensi untuk dapat dijadikan sebagai superdisintegran alami dalam formulasi sediaan tablet cepat hancur. Penelitian ini bertujuan memperoleh tepung dari limbah kulit pisang, mengkarakterisasi superdisintegran dari tepung kulit pisang, serta membandingkan karakteristik tablet cepat hancur yang menggunakan tepung kulit pisang dan croscarmellose sodium sebagai superdisintegran. Tepung kulit pisang dikarakterisasi secara fisik, kimia, dan fungsional. Tablet cepat hancur yang menggunakan tepung kulit pisang diformulasikan dengan konsentrasi yang bervariasi, yaitu konsentrasi 3%, 5%, dan 9%. Tablet cepat hancur dengan konsentrasi croscarmellose sodium sebanyak 5% dijadikan sebagai pembanding dalam penelitian. Tepung kulit pisang yang dihasilkan berupa serbuk halus berwarna putih hampir cokelat muda, berbau khas aroma pisang, tidak berasa, memiliki nilai swelling power sebesar 4 kali dibanding volume awal, indeks kelarutan dalam air sebesar 0,87%, kadar air 7,79%, ukuran partikel 125-355 Î¼m, sifat alir buruk, dan kandungan amilosa sebesar 22,23%. Evaluasi tablet cepat hancur yang menggunakan superdisintegran dari tepung kulit pisang menghasilkan waktu hancur cepat selama 5-10 detik dan waktu pembasahan selama 2-5 detik untuk semua formula. Dapat disimpulkan bahwa, tablet cepat hancur yang menggunakan tepung kulit pisang memenuhi persyaratan waktu hancur dan dapat menyamai karakteristik tablet cepat hancur yang menggunakan croscarmellose sodium sebagai superdisintegran, serta tablet cepat hancur yang menggunakan formulasi tepung kulit pisang sebanyak 3% menghasilkan waktu hancur yang paling cepat.

Banana peels as industrial and household waste can be processed and used as additives in pharmaceutical preparations. Banana peels can contain 70-80% of starch levels in an immature state. It shows that banana peel has the potential to be used as a natural superdisintegrant in the formulation of fast disintegrating tablets. This study aims obtain to characterize the flour from banana peel waste and also compare the characteristics of fast disintegrating tablets using banana peel flour and croscarmellose sodium as super disintegrants. Banana peel flour has been characterized physically, chemically, and functionally. The fast disintegrating tablets with banana peel flour has formulated in varying concentrations such as 3%, 5%, and 9%. Align with that, Fast disintegrating tablets with 5% of croscarmellose sodium concentration have been used as comparisons in the study. The banana peel flour produced is in the form of a white and almost light brown fine powder. It has a distinctive banana aroma, tasteless, has a swelling power value of 4 times compared to the initial volume, and has a 0.87% for solubility index in water, 7.79% of water content, a particle size of 125-355 Î¼m, poor flowability, and has 22.23% of amylose content. Evaluation of fast disintegrating tablets using superdisintegrant from banana peel flour resulted in a quick disintegration time of 5-10 seconds and wetting time of 2-5 seconds for all formulas. It concluded that the fast disintegrating tablets using banana peel flour fulfilled the disintegration time requirements. Fast disintegrating tablets using banana peel flour has similar characteristics to the fast disintegrating tablets using croscarmellose sodium as a super disintegrant. Fast disintegrating tablets with concentration of banana peel flour of about 3% have the fastest disintegration time."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edinburgh: Mosby Elsevier, 2009
618.92 ILL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Titin Sutini
"Tujuan Karya ini adalah untuk memperoleh gambaran penerapan Teori Konservasi dari Levine dalam pemenuhan kebutuhan cairan pada bayi risiko tinggi, Serta memberikan gambaran pencapaian,-kompetensi dalam Praktik Residensi Spesialis Keperawatan Anak. Asuhan keperawatan berdasarkan Model Konservasi menurut Levine digambarkan pada 5 kasus yang dikelola, Masalah keperawatan secara yang terjadi pada kasus kelolaan adalah tidak efektifnya bersihan jalan nafas, risiko gangguan pertukaran gas, ketidakseimbangan nutrisi dan termoregulasi, risiko infeksi cemas pada orangtua dan perubahan bonding attachment. Setelah diberikan asuhan keperawatan 3 kasus berhasil mencapai konservasi dan 2 kasus lainnya gagal. Keberhasilan asuhan dipengaruhi oleh peran perawat dan tenaga kesehatan lainnya kondisi bayi Serta lingkungan.

The objective of this thesis is to get a description of Levine conservation theory, especially in liquid fulfillment for high risk babies. It also shows competency accomplishment by pediatric nursing internship. Nursing care is based on Levine conservation model, which is described in 5 different cases. In general, frequent problems occurred are ineffective airways, gas exchange disturbance, imbalanced liquid and electrolyte, risk of malnourished, thermoregulation change and infection, parents anxiety and bonding attachment change. After given nursing care, 3 out of 5 cases are in conservation stage. The successes are influenced by the role of nurses, other healthcare providers, baby’s condition and environment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistiyawati
"Klien bedah beresiko mengalami ketidakseimbangan cairan dan elektrolit akibat asupan cairan preoperatif yang tidak adekuat atau banyaknya kehilangan cairan selama pembedahan. Penerapan model adaptasi Roy dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak post operasi adalah membantu beradaptasi terhadap pemenuhan kebutuhan fisiologis khususnya cairan. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk menggambarkan pemenuhan kebutuhan cairan pada anak post operasi dengan pendekatan model adaptasi Roy. Jumlah klien yang dikelola sebanyak 5 klien anak post operasi di ruang perawatan bedah anak. Model adaptasi Roy merupakan model dalam keperawatan yang mampu menguraikan bagaimana seorang individu mampu meningkatkan kesehatannya dalam rentang respon adaptif, sehingga sesuai untuk diterapkan pada anak dengan pemenuhan kebutuhan cairan post operasi. Kompetensi yang sudah dicapai selama kegiatan praktik Ners Spesialis Anak yaitu sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, manager dan peneliti. Rekomendasi hasil karya ilmiah ini adalah mengaplikasikan model adaptasi Roy dalam proses keperawatan dan pentingnya penerapan pelayanan asuhan keperawatan yang komprehensif dengan berfokus pada tumbuh kembang anak, sikap empati perawat, atraumatic care, family centered care sebagai bagian yang tidak terpisahkan.

Surgical patients have risk to suffer fluid and electrolyte imbalance. It is caused by inadequate fluid distribution before surgery (pre-operative) or lost of fluid during surgery process. The application of adaptation model of Roy in giving nursing care on children post surgery is to help children in distributing physical need, especially fluid. This final scientific research aimed to describe distribution of fluid need on children post surgery by approaching Roy adaptation model. Numbers of cared client were 5 clients of children post surgery in pediatricsurgical care room. The adaptation model of Roy is a model in nursing that can explain how the individu is able to increase his health into adaptive respond, so it was appropriate to be applied in children for distributing fluid need post surgery. The reached competency during practice of pediatric nurse specialist was as a nursing care giver, educator, manager, and researcher children specialization as giving care for nursing, teacher, manager, and researcher. Recommendation of this research were to apply the Roy adaptation model into nursing process and the importance of applying nursing care service comprehensively by focusing on children development and growth, empathy, atraumatic care, family centered care as a part cannot be aside.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>