Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121173 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdur Rachman Iswanto
"Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, melahirkan kebijakan pengetatan pemberian Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang meliputi Hak Pembebasan Bersyarat, Hak Remisi, Hak Asimilasi, Hak Cuti Bersyarat, Hak Cuti Menjelang Bebas kepada narapidana tertentu. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap pelaksanaan pemasyarakatan, Narapidana yang haknya  di perketat enggan mengikuti program pembinaan. Puncaknya timbul kerusuhan di beberapa lembaga pemasyarakatan. Kebijakan pengetatan tersebut bertentangan dengan konsepsi pemasyarakatan sebagaimana di atur di dalam Undang-Undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang bertujuan untuk membina dan membimbing narapidana bukan lagi sebagai tindakan pembalasan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 harus segera di cabut agar sesuai dengan semangat yang terkandung dalam konsepsi pemasyarakatan dengan memasukkan klausul kepentingan perlindungan dan pengayoman bagi narapidana.

The implementation of Government Regulation No. 99 Year 2012 on the Second Amendment to Government Regulation No. 32 Year1999 on Terms and Procedures for the Implementation of the Right of inmates, confined the policy tightening in granting rights to the prisoners, such as the rights of Conditional Parole, Remission Rights, Rights of Assimilation, rights of Conditional leave, leave rights before the release to certain inmates. The policy generate the impact on the implementation of correctional system, inmates are reluctant to follow the treatment program. The climax of the prisoners responses is riotsin several prisons. The tightening policyis contrary to the conception of correctional as regulated in the Law No.12 Year 1995 on Corrections which  aim to promote and guide the inmate as no longer an act of retaliation. Based on the above the Government Regulation No. 99 Year 2012should be revoked or with drawed as soons possible to conform the spirit embodied in the concept of correction by inserting clauses for the protection of prisoners."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyuni Kristinawati
"Disertasi ini bertujuan menampilkan gambaran trait callous unemotional CU pada narapidana pria pelaku pembunuhan secara lebih jelas dan rinci. Trait callous unemotional merupakan trait dengan ciri kurangnya rasa bersalah atau penyesalan, kejam, ketiadaan empati, afek miskin deficient , dan tidak mengekspresikan perasaan atau menunjukkan emosi pada orang lain kecuali secara dangkal atau saat digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Subjek penelitian ini adalah 14 orang narapidana pria pelaku pembunuhan berusia 14-25 tahun, delapan orang di antaranya pelaku pembunuhan berencana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan bertumpu pada data wawancara mendalam.Penelitian ini menemukan pelaku pembunuhan berencana cenderung memiliki trait CU dibandingkan pelaku pembunuhan tidak berencana. Diketahui bahwa yang membedakan kuat lemahnya trait CU adalah onset dan intensitas tindakan kekerasan pada masa sebelumnya. Trait callous unemotional terjadi pada individu dengan onset sejarah agresi usia dini dan menunjukkan peningkatan agresi dari waktu ke waktu. Faktor lain yang berkontribusi dalam trait CU adalah relasi emosional, lemahnya penanaman norma keluarga, relasi dengan teman sebaya pro agresi, serta perilaku berisiko misal konsumsi alkohol, perilaku seksual berisiko . Meskipun pelaku pembunuhan cenderung menampilkan trait CU, sebagian pelaku khususnya pelaku pembunuhan tidak berencana menampilkan dominansi trait unemotional dengan trait callous yang tidak menonjol.

