Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tesalonika Arinta Diasty
"Perlindungan terhadap hak ekslusif merek dapat digunakan ketika merek tersebut sudah berhasil terdaftar. Keberhasilan terdaftarnya suatu merek dipengaruhi oleh berbagai persyaratan yakni salah satunya berkaitan dengan uraian kelas merek dan barang dan/atau jasa yang dimohonkan serta berbagai larangan pendaftaran merek sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 UU Merek dan Indikasi Geografis. Akan tetapi sampai saat ini masih terdapat beberapa merek yang sejatinya melanggar ketentuan tersebut seperti penggunaan nama dan/atau lambang umum pada merek yang dimohonkan. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mengkaji legalitas pendaftaran suatu kata umum pada nama merek serta faktor-faktor seperti uraian barang dan/atau jasa ketika merek tersebut dimohonkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normative-yuridis yakni dengan melakukan penelaahan data sekunder yang menerangkan mengenai Merek, khususnya mengenai pendaftaran merek, hak ekslusif merek, penggunaan kata umum pada merek serta kaitanya pada kelas merek dan jenis barang atau jasa. Studi kasus yang akan dikaji adalah merek Es Teh Susu Nusantara milik PT Es Teh Indonesia, yang berhasil terdaftar meskipun menggunakan kata umum dan menjelaskan secara eksplisit kelas barang/jasa yang dimohonkan.

Protection of exclusive trademark rights can be used when the mark has been successfully registered. The success of registering a mark is influenced by various requirements, one of which relates to the description of the class of mark and goods and/or services being applied for as well as various prohibitions on mark registration as stipulated in Article 20 of the Law on Marks and Geographical Indications. However, until now there are still several brands that violate these provisions, such as the use of names and/or general symbols on the marks being applied for. Therefore, this study aims to examine the legality of registering a common word in a brand name and factors such as the description of goods and/or services when the mark is requested. The method used in this research is a normative-juridical research method, namely by examining secondary data that explains about the mark, especially regarding mark registration, brand exclusive rights, the use of common words for the mark and its relation to the brand class and the type of goods or services. The case study to be reviewed is the Es Teh Susu Nusantara brand owned by PT Es Teh Indonesia, which was successfully registered despite using a general word and explicitly explaining the class of goods/services being applied for."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aji Saka
"Skripsi ini membahas mengenai prinsip hukum “Genuine Use” dan “Pemakaian merek dalam perdagangan” sebagai dasar penghapusan Merek terdaftar yang tidak dipakai dalam perdagangan, menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, tidak ditentukan definisi dan kriteria sebagai penggunaan Merek dalam perdagangan. Prinsip “Genuine Use” adalah terminology dari Hukum Merek Uni Eropa yang memberikan kriteria, serta syarat penentuan sebuah Merek digunakan dalam perdagangan dengan prinsip “Genuine Use”. Merek dilindungi untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan badan hukum, dalam kegiatan perdagangan barang dan/ atau jasa. Sehingga, atas ketidakpakaian Merek terdaftar tersebut, menghalangi pihak lain, yang dengan itikad baik untuk mendaftarkan dan menggunakan Mereknya dalam perdagangan. Ketentuan dari peraturan perundang-undangan Merek yang sudah ada, tidak memberikan definisi dan kriteria yang jelas mengenai pemakaian merek dalam perdagangan terhadap barang dan/atau jasa. Sehingga, hal tersebut membuat banyak interpretasi hukum dan menghasilkan ketidakpastian hukum.

