Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111330 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aura Akhman
"Dalam dunia bisnis, waktu 90 (sembilan puluh) hari, yang terdapat pada pengaturan Masa Stay dalam kepailitan bukanlah waktu yang pendek. Dalam praktik, biasanya yang mempunyai atau yang memegang hak tanggungan sangat membutuhkan percepatan perputaran modal. Percepatan perputaran modal ini akan berakibat pada keuntungan dan kerugian yang akan dialami oleh pihak bersangkutan. Semakin lama kredit yang seharusnya kembali tetapi tidak terbayar kepada kreditor separatis pemegang hak tanggungan, akan berdampak semakin besar pula kerugian Kreditur Separatis atas keuntungan yang harus diterimanya. Olehkarena itu penting bagi kita memahami Peranan asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan Kreditur Separatis sebagai pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Penulisan ini bersifat deskriptif - analitis. Deskriptif maksudnya bahwa diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan sistematis tentang fakta yang berhubungan dengan permasalahan. Analitis dimaksudkan bahwa berdasarkan gambaran-gambaran, fakta-fakta dan uraian yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat mengenai Peran asas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan serta kedudukan kreditor separatis pemegang hak tanggungan dalam kepailitan. Sehingga akan diperoleh pemahaman bagi para akademisi dan praktisi hukum bahwa Asas Lex Specialis Derogat Lex Generali , dalam mengatasi perbenturan norma hukum antara Undang-Undang Kepailitan dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) mengenai Hak Tanggungan memiliki peran untuk melengkapi (aanvullend) bukan untuk menyimpangi ( uitzondering)

In the business world, a period of 90 (ninety) days, which is found on the Stay Period regulation in bankruptcy is not a short time. The acceleration of capital turnover will result in gains and losses that will be Experienced by the parties concerned. The longer the loan is supposed to return but not paid to the creditor separatist mortgage holders, will impact the greater the loss of benefits Separatist Creditors should receive. Therefore it is important for us to understand the role of Lex Specialist derogat Legi generalist legal principle in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage Act (UUHT) regarding the position of Mortgage Lenders and mortgage holders in bankruptcy. This study is a descriptive - analytical. Descriptive means that is expected to obtain a comprehensive and systematic overview of the facts related to the problem. Analytical meant that by the images, facts and descriptions obtained will be analyzed carefully about The role of the legal principle of Lex Specialist derogat Legi generalist in overcoming legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage and the position of creditor who act as mortgage holders in bankcruptcy. So that for academics and legal practitioners will have a better understanding about the principle of Lex Specialist derogat Generali, in dealing with the legal norms clash between the Bankruptcy Act by Mortgage act (UUHT) regarding Mortgage has a role for complement (aanvullend) not to deviate (uitzondering)"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Kresna Binsar
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S23523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felton Hartato
"

Notaris dalam membuat akta lalai karena tidak memperhatikan lebih lanjut objek yang dibuat. Seorang istri dari debitur pailit mengagunkan tanah yang merupakan harta pailit sehingga perlu untuk diteliti lebih dalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis jangka waktunya serta akibat hukum dari kelalaian seorang notaris dalam membuat akta yang objeknya merupakan harta pailit. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian normatif dengan sumber data yaitu data sekunder. Kemudian diambil kesimpulan bahwa tidak ada berakhirnya atau jangka waktu tanggung jawab seorang debitur dalam suatu kasus kepailitan. Menurut Undang Undang Kepailitan setelah diputus pailit, harta debitur menjadi termasuk dalam harta pailit dan kemudian dapat di eksekusi. Apabila harta yang dimilikinya dapat menutupi semua utang yang dimilikinya, maka seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya setelah adanya penetapan eksekusi dari pengadilan. Namun apabila harta pailit yang dimiliki belum dapat melaksanakan seluruh hutang yang dimilikinya, maka suatu saat apabila debitur menjalankan hidupnya dan melaksanakan usahanya kemudian mengalami kesuksesan dan telah memiliki harta kembali, maka kurator atau kreditur lainnya dapat melakukan pembukaan kasus pailit kembali guna memperoleh pembayaran dari hutangnya yang dulu dengan tanpa jangka waktu tertentu. Artinya sampai seumur hidup debitur hutang tersebut tetap tercatat. Serta dalam kasus yang diambil, dijelaskan bahwa istri dari debitur pailit, dengan sengaja mengagunkan sebidang tanah yang merupakan bagian dari harta pailit yang merupakan atas nama istri debitur pailit. Akan tetapi, karena tidak adanya perjanjian kawin, maka harta tersebut menjadi harta bersama. Maka, yang terjadi terhadap akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh notaris tersebut adalah batal demi hukum karena terjadinya Actio Pauliana.