This dissertation aims to present a more detailed description of callous unemotional CU trait in male convicting murders. Callous unemotional trait is characterized by the lack of guilt or remorse, callous-lack of empathy, deficient affection the absence of expression of feelings to others except in ways that seem shallow or superficial or when they are used for gain . The subjects of this study are 14 male convicts of murders ranged from 14-25 years old, eight of whom are the perpetrators of premeditated murder. The research method used in this research is case study by relying mostly on the in-depth interview data.The study found the perpetrators of premeditated murder tends to have clear CU traits compared to non-planned murder perpetrators. It is found that what distinguishes the weakness or the strength of the CU trait is not the age of the perpetrator but the onset and intensity of the past acts of violence. Callous unemotional trait occurs in individuals with an onset of early aggression history and show an increased aggression over time. Other factors contributing to CU trait are emotional relationships, weak family socialization on norms, relationships with peers who have pro-aggression values, and risky behaviors eg. alcohol consumption, risky sexual behavior . While perpetrators of murders tend to display the CU trait, some of the perpetrators, especially the perpetrators of the unplanned murders, show callous-unemotional trait with low dominance on callousness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
D2500
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oki Lestari
"Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat pelaksanaan pembinaan bagi narapidana. Pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana lanjut usia harus berbeda perlakuannya dari narapidana lainnya, karena kebutuhan dan kemampuan seorang lanjut usia berbeda dengan yang belum lanjut usia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi pembinaan yang tepat bagi narapidana lanjut usia pada lembaga pemasyarakatan.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan menggunakan pedoman wawancara sebagai pedomannya. Hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif analisis dengan objek penelitian pada Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA  Salemba.Hasil analisis menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang dan Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Salemba belum memiliki program pembinaan yang terencana yang diperuntukkan bagi narapidana lanjut usia, kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang, serta alokasi anggaran yang belum memadai untuk meningkatkan kesejahteraan narapidana lanjut usia. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian diajukan beberapa strategi yaitu: 1) Membuat pola pembinaan khusus narapidana lanjut usia, 2) Membuat alokasi anggaran kesehatan khusus narapidana lanjut usia, 3) Menyediakan sarana prasarana yang mendukung dan membangun kemitraan dengan pihak luar,4) Meningkatkan kualitas SDM tenaga kesehatan di lapas.

Correctional Institution is a place for implementing guidance for inmates. Guidance made for elderly inmates must be different from the other inmates. This is because the needs and capabilities of an elderly inmates are different from a much youngerinmate. The purpose of this study is to determine the appropriate guidance strategies for elderly inmates in correctional institutions. This study used a qualitative approach, and also used interview guide as its guideline. The results of this study are described in descriptive analysis with case studysubjectsfrom Class I Cipinang Correctional Institution and Class IIA Salemba Correctional Institution. The results of the analysis showed that the Class I Cipinang Correctional Institution and Class IIA Salemba Correctional Institution do not have a planned guidance program for elderly inmates, lack of facilities and infrastructure support, as well as do not have an adequate budget allocation for improving the welfare of their elderly inmates. To overcome these problems, the present study proposed several strategies, as follows: 1) Create a guidance model specific for elderly inmates, 2) Create a health budget allocation specific for elderly inmates, 3) Provide and improved infrastructure and facilities as well as build partnership with external parties, 4) Improve the quality of human resources of the health workers in prisons."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Zainab
"Seiring dengan berkembangnya kejahatan-kejahatan terorganisasi khususnya Narkotika, merupakan kejahatan yang berdampak merugikan bangsa dan negara secara luas sehingga dikategorikan kejahatan serius atau disebut juga sebagai "extra ordinary crime". Bangsa Indonesia siaga terhadap penanggulangan kejahatan-kejahatan tersebut dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan kriminal. Salah satu kebijakan tersebut dengan Moratorium/Pengetatan Hak-hak Narapidana mendapatkan Remisi, Asimilasi dan Pembebasan bersyarat, hal ini ditujukan untuk efek jera bagi pelaku kejahatan tersebut dan memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas. Dengan semangat tersebut maka diberlakukan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang moratorium syarat mendapatkan Remisi, Asimilasi dan pembebasan bersyarat, yaitu PP No 99 Tahun 2012. Namun pemberlakuan PP No 99 Tahun 2012 tersebut menimbulkan polemik karena dianggap diskriminatif, melanggar HAM dan bertentangan dengan tujuan pemidanaan serta Hierarki perundang-undangan, selain itu pertentangan yang terjadi timbul pada salah satu syarat moratorium hak mendapatkan Remisi dan pembebasan bersyarat adalah harus bersedia bekerjasama dengan penegak hukum membongkar kejahatan yang dilakukanya ( Justice Collaborator) serta pertentangan bahwa pada saat seseorang telah berstatus sebagai narapidana harusnya telah memasuki tahap pembinaan dan mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membicarakan lagi tentang kejahatan yang dilakukan.