This thesis discusses the legal principles of "Genuine Use" and "Use of trademarks in trade" as the basis for the deletion of registered trademarks that are not used in trade, according to Law no. 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications. Law Number 20 of 2016 concerning Marks and Geographical Indications, provides no definitions and criteria for the use of Marks in trade. The principle of "Genuine Use" is a terminology from the European Union Trademark Law which provides the criteria, as well as the conditions for determining a Mark to be used in trade with the principle of "Genuine Use". Marks are protected to distinguish goods and/or services produced by individuals or legal entities, in the activities of trading goods and/or services. Thus, for the non-use of the registered Mark, it prevents other parties, who in good faith, from registering and using their Mark in trade. The provisions of the existing Mark laws and regulations do not provide clear definitions and criteria regarding the use of marks in the trade of goods and/or services. Thus, it creates many legal interpretations and results in legal uncertainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Syah
"Perkembangan perdagangan yang meningkat pesat telah meningkatkan nilai suatu Merek bagi Para pelaku usaha. Merek bukan sekadar alat pembeda namun telah menjadi aset yang berharga. Untuk itu perlindungan hukum terhadap Merek bagi pelaku usaha sangat penting. Upaya mendapatkan perlindungan tersebut dilakukan dengan melakukan pendaftaran Merek di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Namun tidak semua pendaftaran dapat diterima karena ketentuan dalam Undang-undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Untuk memberikan upaya hukum yang maksimal maka dapat dilakukan banding terhadap penolakan pendaftaran Merek melalui Komisi Banding Merek. Komisi Banding Merek diatur berdasarkan Pasal 33 Undang-undang No 15 Tahun 2001 Tentang Merek, yang teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2005 Tentang Susunan organisasi, Tugas, dan Fungsi Komisi Banding Merek. Dalam ketentuan tersebut, Komisi Banding Merek merupakan badan khusus yang independen namun dalam pelaksanaannya belum dapat sepenuhnya terlepas dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Komisi Banding Merek ditinjau dari fungsi dan tugasnya, temyata bertugas layaknya pengadilan sehingga Komisi Banding Merek dapat dikategorikan sebagai peradilan semu, yaitu tidak seratus persen merupakan badan peradilan murni yang termasuk kekuasaan Kehakiman, tetapi juga tidak seratus persen merupakan organ administratif sebab memiliki tugas untuk menyelesaikan suatu sengketa Komisi Banding Merek ini secara struktural organisatoris masih merupakan bagian dalam unsur pemerintah, sehingga putusan yang diambil oleh Komisi Banding Merek masih dapat digugat dalam suatu Peradilan murni. Dalam kaitannya dengan good governance, Komisi Banding Merek harus dilaksanakan sama dengan tuntutan terhadap Pengadilan pada umumnya yaitu berdasarkan pada asas peradilan yang babas, mandiri atau independen, tidak memihak (imparsial), memiliki akuntabilitas, kompeten (berkualitas), cepat dan sederhana. Untuk mewujudkan hal tersebut maka mereka yang akan ditempatkan sebagai anggota dari Komisi Banding Merek harus memiliki sumber daya manusia yang baik sehingga anggota Komisi Banding Merek dapat bersikap profesional."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14538
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shabrina Defi Khansa
"Perdagangan internasional merupakan faktor penting bagi setiap negara menuju era global yang makin kompetitif. Kehadiran World Trade Organization (WTO) diharapkan dapat mewujudukan ketertiban dan keadilan dalam perdagangan internasional. Salah-satu elemennya adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang telah diatur oleh WTO dalam Perjanjian TRIPS. Merek sebagai bagian HKI yang bernilai aktual dan signifikan dalam bisnis. Pengaturan merek, termasuk hak pemilik merek, menjadi problem krusial ketika terjadi pembatasan atas penggunaan (Right-to-Use) dalam perdagangan internasional, karena diprioritaskannya kepentingan umum. Contohnya adalah kasus gugatan Indonesia pada 2015 atas kebijakan kemasan polos rokok (tobacco plain packaging) di Australia telah kandas dalam putusan WTO pada 2018. Terdapat juga kasus-kasus lain yang dipicu kebijakan pembatasan Right-to-Use merek oleh negara yang mewarnai perdagangan internasional. Isyu ini menarik, karena secara yuridis terjadi perdebatan pro dan kontra atas tindakan sepihak negara tersebut. Dalam skripsi ini, penulis berkeinginan untuk mempelajari bagaimana terjadi benturan kepentingan antara pengaturan dan pembatasan Right-to-Use dalam perspektif Perjanjian TRIPS, dengan juga melihat peraturan nasional dan praktik yang berkembang. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dilakukan pengumpulan data sekunder untuk mencari norma hukum dalam perjanjian internasional, doktrin ahli hukum, dan putusan lembaga. Bagaimana interpretasi peraturan, apa kaitan dengan pendaftaran, apa kategori hak, bagaimana justifikasi pembatasan, sebagai fokus akhir. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kepentingan umum termasuk kepentingan kesehatan masyarakat memang sudah seharusnya menang. Kebijakan pembatasan Right-to-Use merek dalam bingkai ini menjadi rekomendasi bagi Indonesia dan negara lain yang ingin menciptakan perdagangan internasional yang tertib dan adil.