Notary in making the deed negligent because it does not pay further attention to the object being made. A wife of a bankrupt debtor pledges the land which is bankrupt property so it needs to be investigated more deeply. The purpose of this study is to analyze the responsibility of the bankrupt debtor and the time period and legal consequences of the notary's failure to make a deed whose object is bankrupt property. The research method used is normative research with data sources, namely secondary data. Then conclusions are drawn that there is no end or duration of responsibility for a debtor in a bankruptcy case. According to the Bankruptcy Law after being declared bankrupt, the debtor's assets are included in the bankrupt assets and can then be executed. If the assets they have can cover all their debts, a debtor has fulfilled his obligations after the execution of the court is determined. However, if the bankruptcy assets that have not been able to carry out all the debt it has, then one day if the debtor runs his life and conducts his business then experiences success and has had the assets back, then the curator or other creditors can open a bankruptcy case again in order to obtain payment from his debts which are first with no specific period. This means that for the lifetime of the debtor the debt remains recorded. And in the case taken, it was explained that the wife of the bankrupt debtor deliberately pledged a piece of land that was part of the bankrupt property which was in the name of the bankrupt debtor's wife. However, due to the absence of a marriage agreement, the property becomes joint property. So, what happened to the deed of granting the mortgage right made by the notary was null and void by law because of the Actio Pauliana.

"
2020
T54812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Maesa
"Berbagai persoalan yang berkembang dalam berbagai perkara-perkara kepailitan yang terjadi di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan, terutama apabila menyangkut kepailitan terhadap perusahaan asing dalam bentuk holding company. Perusahaan grup semakin mendominasi kegiatan usaha dan memiliki peran penting dalam pembangunan. Konstruksi perusahaan grup terpisah secara hukum namun berada dalam satu kesatuan ekonomi. Permohonan PKPU oleh anak perusahaan terhadap holding company yang berakhir pailit dalam satu perusahaan grup merupakan hal yang tidak biasa. Permohonan PKPU tersebut terjadi pada kasus kepailitan AcrossAsia Limited sebagai holding company yang berkedudukan di Hong Kong dan dipailitkan oleh anak perusahaannya yaitu PT. First Media Tbk. Apakah permohonan PKPU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah hukum kepailitan, bagaimana tanggung jawab holding company yang pailit terhadap anak perusahaan dalam satu perusahaan grup, dan apa saja hambatan dalam penerapan cross-border insolvency dalam hukum kepailitan terkait adanya putusan pengadilan asing. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, sejarah, dan pendekatan analisis. Kepailitan terhadap holding company oleh anak perusahaan merupakan penyalahgunaan kekuasaan holding company dan trik bisnis yang memanfaatkan instrumen hukum kepailitan untuk menghindari kewajiban terhadap pihak ketiga. Hukum kepailitan di Indonesia perlu merumuskan insolvensi tes terhadap permohonan pailit debitor, hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih solven. Dalam pengaturan cross-border insolvency, UU Kepailitan Indonesia belum mengakomodasi aturan mengenai cross-border insolvency dalam UNCITRAL Model Law. Hal tersebut menyulitkan proses eksekusi harta debitor pailit di luar negeri dan pemerintah Indonesia juga perlu melakukan perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain dalam hal pengakuan putusan pengadilan asing.