The development of organized crime especially for Narcotics and Drugs Crimes inflict such destruction impact into our nation, so this crime is being called as serious crime and also called an Extra Ordinary Crime. Indonesia is preparing to prevent these crimes by applying some criminal policies. One of the criminal policy which applied by the Indonesian Government is the Moratorium of Inmates Rights to obtain the remission, assimilation, and parole. This policy aims to give the detterent effect to those narcotics and drugs offender and to reach the values of justice for society as well. With the spirit as mentioned above, the Indonesian Government enact The Government Ordinance No. 99/2012. But in other side, the enactment of this regulation evoke a polemic. The polemic raise because this regulation has been considered as a discriminative regulation, breached the universal values of human rights, contradictive with the sentencing purpose and also contradictive with the hierarchy of regulations as well. Another unappropriate rule in this regulation is the requirement for the inmate to become a justice collaborator. An inmate of these crimes should be in rehabilitation and development phase, not in the phase of arguing the crime itself which is past in the pra-ajudication and ajudication phase.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42326
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Pramudya
"Skripsi ini membahas tentang proses pemberdayaan guna membangun inklusivitas kepada mantan warga binaan yang pada kehidupannya mengalami pengucilan atau tereksklusi akibat stigma negatif yang telah tertanam didalam masyarakat. Oleh karena itu Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun memberikan kesempatan dan peluang dengan melaksanaan program pelatihan kewirausahaan barista. Penelitian ini menyorot konsep inklusi sebagai suatu kondisi dimana individu atau kelompok dapat mengakses kebutuhannya dalam berpartisipasi di masyarakat seutuhnya. Adapun dalam penelitian ini juga menjelaskan penggunaan istilah yang baik dan benar antara narapidana, warga binaan, mantan narapidana, dan mantan warga binaan yang dalam UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan mendefinisikan Narapidana sebagai terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan konsep yang lebih luas lagi yaitu golongan individu yang mencakup Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan yang diberikan program pelatihan hidup sebagai bekal setelah kembali ke masyarakat di LAPAS dan/atau Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sesuai dengan sistem pemasyarakatan yang ditetapkan. Penjelasan definisi ini dilakukan dengan tujuan agar kedepannya masyarakat dapat lebih memahami penggunaan-penggunaan istilah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana proses pemberdayaan mantan warga binaan dijalankan dapat membangun inklusivitas serta faktor pendukung dan faktor penghambat yang mempengaruhi pelaksanaan pemberdayaan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli – November tahun 2021 ditengah kondisi pandemik pada Kantor Pusat Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun, Kebayoran Baru, Jakarta. Data dikumpulkan melalui melalui studi literatur dan wawancara secara daring dengan total 7 informan yang berinteraksi atau mengetahui pelaksanaan kegiatan pemberdayaan di Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan mantan warga binaan melalui pelatihan kewirausahaan barista oleh YIIM telah menerapkan konsep pemberdayaan dengan baik meliputi pemberdayaan yang berlandaskan empat prinsip penting dalam pemberdayaan, mencapai tujuan pemberdayaan yaitu menghasilkan masyarakat yang mandiri dan berdaya, penyusunan strategi yang sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan target sasaran, dan tahapan pemberdayaan yang dengan dilakukan secara bertahap, terstruktur, mencapai capaian keberhasilan dari masing-masing tahapan yang dapat ditemukan dalam kegiatan utamanya yaitu pemberian materi, pemagangan, dan pembinaan. Selain itu proses pemberdayaan yang dilakukan oleh YIIM dalam pelatihan kewirausahaan barista juga berhasil membangun inklusi terhadap mantan warga binaan dengan meningkatkan keterampilan, penerimaan dan kepercayaan sehingga mereka dapat berpartisipasi dan berkontribusi kembali ke dalam masyarakat sehingga terpenuhi kesejahteraannya baik sendiri maupun keluarga dalam memenuhi kebutuhan penting sehari- harinya. Faktor pendukung yang mempengaruhi pelaksanaan pemberdayaan dalam pelatihan barista adalah motivasi yang tinggi dari peserta program yang berhasil berubah, dukungan penuh dari Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun dan seluruh mitra yang terlibat, dukungan dari keluarga dan kerabat dekat, dan dukungan dari Bapas Kelas 1 Jakarta Pusat. Sedangkan faktor yang menjadi penghambat dalam berasal dari peserta program yang kurang memiliki kesadaran untuk melakukan suatu perubahan, kurangnya hubungan interpersonal yang terjalin antara peserta program dengan staf lembaga, kurangnya SDM lembaga, dan kondisi pandemi yang mempengaruhi aktivitas dan kegiatan pelatihan barista.

