Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194605 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fikri
"Latar belakang: Di Indonesia gagal jantung telah menjadi masalah utama komunitas karena tingginya biaya perawatan, kualitas hidup yang rendah, dan kematian prematur. Hingga saat ini loop diuretic masih merupakan terapi utama pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) dengan klinis kongesti. Respon diuresis dapat diukur secara objektif melalui pengukuran natrium urin. Natrium urin yang rendah atau tetap rendah setelah pemberian loop diuretic dapat menunjukkan derajat gagal jantung yang lebih berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon natriuresis 2 jam paska pemberian loop diuretic serta hubungannya terhadap lama masa rawat dan rawat ulang dalam 30 hari.
Metode: Dilakukan pengukuran kadar natrium dalam urin sebelum dan 2 jam paska pemberian loop diuretic pada pasien gagal jantung dekompensasi akut, lalu diobservasi lama masa rawat dan kejadian rawat ulang dalam 30 hari paska rawat pada masing-masing kelompok kadar natrium urin rendah dan kadar natrium urin tinggi.
Hasil: Dari 51 pasien yang diuji, rerata usia adalah 52.62 ± 13.72 tahun, mayoritas laki-laki (78.4%). Mayoritas sampel juga menerima obat-obatan gagal jantung selama perawatan. Sebanyak 40 (78,4%) orang menerima obat gagal jantung golongan ACE inhibitor/ARB dan 36 (70,4%) orang menerima obat golongan beta-blocker. Kadar natrium urin 2 jam pasca pemberian loop diuretic berkorelasi moderat dengan lama masa rawat yang semakin singkat (p< 0.05), ditemukan perbedaan signifikan dengan median lama masa rawat pada kelompok tingkat natrium rendah selama 7 (IQR 4 – 11) hari dan pada kelompok natrium tinggi selama 5 (IQR 2,25 – 6) hari. Sedangkan hubungan tingkat kadar natrium urin 2 jam pasca pemberian loop diuretic dengan rawat ulang dalam 30 hari tidak ditemukan perbedaan hubungan bermakna antara kedua variabel ini. Terdapat hubungan bermakna (p < 0,05) antara pengobatan beta-blocker dan ACE inhibitor/ARB rawat ulang dalam 30 hari. Pengobatan beta-blocker dan ACE inhibitor/ARB mengurangi risiko rawat ulang.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kadar natrium urin 2 jam paska loop diuretic dengan lama masa rawat, dimana kadar natrium rendah memiliki lama masa rawat lebih panjang. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhubungan dengan kejadian rawat ulang dalam 30 hari.

Background: In Indonesia, heart failure has become a major community problem because of the high cost of care, low quality of life, and premature death. Until now, loop diuretics are still the main therapy in patients with acute decompensated heart failure (ADHF) with clinical congestion. Diuresis responsiveness can be measured objectively by measuring sodium urine. Low sodium urine or remains low after loop diuretic administration may indicate a more severe degree of heart failure.This study aims to determine the response of natriuresis 2 hours after loop diuretic administration and its relationship to length of stay and readmission in 30 days.
Result: Among the 51 patients tested, the mean age was 52.62 ± 13.72 years, the majority were men (78.4%). The majority of the samples received heart failure drugs during treatment. A total of 40 (78.4%) people received ACE inhibitors/ARB and 36 (70.4%) received beta-blockers. Urinary sodium level 2 hours after loop diuretic administration was moderately correlated with shorter length of stay (p < 0.05), a significant difference was found with the median length of stay in the low sodium level group for 7 (IQR 4 – 11) days and in the sodium group. high for 5 (IQR 2.25 – 6) days. Meanwhile, the relationship between urinary sodium levels 2 hours after loop diuretic administration and hospitalization within 30 days was not found to be significantly different between these two variables. There was a significant relationship (p < 0.05) between beta-blocker and ACE inhibitors/ARB treatment and re-admission within 30 days. Beta-blocker and ACE inhibitors/ARB treatment reduced the risk of readmission.
Conclusion: There is a relationship between urinary sodium levels 2 hours after loop diuretic and length of stay, where low sodium levels have a longer length of stay. However, it is not related to the readmission incidence within 30 days
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Ferly
"Latar Belakang : Gagal jantung adalah salah satu kondisi dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Penyebab paling sering dari masalah gagal jantung adalah iskemia yang disebabkan oleh stenosis pada pembuluh darah koroner. Studi viabilitas adalah metode non-invasif untuk mengidentifikasi sel miokard yang mengalami kondisi stunning maupun hibernating yang mungkin memperoleh manfaat dari revaskularisasi. Studi sebelumnya mencoba melihat perananan viabilitas dengan kesintasan tidak menemukan kaitan antara adanya viabilitas miokard dan juga kesintasan.

