Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97647 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simanjuntak, Tumpal
"Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan menyatakan bahwa bumi, air, dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Atas hal tersebut, negara diberi kewajiban untuk mengurus dan mengelola kekayaan alam, termasuk pemanfaatanya, dan bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun demikian banyak kegiatan pengambilan kekayaan alam melalui pertambangan tanpa izin, sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, rakyat dan lingkungan. ketentuan sanksi pidana dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 belum efektif dalam kerangka memenuhi keadilan sosial yang menjamin pengembalian atas hak negara dan masyarakat untuk memperoleh manfaat atas kekayaan alam. Merujuk 3 (tiga) tujuan hukum, maka ketentuan tersebut telah memberikan kepastian hukum, namun belum dapat memenuhi rasa keadilan bagi negara dan masyarakat atas haknya yang hilang. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kewajiban pemulihan dan perbaikan atas dampak yang ditimbulkan oleh pertambangan tanpa izin. Asas restitutio in integrum merupakan salah satu asas hukum umum yang memiliki arti pemulihan pada kondisi semula. Kewajiban pengembalian ini harus diatur secara normatif dalam undang-undang pertambangan mineral dan batubara, sehingga dapat menjadi dasar legalitas bagi penegak hukum. Penerapan asas Restitutio In Integrum dalam kaitannya dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sangat penting. Penerapan asas restitutio in integrum akan membuka jalan bagi terciptanya keadilan sosial. Rumusan keadilan sosial dalam pembukaan UUD 1945 pasca perubahan menjadi terwujud secara tegas sebagai “suatu” yang sifatnya konkrit.

Article 33 Paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia states that the land, water and natural resources contained therein shall be under the control of the state and shall be used for the greatest prosperity of the people. For this reason, the state is given the obligation to administer and manage natural resources, including their utilization, and is responsible for improving the welfare of the people. However, there are many activities to extract natural resources through mining without a license, causing losses to the state, people and the environment. the provisions of criminal sanctions and fines as stipulated in Article 158 of Law No. 3 of 2020 have not been effective in fulfilling social justice that guarantees the return of the rights of the state and society to benefit from natural resources. Referring to the 3 (three) objectives of law, these provisions have provided legal certainty, but have not been able to fulfill a sense of justice for the state and society for their lost rights. Efforts that can be made are through the obligation to restore and repair the impacts caused by unlicensed mining. The principle of restitutio in integrum is one of the general legal principles that means restoration to its original condition. This return obligation must be normatively regulated in the mineral and coal mining law, so that it can be the basis of legality for law enforcement. The application of the Restitutio In Integrum principle in relation to social justice for all Indonesian people is very important. The application of the principle of restitutio in integrum will pave the way for the creation of social justice. The formulation of social justice in the preamble of the 1945 Constitution after the amendment becomes explicitly realized as a concrete "something"."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Satria Ilham Nugroho
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman dan penjelasan mengenai eksekusi restitusi dan kaitannya dengan prinsip restitutio in integrum. Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal, analisis kasus, dan komparasi. Prinsip restitutio in integrum merupakan pengembalian keadaan seperti semula sebelum terjadinya tindak pidana. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah terkait akibat hukum bagi terpidana yang tidak bersedia membayar restitusi dan kesesuaian eksekusi restitusi dengan prinsip restitutio in integrum. Restitusi di Indonesia diberlakukan, baik untuk tindak pidana umum, maupun tindak pidana khusus. Restitusi dalam tindak pidana umum diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, sementara tindak pidana khusus diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang masing-masing memiliki peraturan pelaksanaannya kecuali Undang-Undang tindak pidana kekerasan seksual. Restitusi merupakan salah satu hak korban untuk mendapatkan ganti rugi agar bisa memulihkan keadaan korban seperti sebelum terjadinya tindak pidana sesuai dengan prinsip restitutio in integrum. Oleh karena itu, dari awal proses peradilan hingga eksekusi, ketentuan terkait restitusi harus bisa mencerminkan prinsip restitutio in integrum.

