Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77880 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Febyola Berlyani Sugiarto
"Dalam rangka memberikan kepastian hukum maka peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus dituangkan dalam Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun apabila persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang belum dipenuhi maka dapat dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai perjanjian pendahuluan. Dalam kenyataannya, PPJB sering disalahgunakan untuk menutupi perbuatan hukum yang tidak seharusnya dilakukan guna mengalihkan kepemilikan hak atas tanah, yaitu melalui pencantuman klausula “membeli kembali” sebagaimana ditemukan dalam kasus yang ada pada Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 215/PDT/2021/PT.SMG. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” serta tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta jual beli (AJB) berdasarkan PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali”. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk menjawab kedua masalah tersebut. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen (kepustakaan), selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” menurut putusan hakim a quo adalah sah dan mengikat. Namun putusan tersebut tidak tepat, karena PPJB dengan klausula “membeli kembali” tidak dikenal dalam Hukum Adat, selain itu juga merupakan suatu penyelundupan hukum yang menjadikan isi PPJB tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan, kausa terlarang, dan pelanggaran iktikad baik sehingga mengakibatkan PPJB menjadi cacat hukum dan seharusnya batal demi hukum. Adapun AJB yang dibuat berdasarkan PPJB semacam itu juga menjadi tidak sah, terlebih dalam pembuatan AJB di hadapan PPAT pihak penjual tidak dihadirkan, oleh karena itu AJB tersebut tidak memenuhi syarat formiil sehingga harus dinyatakan batal demi hukum; Kedua, tanggung jawab PPAT dalam pembuatan AJB berdasarkan PPJB yang mengandung unsur cacat hukum adalah tanggung jawab secara perdata. Hal ini disebabkan karena PPAT telah lalai dalam membuat AJB tanpa memperhatikan keabsahan dokumen yang berkaitan dengan AJB, selain itu juga tidak dihadirkannya salah satu pihak pada saat pembuatan AJB. Namun PPAT dalam kasus yang ada dalam putusan a quo telah meninggal dunia sehingga pertanggungjawaban secara perdata yang harus ditanggung oleh PPAT menjadi gugur.

In order to provide legal certainty, the transfer of land rights through buying and selling must be stated in the Sale and Purchase Deed before the Land Deed Making Officer (PPAT). However, if the requirements specified by law have not been met, a Sale Purchase Agreement (PPJB) can be made as a preliminary agreement. In reality, PPJB is often misused to cover up legal actions that should not have been taken to transfer ownership of land rights, namely through the inclusion of a “buy back” clause as found in the case in the Semarang High Court Decision Number 215/PDT/2021/PT. SMG . The issues raised in this study are related to the legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause and the PPAT's responsibility in making a sale and purchase deed (AJB) based on the PPJB which contains a "buy back" clause. This doctrinal legal research was conducted to answer these two problems. Secondary data collected through document study (library), then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, several things can be stated as follows: First, legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause according to the judge's decisiona quo is valid and binding. However, this decision is not correct, because the PPJB with the "buy back" clause is not recognized in customary law, besides that it is also a law smuggling which makes the contents of the PPJB contain elements of misuse of circumstances, prohibited causes, and violations of good faith so that the PPJB becomes legally flawed and should be null and void. As for AJB made based on such PPJB also becomes invalid, especially in the making of AJB before the PPAT the seller is not presented, therefore the AJB does not meet the formal requirements so it must be declared null and void; Second, PPAT's responsibility in making AJB based on PPJB which contains elements of legal defects is a civil responsibility. This was because the PPAT had neglected to make the AJB without regard to the validity of the documents related to the AJB, besides that one of the parties was not present at the time the AJB was made. But PPAT in the case that is in the decisiona quo has passed away so that the civil liability that must be borne by the PPAT is null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandira Vinzka Cahyagita
"Penelitian ini membahas dan menganalisis mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah. Permasalahan dalam penelitian mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak tersebut. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. PPAT seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa dokumen sebelum pembuatan akta tersebut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini bahwa PPAT membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan penyelundupan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak menjadi batal demi hukum dan Notaris/PPAT harus bertanggung jawab dengan sanksi yang dapat diberikan.