Tujuan : Studi ini mencoba membandingkan luaran kejadian kardiovaskular mayor (KKM), mortalitas, rehospitalisasi maupun perbaikan dari fraksi ejeksi pada pasien kardiomiopati iskemik yang akan menjalankan bedah pintas arteri koroner dengan atau tanpa studi viabilitas

Metode : Suatu studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun yang diputuskan untuk dilakukan Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) oleh Heart Team Meeting dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Pasien tersebut dikelompokan kedalam grup yang dilakukan studi viabilitas dan grup yang tidak dilakukan studi viabilitas. Dilakukan follow up pada pasien ini dan dilakukan pencatatan luaran seperti kematian, rehospitalisasi dan juga perbaikan dari fraksi ejeksi.

Hasil : Didapatkan adanya 216 pasien yang menjalankan BPAK dengan dilakukan pemeriksaan viabilitas dan 269 pasien yang menjalankan BPAK tanpa dilakukan pemeriksaan viabilitas. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara dilakukannya uji viabilitas dengan luaran KKM, mortalitas maupun rehospitalisasi paska dilakukan prospensity score adjustment. Namun, mereka yang dilakukan uji viabilitas lebih banyak yang mengalami perbaikan fraksi ejeksi dibandingkan dengan mereka yang tidak dilakukan uji viabilitas.

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan dari KKM, kesintasan maupun rehospitalisasi pada pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas dibandingkan dengan mereka yang menjalankan BPAK tanpa data viabilitas. Namun, pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas lebih mungkin memiliki perbaikan dari fraksi ejeksi


Backgrounds : Heart failure with reduced ejection fraction is one of the condition with significant morbidity and mortality. The most common etiology is ischemia caused by stenosis of coronary artery. Viability study is a non-invasive methods to identify which myocardial cells that may experienced stunning or hibernating conditions that may gain benefit from surgical revascularization using coronary artery bypass graft (CABG). Previous study failed to identify the benefit of viability study on major adverse cardiovascular events (MACE), mortality or rehospitalization.

Aim : This study aims to compare the outcome of major adverse cardiovascular events (MACE), mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction in patients with ischemic cardiomyopathy that had coronary artery bypass graft surgery with and without undergoing myocardial viability study.

Methods : A retrospective cohort study were done on patients with heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) that were decided to do coronary artery bypass graft by heart team meeting of National Cardiovascular Center Harapan Kita. The patients were grouped according to whether they undertook viability study or not. Follow up were done on these patients and outcome such as mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction were recorded.

Results : There are 216 patients that had CABG with viability study and 269 patients that had CABG without viability study. There are no statistically significant differences between those undergoing viability study and outcome of MACE, mortality or rehospitalization after prospensity score adjustment. However, those with viability study are more likely to have improvement of ejection fraction compared to those that do not have viability results.