This research was conducted with the aim of providing an understanding and explanation regarding the execution of restitution and its relationship to the principle of restitutio in integrum. This paper uses doctrinal research methods, case analysis, and comparison. The principle of restitutio in integrum is the return to the situation as it was before the crime occurred. The problems discussed in this research are related to the legal consequences for convicts who are unwilling to pay restitution and the suitability of the execution of restitution with the principle of restitutio in integrum. Restitution in Indonesia is applied to both general criminal offenses and specific criminal offenses. Restitution in general criminal offenses is regulated in the Law on Witness and Victim Protection, while specific criminal offenses are governed by the Law on the Eradication of Trafficking in Persons, the Law on Human Rights Courts, the Law on the Eradication of Terrorism, the Law on the Juvenile Justice System, and the Law on Sexual Violence Crimes, each of which has its own implementing regulations except for the Law on Sexual Violence Crimes. Restitution is one of the rights of victims to receive compensation in order to restore the victim's situation to what it was before the commission of the crime, in accordance with the principle of restitutio in integrum. Therefore, from the beginning of the legal process to execution, provisions related to restitution must reflect the restitutio in integrum principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi
"Artikel ini membahas environmental justice pada kawasan pertambangan emas di tambang Pongkor. PETI dianggap sangat merugikan lingkungan serta masyarakat sekitar. PETI sebagai polemik yang besar untuk masyarakat dan penambang itu sendiri karena membahayakan keselamatan serta lingkungan mereka, dimana penggunaan material berbahaya yang tidak mereka ketahui dampaknya, serta kurangnya pengetahuan tentang penambangan. Hasil analisis menunjukan bahwa PETI tambang Pongkor sebagai tindakan (1) melanggar peraturan yang ada dan regulasi lingkungan; (2) telah teridentifikasi dapat membahayakan lingkungan; dan (3) tindakannya asli dilakukan oleh manusia, sehingga hilangnya keadilan lingkungan. Karena pada dasarnya environemntal justice memastikan bahwa lingkungan hidup bebas dari bentuk pengerusakan, persamaan hak yang dimiliki oleh setiap individu untuk memanfaatkan lingkungan, memberikan proteksi terhadap lingkungan dari berbagai ancaman yang ada.

This article is going to examine environmental justice in Pongkor gold mining area using PETI study. PETI is considered disadvantageous for the environment. PETI is also considered as a polemic for both the local communities and the miners, as they have lack of knowledge in environmentally friendly mining techniques. The analysis shows that PETI Pongkor mine as action (1) may violate existing environmental regulations; (2) has identified as environmentally harmful; and (3) the act is done by human, so loss environmental justice. Because basically, environmental justice ensure that environment is free from degradation, have the equality of rights that every individual has to utilize th environment, and give protection from various threats."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Askin Harta Mulya
"Tesis ini membahas tentang penetapan status clear and clean pada izin usaha pertambangan (IUP) oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dengan melakukan analisa dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) dan peraturan lainnya yang terkait dengan analisa tersebut. Tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang. Hasil penulisan ini memberikan kesimpulan bahwa penetapan status clear and clean pada IUP telah sesuai dengan UU 4/2009 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan tersebut, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara selaku wakil Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada Pemerintah Daerah yang dijalankan melalui penetapan status clear and clean tersebut. Berbeda halnya dengan penerbitan sertifikat clear and clean dan menjadikan sertifikat clear and clean menjadi salah satu persyaratan tambahan dalam melaksanakan kegiatan pertambangan. Hal ini telah menciptakan akibat hukum baru yang mana tidak tercantum dalam UU 4/2009 dan bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan sebagai akibat daripada itu persyaratan sertifikat clear and clean dalam kegiatan pertambangan menjadi batal demi hukum. Kedua penetapan status clear and clean oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara c.q. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memperhatikan pada asas penyelenggaraan kepentingan umum, namun dalam penerbitan sertifikat clear and clean dan menjadikan persyaratan tambahan dalam kegiatan pertambangan, hal ini telah bertentangan dengan asas kepastian hukum dan asas kewenangan. Tesis ini menyarankan agar pembuat undang-undang menerbitkan peraturan yang memberikan payung hukum kepada penerbitan sertifikat clear and clean yang merupakan bagian dari penetapan status clear and clean pada izin usaha pertambangan dan selanjutnya Penulis menyarankan agar Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sebagai pemegang kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang melakukan pemeriksaan secara menyeluruh yang meliputi pemeriksaan administratif, teknis pertambangan di lapangan, faktor lingkungan dan finansial, yang mana kegiatan ini merupakan yang dipersyaratkan dalam undang-undang.