The focus of this study discusses the empowerment process in order to build inclusiveness for former inmates who experienced exclusion due to negative stigma that has been embedded in society, therefore Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM) provides opportunities by implementing a barista entrepreneurship training program. This study highlights the concept of inclusion as a condition where individuals or groups can access their needs in participating in the whole community, in where this relates to the existence of former inmates in the community who experience difficulties in interacting normally again. This study also explains the use of good and correct terms between inmates, inmates, ex- convicts, and ex-inmates which UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan defines prisoners as convicts who undergo the crime of missing independence in Correctional Institutions (LAPAS). and Correctional Inmates with a broader concept, namely individual groups that include prisoners, correctional students, and correctional clients who are given life training programs as provisions after returning to the community in LAPAS and/or Correctional Centers (BAPAS) in accordance with the correct correctional system set. The explanation of this definition is carried out with the aim that in the future, the public can better understand the uses of these terms. The purpose of this research is to explain how the process of empowering former inmates can build inclusiveness, as well as the supporting and inhibiting factors that affects the implementation of empowerment. This research is a qualitative research with a descriptive study. Data collection was carried out in July – November 2021 in the midst of a pandemic condition at the Head Office of the Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun, Kebayoran Baru, Jakarta. Data was collected through literature studies and online interviews with a total of 7 informants who interacted or knew about the implementation of empowerment activities at the Inspirasi Indonesia Building Foundation. The results show that the the empowerment of former inmates through barista entrepreneurship training by YIIM was implemented well, including the four important principles in empowerment, which are achieving empowerment goals, namely producing an independent and empowered community, formulating strategies that are in accordance with perceived needs. targets, and stages of empowerment which are carried out in stages, structured, achieving the success of each stage which can be found in its main activities, namely the provision of materials, apprenticeship, and coaching. In addition, the empowerment process carried out by YIIM in the barista entrepreneurship training has also succeeded in building inclusion of former inmates by increasing skills, acceptance and trust so that they can participate and contribute back to society. Supporting factors that influence the implementation of empowerment in barista training are the high motivation of program participants who have succeeded in changing, full support from YIIM and all partners involved, support from family and close relatives, and support from Bapas Kelas 1 Jakarta Pusat. Meanwhile, the inhibiting factors came from program participants who lacked awareness to make a change, lack of interpersonal relationships that existed between program participants and institutional staff, lack of institutional human resources, and pandemic conditions that affected the barista training activities and activities."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiansyah
"ABSTRAK

Penuaan pada lansia mengakibatkan lansia termasuk ke dalam kelompok berisiko.

Kelompok berisiko lebih mudah terpapar masalah kesehatan, salah satunya adalah
kekerasan fisik dan psikologis. Kelompok berisiko yang berada dalam tempat
berisiko, menyebabkan individu tersebut sebagai kelompok rentan, salah satu
tempat berisko adalah lemabaga pemasyarakatan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran kekerasan fisik dan psikologis pada narapidana lansia di
lembaga pemasyarakatan Jawa Barat. Penelitian menggunakan sampel total
berjumlah 36 responden yang terdapat di tiga lembaga pemasyarakatan. Instrumen
penelitian merujuk pada Hwalek-Sengstock Elder Abuse Screening Test (HS/
EAST) dengan menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunujukan bahwa
kekerasan fisik yang terjadi di lembaga pemasyarakatan sebesar 41,67% dan
kekerasan psikologis 36,11%. Suku sunda adalah suku yang mengalami kekerasan
fisik dan psikologi paling besar dibandingkan dengan suku lainnya. Hasil
penelitian merekomendasikan perawat, psikolog dan petugas lapas untuk bekerj
asama dalam melakukan pencegahan kekerasan fisik dan psikologis, serta
meningkatkan sarana keagamaan dan spiritual sebagai koping yang dilakukan
oleh narapidana lansia.


ABSTRACT

Aging process causing elderly to become one of the vulnerable groups.

Vulnerable groups are susceptibleto health problems, including physical and
psychological abuse. Penitentiaries is one of vulnerable places that causes elderly
as a vulnerable groups.This study aimsto describe physical and psychological
abuse on elderly inmates in West Java Penitentiaries.Thisstudy was conducted at
three penitentiaries in West Java with 36 respondents usingHwalek-Sengstock
Elder Abuse Screening Test (H-S/EAST) instrument. The result showed that
physical abuse 41,67% and psychological abuse 36,11%.Sundanese is one of
ethnic groups that showed the biggest percentage of elderly physical and
psychological abuseamong the other ethnics. Nurses, psychiatrist, and penitentiary
officers need to prevent physical and psychological abuse together.Furthermore,
nurses need to optimize spritual and religious activities as a coping mechanism
among elderly inmates

"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S60345
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Astuti
"ABSTRAK
Tesis ini berfokus pada studi kebijakan pemasyarakatan yang terkait langsung dengan kebijakan terhadap pelaku tindak pidana extraordinary crime yakni Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan kedua atas peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Penolakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 hingga saat ini memperlihatkan hubungan erat antara peraturan pemerintah dengan kondisi di dalam Lapas dan sistem pemasyarakatan serta tidak kondusifnya sistem hukum nasional dalam penanganan extraordinary crime. Tujuan penelitian untuk mencari penyebab mengapa terjadi paradoks dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 terhadap prinsip pemasyarakatan yang ada dalam prespektif pemasyarakatan. Pendekatan penelitan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode kepustakaan yaitu content analisis analisis isi . Teknik pengumpulan data menggunakan bentuk analisis data kualitatif berupa pengumpulan data primer melalui studi dokumen dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan cara membangun argumentasi atas evaluasi permasalahan kebijakan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 yang dalam implementasinya menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat bertentangan dengan konsep, prinsip dan tujuan sistem pemasyarakatan.