Conclusion : There are no differences in either MACE, survival or rehospitalization in patients that did CABG procedure with viability data compared to those that do not have the data. However, those that have viability data are more likely to have improvement of ejection fraction."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pandu Pratama
"Latar belakang: Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA) merupakan penyebab utama terjadinya kematian dan kesakitan di dunia. Angka kematian dalam perawatan di dunia adalah sebesar 3-4%, sementara di Indonesia sebesar 11,2% berdasarkan Indonesian Registry of Heart Failure. Tatalaksana menggunakan diuretik loop telah dibuktikan efektif dalam meredakan kongesti, namun penggunaan secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya komplikasi berupa resistensi diuretik. Resistensi diuretik terjadi pada 20-35% pasien dengan GJDA dan telah diketahui sebagai prediktor independen terhadap terjadinya perburukan luaran klinis, kematian segera paska perawatan dan kejadian rawat ulang.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik pada pasien GJDA brdasarkan penyakit yang mendasari, komorbid, tanda vital, fraksi ejeksi ventrikel kiri dan laboratorium.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan pada 535 pasien yang dirawat dengan GJDA selama periode Januari-Desember 2019. Resistensi diuretik didefinisikan sebagai respon diuresis kurang dari 1400ml dalam 24jam pertama setelah pemberian 40mg furosemide intravena (atau setara).
Hasil: Resistensi diuretik terjadi pada 68% pasien. Prediktor independen terhadap terjadinya resistensi diuretik yang diperoleh dari analisa regresi logistik multivariat adalah: riwayat DM (p = 0.013), riwayat penggunaan diuretik loop iv > 6 hari (p = 0.002), dosis diuretik loop oral > 80mg/hari (p = 0.006), FEVKi ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001) dan klorida serum < 98mmol/L (p < 0.001). Sebagai tambahan, sebuah sistem skoring telah dibuat berdasarkan model akhir tersebut.
Kesimpulan: Kejadian resistensi diuretik dapat diprediksi berdasarkan karakteristik pasien, parameter klinis dan laboratorium. Sistem skoring baru dapat memprediksi kejadian resistensi diuretik pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap.

Background: Acute Decompensated Heart failure (ADHF) is a leading cause of mortality and morbidity in the world. In-hospital mortality rate is 3-4%, while in Indonesia it is 11.2% based on the Indonesian Heart Failure Registry. The management of using loop diuretics has proven effective in relieving congestion yet continuous utilization could lead to the development of diuretic resistance. Diuretic resistance occurs in 20-35% of patients with ADHF and has been shown to be an independent predictor of worsening clinical outcomes, immediate post-treatment death and re-admission events.
Objective: to identify factors that influence the occurrence of diuretic resistance in ADHF patients based on the underlying disease, comorbidities, vital signs, left ventricular ejection fraction and laboratory.
Methods: A cohort retrospective study was conducted on 535 patients treated with ADHF from January-December 2019. Diuretic resistance was defined as a diuresis response of less than 1400ml in the first 24 hours after administration of 40mg of intravenous furosemide (or equivalent).
Results: Diuretic resistance occurs in 68% of patients. Independent predictors obtained from multivariate logistic regression analysis were: history of DM (p = 0.013), history of using iv loop diuretics > 6 days (p = 0.002), oral loop diuretic dose > 80mg/day (p = 0.006), LVEF ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001)and serum chloride <98mmol/L (p <0.001). In addition, a scoring system has been made from the final model.
Conclusion: Diuretic resistance could be predicted using patient's characteristics, clinical parameters and laboratory findings. A new scoring system could predict diuretic resistance among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azlan Sain
"Latar belakang: Pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi memiliki angka readmisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi ejeksi normal, dan angka readmisi paling tinggi pada 30-hari pertama pascakeluar admisi sebelumnya. Sekitar 30% pasien dengan gagal jantung juga mengalami Diabetes Melitus (DM) Tipe-2. Sejauh ini, belum ada prediktor kejadian readmisi dalam 30-hari pada pasien dengan populasi tersebut di RSJPDHK, khususnya prediktor dari sisi klinis dan metabolik.
Tujuan: Mengetahui prediktor klinis dan metabolik terhadap kejadian readmisi dalam 30-hari pada pasien Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe-2.
Metode: Studi dilakukan secara kohort retrospektif, data diambil dari rekam medis berdasarkan admisi pasien yang memenuhi kriteria inklusi antara Januari 2016-Januari 2021. Luaran klinis terbagi menjadi kelompok readmisi dan kelompok non-readmisi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian readmisi akibat perburukan kondisi gagal jantung pada 30-hari pascaadmisi terakhir di RSJPDHK. Dilakukan analisis multivariat untuk menentukan prediktor yang bermakna menentukan readmisi dalam 30-hari
Hasil: Dari total 747 subjek penelitian, 179 subjek termasuk ke dalam kelompok readmisi, dan 568 subjek termasuk ke dalam kelompok non-readmisi (angka readmisi 24%). Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian readmisi dalam 30-hari adalah: irama fibrilasi atrium (OR 2.616; 95% IK: 1.604-4.267; p 0.000), serta denyut jantung saat pulang rawat (OR 1.022; 95% IK: 1.005-1.039; p 0.010). Kadar gula darah post-prandial < 140 mg/dL menjadi prediktor protektif untuk kejadian readmisi dalam 30-hari (OR 0.528; 95% IK: 0.348-0.802; p 0.003).
Kesimpulan: Dua faktor klinis yaitu irama fibrilasi atrium dan denyut jantung saat akhir masa rawat menjadi prediktor readmisi yang bermakna terhadap kejadian readmisi dalam 30-hari akibat perburukan kondisi gagal jantung, sedangkan kadar gula darah post-prandial < 140 mg/dL menjadi faktor protektif untuk kejadian readmisi 30-hari pada populasi pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe-2.

