Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75331 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Ghazalah Ibrahim
"Penelitian ini membahas mengenai tidak dilakukannya pelunasan hutang terhadap Hak atas Tanah yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan hutang yang dimulai dengan Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan dibebani dengan Hak Tanggungan, namun AW selaku Debitur tidak diberikan salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja tersebut dari Bank B Kantor cabang Kalianda sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 35/POJK.05/2018 tahun 2018 tentang Peyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Kalianda Nomor 5/Pdt.G/2019/PN Kla. Yang menjadi pokok permasalahan adalah akibat hukum dari Bank B kantor cabang Kalianda yang tidak menyerahkan salinan perjanjian pembiayaan kepada Debitur sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan dampak terhadap Hak Tanggungan yang bersifat accessoir yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok Untuk menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa Bank B Kantor cabang kalianda wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian AW yang disebabkan tidak diberikannya Salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari Bank B yang merupakan akibat dari terdapatnya Perbuatan Melawan Hukum dan Hak Tanggungan tetap berlaku, namun akibat dari melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Bank B Kantor cabang kalianda dapat dikenakan sanksi Administratif.

This research discusses the non-repayment of debts on Land Rights which are used as collateral as repayment of debts starting with a Working Capital Credit Agreement with Mortgage Rights, but AW as a Debtor is not given a copy of the Working Capital Credit Agreement from Bank B, the Kalianda branch office as which is regulated in Article 35 of the Financial Services Authority Regulation number 35 / POJK.05 / 2018 of 2018 concerning Business Operation of Financing Companies based on the Decision of the Kalianda District Court Number 5 / Pdt.G / 2019 / PN Kla. The main problem is the legal consequences of Bank B, the Kalianda branch office, not submitting a copy of the financing agreement to the debtor as stipulated in the Financial Services Authority Regulation and the impact on Mortgage which is accessoir which is a part of the main agreement. To answer this problem, legal research is conducted. with a normative juridical approach, using secondary data obtained by library research and analytical prescriptive research results. The results of the analysis show that Bank B Kalianda branch office is obliged to be responsible for the debtor's losses, AW caused by not providing a copy of the Working Capital Credit Agreement from Bank B and the Mortgage is still valid, but as a result of violating the provisions of the Financial Services Authority Regulation, Bank B Branch offices Kalianda may be subject to administrative sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ghazalah Ibrahim
"Penelitian ini membahas mengenai tidak dilakukannya pelunasan hutang
terhadap Hak atas Tanah yang dijadikan jaminan sebagai pelunasan hutang yang
dimulai dengan Perjanjian Kredit Modal Kerja dengan dibebani dengan Hak
Tanggungan, namun AW selaku Debitur tidak diberikan salinan Perjanjian Kredit
Modal Kerja tersebut dari Bank B Kantor cabang Kalianda sebagaimana yang diatur di
dalam Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 35/POJK.05/2018 tahun 2018
tentang Peyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan berdasarkan Putusan Pengadilan
Negeri Kalianda Nomor 5/Pdt.G/2019/PN Kla. Yang menjadi pokok permasalahan
adalah akibat hukum dari Bank B kantor cabang Kalianda yang tidak menyerahkan
salinan perjanjian pembiayaan kepada Debitur sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan dan dampak terhadap Hak Tanggungan yang bersifat accessoir
yang merupakan ikutan dari perjanjian pokok Untuk menjawab permasalahan tersebut
maka dilakukan penelitian hukum dengan pendekatan yuridis normatif, mempergunakan
data sekunder yang diperoleh dengan studi kepustakaan dan hasil penelitian bersifat
preskriptif analitis. Hasil analisis menunjukkan bahwa Bank B Kantor cabang kalianda
wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian AW yang disebabkan tidak diberikannya
Salinan Perjanjian Kredit Modal Kerja dari Bank B yang merupakan akibat dari
terdapatnya Perbuatan Melawan Hukum dan Hak Tanggungan tetap berlaku, namun
akibat dari melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, Bank B Kantor
cabang kalianda dapat dikenakan sanksi Administratif.