Various problems that develop in various cases of bankruptcy that occurred in Indonesia still has many weaknesses, particularly when it concerns of foreign companies bankruptcy in the form of holding company. The domination of Company group business activity increasingly raising and have an important role in development. The construction of group company is legally separated but it is in one economic entity. The Suspension of Debt Payment Obligation PKPU petition by subsidiaries against its holding company that ends in insolvency in one of the group company is uncommon. The PKPU petition occurred in the bankruptcy case of AcrossAsia Limited as a holding company with legal domiciled in Hong Kong and bankrupted by its subsidiary PT. First Media Tbk. Is the PKPU petition of its case is in accordance with the principle of bankruptcy law, how is the responsibility of the insolvent holding company to its subsidiary in the one of the group company, and what 39 s are the obstacles in implementing of the cross border insolvency in bankruptcy law related to the foreign court resolution. The legal research method that used is legal normative research, with the statute, case, historical and analytical approach. The bankruptcy of a holding company by its subsidiary is an abuse of holding company powers and business tricks that take an advantage of bankruptcy legal instruments to avoid liability to the third parties. Bankruptcy law in Indonesia needs to formulating insolvency test to the debtor bankruptcy petitioner, due it is necessary to avoid bankruptcy against the company that is still solvent. In a cross border insolvency regulations, the Indonesian Bankruptcy Law has not accommodated the rules of UNCITRAL Model Law on cross border insolvency. This matter makes complicating the execution process of the bankrupt debtor assets abroad and Indonesian government also needs to enter into bilateral and multilateral agreements with other countries in the recognitions of foreign courts resolution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fellicia Rahma Fitri
"Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah dalam hal kepailitan. Pada umumnya pelaksanaan eksekusi harta pailit dilakukan oleh Kurator sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK-PKPU”). Akan tetapi UUK-PKPU memberikan kewenangan kepada kreditur pemegang hak jaminan untuk dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dimana ketentuan Pasal tersebut sejalan dengan diakuinya hak separatis dari pemegang jaminan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pelaksanaan eksekusi hipotik kapal laut dalam kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan atas tanah dalam kepailitan PT Kepsonic Indonesia, masing-masing pelaksanaan eksekusinya memiliki hambatan dan resiko tersendiri. Hambatan dan resiko tersebut patut untuk diulas lebih mendalam dikarenakan kedua obyek jaminan tersebut merupakan obyek yang sering dijadikan jaminan pelunasan utang kepada bank dan dapat ditemui dalam beberapa kasus kepailitan. Untuk itu penulis akan meneliti bagaimana pelaksanaan eksekusi benda tetap dan hambatan-hambatan yang dimiliki dalam kasus kepailitan PT Putrajaya Offshore Lines dan kasus kepailitan PT Kepsonic Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif. Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan benda tetap berupa hipotik kapal laut dan hak tanggungan atas tanah, masing-masing memiliki resikonya tersendiri sehingga kreditur pemegang jaminan perlu memperhitungkan potensi ancaman dan resiko yang dapat muncul dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, sebelum memutuskan untuk melakukan eksekusi sendiri dengan pembatasan-pembatasan sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU atau melalui kurator.

This thesis discusses about the execution of fixed objects securities in the form of hypothec over ships and security right over lands in the event of bankruptcy. In general, curator is authorized to perform the execution of bankruptcy assets in accordance with the Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payments (“Bankruptcy Law”). However, the Bankruptcy Law gives an authority to the secured creditors to execute their rights as if the bankruptcy does not occur. In the execution of Hypothec over Ships of PT Putrajaya Offshore Lines’s bankruptcy case and the execution of security right over lands and buildings of PT Kepsonic Indonesia’s bankruptcy case, each execution has its own obstacles and risks. Such obstacles and risks are ought to be reviewed because both of security objects are often to be used as security under loan agreement with the bank and such security objects are often to be found in several bankruptcy cases. Therefore, the writer hereby researches on how the execution of the fixed assets and its obstacles in the case of PT Putrajaya Offshore Lines and PT Kepsonic Indonesia’s bankruptcy. The method of the research is using literature method based on juridical normative basis. The writer found that as the result of this research, the implementation of execution of fixed assets securities either in the form of mortgage over ships or security right over lands and buildings have its own risks and therefore the secured creditor needs to calculate the potential obstacles and risks before deciding to perform the execution by itself with the limitation as stipulated in the Bankruptcy Law or deliver it to the curator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58714
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shania Khairunnisa
"Tidak ada satupun ketentuan dalam hukum kepailitan Indonesia yang menyatakan Akta Perdamaian yang merupakan hasil homologasi perjanjian perdamaian dapat diamandemen yang dilakukan diluar pengadilan. Namun ditemukan beberapa kasus dimana hal ini terjadi. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum yang berlaku mengenai amandemen akta perdamaian di Indonesia serta tinjauan kesesuaian putusan hakim pada kasus amandemen akta perdamaian terhadap teori dan hukum kepailitan yang berlaku dan bagaimana perbandingan ketentuan mengenai amandemen akta perdamaian dalam hukum kepailitan Indonesia dan Amerika. Permasalahan ini dijawab dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa amandemen akta perdamaian diluar pengadilan tidak dapat dilakukan, walaupun tidak diatur secara khusus dalam UU Kepailitan dan PKPU. Argumentasinya ditinjau dari urgensi peran pengadilan dalam proses pengesahan akta perdamaian dan berdasarkan penafsiran sistematis antara Pasal 1320 KUHPerdata dan Pasal 285 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Sehingga keberadaan akta perdamaian hasil amandemen di luar pengadilan tidak mengikat bagi debitor dan kreditor. Selanjutnya terhadap hasil perbandingan, hukum kepailitan Amerika membenarkan dan mengatur adanya amandemen akta perdamaian dan pembatalan perjanjian perdamaian bersifat opsional, sebaliknya Indonesia tidak mengatur dan melarang adanya amandemen akta perdamaian karena akan menghilangkan sanksi pembatalan akta perdamaian berupa dijatuhkannya status pailit bagi debitor. Saran Penulis terhadap isu ini adalah untuk memberikan pengaturan yang jelas dalam hukum kepailitan Indonesia tentang amandemen akta perdamaian, baik melalui perubahan UU yang sudah ada atau melalui pembentukan peraturan pelaksana.