This study discusses and analyzes the legal power of absolute power in the transfer of land rights. Problems in research regarding the legal power of absolute power of attorney and how is the responsibility of the Notary/PPAT regarding the sale and purchase deed made based on this absolute power of attorney. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or apartment ownership rights, or to make evidence regarding certain legal actions regarding land rights that will be used as the basis for registration. PPAT should be more careful and thorough in checking documents before making the deed. The main problem in this study is that the PPAT makes a sale and purchase deed based on absolute power of attorney so that the act is a prohibited act because the act is legal smuggling. The research method used in this research is normative juridical which is carried out by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study indicate that the transfer of land rights through a sale and purchase deed made based on absolute power of attorney is null and void and the Notary/PPAT must be responsible for the sanctions that can be given."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Pratiwi
"Perpindahan hak atas tanah (HAT) yang berstatus kredit pemilikan rumah (KPR) yang dibebani Hak Tanggungan melalui jual beli menggunakan perjanjian dibawah tangan yang masih sering dijumpai di kalangan masyarakat memiliki implikasi hukum terhadap para pihak terutama pihak pembeli pada saat penjual tidak dapat diketahui keberadaannya setelah pembeli melaksanakan kewajibannya, sehingga di pembeli kesulitan memperoleh haknya yaitu pengambilan sertifikat di bank. Hal tersebut terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 365/PDT.G/2020/PN.Cbi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengangkat permasalahan terkait perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik atas perjanjian jual beli HAT berstatus KPR yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan. Penelitian hukum ini merupakan penelitian doktrinal, dengan bahan hukum diperoleh melalui studi dokumen kepustakaan. Adapun objek penelitian hukum berupa putusan pengadilan yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa dalam hal terjadi perpindahan HAT berstatus KPR melalui perjanjian dibawah tangan, pembeli dapat mengajukan gugatan perdata di pengadilan dan membuktikan keabsahan perjanjian dibawah tangan tersebut agar dapat mengambil sertifikat di bank dalam hal penjual tidak diketahui keberadaannya dan pembeli sudah melakukan kewajibannya.

The transfer of land rights (HAT) which has the status of a home ownership credit (KPR) which is burdened with mortgage rights through buying and selling using a private agreement which is still often found among the community has legal implications for the parties, especially the buyer, when the whereabouts of the seller cannot be known. after the buyer has carried out his obligations, the buyer has difficulty obtaining his rights, namely taking the certificate at the bank. This is contained in the Cibinong District Court Decision Number 365/PDT.G/2020/PN.Cbi. Therefore, this research was conducted to raise issues related to legal protection for buyers in good faith for HAT sale and purchase agreements with KPR status which were carried out by private agreement. This legal research is doctrinal research, with legal material obtained through the study of library documents. The object of legal research is court decisions that are linked to statutory regulations. From the research results, it can be explained that in the event of a transfer of HAT to KPR status through a private agreement, the buyer can file a civil suit in court and prove the validity of the private agreement so that he can take the certificate at the bank in the event that the seller's whereabouts are unknown and the buyer has already done his obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvira
"Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada praktiknya banyak menimbulkan permasalahan, salah satunya disebabkan oleh muatan Klausul Hak Membeli Kembali yang memberikan hak kepada Penjual untuk dapat membeli kembali objek tanah dan bangunan yang telah dijualnya kepada Pembeli. Beberapa Yurisprudensi terkait pencantuman Hak Membeli Kembali dalam jual beli tanah memutuskan untuk melarang penggunaannya sebab berpotensi menimbulkan penyelundupan hukum. Namun sampai dengan saat ini tidak ada peraturan yang mengatur kebolehan atau larangan penggunaan hak tersebut, oleh karenanya banyak menimbulkan permasalahan, salah satunya adalah kasus pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 539 PK/Pdt/2020 di mana hakim justru menyatakan sah dan mengikat atas Akta PPJB yang memuat Klausul Hak Membeli Kembali. Berangkat dari hal tersebut maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai alasan dikategorikannya PPJB dengan Hak Membeli Kembali sebagai penyelundupan hukum serta analisis Putusan PK tersebut yang memperbolehkan penggunaan Hak Membeli Kembali dalam PPJB. Untuk menjawab permasalahan digunakan bentuk metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa PPJB dengan Hak Membeli Kembali merupakan bentuk penyelundupan hukum kepemilikan tanah karena memenuhi unsur-unsurnya yaitu adanya perbuatan hukum penundukan kepada lembaga PPJB dengan Hak Membeli Kembali dengan cara menghindari lembaga utang- piutang dengan jaminan kebendaan dan ada niat untuk mencapai tujuan tertentu untuk memperoleh keuntungan. Selanjutnya terkait analisis putusan didapatkan hasil bahwa putusan tersebut tidak tepat karena melanggar Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Iktikad Baik, Asas Keadilan, dan Asas Kesesuaian dengan Hukum Adat. Oleh karenanya untuk mencegah permasalahan serupa terjadi kembali diharapkan adanya pengaturan mengenai PPJB secara khusus serta kejelasan atas penggunaan Hak Membeli Kembali pada transaksi tanah.

