Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jimmy Tesiman
"Pendahuluan: Infeksi HIV menyerang pusat kontrol dari sistem imun yang mengakibatkan terjadinya infeksi oportunistik, keganasan dan kematian. Disregulasi dari sistem imun memegang peranan penting dalam progresifitas penyakit HIV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pasien-pasien HIV mempunyai kecendrungan untuk menderita penyakit alergi seperti sinusitis, asma dan dermatitis atopik. Juga dilaporkan terjadinya peningkatan kadar serum imunoglobulin E dan peningkatan prevalensi atopi. Tujuan Penelitian: 1. Diketahuinya angka kejadian atopi pada pasien HIV dan non HIV. 2.Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin, penggunaan obat intravena, riwayat alergi di keluarga dan jurnlah limfosit CD4 dengan kejadian atopi. 3. Diketahuinya korelasi antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar IgE total Metode Penelitian: Dilakukan penelitian potong lintang terhadap 92 orang dengan infeksi HIV / AIDS dan 90 orang non HIV. Adanya atopi dinyatakan berdasarkan pemeriksaan uji tusuk kulit dengan menggunakan enam macam aeroalergen yang umurn di lingkungan. Terhadap pasien-pasien dengan HIV/AIDS yang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan ELISA 3 kali ataupun pemeriksaan Western Blot dilakukan pemeriksaan kadar imnuoglobulin E total, jumlah limfosit CD4 serta dilakukan pengambilan anamnesis. Hasil Penelitian: Dari sembilan puluh dua pasien dengan infeksi mv dan sembilan puluh orang non HIV yang diteliti, didapatkan terdiri atas 65 laki-laki (70.7%) dan 27 perempuan (29.3%) pada kelompok HIV, sedangkan pada kelompok non HIV terdiri atas 40 laki-laki (44.4%) dan 50 wanita ( 55.6%). Umur subjek penelitian berkisar antara 20 sampai dengan 55 tahun dengan rerata 29.325.7 tahun pada kelompok HIV, sedangkan rerata umur kelompok kontrol adalah 27.9 ± 4.5 tahun. Berdasarkan rute transmisi HIV didapatkan sebanyak 52 orang adalah pengguna obat-obatan intravena (56.5%), 35 orang melalui transmisi seksual (38%) sedang sisanya 5 orang (5.5%) mempunyai risiko keduanya. Jumlah limfosit CD4 berkisar 2 sampai 674 selluL dengan median 160 selluL. Kadar imunoglobulin E total berkisar dari 3 sampai dengan 20.000 IU/mL dengan median 283.5 ID/mL. Lima puluh orang dengan HIV dinyatakan atopi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001) Aeroalergen tersering yang menimbulkan sensitasi adalah D farinae sebanyak 50% dan D pteronyssinus (30%). Kami juga mendapatkan adanya korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunoglobulin E total. Kami tidak mendapatkan hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, rute transmisi, riwayat alergi di keluarga serta jumlahlimfosit CD4 dengan kejadian atopi. Kesimpulan: Terjadi peningkatan prevalensi atopi pada pasien-pasien dengan HIV/AIDS serta terdapat korelasi negatif yang bermakna antara jumlah limfosit CD4 dengan kadar imunogobulin E total. Oleh karena itu merupakan hal yang penting untuk melakukan evaluasi status atopi pasienHIV I AIDS untuk mencegah timbulnya penyakit alergi pada pasien terse but yang dapat mempercepat progresifitas penyakitnya melalui disregulasi dari sistem imun.