There is no single provision in the Indonesian bankruptcy law which states that the accord can be amended outside the court proceeding. However, there are several cases where this is happened. The issues discussed in this research are how the applicable legal provisions regarding the amendment of the accord in Indonesia as well as a review of the suitability of the judge’s decisions in the accord amendment case against the prevailing bankruptcy law and theories also the comparison of the provisions regarding the issue in Indonesian and America bankruptcy law. These problems are answered with a normative juridical research method. The results of this study indicate that the amendment of the accord outside the court proceeding cannot be carried out, although it is not specifically regulated in the Law. The argument is viewed from the urgency of the court proceeding for homologation of accord and based on a systematic interpretation between Article 1320 of the Civil Code and Article 285 paragraph (2) of the Bankruptcy Act. So that the existence of the amended accord outside the court proceeding is not binding. On the comparison results, the US bankruptcy law justifies the amendment of the accord and the cancellation of the accord is optional, on the contrary, Indonesia does not regulate and prohibits the amendment of the accord because it will eliminate the effect of sanctions for cancellation of the accord which is imposition of bankruptcy status for debtors. The author’s suggestion on this issue is to provide clear regulations in the Indonesian bankruptcy law regarding amendments to accord, either through amendments of existing laws or through the formation of implementing regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisha Priskilla Romauli
"Skripsi ini membahas mengenai syarat kepailitan di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dan juga syarat kepailitan di Singapura serta perbedaan diantara keduanya, dan bagaimana penerapan syarat-syarat tersebut pada kasus kepailitan PT Telkomsel. Pada bagian analisis akan dibahas mengenai penerapan syarat kepailitan dalam kasus kepailitan PT Telkomsel dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 dimana putusan pailit terhadap PT Telkomsel dibatalkan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan studi kepustakaan sebagai cara menganalisis kasus yang sudah dalam bentuk putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, penulis mendapat kesimpulan bahwa perbedaan antara syarat kepailitan di Indonesia dan Singapura terkait jumlah minimal kreditor, jumlah minimal utang, dan keadaan tidak mampu membayar utang, serta bahwa penulis setuju dengan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kepailitan PT Telkomsel karena Majelis Hakim di Pengadilan Niaga kurang tepat dalam menerapkan syarat-syarat kepailitan.