The Deed of Sale and Purchase Binding Agreement (PPJB Deed) has already caused many problems, one of which is caused by the content of The Right of Buy Back Clause that gives the Seller right to buy back the land and building objects that he has been sold to the Buyer. Several precedents related to the use of The Right of Buy Back in the Sale and Purchase agreement decided to prohibit its use because it may lead to legal smuggling. However, there has not been a single regulation to permit or prohibit the use of these right yet. As a result it causes many problems, for example is the case on the Judicial Review Decision Number 539 PK/Pdt/2020. The judge of such Decision declared that the PPJB Deed with The Right of Buy Back Clause was valid and binding. Based on that situation, the problems in this study are the reasons why PPJB Deed with The Right of Buy Back Clause can be categorized as a legal smuggling of land ownership and the analysis of Judicial Review Decision which permit the use of The Right of Buy Back. In term of answering the problem, a normative juridical legal research method is used with a prescriptive research typology. The research’s analysis show that PPJB Deed with Buyback Right is a form of legal smuggling of land ownership because the parties deliberately use PPJB with Buyback Right instead of using debt agreement with material guarantees, and also there is an intention party to achieve certain goals to make a profit. Furthermore, regarding the analysis of the Judicial Review Decision was found that it is not correct because it is against the principles of freedom of contract, the principle of good faith, the principle of justice, and the principle of conformity with customary law. Therefore, to prevent similar problems from happening again, it is hoped that there will be regulations regarding PPJB Deed specifically and clarity on the use of the Buyback Right in term of land transaction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ashilah Chalista
"Jual beli tanah yang dilakukan secara lisan seringkali masih ditemui dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang belum terdapat banyak PPAT di daerahnya. Peralihan hak atas tanah secara lisan dapat menimbulkan berbagai permasalahan di kemudian hari oleh karena minimnya bukti-bukti yang dapat menerangkan mengenai peristiwa tersebut. Salah satu permasalahan yang dapat timbul adalah ketika kemudian hari ternyata pembeli ingin menghibahkan hak atas tanah di hadapan PPAT. Dalam penelitian ini dianalisis dan ditelaah mengenai kekuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan secara lisan ketika akan dilakukan peralihan hak setelahnya, keabsahan pembuatan akta hibah oleh PPAT Sementara, serta pertanggungjawaban dibatalkannya akta hibah dengan menggunakan studi kasus dalam Putusan Nomor 95 K/Pdt/2021. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan tipe penelitian perskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jual beli tanah yang dilakukan secara lisan mengikat para pihak secara terbatas. Tidak adanya alat bukti yang dimiliki menjadikan jual beli tidak mempunyai kekuatan hukum di muka pengadilan. Penghibahan yang dilakukan juga tidak sah oleh karena tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan hibah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PMNA No 3 Tahun 1997. PPAT Sementara yang menerbitkan akta hibah hanya berlandaskan pada SPPT PBB yang dimiliki oleh pemberi hibah, padahal SPPT PBB bukanlah bukti kepemilikan hak atas tanah. Atas hal tersebut, PPAT Sementara dapat dimintai pertanggungjawaban, baik dalam aspek perdata maupun secara administratif.