Background: HIV infection attacks the centre of immune control system resulting opportunistic infection, malignancy and death. Dysregulation immune system plays the central role in the progression of the disease. Some studies have reported HIV -infected patient prone to have allergic disease such as sinusitis, asthma and atopic dermatitis. Elevated serum immunoglobulin E (Ig E) and increased prevalence of atopy also had been reported in HIV infected patient Objective: I.To determine and compare the prevalence of atopy among HIV infected/AIDS patient with non HIV patients and investigate its predictors. 2. To investigate the relationship between CD4 cell count, Ig E level and atopy Methods: A cross sectional method study was performed to 92 HIV infected/AIDS patient and 90 non HIV patients. They were studied for the presence of atopy based on the immediate hypersensitivity to six common aeroallergens by skin prick test. CD 4 cell count, total serum immunoglobulin level and medical history were taken. The HIV infected patients had been confirmed by the presence of antibody determined by ELISA method done three times or by western blot methods. Result: Ninety-two HIV infected patients and ninety non HIV patients had been studied, they were 65 males (70.7%) and 27 female (29.3%) in HIV arm and 40 males (44.4%), 50 females (55.6%) in non mv group. Subject's age between 20 to 55 years old. (mean: 29.3±5.7years) in HIV ann and 27.9 ± 4.5 years old in control group. Belonging to HIV route transmission: 52 intravenous drug users (56.5%), 35 heterosexual partners of HIV infected patients (38%) and 5 subjects who have both risks (5.5%). CD4 cell count of the subjects range from 2 to 674 cells, median 160 cellslmm3 . The total of immunoglobulin E level range from 3 to 20,000 IU/mL with median 283.5 IU/mL. 50 subjects with HIV + were identified as atopic higher than in non HIV (54.3% vs 30%, p= 0.001). The most common aeroallergen is D farinae (50% subjects of atopy shown positive result) and D pteronyssinus (30%). We also found a significant negative correlation between CD4 count and Total immunoglobulin E level (r= -0.544, p=O.OOO), but there is no relationship between gender, allergic history in family, route of transmission, and CD4 count with atopy. Conclusion: There is an increase prevalence of atopy among HIV I AIDS patients and negative correlationship between CD4 count and total Imunnoglobulin E level. It is important to evaluate the atopic state in HIV patient to prevent the patients from allergic diseases which could accelerate HIV infection by dysregulation of immune system."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T57662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estie Puspitasari
"Latar Belakang: Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Pengetahuan tentang karakteristik dan prediktor mortalitas dapat membantu dalam penatalaksanaan pasien. Penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor prediktor mortalitas di Indonesia belum ada.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor mortalitas pasien HIV/AIDS dewasa yang dirawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien rawat inap dewasa RSCM yang didiagnosis HIV/AIDS selama tahun 2011-2013. Data klinis dan laboratorium beserta status luaran (meninggal atau hidup) dan penyebab mortalitas selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada tujuh variabel prognostik, yaitu jenis kelamin laki-laki, tidak dari rumah sakit rujukan, tidak pernah/putus terapi antiretroviral (ARV), stadium klinis WHO IV, kadar hemoglobin <10 g/dL, kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 dan kadar CD4+ ≤200 sel/µL. Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Dari 606 pasien HIV/AIDS dewasa yang dirawat inap (median usia 32 tahun; laki-laki 64,2%), sebanyak 122 (20,1%) baru terdiagnosis HIV selama rawat dan 251 (41,5%) dalam terapi ARV. Median lama rawat adalah 11 (rentang 2 sampai 75) hari. Sebanyak 425 (70,1%) pasien dirawat karena infeksi oportunistik. Mortalitas selama perawatan sebesar 23,4% dengan mayoritas (92,3%) penyebabnya terkait AIDS. Prediktor independen mortalitas yang bermakna adalah stadium klinis WHO IV (OR=6,440; IK 95% 3,701 sampai 11,203), kadar hemoglobin <10 g/dL (OR=1,542; IK 95% 1,015 sampai 2,343) dan kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 (OR=3,414; IK 95% 1,821 sampai 6,402).
Simpulan: Proporsi mortalitas selama perawatan sebesar 23,4%. Stadium klinis WHO IV, kadar hemoglobin <10 g/dL dan kadar eGFR <60 mL/min/1,73 m2 merupakan prediktor independen mortalitas pasien HIV/AIDS dewasa saat rawat inap.

Background: Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) is a big problem that threatening in Indonesia and many countries in the world. The knowledge on the characteristics and prediction of outcome were important for patients management. There are no studies on the predictors of mortality in Indonesia.
Objective: To determine the predictors of mortality in hospitalized adult patients with HIV/AIDS in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
Methods: We performed a retrospective cohort study among hospitalized adult patients with HIV/AIDS in Cipto Mangunkusumo Hospital between 2011-2013. Data on clinical, laboratory, outcome (mortality) and causes of death during hospitalization were gathered from medical records. Bivariate analysis using Chi- Square test were used on the seven prognostic factors (male sex, not came from referral hospital, never/ever received antiretroviral therapy (ART), WHO clinical stage IV, hemoglobin level <10 g/dL, eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 and CD4+ count ≤200 cell/µL). Multivariate logistic regression analysis was performed to identify independent predictors of mortality.