This thesis elucidates the stipulation of the clear and clean status of the mining business license (IUP) by the Directorate General of Mineral and Coal with the consideration to the provisions of the Law No. 4 Year 2009 (Law 4/2009) concerning Mineral and Coal Mining and other regulations that are related to such law. This thesis employs normative legal as its research method, using bylaw as the approach of the analysis. This thesis concluded that the clear and clean status on the IUP has a line with the Law 4/2009 jo. Government Regulation No. 55 Year 2010 concerning the Control and Supervision of the Mineral and Coal Mining Management. In such regulation, the Directorate General of Mineral and Coal as the government representative has been granted an authorization to conduct supervision toward the Local Governement that is conducted in the way of stipulation of the clear and clean status. In contrast with the issuance of the clear and clean certificate which effecting the clear and clean certificate as one of the additional requirement to perform the mining activities. This has created new norm that is not stipulated in the Law 4/2009 and violated Article 8 paragraph 2 of the Law No. 12 concerning the Establishment of Regulations and as the concequense of the regulation, the requirement of the clear and clean certificate in the mining activities turn out to be annulled. Secondly the stipulation of the clear and clean status by the Directorate General of Mineral and Coal has included the principle of governance to the public interest, however the issuance of the clear and clean certificate and causing such certificate to be the additional requirement in the mining activities had violated the principle of legal certainty and authorization. This thesis advises that the lawmaker to issue regulations that regulate the issuance of the clear and clean certificate as part of the clear and clean process on the mining business license and moreover the Author recommends to the Directorate General Mineral and Coal as the authorized authority by the law to conduct fully examination that comprise of administrative assessment, mining technical in the field, environmental elements and financial, whereby this assessments were required by the law."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Septiyani
"ABSTRAK
Kewenangan untuk menerbitkan Izin Usaha Pertambangan menjadi salah satu hal yang sangat penting dalam kegiatan pertambangan. Para pelaku usaha yang akan  melakukan kegiatan pertambangan harus menaati aturan-aturan yang ada agar terlaksananya penambangan yang baik. Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan kepada pelaku usaha agar terlaksananya kegiatan pertambangan yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis implementasi kewenangan pemberian IUP di Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara kepada informan terkait. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan teknik analisis data kualitatif.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kewenangan pemberian IUP di Provinsi Jawa Barat belum berjalan dengan maksimal. Adapun saran yang rekomendasikan adalah koordinasi serta sosialisasi kepada stakeholders agar pelaksanaan pemberian IUP berjalan lancar.