The oral land transactions are still often encountered in community life, especially in rural areas where there are not many Land Deed Officials (PPAT) available. The transfer of land rights orally can lead to various issues in the future due to the lack of evidence that can explain the event. One of the issues that may arise is when, in the future, the buyer wishes to donate the land rights through PPAT. In this research, an analysis and examination were conducted regarding the legal validity of land transactions conducted verbally when transferring ownership rights thereafter, the validity of the process carried out by the Temporary Land Deed Official (PPAT Sementara) in the creation of a deed of gift, and the accountability for the cancellation of the deed of gift using a case study in Decision Number 95 K/Pdt/2021. This study employs a doctrinal method with a descriptive research type. The results indicate that land transactions conducted verbally bind the parties involved to a limited extent. The lack of supporting evidence renders such transactions unjustifiable in court. The act of giving is also deemed invalid due to the failure to fulfill the requirements for a gift as stipulated in Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration and PMNA No. 3 of 1997. The PPAT Sementara issuing the deed of gift is solely based on the Land and Building Tax Payment Receipt (SPPT PBB) held by the donor, although the SPPT PBB does not serve as proof of ownership rights to the land. Therefore, the PPAT Sementara can be held accountable, both in terms of private law and administratively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Yuvika Jasmin
"Konversi hak atas tanah dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemilik tanah dengan diperlukannya suatu pendaftaran tanah agar diterbitkannya suatu sertipikat untuk dapat melakukan perbuatan hukum seperti pemberian warisan. Cara mendapatkan suatu warisan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang atau berdasarkan dengan kehendak terakhir dari seseorang yang dituangkan ke dalam suatu wasiat (testament). Permasalahan dalam penelitian ini mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksana wasiat sebagai pemilik tanah bekas hak eigendom verponding yang belum dilakukan konversi terlebih dahulu namun disertipikatkan oleh ahli waris lainnya dan kedudukan harta peninggalan pewaris yang diberikan kepada pelaksana wasiat melalui hibah wasiat terhadap golongan kedua. Penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Hasil penelitian terhadap pelindungan hukum yang diperoleh oleh pelaksana wasiat adalah ketika menerima hibah wasiat berupa tanah dan bangunan, dapat mengajukan pendaftaran melalui permohonan dan pemberian hak tanah dengan status tanah negara, namun ternyata adanya surat keterangan waris yang dibuat oleh ahli waris lainnya yaitu saudara kandung pewaris yang masih hidup tanpa menjadikan pelaksana wasiat sebagai pihak, maka perlindungan hukumnya adalah berupa pembatalan surat keterangan waris dilanjutkan dengan penetapan kembali ahli waris sehingga pelaksana wasiat masuk sebagai pihak dan melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik. Terhadap terbitnya Sertipikat atas nama ahli waris golongan kedua, dapat diajukan permohonan pencatatan blokir oleh pelaksana wasiat sebagai bentuk perlindungan hukum atas konflik terhadap tanah dan bangunan yang dimiliki pelaksana wasiat. Penetapan kembali terhadap surat keterangan waris memasukkan pelaksana wasiat sebagai ahli waris pengganti dan pelaksana wasiat berdasarkan akta hibah wasiat, sesuai dengan Pasal 917 KUHPerdata seluruh harta pewaris dapat diberikan kepada pelaksana wasiat. Dengan demikian, kedudukan harta yang ditinggalkan oleh pewaris adalah dalam kekuasaan pelaksana wasiat berdasarkan hibah wasiat yang diberikan kepadanya. Saran terhadap penelitian ini tanah negara yang diperoleh melalui hibah wasiat dilakukannya permohonan dan pemberian hak oleh pelaksana wasiat agar tidak bernilai nihil serta dalam menentukan kedudukan harta peninggalan pewaris tidak hanya melihat adanya sertipikat hak guna bangunan yang terbit atas nama ahli waris golongan kedua, tetapi juga melihat adanya akta hibah wasiat atas nama pewaris.