Background: Patients Heart Failure with reduced Ejection Fraction (HFrEF) had higher readmission rates than normal ejection fractions, and readmission rates were highest in the first 30-days post-admission. About 30% of patients with heart failure also have Type-2 Diabetes Mellitus (DM). So far, there is no predictors for the incidence of 30-days readmission in patients with this kind of population in National Cardiovascular Centre Harapan Kita (NCCHK).
Objective: To determine the clinical and metabolic predictors of 30-days readmission in patients with Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) with reduced ejection fraction and type-2 DM.
Methods: The study was conducted in a retrospective-cohort, data were taken from medical records based on admissions of patients who met the inclusion criteria between January 2016-January 2021. The clinical outcomes were divided into readmission and non-readmission groups. The clinical outcome assessed was the incidence of readmission due to worsening of the condition of heart failure at 30-days after the last admission at NCCHK. Multivariate analysis was performed to determine significant predictors for 30-day readmission.
Result: Of the total 747 research subjects, 179 subjects were included in the readmission group, and 568 subjects included in the non-readmission group (readmission rate 24%). Multivariate logistic regression analysis showed that the factors associated at 30-days readmission were: atrial fibrillation rhythm (OR 2.616; 95% CI: 1.604-4,267; p 0.000), heart rate at discharge (OR 1.022; 95% CI: 1.005-1.039; p 0.010). Post-prandial blood glucose level < 140 mg/dL was a protective predictor for 30-day readmission (OR 0.528; 95% CI: 0.348-0.802; p 0.003).
Conclusions: Two clinical factors, namely atrial fibrillation and heart rate at the end of hospitalization, were significant predictors of readmission in 30 days due to worsening of heart failure, while postprandial blood sugar levels < 140 mg/dL were protective factors for 30-days readmission in population of heart failure with reduced ejection fraction and type-2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Halimi
"Latar belakang: Pasien gagal jantung sering mengalami readmisi dengan tingkat mortalitas yang tinggi sehingga diperlukan deteksi dini dan tatalaksana yang tepat untuk memperbaiki prognosis. Resiko rawat inap akibat gagal jantung bahkan lebih meningkat pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2, yaitu 1.5x lebih tinggi. Menggunakan kecerdasan buatan, dapat dilakukan integrasi antara data klinis dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG dan rontgen thorax. Selain itu, kecerdasan buatan juga dapat membantu diagnosis di bidang kardiovaskular tanpa adanya variabilitas antar pengamat, serta meningkatkan efisiensi waktu dan biaya.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan kecerdasan buatan dengan statistik konvensional dalam memprediksi luaran klinis lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2 pada periode Januari 2018 – Maret 2023. Dilakukan analisis data menggunakan statistik konvensional dengan analisis bivariat dan multivariat, dimana hasilnya kemudian dibandingkan dengan analisis menggunakan algoritme kecerdasan buatan, yaitu Balanced Random Forest.
Hasil: Melalui rekam medis, didapatkan 292 subjek penelitian dengan persentase lama rawat >5 hari, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan yang diobservasi adalah 39.7%, 14.0%, 10.6%, dan 21.2% berturut-turut. Kemampuan diskriminasi kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk keempat luaran, dengan AUC lama rawat >5 hari adalah 0.800 vs 0.775, readmisi 0.790 vs 0.732, mortalitas 0.794 vs 0.785, dan luaran gabungan 0.628 vs 0.596.
Kesimpulan: Kecerdasan buatan lebih baik dibandingkan statistik konvensional untuk memprediksi luaran klinis berupa lama rawat, readmisi 30 hari, mortalitas 180 hari, dan luaran gabungan pada pasien GJDA dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe 2.