ABSTRACT
The authority to issue Mining Permits (Izin Usaha Pertambangan hereinafter abbreviated as IUP) is one of the most important requirements for businesses that conduct mining activities. Business actors who will carry out the mining activities must comply with existing regulations so that good mining is carried out. The Provincial Government is given the authority to issue IUP to the business actors so that the implementation of mining activities in accordance with applicable regulations. The purpose of this research is to analyse the implementation of authority in granting IUPs in the Province of West Java. The method that is used in this research is conducting interviews of relevant informants. This research uses the post-positivist approach with the method of qualitative data analysis. The result of this research shows that the implementation of authority in granting IUPs in the Province of West Java is not conducted optimally.  The recommendations as a result of this research is that there is a need for further coordination and socialisation towards stakeholders, so as to ensure that the granting of IUPs is conducted optimally and smoothly."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diny Arista Risandy
"ABSTRAK
Mediasi tidak lagi hanya digunakan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa di ranah perdata, melainkan dalam perkembangannya dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana tertentu. Mediasi sebagai alternatif model penyelesaian perkara pidana ini dikenal dengan istilah mediasi penal. Indonesia telah mengimplementasikan konsep mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yakni melalui Diversi dan dalam penanganan perkara-perkara pidana tertentu di tingkat penyidikan oleh aparat kepolisian. Namun demikian, masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia pada dasarnya juga telah menerapkan konsep mediasi penal sejak lama, Aceh menjadi salah satunya. Tinjauan Yuridis dalam penelitian ini difokuskan pada bagaimana mekanisme dan kedudukan mediasi penal di Aceh dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia serta kekuatan hukum hasil mediasi penal yang dijalankan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mediasi penal yang dijalankan di Aceh terintegrasi di dalam Peradilan Adatnya yang berasaskan musyawarah damai sesuai ajaran Islam, dimana Peradilan Adat ini merupakan tahap pendahuluan bagi penyelesaian perkara pidana tertentu. Apabila telah diupayakan penyelesaian di dalam Peradilan Adat namun tidak berhasil, maka pihak-pihak terkait dapat membawanya ke jalur Peradilan Formal Negara. Putusan yang dihasilkan oleh Peradilan Adat di Aceh memiliki kekuatan hukum yang mengikat langsung bagi para pihak yang telah menyatakan secara tegas menerima putusan tersebut.

ABSTRACT
Mediation is no longer used only for civil cases settlement, but has now been used for particular criminal cases settlement as well. Mediation as the alternative model of criminal cases settlement is known as penal mediation. Indonesia has implemented the concept of penal mediation in Juvenile Criminal Justice System through Diversion and in the dealing of particular criminal cases at the level of investigation by police officers. However, indigenous people in several areas in Indonesia basically have also implemented the concept of penal mediation since quite a long time, Aceh is one of them. Juridical review in this research is focused on how the mechanism and the position of penal mediation in Aceh in Indonesian Criminal Justice System are, also the legal force of the implementation of penal mediation in Aceh. This is a normative legal research which is conducted through literature and desk study. The results of this research show that the implementation of penal mediation in Aceh is integrated in their Customary Justice which is based on the principle of peaceful deliberation according to the teaching of Islam, where the Customary Justice they have is a preliminary stage for particular criminal cases settlement. If a settlement had been attempted through the Customary Justice but was unsuccessful, then the related parties could bring their cases for settlement through the Formal Justice. The decisions made by the Customary Justice in Aceh have a direct legal binding for the parties who have expressed their acceptance of the decisions explicitly."
2017
S65601
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Salim
"ABSTRAK
Pegadaian sebagai lembaga keuangan yang memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan sistem gadai dan lembaga pegadaian banyak memberikan pinjaman kepada masyarakat menengah ke bawah dengan jumlah pinjaman kecil. Tugas dari pegadaian adalah agar masyarakat terhindar dari sistem rentenir. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme peminjaman dalam lembaga pegadaian menurut perundang-undangan? Apakah penentuan bunga pegadaian mendasarkan pada prinsip keadilan? Dan apakah bunga pegadaian sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan bagaimana kendala yang terjadi? Penelitian ini merupakan penelitian yang sifatnya sosio-legal yang metode pengumpulan datanya adalah dengan wawancara dan juga penyebaran kuesioner kepada nasabah pegadaian. Penelitian ini mencoba menganalisis besaran tingkat bunga di beberapa lembaga pegadaian Indonesia dengan membandingkan dengan peraturan pegadaian yang ada negara Cina dan India. Mekanisme peminjaman di pegadaian baik berupa kriteria barang jaminan, taksiran, penebusan harus memperhatikan SEOJK 52/SOJK.05/2017. Tingkat bunga pegadaian yang mencapai 10 persen untuk setiap bulannya dipandang belum memenuhi rasa keadilan. Meskipun demikian, penerapan tingkat bunga pegadaian di Indonesia sudah sesuai dengan peraturan yang ada di Indonesia. Dalam menentukan besaran bunga pegadaian yang ada sekarang bagi pegadaian tidak terdapat kendala, namun besaran bunga yang telalu tinggi menjadi kendala bagi nasabah karena sebagian besar ekonomi mereka adalah menengah ke bawah, namun mereka tetap menggunakan pegadaian karena untuk memenuhi kebutuhan mereka.