This research discusses the non-repayment of debts on Land Rights which are
used as collateral as repayment of debts starting with a Working Capital Credit
Agreement with Mortgage Rights, but AW as a Debtor is not given a copy of the
Working Capital Credit Agreement from Bank B, the Kalianda branch office as which is
regulated in Article 35 of the Financial Services Authority Regulation number 35 /
POJK.05 / 2018 of 2018 concerning Business Operation of Financing Companies based
on the Decision of the Kalianda District Court Number 5 / Pdt.G / 2019 / PN Kla. The
main problem is the legal consequences of Bank B, the Kalianda branch office, not
submitting a copy of the financing agreement to the debtor as stipulated in the
Financial Services Authority Regulation and the impact on Mortgage which is accessoir
which is a part of the main agreement. To answer this problem, legal research is
conducted. with a normative juridical approach, using secondary data obtained by
library research and analytical prescriptive research results. The results of the analysis
show that Bank B Kalianda branch office is obliged to be responsible for the debtor's
losses, AW caused by not providing a copy of the Working Capital Credit Agreement
from Bank B and the Mortgage is still valid, but as a result of violating the provisions of
the Financial Services Authority Regulation, Bank B Branch offices Kalianda may be
subject to administrative sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antaridadi
"ABSTRAK
Dalam hukum perdata Indonesia belum diatur secara pasti lembaga jaminan, untuk pesawat udara dan status hukumnya. Padahal berdasarkan keriyataan dan perhitungan diatas kertas usaha penerbangan komersiil di Indonesia akan semakin maju dan memang dituntut untuk maju guna mewujudkan wawasan nu-. antara balk dalam bidang sosial budaya, ekonorni dan pertahanan keamanan. Dalam bidang pertahanan keainanan armada penerbangan sipil - merupakan cadangan yang sangat potensial. Untuk mewujudkan usaha penerbangan komersiil yang baik, dengan berpegang pada dalil yang sudah umum dikenal dalam dunia usaha penerbangan komersiil "The aircraft pay themseif", maka harus didukung oleh pengaturan lembaga jaminan yang memadai Methode Penelitian Penulisan skripsi ini lebih banyak mempergunalcan methode Library Research sehingga data yang diperoleh adalah. data secondair. Namun demikian agar obyektivitas riya tetap terpenuhi; dalam mencari data scondair tersebut kami usahakan dan. hasil Laporan penelitian, pertemuan, ilmiah dan dari berbagai nara sumber dalam bentuk karya ilmiah. Hal-hal yang ditemui arena belum ada pengaturan yang pti; maim selama lembaga jaminan pesawat ud.ara yang ditrapkan dalam mnasyarakat bermacam-macam ada yang gadai, fiducia, hipotik dan mortgage Dari berbagai lembaga jaminan tersebut status hukum pesawat udara menjadi juga tidak pati. usaha pengaturan :melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan No SK 13/5/1971 yang dan pasa1 11 menyinggung mengenai pendaftaran pesawat udara yang di masukan ke Indonesia secara. sewa beli, disyaratkan antara lain jual beli tersebut harus secara mutlak dan harus dijaminkan secara knortgage Namun usaha pengaturazi ini banyak menimbulkan masalah yuridle megenai kewenangan mengatur - materi hukumnya - verifikasi oleh notaris:Indonesia. Kesimpulan pesawat udara merupakan sarana transportasi yang sangat panting untuk mewujudkan Wawasan nusantara. karena itu penting untuk mengatur lembaga jaminan pesawat udara. Dengan memperhatika.n posisi masing-masing pihak dan jaminan undang-undang, maka usaha pengaturan melalui SK Menteri Perbubungan No.SK 13/8/1971 tidaklah teat, Lebih tepat bila lembaga jaminan untuk pesawat udara adalah Hipotik, sebagaimana yang sudah diatur di Negeri Belanda dan Perancis Pengaturan bipotik pesawat udara tersebut bisa dilaksanakan dengan Pengaturan secara tersendiri hipotik pesawat Udara Memperluas berlakunya peraturan hipotik dan bipotik kapar seperti yang sekarang sudah ada dengan penyesuaian dengan siat-.sifat khusus pesawat udara, .sehingga hanya diper1ukan sedikit pengaturan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanea Gabrielle