Results: Among 606 hospitalized HIV/AIDS patients (median age 32 years; 64.2% males), 122 (20.1%) were newly diagnosed with HIV infection during the hospitalization and 251 (41.5%) on ART. Median length of stay was 11 (range 2 to 75) days. There were 425 (70.1%) patients being hospitalized due to opportunistic infection. In-hospital mortality rate was 23.4% with majority (92.3%) due to AIDS-related illnesses. The independent predictors of mortality in multivariate analysis were WHO clinical stage IV (OR=6.440; 95% CI 3.701 to 11.203), hemoglobin level <10 g/dL (OR=1.542; 95% CI 1.015 to 2.343) and eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 (OR=3.414; 95% CI 1.821 to 6.402).
Conclusions: In-hospital mortality rate was 23.4%. WHO clinical stage IV, hemoglobin level <10 g/dL and eGFR level <60 mL/min/1.73 m2 were the independent predictors of in-hospital mortality among hospitalized patients with HIV/AIDS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Veronika Jenny
"Kasus AIDS semakin banyak terjadi di Indonesia dan diperburuk dengan berbagai macam penyakit infeksi komorbidnya. Hasil penelitian 108 pasien diperoleh 50,9% memiliki infeksi komorbid hepar. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional analitik dengan data sekunder rekam medik pasien rawat inap RSCM pada tahun 2010. Hasil beberapa faktor yang diteliti adalah responden laki-laki terbanyak (51 orang), rentang usia terbanyak 25-49 tahun (52 orang), dan faktor resiko penularan pada penggunaan jarum suntik (22 orang). Dengan chi-square diperoleh hubungan bermakna pada jenis kelamin (p<0,05). Ditinjau dari nilai index massa tubuh diperoleh rerata nilainya adalah 18,6 kg/m2, dan nilai rerata hitung CD4+ absolute sebesar 46 sel/dL, namun hanya nilai CD4+ absolute memiliki hubungan bermakna pada uji mann-whitney (p<0,05).

AIDS cases are increasing in Indonesia and this infections are so bad with comorbid infections. From the result of this study, there are 50.9% in 108 patients that have comorbid hepar infection. This study was designed by cross-sectional analytic metode by using medical records of patients hospitalized in RSCM in 2010. From the factors that studied, the results are respondents with hepar infection, most are male sex (51 people), in the range 25-49 years (52 people), and the risk factor in intravena drug using (22 people). With chi-square, sex is related with hepar infection in respondents (p<0,05). In Body Mass Index of the respondents, the mean of the value is 18,6 kg/m2, and the mean of CD4+ absolute value is 46 cells/dL, but only the value of CD4+ absolute has related with hepar infection in mann-whitney test (p<0,05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Afrita
"Kasus HIV/AIDS dan kematian akibat infeksi oportunistiknya di Indonesia terus bertambah, sehingga merupakan suatu masalah kesehatan. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi penyakit infeksi otak pada pasien HIV/AIDS di RSCM. Desain penelitian ini cross sectional dan terdapat 108 sampel yang diambil secara acak. Data dari Rekam Medik RSCM diolah menggunakan SPSS dan diuji dengan chi-square, Kolmogorov-Smirnov, dan Mann Whitney. Dari hasil penelitian ini ditemukan 35 orang (32,4%) pengidap HIV/AIDS dengan infeksi otak komorbid. Pasien dengan infeksi otak ini terbanyak laki-laki (27 orang, 77,1%), dengan rentang usia terbanyak 25-49 tahun (32 orang, 91,4%), dan faktor risiko penularan terbanyak melalui jarum suntik (15 orang, 42,9%). Indeks Massa Tubuh sebagian besar pasien tergolong kurang (median 17,6) dan hitung CD4+ absolut rendah (median 29). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara infeksi otak pada pasien dengan jenis kelamin, rentang usia, faktor risiko penularan, Indeks Massa Tubuh, dan hitung CD4+ absolut. Disimpulkan prevalensi infeksi otak komorbid terjadi pada 32,4% pasien HIV/AIDS dan tidak berhubungan dengan karakteristik pasien.