This thesis discusses the terms of bankruptcy in Indonesia contained in Article 2 paragraph 1 of Law Number 37 Year 2004 and also the condition of bankruptcy in Singapore and the difference between the two, and how the application of those conditions in the bankruptcy case of PT Telkomsel. In the analysis section will be discussed the application of bankruptcy requirements in the bankruptcy case of PT Telkomsel in the Commercial Court Decision Number 48 Bankrupt 2012 PN.Niaga.Jkt.Pst and also the Supreme Court Decision Number 704 K Pdt.Sus 2012 where the decision to put PT Telkomsel in bankruptcy is canceled. In this study, the author uses normative juridical research methods, with literature study as a way of analyzing cases that have been in the form of court decisions. The author concludes that the difference between bankruptcy requirements in Indonesia and Singapore is related to the minimum number of creditors, the minimum amount of debt, and the inability to pay the debt, and that the authors agree with the decision of the Supreme Court to cancel the bankruptcy of PT Telkomsel because the Panel of Judges in the Commercial Court did not apply the terms of bankruptcy appropriately.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Hasyyati Rachman
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam hukum kepailitan. Dengan adanya penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam sengketa pailit maka akan berkaitan dengan pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang yang merupakan salah satu syarat pernyataan pailit yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 Jo. Pasal 8 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu sengketa kepailitan di Indonesia yang dalam kasusnya terdapat penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus ini adalah perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki, terdiri dari 3 tiga tingkatan putusan, yakni putusan tingkat Pertama dengan nomor : 64/Pailit/2012/Pn.Niaga.Jkt.Pst; putusan tingkat Kasasi dengan nomor : 45K/Pdt.Sus/2013; dan putusan tingkat Peninjauan Kembali dengan nomor : 111PK/Pdt.Sus/2013.Penulisan Skripsi ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif. Penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus ini mengindikasikan adanya permasalahan terkait dengan pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang tersebut. Permasalahan ini menimbulkan kesulitan dalam menilai apakah syarat pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang tersebut terpenuhi ataukah tidak. Pasalnya, salah satu bukti adanya kesulitan dalam menilai ini dapat dilihat pada sengketa pailit PT Sri Melamin Rejeki yang mana pada tingkat Pertama dinyatakan ditolak permohonan pailitnya, sedangkan pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali permohonan pailit tersebut diterima. Dengan demikian, dalam perkara yang terdapat penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus, Majelis Hakim yang memeriksa seharusnya berhati-hati dalam memutus permohonan pailit yang diajukan karena dikhawatirkan pembuktian sederhana atas eksistensi utang tidak dapat terpenuhi.

This thesis is a study about the implementation of the Exceptio Non Adimpleti Contractus principle in bankcruptcy law. With the implementation of this principle in a Bankcruptcy Case, will be related with the simple substantiation of the existence of debt which is one of the requirements of bankruptcy declaration contained in Article 2 Paragraph 1 Jo. Article 8 Paragraph 4 of Law Number 37 Year 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. There is application of this principle in bankruptcy dispute of PT Sri Melamin Rejeki ldquo SMR rdquo which consists of three levels of judicial decision, the first level decision, number 64 Bankrupt 2012 Pn.Niaga.Jkt.Pst the decision of Cassation, number 45K Pdt.Sus 2013 and the verdict of the Review Level, number 111PK Pdt.Sus 2013.The writing of this thesis uses normative juridical research method. Implementation of Exceptio Non Adimpleti Contractus principle indicates problems related to the simple substantiation of debt existence. This problem poses a difficulty in assessing whether the simple subtantiation conditions for the existence of such debt are met or not. The evidence of difficulties in assessing this can be seen in the dispute PT ldquo SMR rdquo which at the First level has been denied petition for bankruptcy, while at the level of Cassation and Review, the request for bankruptcy is accepted. Thus, in the case of applying the Exceptio Non Adimpleti Contractus principle, the Panel of Judges examining should be cautious in terminating the petition for bankruptcy because it is feared that the simple subtantiation of debt existence can not be fulfilled.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Anezka Chandradevi
"Utang Pajak merupakan utang yang sifatnya istimewa, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberikan kedudukan yang paling tinggi diantara kreditur lainnya, karena itu negara disebut memiliki hak mendahulu atas pelunasan utang pajak. Dalam kepailitan, penerapan dari Hak Mendahulu atas utang pajak ini seringkali dikesampingkan sehingga mengakibatkan pelanggaran pada Undang-Undang Perpajakan. Selain Utang pajak, Penerima Jaminan Fidusia juga memiliki Hak Mendahulu Jaminan Fidusia atas pelunasan piutang dari penjualan objek jaminan fidusia. Sehingga apabila keduanya dihadapkan di dalam suatu perkara kepailitan, maka akan terjadi benturan diantara kedua Hak Mendahulu. Melalui studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 72PK/Pdt.Sus-Pailit/2015, akan dilakukan analisis terhadap penerapan Hak Mendahulu Negara atas utang pajak dan Hak Mendahulu Jaminan Fidusia di dalam putusan tersebut dengan juga menganalisis pertimbangan hakim atas penerapan kedua hak mendahulu ini. Pokok permasalahan yang akan dibahas di dalam tulisan ini adalah mengenai kedudukan KPP-PMAD dan Tennan Metal selaku kreditur dengan hak mendahulu di dalam kasus kepailitan PT. Yinchenindo Mining Industry dan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan a quo. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menelusuri sumber data sekunder dengan menggunakan literatur seperti peraturan perundang-undangan dan buku sebagai bahan untuk menganalisis. Hasil penelitian menyatakan bahwa kedudukan KPPPMAD adalah sebagai kreditur preferen walau tidak diatur secara eksplisit di dalam UU Kepailitan dan PKPU sedangkan Tennan metal sebagai Kreditur separatis kemudian terkait dengan penerapan Hak Mendahulu di dalam Putusan baik Hak Mendahulu negara atas utang pajak maupun Hak Mendahulu atas Jaminan Fidusia tidak diterapkan di dalam putusan ini atau dengan kata lain dikesampingkan. Penerapan keduanya secara bersamaan susah untuk dilakukan di dalam kondisi kepailitan yang harta pailitnya tidak cukup untuk melunasi utang-utang para kreditur