Conversion of land rights can provide legal protection for landowners who require land registration to issue a certificate to be able to carry out legal actions such as inheritance. An inheritance can be obtained by following the laws of the law or by following the testament of a person. The problem in this study was the legal protection of the testator as the owner of the former eigendom verponding land that had not been converted first but was certified by other heirs, as well as the status of the testator's inheritance granted to the testator through a bequest to the second group. This study used doctrinal research data collection procedures in the form of a literature review. The result of the research on the legal protection obtained by the testamentary executor was that when receiving a bequest in the form of land and buildings, it can apply for registration through an application and grant land rights with the status of state land, but if it turns out that there is a certificate of inheritance made by other heirs, namely the siblings of the living testator without making the testamentary executor a party, then the legal protection is in the form of canceling the certificate of inheritance followed by re-determination of the heirs so that the testamentary executor enters as a party and conducts land registration for the first time sporadically. To prevent the issuance of a certificate in the name of the second group of heirs, the testamentary executor can file an application for blocking registration as a form of legal protection against conflicts over land and buildings owned by the testamentary executor. The re-determination of the heirs includes the testamentary executor as a substitute heir and the testamentary executor based on the deed of testamentary grant, in line with Article 917 of the Civil Code, all of the testator's property can be given to the testamentary executor. Therefore, the position of the property left by the testator is in the power of the testamentary executor based on the testamentary grant given to him. The suggestion for this research is that state land obtained through testamentary grants should be applied for and given rights by the testamentary executor so that it is not worthless and in determining the position of the testator's estate, it looks not only at the existence of a building use right certificate issued in the name of the second group of heirs, but also at the existence of a testamentary grant deed in the name of the testator."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sila Rizki Mauliddini
"Pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap bidang-bidang tanah di wilayah Indonesia dengan suatu kepemilikan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah tanah negara. Di Kota Balikpapan, dapat dijumpai tanah dengan status segel yakni tanah negara yang bukti penguasaannya ada pada seseorang. Dalam rangka mencegah terjadinya tumpang tindih tanah dengan status segel maka Pemerintah Kota Balikpapan mengeluarkan Izin Membuka Tanah Negara (IMTN). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang IMTN. Namun dalam kenyataannya masih ditemukan persoalan yang dipicu oleh IMTN itu sendiri sebagaimana dialami oleh Tuan H sebagai pemegang IMTN atas tanah dengan status segel yang tidak dapat melakukan perpanjangan izin. Terkait hal tersebut maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan IMTN dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap pemegang IMTN yang tidak dapat melakukan perpanjangan izin. Untuk dapat menjawab kedua masalah tersebut maka penelitian doktinal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi dokumen. Guna memperkuat data sekunder yang dikumpulkan melalui studi tersebut, dilakukan pula wawancara dengan beberapa responden yang relevan dengan masalah penelitian. Selanjutnya data sekunder dan hasil wawancara dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa pengaturan tentang IMTN atas tanah dengan status segel tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960, namun diatur secara tersirat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 24 Ayat (1). Pengaturan tentang IMTN ini termasuk dalam otonomi daerah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Adapun perlindungan hukum yang semestinya diberikan kepada pemegang IMTN adalah bersifat preventif. Hal tersebut disebabkan penguasaan tanah negara dengan status segel oleh Tuan H yang tidak dapat dilakukan perpanjangan IMTN adalah karena telah dilakukan perpanjangan IMTN dan berada di kawasan resapan air. Perpanjangan IMTN tersebut hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Adanya perlindungan hukum preventif yang dinyatakan sebelumnya dilakukan dengan pendaftaran tanah ke kantor pertanahan sesuai dengan peruntukkan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang dalam penelitian ini berupa Hak Pakai.

Land registration is intended to provide legal certainty for land parcels in the territory of Indonesia with ownership of land rights by applicable laws and regulations, including state land. In Balikpapan City, land with Segel status can be found, namely state land where proof of ownership is in the possession of a person. The Balikpapan City Government issues the Practice of License to Open State Land (IMTN) to prevent land overlapping with Segel status. The policy is intended to provide legal protection for IMTN holders. However, in reality, there are still problems triggered by the IMTN itself, as experienced by Mr. H as the IMTN holder of land with a Segel status who cannot extend the permit. Related to this, the issues raised in this study are about the legal status of IMTN in the land registration system in Indonesia and legal protection for IMTN holders who cannot extend permits. To be able to answer these two problems, this doctrinal research was carried out by collecting legal materials through document studies. To strengthen the secondary data collected through the study, interviews were also conducted with several respondents who were relevant to the research problem. Furthermore, secondary data and interview results were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be stated that the regulation regarding IMTN on land with Segel status is not regulated in the 1960 Indonesian Agrarian Law, but is implicitly regulated in Indonesian Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration, specifically Article 24 Paragraph (1). This arrangement regarding IMTN is included in regional autonomy based on the Decree of the President of the Republic of Indonesia Number 34 of 2003 concerning National Policy in the Land Sector. The legal protection that should be given to IMTN holders is preventive. This is due to the possession of state land with Segel status by Mr. H, which IMTN cannot extend because it has already been developed and is in a water catchment area. IMTN extension can only be done 1 (one) time with a period of 3 (three) years. The existence of preventive legal protection, which was stated previously, was carried out by registering land with the land office by the land allotment and the Regional Spatial Plan (RTRW), which in this study was in the form of a Right to Use."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Sakinah
"PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai hak atas tanah, salah satunya ialah Akta Hibah. Hibah ialah perjanjian sepihak dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya, hibah harus memenuhi syarat objektif maupun subjektif. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan suatu perbuatan hukum menjadi batal demi hukum seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 195/Pdt.G/2020/PN Blb yang mana hakim menyatakan batal demi hukum akta hibah yang dibuat berdasarkan identitas palsu. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. tanggung jawab PPAT terhadap pembuatan akta hibah berdasarkan identitas palsu, 2. akibat hukum pembatalan akta hibah, 3. implementasi asas itikad baik atas peralihan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor 195/Pdt.G/PN Blb. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembuatan akta hibah yang memuat identitas palsu sebab PPAT hanya bertanggung jawab atas kebenaran formiil, 2. Akta hibah yang memuat identitas palsu tidak memenuhi syarat objektif sehingga batal demi hukum, maka hibah hibah tersebut dianggap tidak pernah ada, 3. YK dalam kasus posisi tersebut tidak mengimplementasikan asas itikad baik sedangkan DW selaku pembeli atas tanah objek hibah dapat dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu seharusnya PPAT dalam menjalankan tugasnya mengedepankan asas kehati-hatian dan setiap individu harus mengimplementasikan asas itikad baik atas setiap perbuatan hukum.