"Penyaluran dana pinjaman yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) kepada debitor harus disertai dengan jaminan berupa tanah dan bangunan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan. Hal tersebut dimaksudkan sebagai tindakan mitigasi risiko bagi PPSP untuk mencegah timbulnya kemacetan pembayaran pinjaman oleh debitor yang semestinya dengan didasarkan oleh iktikad baik. Melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), PPSP sebagai penyalur pinjaman semestinya mendapatkan kepastian hukum akan adanya jaminan Hak Tanggungan untuk dapat dilakukannya pelelangan atas tanah yang dijadikan objek jaminan. Penelitian ini menganalisis mengenai kedudukan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan tanpa diikat dengan APHT sehubungan dengan penyaluran dana pinjaman yang diberikan oleh PPSP dan tanggung jawab PPAT yang tidak menindaklanjuti pembuatan APHT berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 1097/Pdt.G/2020/PN.Dps. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan melalui studi kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis dapat dinyatakan bahwa kedudukan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan tanpa diikat dengan APHT sehubungan dengan penyaluran dana pinjaman yang diberikan oleh PPSP adalah tanah tersebut tidak menjadi jaminan atas dana pinjaman yang diberikan oleh PPSP karena perjanjian pembiayaan yang hanya diikat dengan SKMHT belum melahirkan Hak Tanggungan. Adapun PPAT yang tidak menindaklanjuti pembuatan SKMHT menjadi APHT dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata, administratif dan Kode Etik. PPSP sebaiknya mempertimbangkan beberapa langkah mitigasi risiko terlebih dahulu sebelum mencairkan dana pinjaman kepada debitor.

The disbursement of loans funds by the Secondary Housing Financing Company (PPSP) to debtors must be accompanied by collateral in the form of land and buildings encumbered by Mortgage Rights, as stipulated in Article 11 paragraph (2) letter c number 1 of the Financial Services Authority Regulation No. 12/POJK.05/2022 Year 2022 concerning Secondary Housing Financing Companies. This requirement is intended as a risk mitigation measure for PPSP to prevent loan payment defaults by debtors which should have been conducted in good faith. Through the Deed of Mortgage Granting (APHT), PPSP as the loan provider should obtain legal certainty regarding the existence of Mortgage Rights as collateral to enable foreclosure proceedings on the pledged land. This research analyzes the legal position of land rights used as Mortgage Rights collateral without being bound by APHT in relation to the disbursement of loan funds provided by PPSP and the responsibility of the Land Deed Official (PPAT) who fails to follow up on the creation of APHT based on the Decision of the Denpasar District Court Number 1097/Pdt.G/2020/PN.Dps. This doctrinal legal study is conducted through literature review to gather secondary data which is subsequently analyzed qualitatively. Based on the analysis, it can be concluded that land used as collateral for Mortgage Rights without being bound by APHT in relation to the disbursement of loan funds provided by PPSP does not secure the loan funds given by PPSP because financing agreements bound only by Conditional Sale and Purchase Agreement (SKMHT) do not establish Mortgage Rights. PPATs who fail to proceed with the creation of SKMHT into APHT can be held liable under civil, administrative, and ethical codes. PPSP should consider several risk mitigation steps before disbursing loan funds to debtors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Clarissa Angeline
"Transaksi dalam perbankan membutuhkan lembaga jaminan untuk kepastian hukum bagi kreditur melalui Hak Tanggungan. Dalam eksekusi Hak Tanggungan, acte de command yang dibuat oleh notaris berfungsi penting dalam pelunasan kredit macet karena memberikan hak kepada kreditur (bank) untuk membeli aset jaminan kreditnya sendiri melalui lelang. Acte de command merupakan bagian dari mekanisme Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) yang memungkinkan bank untuk mengambil alih agunan debitur sebagai salah satu cara penyelesaian kredit bermasalah. Namun dalam kenyataannya, tidak semua bank mematuhi ketentuan dalam PMK Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang mengharuskannya untuk menunjuk pembeli yang sebenarnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Sebagaimana dalam kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Papua Barat Nomor 8/PDT/2024/PT MNK yang disimulasikan dalam penelitian ini. Untuk itu masalah yang diteliti berkaitan dengan penerapan ketentuan mengenai penggunaan acte de command dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA dan peran notaris dalam pembuatan dan pengesahan acte de command. Penelitian doktrinal ini mengumpulkan data sekunder melalui studi kepustakaan yang selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa: 1) Penerapan ketentuan mengenai penggunaan acte de command dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA seringkali memicu terjadinya ketidakpatuhan bank sebagai kreditur yang memiliki kepentingan atas objek Hak Tanggungan, dan bank cenderung langsung membalik nama objek Hak Tanggungan untuk dijual kembali, mengabaikan kewajiban menunjuk pembeli final dalam 1 (satu) tahun sesuai PMK a quo; 2) Peran notaris dalam pembuatan dan pengesahan acte de command sebagai syarat bagi bank untuk menjadi peserta lelang dalam eksekusi Hak Tanggungan melalui mekanisme AYDA sangatlah krusial karena notaris menjamin keabsahan, keautentikan, dan kepastian hukum instrumen tersebut dengan memastikan acte de command sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan terkait, serta memeriksa kelengkapan dokumen, dan menjamin isinya tidak bertentangan dengan hukum.

Transactions in banking require a guarantee institution to confirm the existence of legal certainty for creditors through the Right of Dependency. In the execution of the Right of Dependency, the acte de command made by the notary serves an important function in the repayment of bad loans because it gives the creditor (bank) the right to purchase its own credit-collateral assets through auction. The acte de command is part of the Foreclosed Collateral (AYDA) mechanism which allows banks to take over debtors' collateral as a way of resolving non-performing loans. However, in reality, not all banks comply with the provisions in PMK Number 213/PMK.06/2020 concerning Auction Implementation Guidelines which require them to appoint an actual buyer within a period of 1 (one) year. As seen in the case of the West Papua High Court Decision Number 8/PDT/2024/PT MNK which was simulated in this study. For this reason, the problem being studied is related to the application of provisions regarding the use of acte de command in the execution of Dependent Rights through the AYDA mechanism and the role of notaries in making and ratifying acte de command. This doctrinal research collects secondary data through literature studies which are then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, it can be concluded that: 1) The application of provisions regarding the use of acte de command in the execution of the Right of Dependency through the AYDA mechanism often triggers the non-compliance of the bank as a creditor who has an interest in the object of the Right of Dependency, and the bank tends to immediately reverse the name of the object of the Right of Dependency for resale, ignoring the obligation to appoint a final buyer in 1 (one) year in accordance with the applicable laws; 2) The role of the notary in making and ratifying the acte de command as a condition for banks to become auction participants in the execution of the Right of Dependency through the AYDA mechanism is very crucial because the notary guarantees the validity, authenticity, and legal certainty of the instrument by ensuring the acte de command in accordance with the applicable laws, as well as checking the completeness of documents, and ensuring that the contents do not contradict the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Aprilia E.P
"ABSTRAK Tesis ini mengenai peraturan yang mengatur tentang eksekusi atas objek hak tanggungan melalui Parate Eksekusi, yang merupakan eksekusi langsung yang dilakukan oleh kreditur atau pemegang hak tanggungan atas objek hak tanggungan tanpa adanya fiat atau izin dari pengadilan. Sehingga terdapatlah permasalahan bagaimana prosedur tentang parate eksekusi yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan serta pelaksanaannya di dalam praktek perbankan, dan dimana hal tersebut telah diatur. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, skunder dan tertier. Kemudian bahan hukum itu dideskriptikan dan dianalisis dengan pendekatan kualitatif. Sehingga menghasilkan data deskriptip analitis dan diperoleh data yang lebih terstruktur guna menjawab pemasalahan yang telah dirumuskan untuk kemudian didapatkan kesimpulan dan saran apabila masih ada yang perlu diperbaiki. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa parate eksekusi sudah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan pasal 6, dan juga tercantum dalam dan di APHT (Akta Pembebanan Hak Tanggungan), sehingga lembaga parate eksekusi akan lebih mengikat. Prosedur dan pelaksanaan parate eksekusi itu sendiri harus dengan pelelangan umum yang pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Dan untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut, undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan hal tersebut haruslah menjadi acuan pertama sebagai dasar dari penyelesaian permasalahan yang sedang terjadi.