Background: Heart failure patients often experience readmissions with a high mortality rate, therefore early detection and appropriate management are required to improve the prognosis. The risk of hospitalization due to heart failure is increased 1.5x in type 2 diabetes mellitus (DM) patients. Using artificial intelligence, clinical data can be integrated with supporting examinations such as ECG and chest X-ray. Artificial intelligence can also help diagnoses in the cardiovascular field without inter-observer variability, as well as increasing time and cost efficiency.
Objective: This study aims to compare the ability of conventional statistics with artificial intelligence in predicting clinical outcomes, namely length of stay, 30-day readmission, 180- day mortality, and composite outcome in acute decompensated heart failure (ADHF) patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 292 ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM in the period January 2018 – March 2023. Data analysis was carried out using conventional statistics with bivariate and multivariate analysis, where the results were then compared with analysis using artificial intelligence algorithm, namely Balanced Random Forest.
Results: The percentages of outcomes observed for length of stay >5 days, 30 day readmission, 180 day mortality, and composite outcome were 39.7%, 14.0%, 10.6%, and 21.2% respectively. The discrimination ability of artificial intelligence was better than conventional statistics for all four outcomes, with the AUC of length of stay >5 days were 0.800 vs 0.775, readmission 0.790 vs 0.732, mortality 0.794 vs 0.785, and combined outcome 0.628 vs 0.596.
Conclusion: Artificial intelligence is better than conventional statistics in predicting clinical outcomes in the form of length of stay, 30-day readmission, 180-day mortality, and composite outcome in ADHF patients with reduced ejection fraction and type 2 DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Arintawati
"ABSTRAK
Latar Belakang: Prevalensi gagal jantung semakin meningkat per tahun, 60-70% disebabkan penyakit jantung koroner (PJK). Beberapa faktor risiko penyebab gagal jantung yaitu DM, hipertensi, obesitas, sindrom metabolik, dan aterosklerosis. Patofisologi gagal jantung sangat kompleks dan melibatkan banyak sistem, terjadi hipermetabolisme yang dapat menyebabkan penurunan
berat badan dan memicu terjadinya malnutrisi. Keadaan gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama membutuhkan penanganan segera di RS untuk menghindari komplikasi lebih lanjut.
Metode: Laporan serial kasus ini memaparkan empat kasus pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama, berusia antara 41 hingga 70 tahun, dan tiga diantaranya dengan riwayat DM tipe II. Semua pasien memerlukan dukungan nutrisi, tiga pasien memiliki status gizi obesitas dan satu pasien berat badan normal. Masalah berkaitan erat pada nutrisi keempat pasien adalah hipoalbuminemia, gangguan elektrolit, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, keseimbangan cairan, serta defisiensi mikronutrien. Perhitungan kebutuhan energi basal (KEB) dihitung berdasarkan rumus Harris Benedict dengan faktor stres sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta. Komposisi makronutrien diberikan menurut
rekomendasi Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) dan American Heart Association (AHA), pemberian protein disesuaikan dengan fungsi ginjal masing-masing pasien. Pemberian suplementasi mikronutrien juga diberikan
kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subyektif, hemodinamik, analisis toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan dan kapasitas fungsional.
Hasil: pemantauan selama di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, perbaikan kadar elektrolit dan peningkatan kapasitas fungsional.
Kesimpulan: Terapi nutrisi medik yang adekuat dapat memperbaiki kondisi klinis pasien gagal jantung dekompensasi akut karena infark miokard lama.