PPAT is a public official authorized to make authentic deeds regarding land rights, one of which is the Grant Deed. A grant is a one-sided agreement in which the first party will hand over an object because of their kindness to another party. In its implementation, grants must meet both objective and subjective requirements. The non-fulfillment of material conditions causes a legal action to be null and void, as in the Bale Bandung District Court Decision Number 195/Pdt.G/2020/PN Blb, in which the judge declared null and void the grant deed made based on a false identity. The problems raised in this study are 1. PPAT's responsibility for creating a grant deed based on a false identity, 2. the legal consequences of canceling the grant deed, 3. implementation of the principle of good faith on the transfer of land rights based on the decision of the Bale Bandung District Court Number 195/ Pdt.G/PN Blb. A normative juridical legal research method with an explanatory type of research was used to answer these problems. The analysis results are that PPAT was not responsible for making a grant deed containing a false identity because PPAT was only responsible for the formal truth, 2. The grant deed containing a false identity did not meet the objective requirements, so it was null and void, then the grant was considered to have never existed, 3. In the case of the position, YK did not implement the principle of good faith, while DW, as the buyer of the land object of the grant, can be declared a buyer in good faith. The advice that can be given is that PPAT should prioritize the principle of prudence in carrying out its duties, and each individual must implement the principle of good faith for every legal act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Ayu Sinddhisar Smaratungga
"Peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya adalah dengan melakukan jual beli. Peralihan tanah dengan jual beli dapat dilakukan dengan membuat akta jual beli atau dengan membuat perjanjian dihadapan Notaris. Salah satu kewajiban dari Notaris dalam membuat akta perjanjian pengikatan jual beli adalah perlu melalukan pemeriksaan atas keabsahan dari surat-surat yang diperlukan. Apabila Notaris tidak memperhatikan dan menerapkan prinsip kehati-hatian disini, akan menimbulkan kerugian bukan hanya bagi para pihak terkait, melainkan terhadap akta yang dibuatnya, yaitu dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkannya akta tersebut. Penelitian ini membahas bagaimana akibat hukum yang timbul dari perjanjian pengikatan jual beli dengan objek tanah negara yang dilakukan oleh perseorangan dan bentuk pertanggungjawaban dari Notaris atas batalnya perjanjian pengikatan jual beli yang dibuatnya berdasarkan Putusan Nomor 760/Pdt.G/2020/PN. Sby. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitik, dan bersumber pada data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, bahwa ditemukan adanya tanah negara yang dijual oleh perseorangan, atau terdapat tanah yang dijadikan objek dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut merupakan tanah negara, sehingga perjanjian pengikatan jual beli tersebut dinyatakan batal demi hukum. Notaris sebagai pihak yang diberi wewenang dapat dikenakan sanksi yaitu sanksi administrasi, sanksi perdata, dan sanksi pidana. Sanksi yang dikenakan kepada Notaris dalam penelitian ini berupa sanksi perdata dengan mengembalikan uang jasa yang diterimanya. Untuk menghindari kesalahan yang dibuat oleh notaris, sebaiknya sebelum membuat akta perjanjian pengikatan jual beli, notaris memastikan bahwa tanah yang menjadi obyek dalam perjanjian tersebut tidak bermasalah, di kantor Badan Pertanahan Nasional setempat.