ABSTRACT
This thesis focuses on the study of penal policies directly related to the criminal policy against extraordinary crime that ldquo Government Regulation No.99 of 2012 rdquo on Second Amendment of ldquo ldquo Government Regulation No.32 of 1999 rdquo about Terms and Procedures for Citizens Rights Patronage of Corrections. Rejection of ldquo Government Regulation No. 99 of 2012 rdquo to the present shows the close relationship between government regulation with the conditions in the prisons and the correctional system and not conducive to the national legal system in handling extraordinary crime. The research was aimed to find the cause of why happen paradox with the enactment of ldquo Government Regulation No.99 of 2012 rdquo on the principles contained in the correctional perspective. Research approach uses a qualitative approach. Data collection technique used form of qualitative data analysis collecting primary data through the study of documents and interviews. Data analysis was done by building an argument on the evaluation of policy issues issuance of ldquo Government Regulation No.99 of 2012 rdquo . The results can be concluded that the ldquo Government Regulation No.99 of 2012 rdquo in implementation raises the pros and cons of society that does not comply with the principles and goals of the concept of correctional system. "
2016
T46840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Mikhael Retno Hamonangan
"Penelitian ini membahas justice collaborator sebagai syarat remisi bagi narapidana tindak pidana narkotika berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi lapangan, yakni melakukan wawancara langsung dengan Badan Narkotika Nasional, Polisi, Jaksa, Lembaga Pemasyarakatan, dan juga narapidana tindak pidana narkotika. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa pembatasan hak narapidana dalam memperoleh remisi dengan syarat justice collaborator adalah melanggar hak narapidana sebagaimana yang diatur dalam undang-undang. Perlu juga diatur mengenai penentuan justice collaborator bagi narapidana sehingga memberikan kepastian kepada narapidana yang menjadi justice collaborator perlindungan dan penghargaan.

This research discusses justice collaborator as a requirement for convict remissions of narcotics crime based on the Government Regulation Number 99 in 2012 about Terms and Procedures for Implementation of the Prison Rights Citizens. This research was conducted by using the technique of collecting data through fieldwork, doing a interview with the National Anti Narcotics Agency, Police, Prosecutors, Lembaga Pemasyarakatan, and also Convict of narcotics crime. As a results of the analysis concluded that the restriction of the rights convict in obtaining remission to provided justice collaborator is in violation of the prisoners rights, as settled in regulation. It should be also regulated about determining justice collaborator for convict thus giving certainty to the convict who became a protection and reward of justice collaborator.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62451
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Mutiara Nelson
"
ABSTRAK
In 1999, the Government of Indonesia established Government Regulation (GR) 32/1999 on the Procedures for The Implementation of the Rights of Inmates and has been amended lastly by GR 99/2012. However, the establishment of GR 99/2012 creates complication and unfairly discriminates against inmates committing to an extraordinary crimes (terrorism, drug abuse, corruption, crimes against the security of the state, crimes against humanity and other transnational organized crimes) that impedes such inmates to submit remission and parole. This paper examines the consistency between the implementation of GR 99/2012 and the concept of criminal punishment in Indonesia. This paper is a summary of empirical juridical research that reports the influences of GR 99/2012 on inmates in correctional institutions. Data used for this research was obtained from interviews, observation, desk reviews and focus group discussion with government officials. Based on the findings, it could be inferred that GR 99/2012 has impeded the fulfillment of the inmates rights on parole and remission due to complication of procedures, additional fines, and multi interpretation of the regulation. Furthermore, it affects the aggravation of overcrowding, violations against inmates rights, and illegal practices within the process. Based on the analysis as discussed in this paper, GR 99/2012 is inconsistent with the concept of criminal punishment in Indonesia because it impedes inmates to return within society. This paper proposes that GR 99/2012 should be revoked and revised in accordance with the spirit of Corrections Act and to creat synergy among law enforcers in fulfilling the inmates rights."
Depok: University of Indonesia, Faculty of Law, 2017
340 UI-ILR 7:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Nelvita
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015
364.66 NEL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>