ABSTRACT
Pawnshops as a financial institution that provides loans to the community with a pawn system and pawnshop institutions provides loans to the middle and lower classes with small loans. The task of pawnshops is for the community to avoid the loan shark's system. The problem in this study is how is the mechanism of lending in a pawnshop institution according to legislation? Is the determination of pawnshops based on the principle of justice? And is the pawnshop interest in accordance with the applicable regulations and how do the obstacles occur? This research is a socio-legal nature of the data collection method by interviewing and distributing questionnaires to pawnshops customers. This study tried to analyze the interest rates in several Indonesian pawnshops by comparing the pawnshop regulations in China and India. The mechanism of lending in pawnshops in the form of criteria for collateral, estimated, redemption must pay attention to SEOJK 52/SOJK.05/2017. Mortgage rates which reach 10 percent for each month are seen as not fulfilling a sense of justice. Nevertheless, the application of pawnshops in Indonesia is in accordance with the regulations in Indonesia. In determining the amount of pawnshops that are currently available for pawnshops there are no obstacles, but the high amount of interest is an obstacle for customers because most of their economy is middle to lower, but they still use pawnshops because to meet their needs."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tesa Sonia
"United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP) yang disahkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011 adalah dokumen normative pertama terkait isu bisnis dan hak asasi manusia. Sejak saat itu beberapa panduan internasional yaitu ISO 26000 on Social Responsibility, Organization of Economic Co-operation and Development?s Guidelines for Multi National Enterprises, dan United Nations Global Compact mengadopsi konsep bisnis dan hak asasi manusia tersebut sebagai salah satu subjek pokok dan membuat hak asasi manusia menjadi urusan bagi pebisnis.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah aplikasi dari konsep bisnis dan hak asasi manusia dalam praktek Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) yang dilakukan olehperusahaan-perusahaan pertambangan batubara Indonesia. Industri batubara diketahui memiliki risiko tinggi merusak atau bahkan menghancurkan lingkungan, dimana hal tersebut dapat membahayakan pemenuhan hak asasi manusia. Demi mencegah efek membahayakan tersebut maka penting untuk mencari tahu apakah perusahaan-perusahaan sudah melaksanakan CSR sesuai dengan panduan internasional. Ada empat perusahaan pertambangan batubara yang diteliti dalam penelitian ini yaitu PT. Arutmin Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, Pt. Nuansacipta Coal Investment, dan PT. Reswara Minergi Hartama.
Hasil penelitian praktek CSR dari setiap perusahaan akan diteliti kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan panduan internasional mengenai CSR untuk kemudian disimpulkan apakah perusahaan sudah menunjang dan melindungi prinsip-prinsip hak asasi manusia pada praktek CSR. Hasil akhir dari penelitian ini adalah menggambarkan kondisi CSR saat ini baik pengaturannya maupun pada prakteknya oleh perusahaan-perusahaan tersebut diatas, dimana hak asasi manusia belum terintegrasi dalam keduanya.