Transfer of land rights can be done in various ways. One of them is by buying and selling. The transfer of land by buying and selling can be done by making a deed of sale or by making an agreement before a notary. One of the obligations of a notary in making a deed of sale and purchase agreement is the need to check the validity of the required documents. If the Notary does not pay attention to and apply the precautionary principle here, it will cause harm not only to the parties concerned, but also to the deed he made, which can be null and void by law or the deed can be canceled. This study discusses how the legal consequences arising from the Sale and Purchase Binding Agreement with the State Land object are carried out by individuals and the form of liability from the Notary for the cancellation of the Sale and Purchase Binding Agreement made based on Decision Number 760/Pdt.G/2020/PN. Sby. To answer these problems, this research uses a normative juridical method with descriptive analytical research type, and is sourced from secondary data in the form of primary legal materials and secondary legal materials with a qualitative approach. Based on the research that has been done, it is found that there is state land sold by individuals, or there is land that is used as the object in the sale and purchase agreement which is state land, so that the sale and purchase binding agreement is declared null and void. Notaries as authorized parties can be subject to sanctions, namely administrative sanctions, civil sanctions and criminal sanctions. Sanctions imposed on Notaries in this study are in the form of civil sanctions by returning the service fees they receive. To avoid mistakes made by a notary, preferably before making a deed of binding sale and purchase agreement, the notary ensures that the land is the object of the agreement is not problematic, at the local National Land Agency Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Carolina
"Kepastian hukum dalam setiap peralihan tanah sebagai akibat dari transaksi jual beli hak atas tanah sangatlah penting. Oleh karena itu, Undang-Undang Pokok Agraria mewajibkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak karena jual beli tersebut. Pada prakteknya, di Kecamatan Bermani Ulu Kabupaten Rejang Lebong terdapat praktek jual beli tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang sama sekali belum pernah didaftarkan di kantor pertanahan. Praktek jual beli tersebut banyak dilakukan dihadapan kepala desa bersifat tunai, nyata dan terang. Tesis ini membahas bagaimana proses pencatatan kepemilikan hak atas tanah berdasarkan Surat Keterangan Kepala Desa serta kekuatan hukum terhadap surat keterangan tanah tersebut jika dibandingkan denga akta yang dikeluarkan PPAT. Metode yang digunakan adalah metode yuridis empiris dan spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses pencatatan kepemilikan hak atas tanah pada Desa Kampung Melayu terbilang mudah yaitu dengan menghadapnya para pihak kepada kantor desa beserta saksi-saksi lalu kemudian dilakukan pengukuran batas- batas tanah oleh kepala dusun, baru kemudian kemudian kepala Desa mengeluarkan Surat Keterangan Pemindahan Hak. Kedudukan surat jual beli di bawah tangan itu sepanjang menurut Kepala Kantor Pertanahan adalah benar dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka ia dapat dijadikan dasar untuk melakukan pendaftaran tanah pertama kali dan pastinya harus dilengkapi dokumen pendukung lainnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Peraturan KBPN Nomor 1 Tahun 2010.

Legal certainty in any transfer of land as a result of buying and selling transactions of land rights is very important. Therefore, the Basic Agrarian Law obliges to register the transfer of rights due to such sale and purchase. In practice, in Bermani Ulu District, Rejang Lebong Regency, there is a practice of buying and selling land that has not been certified. Land that has not been certified is land that has never been registered at the land office. The practice of buying and selling is mostly carried out in front of the village head in cash, real and clear. This thesis discusses the process of recording land ownership rights based on a village head's certificate and the legal force of the land certificate when compared to the deed issued by the PPAT. The method used is empirical juridical method and the specifications used in this study are analytical prescriptive. Based on the results of the research, it can be seen that the process of recording ownership of land rights in Kampung Melayu Village is fairly easy, namely by facing the parties to the village office along with witnesses, then measuring the boundaries of the land by the head of the hamlet, then the village head issues a Certificate of Transfer of Rights. The position of the sale and purchase letter under the hand, as long as according to the Head of the Land Office it is correct and can be accounted for, then it can be used as a basis for conducting the first land registration and of course it must be equipped with other supporting documents as mentioned in KBPN Regulation Number 1 of 2010."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>