HIV/AIDS cases and deaths caused by opportunistic infections in Indonesia are increasing and make it as health problem. This study aims at knowing the prevalence of co-morbid brain infection in HIV/AIDS patients in RSCM. The method of this study is cross sectional and there are 108 samples taken randomly. Data from RSCM Medical Record was processed using SPSS and was tested by chi-square, Kolmogorov-Smirnov, and Mann Whitney test. The results showed there was 35 patients (32,4%) of the HIV/AIDS patients had brain infection. Most of them were men (27 patients, 77,1%), in a range of 25-49 years old (32 patients, 91,4%), and the majority of transmission risk factors is using needles (15 patients, 42,9%). The Body Mass Index in nearly all of them is low (median 17,6) and absolute CD4+ count in most of them also low (median 29). There is no significant difference between the patient?s brain infection with gender, range of age, transmission risk factors, Body Mass Index, and absolute CD4+ count. In conclusion, co-morbid brain infection found in 32,4% of HIV/AIDS patients and has no relation with patients' characteristics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maryatun
"Latar Belakang: Penggunaan terapi antiretroviral (ARV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita HIV/AIDS. Namun penggunaan ARV juga sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dalam berbagai manifestasi dan gradasi, mulai dari yang ringan sampai potensial mengancam nyawa. Pemahaman tentang prediktor kejadian reaksi hipersensitivitas dapat membantu klinisi dalam menatalaksana pasien HIV/AIDS sehingga memberikan luaran klinis yang lebih baik.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor prediktor terjadinya reaksi hipersensitivitas pada penggunaan obat nevirapin dan efavirenz pada penderita HIV/AIDS di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif pada pasien HIV/AIDS rawat jalan di UPT HIV RSCM selama Januari 2004 sampai Desember 2013. Status demografik, data klinis dan laboratorium diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat menggunakan uji Chi-Square dilakukan pada prediktor dengan data nominal dan Uji Mann Whitney pada prediktor dengan data numerik. Adanya data yang tidak lengkap diatasi dengan teknik multiple imputation. Semua variabel yang memenuhi syarat akan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil: Total subjek yang mendapat terapi ARV baik sebagai terapi pertama kali (naïve patient) atau substitusi pada kelompok nevirapin berjumlah 2.071 subjek dan efavirenz 1.212 subjek. Insiden terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin dan efavirenz adalah sebesar 14%, dan 4,5%. Insiden kejadian reaksi hipersensitivitas silang adalah 5%. Prediktor reaksi hipersensitivitas yang bermakna pada analisis multivariat adalah prediktor terkait penggunaan nevirapin, yaitu jenis kelamin perempuan (OR=1,622; IK95% 1,196-2,199; p=0,002), CD4+ awal >200 sel/mm3 (OR=1,387; IK95% 1,041-1,847; p=0,025), koinfeksi dengan hepatitis C (OR=1,507; IK95% 1,138-1,995; p=0,004), dan kadar SGPT awal >1,25 kali batas atas nilai normal (OR=1,508; IK95% 0,998-2,278; p=0,051). Sedangkan prediktor reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan efavirenz tidak ada yang memiliki kemaknaaan secara statistik.
Simpulan: Jenis kelamin perempuan, jumlah CD4+ awal >200 sel/mm3, koinfeksi dengan hepatitis C dan kadar SGPT awal yang abnormal merupakan prediktor independen terjadinya reaksi hipersensitivitas terkait penggunaan nevirapin pada pasien HIV/AIDS.

Background: ARV therapy decreases morbidity and mortality in AIDS/HIV patients. Beside its benefits, ARV therapy induces hypersensitivity reactions manifesting in various level of severity from mild to life threatening symptoms. Understanding the predictors of hypersensitivity reaction will help clinicians to manage HIV/AIDS patients particularly in anticipating the risks that will give better clinical outcomes.
Objectives: To determine the predictors of hypersensitivity reactions in nevirapine and efavirenz administration among HIV/AIDS patients in RSCM .
Methods: This is a cohort retrospective study in patients with HIV/AIDS in UPT HIV RSCM during January 2004 to December 2013. Demographic status, clinical and laboratory data are obtained from medical records. Bivariate analysis using Chi-Square test performed on nominal data and Mann Whitney test on numeric data. Incomplete data is resolved by multiple imputation techniques. All eligible variables analyzed with multivariate analysis using logistic regression.
Results: There are 2.071 naïve patients or substitution regiment in nevirapine group and 1.212 subjects in efavirenz group. Hypersensitivity reaction incidence in nevirapine and evafirenz group are 14% and 4.5% consecutively. Cross hypersensitivity reaction incidence between these drugs is 5%. Hypersentivity reaction predictors associated with nevirapine administration are female gender (OR=1,622; 95%CI 1,196-2,199; p=0,002), baseline CD4+ absolute count >200 cells/mm3 (OR=1,387; 95%CI 1,041-1,847; p=0,025), hepatitis C coinfection (OR=1,507; 95%CI 1,138-1,995; p=0,004), and baseline ALT level > 1.25 x ULN (OR=1,508; 95%CI 0,998-2,278; p=0,051), but there is no predictors associated statistically significant with efavirenz hypersensitivity reaction.