The United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP), endorsed by the United Nations in 2011, is the first normative document on the issue of business and human rights. Since then several international guidelines, namely the ISO 26000 on Social Responsibility, Organization of Economic Co-operation and Development?s Guidelines for Multi National Enterprises, and United Nations Global Compact adopted the concept into their the core subjects and making human rights corporate concern.
The issue discussed in this thesis is the application of concept of business and human rights in the practice of Corporate Social Responsibility (CSR) by Indonesian coal mining companies. Coal mining industry is known for its high risk of environmental damage and/or destruction, which may be detrimental towards the full enjoyment of other human rights. Therefore, to prevent the detrimental effect of this industry, it is important to seek whether the coal mining companies has conducted its CSR accordingly with the guidelines. There are four coal-mining companies studied this research, which are PT. Arutmin Indonesia, PT. Kaltim Prima Coal, PT. Nuansacipta Coal Investment, and PT. Reswara Minergi Hartama.
The result of the study upon the data obtained from the companies will then be compared with the prevailing CSR regulations and international guidelines to obtain whether the company has promote and protect human rights through their CSR. This research shall result in the comprehensive current condition of CSR in regulatory manner and in practice of the aforementioned coal mining companies where in both manner, human rights has yet being integrated.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64726
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Prabowo Rizky P.
"Skripsi ini membahas tentang bagaimana penerapan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 Diversi sebagai peraturan pelaksana Undang-undang No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya terhadap anak pelaku tindak pidana dalam tahap pemeriksaan pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menganalisis bagaimana keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan yang baru dapat terwujud dengan diterapkannya Peraturan Pemerintah tersebut dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.
Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut belum dapat mendorong penuh terwujudnya keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, karena masih terdapat hambatan yang berasal dari kekurangan para penegak hukum dalam memahami dan menerapkan peraturan yang ada, kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pelaksanaan diversi dan minimnya sarana pra-sarana penunjang pelaksanaan diversi di Indonesia. Oleh karena itu dalam penerapannya, Indonesia masih perlu untuk melakukan perbaikan dengan melakukan studi banding dengan negara-negara yang sudah menerapkan keadilan restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anaknya dan melakukan pelatihan khusus kepada para Penegak Hukum serta memberikan sosialiasi kepada Masyarakat tentang Diversi.

This thesis discusses about how the application of The Government Regulation No. 65 2015 about Diversion as the implementing regulation of Act No.11 2012 on the Indonesian Juvenile Criminal Justice System, especially against child offenders in the trial examination stage. This study uses qualitative methods and analyzes how restorative justice as a new punishment goal can be realized by the application of the Government Regulation in the Juvenile Justice System in Indonesia.
The results of this study indicate that such Government Regulation has not been able to fully encourage the realization of restorative justice in the Juvenile Criminal Justice System in Indonesia, because there are still obstacles derived from the shortcomings of law enforcement in understanding and applying the existing rules, lack of understanding of the importance of the implementation of diversion and the lack of facilities pre support infrastructure implementation of Diversion in Indonesia. Therefore, in its implementation, Indonesia still needs to make improvements by conducting comparative studies with countries that have implemented restorative justice in its Juvenile Criminal Justice System and conducting special training to Law Enforcement and providing socialization to the Society on Diversion Programme
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayat Hidayat
"Penggunaan pidana perampasan kemerdekaan telah banyak mendapat kritik tajam terutama bila dikaitkan dengan ekses negatif dari pidana tersebut. Pengaruh negatif semakin nyata apabila terhadap pelaku tindak pidana dikenakan pidana penjara pendek. Berbagai negara mulai mengkaji adanya alternatif lain untuk menghindari pidana penjara pendek. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan sebagai pengganti dijatuhkannya pidana penjara pendek adalah pidana bersyarat.. Di Indonesia sendiri pidana penjara jangka pendek yang dijatuhkan dapat dihindari terhadap pelaku tindak pidana, hal ini dikarenakan di dalam KUHP dikenal adanya pidana alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara jangka pendek yaitu pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a sampai 14f KUHP.