ABSTRACT
Background: The prevalence of heart failure increase annually, 60-70% due to coronary heart disease (CHD). Some of the risk factors associated with heart failure are diabetes, hypertension, obesity, metabolic syndrome, and atherosclerosis. The phatophysiology of heart failure is very complex and involves many systems. The occurance of hypermetabolism can lead to weight loss and triger malnutrition. The state of acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction require immediate treatment in hospital to avoid further complications.
Methods: This series of case report describes four cases of patients with acute myocardial heart failure, due to old infarction, aged between 41 to 70 years old, and three of them with a history of type 2 diabetes melitus. All patients required nutritional support, three patients had nutritional status of obese and one patient was normal in weight. The problems which closely linked to all nutrition of the four patients were hypoalbuminemia, electrolyte disturbances, impaired renal function, impaired liver function, fluid inbalance, and micronutrient deficiencies. Basal Energy Requirement was calculated using Harris Benedict formula with stress factors corresponding clinical condition and comorbidities. Macronutrients composition was given according to the recommendation of the Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) and the American Heart Association (AHA), while the provision of proteins was
tailored with the kidney function of each patient. Micronutrients supplementation was also given to four patients. Patient monitoring parameters included subjective complaints, hemodynamic, analysis tolerance
of intake, laboratory tests, anthropometric, fluid balance and functional capacity.
Results: During the monitoring period in the hospital four patients showed clinical improvement, increased tolerance of intake, improved electrolyte levels and increased functional capacity.
Conclusion:Adequate medical nutrition therapy can improve the clinical condition of patients with acute decompensated heart failure due to old myocardial infarction.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Gemalasari Liman
"Latar Belakang: Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hipokloremia berhubungan dengan peningkatan rehospitalisasi dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung (chloride hypothesis). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut hanya membandingkan kelompok pasien gagal jantung dengan hipokloremia dengan kelompok normokloremia saat admisi.
Tujuan: Mengetahui pengaruh normalisasi kadar klorida terhadap rehospitalisasi dan mortalitas pasien gagal jantung. Metode: Dilakukan penelitian kohort prospektif pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) yang dirawat inap dari September 2018 sampai Februari 2019. Pasien dengan hipokloremia dan normonatremia saat admisi dibagi menjadi kelompok hipokloremia persisten hingga saat pemulangan dibanding kelompok normokloremia saat pemulangan. Luaran primer adalah rehospitalisasi karena gagal jantung dalam 180 hari. Luaran sekunder adalah mortalitas dalam 180 hari. Hasil: Terdapat 162 pasien (53,6%) yang termasuk dalam kelompok hipokloremia persisten dan 140 pasien (46,3%) yang termasuk dalam kelompok normokloremia saat pemulangan. Model regresi Cox menunjukkan hipokloremia persisten tidak berkaitan bermakna dengan peningkatan rehospitalisasi karena gagal jantung (hazard ratio 1,21; interval kepercayaan 95% 0,78-1,89; p 0,392) dan mortalitas (hazard ratio 1,39; interval kepercayaan 95% 0,74-2,65; p 0,305) dibandingkan dengan kelompok normokloremia saat pemulangan.
Kesimpulan: Hipokloremia persisten pada pasien GJDA bukan merupakan prediktor independen terhadap rehospitalisasi gagal jantung dan mortalitas.

Background: Recent studies have shown that hypochloremia is associated with increased risk of rehospitalization and death in patients with heart failure (chloride hypothesis). In these studies, however, patients with hypochloremia were compared only with patients with a normal chloride level at hospital admission. Aim: To evaluate the effect of the normalization of serum chloride on the heart failure to rehospitalization and mortality. Method: This was a prospective cohort study of patients hospitalized for acute decompensated heart failure (ADHF) from September 2018 to February 2019. Patients with hypochloremia and normonatremia at admission were divided into patients with persistent hypochloremia at the time of discharge and patients who achieved normalization of their serum chloride levels at discharge. The primary outcome was 180-day rehospitalization. The secondary outcome was 180-day mortality.
Results: There were 162 patients (53,6%) with persistent hypochloremia and 140 patients (46,3%) with normochloremia at discharge. Cox regression model indicated persistent hypochloremia did not significantly predict heart failure rehospitalisation (hazard ratio 1.21; 95% confidence interval 0.78-1.89; p 0.392) and mortality (hazard ratio 1.39; 95% confidence interval 0.74-2.65; p 0.305) compared with group of normochloremia at discharge.
Conclusion: Persistent hypochloremia in ADHF patients is not an independent predictor of heart failure rehospitalisation and mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Hendra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Gagal jantung telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan seringkali diasosiasikan dengan tingginya frekuensi perawatan di rumah sakit dan lama rawat yang panjang. Sayangnya, hingga saat ini belum ada satupun penelitian yang menggambarkan lama rawat serta profil pasien gagal jantung di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran lama rawat dan mendeskripsikan karakteristik demografis serta karakteristik klinis dari pasien-pasien gagal jantung yang dirawat di RSUPN-CM pada tahun 2012
Metode: Dilakukan suatu studi dengan desain potong lintang dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien gagal jantung di RSUPN-CM selama tahun 2012. Selanjutnya dilakukan pengolahan data secara deskriptif untuk kemudian ditampilkan.
Hasil: Terkumpul data 331 pasien gagal jantung yang dirawat selama tahun 2012. Median usia adalah 58 tahun, 62,2% di antaranya adalah pria, dan 42,9% menggunakan jaminan sosial Askes/In-Health. Tingkat pendidikan yang terbanyak adalah pendidikan SMU dan sederajat sebanyak 23,9%. Median lama rawat 8 hari didapat dari perhitungan yang dilakukan terhadap semua pasien (NYHA I – IV), namun pada mereka yang dirawat dengan kelas fungsional NYHA III – IV saja, median lama rawatnya 9 hari. Pada awal perawatan, median tekanan darah sistolik 124 mmHg, denyut nadi 90 kali permenit, edema perifer terdapat pada 36,9% pasien, hipertensi 57,1%, diabetes mellitus 33,2%, penyakit jantung iskemik 74,9%, gangguan fungsi ginjal pada 46,2%, penyakit saluran pernafasan akut pada 45,9%, dan skor CCI terbanyak adalah 3.
Kesimpulan: Median lama rawat pasien gagal jantung di RSUPN-CM adalah 8 – 9 hari. Sebagian besar pasien adalah pria, berpendidikan SMU, dan menggunakan jaminan Askes/In-Health dengan median usia 58 tahun.