International trade is an important factor for every country towards an increasingly competitive global era. The presence of the World Trade Organization (WTO) is expected to realize order and justice in international trade. One of the elements is Intellectual Property Rights (IPR), which have been regulated by the WTO in the TRIPS Agreement. Trademark as part of IPR that have actual and significant value in business. Trademark regulation, including the Right-to-Use of trademark owners, becomes a crucial problem when there are restrictions on Right-to-Use in international trade, because the public interest is prioritized. As an example is the Indonesian lawsuit case in 2015 over the tobacco plain packaging policy in Australia which had failed in the WTO ruling in 2018. There were also other cases triggered by the states Right-to-Use of trademark restriction policy that colored international trade. This issus is interesting, because juridically there is a pro and counter debate over the unilateral actions of the country. In this paper, the author intends to study how there is a conflict of interest between the regulation and limitation of Right-to-Use in the perspective of the TRIPS Agreement, by also looking at national regulations and developing practices. By using normative legal research methods, secondary data collection is carried out to find legal norms in international agreements, legal experts doctrines, and institutional decisions. What is the interpretation of regulations, what is the connection with registration, what category of rights, how is the justification of restrictions, as the final focus. The results of the analysis show that the public interest including the interests of public health is indeed supposed to win. The Right-to-Use limitation policy in this frame is a recommendation for Indonesia and other countries that want to create orderly and fair international trade. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Windiharto
"Pengaturan tentang merek di Indonesia telah mengalami empat kali perubahan dengan penggantian undang-undang, UU merek Kolonial tahun 1912, Undangundang nomor 21 tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan kemudian melakukan penyesuaian dengan perjanjian Internasioanal mengenai Aspek-aspek yang terkait dengan perdagangan dan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs)-GATT, Pemerintah melakukan pembaharuan dengan mengeluarkan UU nomor 14 tahun 1997 dan Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek adalah merupakan UU Merek yang terakhir. Merek telah menjadi kepedulian Negaranegara di dunia. Perubahan yang dilakukan terhadap Undang-undang ini adalah sebagai kontribusi Indonesia di dalam pergaulan ekonomi Negara-negara di dunia dan karenanya Indonesia adalah Negara yang diperhitungkan dalam sistem tatananan perekonomian dunia. Sejak dilakukannya perubahan Undang-undang merek pada tahun 1997, sistem yang digunakan adalah sistem konstitutif, prinsip first to file ini diartikan bahwa perlindungan terhadap suatu merek dilakukan apabila merek tersebut sudah terdaftar dengan kata lain bahwa merek tidak terdaftar tidak mendapatkan perlindungan. Meski demikian, pada suatu kondisi dimana pemilik merek tidak terdaftar dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik merek, pihak pemilik merek tidak terdaftar dapat melakukan upaya upaya hukum yang memenuhi syarat formal untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah pemilik merek. Sebab dibatalkannya suatu merek adalah apabila dapat dibuktikan bahwapemilik merek terdaftar beritikad tidak baik dan hal-hal lain yang diatur oleh undang-undang. Suatu kondisi dimana para pihak yang bersengketa memiliki perbedaan dalam menafsirkan undang-undang maka dibutuhkan peran pengadilan dalam memutus suatu perkara yang berdasar pada sifat undang-undang itu sendiri, melindungi dan adil memperlakukan semua pihak.

The regulation of brand inIndonesia has been changedfour times through amendment of statutes. The regulation commenced with Act1912Colonialbrand, Act No.21of 1961on Corporate Brand and Brand of Commerce it was then adjusted to the International treaty on aspects related to trade and Intellectual Property Rights (TRIPs) - GATT. Indonesian Government had issued a renewal of the Act No.14 of 1997 and ActNo.15of 2001 regarding brand as the last Trademark Laws in Indonesia. Brand is a concern for countries in the world. Amendment of Brand Act is as an Indonesian contribution to economic relationships within countries in the world. Because of Indonesia‟s contribution, Indonesia matters a lot in the world economic order system. Indonesia Brand Laws using constitutive system started from 1997 amendment.The first to file principle is recognized a legal protection on a brand after registration, which means that an unregistered brand do not have legal protection. In spite of that in particular conditions that the owners of unregistered brand have evidences proving that they are the owner of the right of registered brand can take a legal action as formally required by the law to get their right.Indonesia Brand laws regulating file of brand cancellation in several chapters, cancellation of a registered brand if it‟s proven that owner of a registered brand have a bad faith in the process of registering of brand and other indicators of cancellation as regulated by the law. In regards of discrepancies of law interpretation in a dispute case, a court is required to intervene to give a fair conclusion as nature of law itself, giving protection and equal treatment before the law.All parties have equal legal standing before the law as adage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
St. Paul: Thomson/West, 2010
340 GLO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S25822
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2008
S24432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>