Based on legislation Tax Debts are given the highest position among other creditors, therefore the state is said to have the right of precedence over the repayment of tax debts or this right could also be referred as tax claim priority. In the event of bankruptcy, the application of the tax claim priority is often disregarded, resulting in violations of the Tax Law. In addition to the tax debt, the Fiduciary Beneficiary also has a Fiduciary Guarantee Priority on the repayment from the execution of the object of the fiduciary guarantee. So that if both are faced in a bankruptcy case, there will be a collision between the two Priority Rights. Through a case study of Supreme Court Decision Number 72PK/Pdt.SusBankruptcy/2015, an analysis will be made of the application of the Tax Priority Claim over tax debts and the Fiduciary Guarantee Priority Right in the decision by also analyzing the judge's consideration of the application of these two Priority Rights. The matter discussed in this paper is the position of KPP-PMAD and Tennan Metal as creditors with Priority Rights in the bankruptcy case of PT Yinchenindo Mining Industry and the application of Priority Rights in Supreme Court Decision a quo. This research is using juridical normative method by using secondary data as the main source of this research. Based on the results of the analysis, it is known that although the position of KPP-PMAD is not determined inside Bannkcruptcy law but it is referred as a preferred creditor and Tennan Metal is as a separatist creditor, then related to the application of the Priority Rights in the court decision, both rights are not applied in this court decision. Applying both simultaneously is difficult in bankruptcy situations where the bankruptcy estate is insufficient to pay off creditors' debts"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handari Rozellini
"Skripsi ini membahas mengenai adanya cessie piutang dalam hukum kepailitan, khususnya pada suatu permohonan pernyataan pailit. Terdapat berbagai persoalan seperti dilakukannya cessie atas sebagian piutang oleh kreditor untuk menciptakan kreditor baru sehingga terpenuhi salah satu syarat mengajukan permohonan pailit, yaitu adanya dua atau lebih kreditor.
Berdasarkan hal tersebut, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Apakah cessionaris termasuk dalam kreditor yang didefinisikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) 2. Bagaimana mekanisme pembuktian sederhana terhadap adanya cessie piutang dalam suatu permohonan pernyataan kepailitan atas debitor?
Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa cessionaris termasuk dalam kreditor yang didefinisikan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU sepanjang cessie piutang yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan syarat sahnya cessie. Peneliti juga memperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan mekanisme pembuktian sederhana dalam hal adanya cessie piutang pada suatu permohonan pernyataan pailit. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif.

The focus of this thesis is on the existence of debt assignment in bankruptcy law, particularly in relation to a petition for declaration of bankruptcy. There are various issues regarding debt assignment, such as partial debt assignment by a creditor to create a new creditor (cessionaris) so that the requirement for there to be two or more creditors, in order to submit a bankruptcy petition, is fulfilled.
Based on the preceding, the Writer formulated and discussed the following problems: 1) Are cessionaris classified as creditors defined in Article 2 paragraph (1) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation For Payment of Debts (UUK-PKPU) 2. How is the ordinary evidentiary mechanism implemented towards debt assignment in a petition for declaration of bankruptcy exist.
At the end, the Writer arrived at the conclusion that cessionaris are classified as creditors defined in Article 2 paragraph (1) UUK-PKPU to the extent that the debt assignment is not contrary to the requirements for a debt assignment to be valid. The Writer also came to the conclusion that there is a different ordinary evidentiary mechanism in the case of a debt assignment in a petition for declaration of bankruptcy. This research is in the form of a normative juridical with a descriptive typology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61536
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>