Conclusion: Female gender, baseline CD4 absolute count >200 cells/mm3, hepatitis C coinfection and baseline ALT level > 1.25 x ULN are independent predictors for hypersensitivity reaction due to nevirapine usage in HIV/AIDS."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian
"Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan psikiatri yang lazim ditemukan pada pasien HIV/AIDS dan dihubungkan dengan berbagai faktor. Namun, studi ini belum pernah dilakukan di Indonesia, padahal studi ini penting untuk diteliti untuk menentukan faktor-faktor yang harus diintervensi sehingga terbentuk pelayanan yang optimal terhadap pasien HIV. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ide bunuh diri dengan faktor-faktor yang memengaruhinya pada pasien HIV/AIDS. Metode penelitian adalah dengan cross-sectional. Subjek dikumpulkan sebagai sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Kriteria inklusi adalah orang dewasa berusia 18-65 tahun dengan diagnosis HIV/AIDS yang sedang menjalani pengobatan ARV di Poliklinik Khusus HIV/AIDS RSCM. Analisis data bivariat menggunakan uji Chi-square dan Fisher exact test, serta analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Dari total 86 subjek, 20 23,3 diantaranya memiliki ide bunuh diri. Melalui uji Chi-square, hubungan terbukti bermakna pada 5 variabel, yaitu depresi p=0,000, ansietas p=0,001, tidak menikah p=0,007, jumlah CD4.
Suicide is a psychiatric emergency commonly found in HIV AIDS patients and is associated with various factors. However, this study has not been conducted in Indonesia. Besides, this study is important to determine the factors which must be intervened to establish optimum service for HIV AIDS patients. The aim of this study is to find the association between suicidal ideation and its determinant factors in HIV AIDS patients. Observational study with cross sectional method was conducted. Samples were collected using consecutive sampling technique. The inclusion criteria were adults aged 18 65 with HIV AIDS diagnosis and currently undergoing ARV treatment at Poliklinik Khusus HIV AIDS RSCM. Univariate analysis was performed using Chi square and Fisher exact test, while multivariate analysis was performed using logistic regression test. Of the total 86 subjects, 20 23.3 had suicidal ideation. Chi square test proved significant association on 5 variables depression p 0,000, anxiety p 0,001, being unmarried p 0,007, CD4 count."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gabriela Ellenzy
"Kemajuan teknologi medis dan informasi mengenai terapi antiretroviral (ART) menyebabkan pasien HIV memiliki angka harapan hidup yang meningkat. Di sisi lain, angka harapan hidup yang meningkat ini juga perlu diselaraskan dengan kualitas hidup yang baik. Pada populasi pasien HIV terdapat risiko mengalami gangguan neurokognitif sehingga berdampak terhadap kualitas hidupnya. Penelitian ini bermaksud untuk mengidentifikasi faktor yang memengaruhi penurunan fungsi kognitif yang terdapat pada pasien HIV/AIDS di Pokdisus RSCM. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang dari Mei 2022 hingga Desember 2023. Sampel penelitian adalah pasien HIV/AIDS dewasa di Pokdisus RSCM. Sebanyak 121 subjek terpilih berdasarkan simple random sampling. Analisis regresi linear dilakukan untuk menilai faktor risiko gangguan fungsi kognitif. Dari 121 subjek, mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki, dengan rerata usia 40,25 (SD ± 8,42). Prevalensi gangguan kognitif pada pasien dewasa dengan HIV/AIDS di Pokdisus RSCM yakni sebesar 55,4% dengan faktor risiko yang berhubungan memengaruhi rerata skor MOCA-INA yakni faktor durasi inisiasi terapi, yakni satu tahun keterlambatan inisiasi pengobatan ART dapat menurunkan skor MOCA-INA sebesar -0,3 poin. Temuan lainnya yakni kondisi meningitis secara signifikan memengaruhi gangguan kognitif pada HIV. Dari hasil analisis multivariat, meningitis menurunkan skor MOCA-INA sebesar 2,629 poin. Program untuk penapisan gangguan kogntif dapat dilakukan pada pasien HIV secara berkala.