ABSTRACT This thesis deals with the rules governing the execution of objects of mortgages through Parate Execution, which is a direct execution carried out by the creditor or the holder of mortgage rights on the object of mortgages without the existence of fiat or permission from the court. So that there are problems how the procedure regarding the execution of parate relating to the object of Underwriting Rights and its implementation in banking practice, and where it has been regulated. The research method used is normative juridical research using the legal approach and case approach. Legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials. Then the legal material is described and analyzed with a qualitative approach. So as to produce analytical descriptive data and obtain more structured data in order to answer the problems that have been formulated for conclusions and suggestions to be obtained if there are still things that need to be corrected. Based on the results of the study, it can be concluded that the execution parate is regulated in Article 6 of the Underwriting Rights Act, and is also listed in and in the APHT (Underwriting Deed), so that the parate execution institution will be more binding. The procedure and implementation of the parate execution itself must be carried out in a public auction in accordance with applicable regulations, in this case regulated in the Minister of Finance Regulation (PMK) number 27 / PMK.06 / 2016 concerning the Auction Implementation Guidelines. And to resolve these conflicts, the laws and regulations relating to them must be the first reference as a basis for resolving the ongoing problems.

 

Keywords : Parate Execution, Execution of Mortgage Rights, Mortgage Rights

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52153
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafiqa Humaira Bawarith
"Penerapan prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan pembiayaan kepada nasabah sangat penting diterapkan, salah satunya dengan mengadakan jaminan terhadap setiap pembiayaan yang diberikan. Guna menjamin pelunasan utang debitur seringkali tanah menjadi objek jaminan melalui pemberian Hak Tanggungan. Namun kenyataannya, masih terdapat Akta Jual Beli (AJB) yang belum dilakukan pelunasan tetapi telah dilakukan peralihan Hak Milik atau balik nama kepemilikan tanpa sepengetahuan pihak penjual tanah, yang kemudian oleh pembeli tanah tersebut dijadikan jaminan utang ke bank melalui pemberian Hak Tanggungan sebagaimana ditemukan dalam kasus pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1787 K/PDT/2022. Permasalahan utama yang diangkat dalam penelitian ini berkaitan dengan mitigasi risiko bank terhadap pembatalan pemasangan Hak Tanggungan akibat peralihan Hak Milik atas tanah yang tidak sah. Untuk dapat memberikan penjelasan terkait permasalahan utama tersebut maka dianalis pula mengenai penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam pemberian pembiayaan. Selain itu dianalisis pula terkait pengaturan dan sanksi terhadap debitur yang tidak beritikad baik. Data sekunder pada penelitian dokrinal ini diperoleh melalui studi dokumen berupa bahan-bahan hukum serta diperkuat dengan wawancara narasumber terkait untuk kemudian dianalisis secara kualitatif. Kesimpulan hasil penelitian menjelaskan bahwa Hak Tanggungan merupakan salah satu bentuk upaya preventif dalam mencegah tidak dilunasinya utang debitur dikemudian hari. akan tetapi Hak Tanggungan yang dijadikan jaminan harus terlebih dahulu dilakukan pengecekan fisik tanah oleh bank. Untuk menghindari timbulnya masalah atau risiko bank sebagai upaya penerapan prinsip kehati-hatian bank. Mitigasi risiko bank terhadap pembatalan pemasangan Hak Tanggungan dilakukan dengan mengadakan agunan pengganti yang sah milik debitur. Upaya hukum yang dilakukan bank terhadap debitur yang beritikad tidak baik dengan menuntut ganti rugi sebesar APHT yang telah disepakati.