Adapun tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat, pelaksanaan pengamatan, pengawasan dan pembimbingan terhadap terpidana bersyarat dan model atau jenis yang diharapkan dari pelaksanaan putusan pidana bersyarat.Berdasarkan tujuan penelitiannya, maka penelitian ini akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan mengandalkan data primer yang berupa wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu dengan wawancara mendalam yang dikelompokan dalam beberapa narasumber, yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Bogor, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bekasi, Kejaksaan Negeri Cibinong dan Kejaksaan Negeri Bogor, Petugas Balai Pemasyarakatan Pada Balai Pemasyarakatan Bogor dan guru besar hukum pidana.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terdiri dari terdakwa melakukan tindak pidana ringan, adanya perdamaian antara terdakwa dan korban, usia dan kondisi fisik terdakwa, adanya pertimbangan bahwa tindak pidana terjadi karena korban, terdakwa tidak tahu telah melakukan tindak pidana, terdakwa memiliki tanggung jawab dan tanggungan dan telah adanya pengembalian kerugian yang timbulkan dari perbuatan terdakwa baik seluruhnya maupun sebagian, tidak berjalannya putusan pidana bersyarat dengan baik pengamatan dan pengawasan oleh Hakim wasmat, pengawasan oleh Jaksa dan pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan, model diharapkan dari pidana bersyarat yaitu adanya koordinasi antara Hakim, Jaksa dan Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan putusan pidana bersyarat.
Disarankan kepada hakim dalam hal putusan pidana yang hukumannya di bawah 1 (satu) tahun lebih mengutmakan pidana bersyarat dari pada pidana penjara, dan dalam penjatuhan pidana bersyarat selain menetapkan syarat umum hakim juga diharapkan menetapkan syarat khusus terhadap terpidana bersyarat, kemudian disarankan adanya penyerahan terpidana bersyarat oleh Jaksa ke Balai Pemasyarakatan untuk dilakukan pembimbingan.

The use of criminal liberty deprivation has get many sharp criticisms especially when associated with the negatives excesses of the criminal. Negative influence is more noticeable when the criminal offence charged short imprisonment. Many countries began to examine the existence other alternatives to avoid short imprisonment. One of the alternatives that can be offered as a replacement for the charge of short imprisonment is a probation. In Indonesia short imprisonment which charged can be avoid against the criminal offenders, as in the Criminal Code recognized the existence of alternative criminal from criminal liberty deprivation or short imprisonment which is probation regulated in the section 14 a to 14 f of the Criminal Code (KUHP).
As for the purpose of the research is to find out the consideration of judges to charge probation, execution of observation, supervision and guidance to the convicted person and the model or type of execution of probation. Based on the purpose this research, this research will use the method of normative research. As for the approach use qualitative approach by relying on primary data which is interview. Interview conducted by interviewing in depth that are grouped within some sources, the Judge in Bekasi District Court, Cibinong District Court and Bogor District Court, State Attorney in Bekasi, State Prosecutor Cibinong and Bogor, State Correctional Officers In Correctional Hall Bogor and Professor of criminal law.
The result of the research found that considerations of judges in charging probation consist of defendant do light crime act, the existence of peace between the defendant and the victim, the age and physical condition of the defendant, there is consideration that the crime occurred because the victim, the defendant did not know had committed a criminal offence, the defendant has a responsibility and a dependent and returning loss which impact from the act of the defendant in whole part or some part, the verdict of probation not going well in observation and supervision by the the judge supervisory and observer, observer by attorney and guidance by the Correctional Hall, the model which expected from probation is coordination between Judges, Attorneys and Correctional Hall in the execution of the verdict of probation.
It is suggested to the Judge in that case the verdict of the criminal punishment under one year more prioriting probation than imprisonment, and in addition to charge probation beside apply general terms of Judges also expected to apply special terms to convicted of probation, then suggested submission convicted of probation by Attorney to Correctional Hall to give them guidance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29507
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>