The advancement of medical technology and information regarding antiretroviral therapy (ART) have led to an increased life expectancy among HIV patients. This improved life expectancy needs to be aligned with a good quality of life. In the population of HIV patients, there is a risk of experiencing neurocognitive disorders that can impact the patients' quality of life. This research aims to identify factors influencing the decline in cognitive function in HIV/AIDS patients at the Pokdisus RSCM. The study was conducted with a cross-sectional design from May 2022 to December 2023. The research sample was adult HIV/AIDS patients at Pokdisus RSCM. Out of 121 subjects, the majority of respondents were male, with a mean age of 40.25 (SD ± 8.42). The prevalence of cognitive impairment in adult patients with HIV/AIDS at Pokdisus RSCM was 55.4%, associated risk factors affecting the mean MOCA-INA score, such as the duration of treatment initiation. A one-year delay in initiating ART treatment could decrease the MOCA-INA score by 0.3 points. Another finding is meningitis significantly influences the presence of cognitive impairment. From the multivariate analysis, meningitis can decrease the MOCA-INA score by 2.629 points. Screening programs for cognitive impairment can be periodically conducted in HIV patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chici Pratiwi
"HIV/AIDS telah menjadi penyakit yang merajalela di seluruh dunia. Sebagian besar pasien yang menderita HIV/AIDS meninggal karena penyakit infeksi yang menyertainya dan infeksi paru termasuk empat penyakit infeksi komorbid tersering pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui prevalensi penyakit infeksi komorbid pada pasien HIV serta faktor-faktor yang berhubungan sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi pada pasien HIV dan mengurangi angka morbiditas ataupun mortalitas pada pasien HIV. Penelitian ini dikerjakan dengan metode cross-sectional. menggunakan 108 sampel yang dipilih dengan metode simple random sampling dari data rekam medik pasien RSCM tahun 2010. Data diolah dengan sistem SPSS menggunakan uji chi-square dan mann-whitney.
Hasilnya adalah responden dengan infeksi paru sebanyak 84,3%, paling banyak berada pada rentang usia 25-49 tahun (90,1%), berjenis kelamin laki-laki (70,3%), memiliki faktor resiko penularan berupa penggunaan jarum suntik saja (33%). Perbandingan Index Massa Tubuh dan cd4+ absolute pada pasien HIV dengan infeksi paru dan tanpa infeksi paru memberikan hasil nilai p berturut-turut p=0,009 dan p=0,913. Dengan demikian dapat disimpulkan, Infeksi paru pada pasien HIV/AIDS berhubungan dengan Index Massa Tubuh namun tidak berhubungan dengan cd4+ absolut serta karakteristik lainnya.

HIV/AIDS has become a worldwide disease. Most patients who suffer from HIV/AIDS die of infectious diseases that accompany it. Pulmonary infection is included in the four infectious diseases that most often occurs in patients with HIV. This study was designed to determine the prevalence of comorbid infectious disease in HIV patients and related factors that can prevent infection in HIV patients and reduce morbidity or mortality in HIV patients. The research was done by cross-sectional method, using 108 samples selected by simple random sampling method, and obtained from medical records of patients hospitalized RSCM in 2010. Data processed with the SPSS system using chi-square and Mann-Whitney test.
The result is respondents with pulmonary infection as much as 84.3%, most are in the age range 25-49 years (90.1%), male sex (70.3%), using needles as a risk factor of transmission (33%). The Comparison of Body Mass Index and absolute CD4 + count in HIV patients with pulmonary infection and without pulmonary infection giving the value of p respectively p = 0.009 and p = 0.913. It can be concluded, pulmonary infections in HIV / AIDS-related body mass index but not associated with an absolute CD4 + count as well as other characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Stigma terhadap penderita HIV/AIDS saat ini tak lagi dalam rupa fisik, tapi dalam perlakuan yang memojokkan dan menghinakan. Stigma membuat ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) didiskriminasikan baik oleh keluarga, pelayanan kesehatan, kegiatan agama, hingga peraturan yang diterbitkan negara. Stigma dari petugas kesehatan, terutama perawat, terkadang mempengaruhi sikap perawat dalam memberi asuhan keperawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi stigma perawat terhadap pasien HIV/AIDS.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif. Populasi penelitian adalah perawat di lantai 5-6 Gedung Teratai RS Fatmawati. Pengumpulan data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi stigma perawat terhadap pasien HIV/AIDS dilakukan menggunakan kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa stigma negatif perawat terhadap pasien HIV/AIDS relatif tinggi (40 dari 92 responden memiliki stigma negatif). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan stigma negatif pada perawa adalah nilai kepercayaan, nilai sosial budaya, dan lingkungan."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
TA5910
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>