The application of cautious banking principles in providing financing to customers is crucial, including securing collateral for every loan granted. To ensure debtor repayment, land often serves as collateral through Mortgage Rights. However, in practice, there are instances where a Deed of Sale. has not been settled but ownership has been transferred or renamed without the knowledge of the land seller. Subsequently, the land buyer uses it as loan collateral through Mortgage Rights to the bank, as found in the case of Supreme Court Decision Number 1787K/PDT/2022. The primary issue addressed in this study concerns the bank's risk mitigation against the cancellation of Mortgage Rights due to unauthorized land ownership transfers. To provide an explanation regarding this issue, the study also analyzes the application of cautious banking principles in financing. Furthermore, it examines the regulations and penalties for debtors acting in bad faith. Secondary data for this doctrinal study were obtained through document studies of legal materials, supported by qualitative analysis from interviews with relevant sources. The research findings conclude that Mortgage Rights represent a preventive measure against future debtor default. However, banks must physically inspect the collateral land before accepting it as security, thereby applying cautious banking principles to mitigate risks. Banks mitigate the risk of Mortgage Rights cancellation by establishing valid substitute collateral owned by the debtor. In cases where debtors act in bad faith, banks pursue legal action to claim damages equivalent to the agreed Property Sale and Purchase Deed."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Rizaldy
"Hak tanggungan sebagai jaminan memberikan kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur cidera janji, namun dalam kasus ini terjadi sita jaminan yang dilekatkan oleh pihak ketiga terhadap objek hak tanggungan tersebut yang menyebabkan adanya konflik antara para pihak. Permasalahan dalam tesis ini manakah di antara sita jaminan dan hak tanggungan yang memiliki kekuatan hukum apabila adanya cidera janji oleh debitur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif dengan tipologi deskriptif analitis, menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dari berbagai literatur, dengan menggunakan tiga kasus yang saling terikat. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Hak Tanggungan telah terdaftar terlebih dahulu dari Sita Jaminan. Dengan diletakannya Hak Tanggunan terlebih dahulu, maka Sita Jaminan yang diletakan setelahnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Prosedur lelang telah mengikuti prosedur yang ditentukan, sehingga pembeli lelang yang beritikad baik haknya harus terlindungi.

Mortgage rights as collateral provide legal certainty for the creditor if the debtor is in default, however in this case study, there is a collateral confiscation attached by the third party to the object of the mortgage rights which causes a conflict between parties. This thesis's problem is which between the collateral confiscation and the mortgage rights that has legal rights in the event of a breach of contract by the debtor. This research uses a normative judicial method with a descriptive-analytical typology, using data collection tools in document studies from various works of literature, using three interrelated cases. Based on the research results that the Mortgage Rights have been registered in advance from collateral confiscation. By placing the Mortgage rights first, the Collateral Confiscation which is placed afterwards has no legal right. The auction procedure has followed the prescribed procedure to protect the auction buyer in good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Adhinda Putri Syara Lestari Syahbuddin
"Kerjasama antara bank dengan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi hal yang biasa saat ini. Melalui akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT diharapkan dapat melindungi kepentingan bank dan nasabahnya. Namun kemudian muncul sejumlah persoalan di lapangan mengenai tanggung jawab Notaris/PPAT dalam melakukan pengikatan agunan yang berada diluar wilayah kerjanya. Apalagi ketika objek yang menjadi agunan kemudian hilang saat proses pendaftaran pembebanan hak tanggungan di kantor pertanahan. Riset ini membahas mengenai analisis tentang tanggung jawab Notaris/PPAT utamanya dalam kasus hilangnya sertipikat hak milik yang sedang dalam proses pendaftaran hak tanggungan yang diproses oleh Notaris/PPAT. Selain itu, juga membahas mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam hal terjadi kasus nyata dilapangan. Penelitian yuridis normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Adapun data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu tidak tepat jika Notaris/PPAT diminta untuk bertanggungjawab terkait sertipikat yang menjadi objek hak tanggungan hilang saat proses pendaftaran hak tanggungan di kantor pertanahan, dikarenakan sertipikat tidak sedang berada dalam penguasaan Notaris/PPAT. Oleh karena itu, maka apabila putusan Majelis Hakim menyatakan bahwa Notaris RR dan Bank M telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait sertipikat yang menjadi objek hak tanggungan hilang saat proses pendaftaran hak tanggungan menjadi tidak adil, sebab seharusnya Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa hilangnya sertipikat yang menjadi agunan sedang dalam penguasaan siapa.

Cooperation between banks and notaries/ Land Deed Officials (PPAT) is common nowadays. Through a deed made by a notary/PPAT, it is expected to protect the interests of the bank and its customers. However, several problems emerged in the field regarding the responsibilities of a notary/PPAT in binding collateral outside their working area. Especially when the object that became collateral is lost during the registration process for encumbrance of mortgages at the land office. This research aims to analyze the responsibilities of a notary/PPAT mainly in the case of the loss of a certificate of ownership that is in the process of registering mortgage rights which are processed by a notary/PPAT. This normative juridical research uses a statutory approach and a case approach. The secondary data obtained were then analyzed qualitatively. The results obtained from this study are not appropriate if the notary/PPAT is held accountable for the certificate which is the object of the mortgage is lost during the mortgage registration process at the land office because the certificate is not in the possession of the notary/PPAT. According to that reason, it is not appropriate for the Decision of the Board of Judges to establish that the Notary Public RR and the bank have committed an offense relating to the mortgage certificate lost during the mortgage procedure. Therefore, the judges must consider the explanations of other parties related to the loss of the certificate."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Syah
"Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat sehingga diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin kembalinya haknya. Untuk kegiatan tersebut diperlukan adanya jaminan yang memiliki kepastian hukum, baik bagi pemegang hak atas tanah sebagai pemberi hak tanggungan maupun kreditur sebagai pemegang hak tanggungan yang nantinya akan memperoleh kedudukan yang diutamakan atau mendahului (droit de preference). Namun dalam prakteknya banyak kasus-kasus pelanggaran baik yang dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan maupun oleh PPAT yang lalai memenuhi prosedur pembebanan hak tanggungan yang menyebabkan Akta Pemberian Hak Tanggungan menjadi tidak sah dan cacat hukum. Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum lebih lanjut agar terjaminnya perlindungan hukum bagi para pihak. Permasalahan menarik untuk diangkat dalam tesis ini adalah mengenai perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga dalam kaitannya dengan keabsahan Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
Tujuan penulisan tesis ini adalah untuk dapat mengetahui bagaimanakah proses pembuatan APHT agar menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum, solusi yang dapat ditempuh oleh kreditur apabila APHT menjadi batal, dan apa saja hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak tanggungan bila dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi kreditur. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan, data yang diperlukan adalah data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian analisis data dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum bagi pemberi hak tanggungan, pemegang hak tanggungan dan pihak ketiga agar proses pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) menjadi sah dan tidak memiliki cacat hukum adalah melalui proses pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana telah ditentukan dalam UUHT, yaitu memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

Globalization of economic growth is very rapid so that the necessary legal certainty for economic institutions, especially for lending institutions such as bank accounts and other financial institutions, to guarantee the return of their rights. For these activities it is necessary to guarantee the legal certainty, both for the holders of land rights as well as provider of mortgage lenders as mortgage holders who will acquire the preferred position or precede (droit de preference). However, in practice many cases of violations committed by both mortgage providers, mortgage holder or by a failure to fulfill the procedures PPAT mortgages that led to the imposition of Granting Mortgage Deed becomes invalid and legally flawed. Therefore we need more legal certainty in order to guarantee legal protection for the parties. Interesting issues to be highlighted in this thesis is about giving legal protection for mortgages, mortgage holders and third parties in connection with the provision of the Deed of Mortgage legality by analyzing the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 1910 K/Pdt/2005.
The purpose of this thesis is to be able to know how the process of making APHT to be valid and have no legal disability, the solution can be reached by creditors if APHT be canceled, and what are the things that can lead to the abolishment of mortgage when associated with legal protection for creditors. Writing of this thesis research methods literature, the data required is secondary data. Based on the results of data analysis can be concluded that the legal protection for mortgage providers, mortgage holders and third parties so that the process of making provision of the Deed of Mortgage (APHT) to be valid and have no legal disability is through the process of loading Mortgage as defined in UUHT, specialties that meet the principle and the principle of publicity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30014
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>