ABSTRACT
Introduction: Heart failure has become global health issue worldwide, as it has been associated with high rate of readmissions and prolonged hospitalizations. Indonesia has never had any publication describing the profile and length of hospital stay of their heart failure patients. Hence, the aim of this study is to obtain the length of hospital stay and describe the demographic characteristic as well as clinical characteristic of heart failure patients in Cipto Mangunkusumo General Hospital hospitalized in the year of 2012.
Methods: A cross sectional study was designed using secondary data from heart failure patients’ medical records in Cipto Mangunkusumo General Hospital admitted during 2012. Furthermore, data were calculated and presented thereafter.
Results: Based on the medical records of the year 2012, 331 heart failure patients were included in the study. Median age was 58 years old, 62,2% were men, 42,9% used Askes/In-Health as their social insurance payor, and as many as 23,9% had graduated from senior high school level. Median length of stay was 8 days for all patients, while for patients admitted with NYHA functional class III – IV, the median length of stay was 9 days. When patients were admitted to hospital, median systolic blood pressure was 124 mmHg, pulse 90 beats per minute, peripheral edema was shown in 36,9% of patients, hypertension in 57,1%, diabetes mellitus in 33,2%, ischemic heart disease in 74,9%, renal impairment in 46,2%, acute respiratory conditions in 45,9% of patients, and the most frequent CCI score was 3.
Conclusions: Median length of stay for heart failure patients in Cipto Mangunkusumo GH is 8 – 9 days. Most patients were men, senior high school graduate, and used Askes/In-Health as their social insurance, with median age 58 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meisinta Florentina
"Latar belakang: Penyakit jantung menjadi salah satu penyakit kronik yang menjadi masalah utama. Gagal jantung merupakan satu masalah penting di antara penyakit jantung. Rehospitalisasi orang gagal jantung berdampak terhadap bertambahnya beban biaya perawatan kesehatan, serta menyebabkan peningkatan risiko kematian.
Tujuan: Meneliti pengaruh komorbiditas terhadap rehospitalisasi dini orang dengan gagal jantung dalam 30 hari setelah keluar rawat inap pertama.
Desain: Kohort retrospektif berbasis Heart Failure Registry di klinik khusus gagal jantung Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta periode Oktober 2009-Oktober 2010, dengan total sampel 147 orang.
Hasil: Rehospitalisasi dini atau rehospitalisasi dalam 30 hari pertama setelah keluar rawat inap pertama sebesar 18,7%. Komorbiditas berpengaruh terhadap rehospitalisasi dini. Ada perbedaan efek antara laki-laki dan perempuan dengan gagal jantung. Odds rasio laki-laki tanpa atau dengan satu komorbiditas sebesar 3,1 (95% CI:0,8-11,6) lebih tinggi daripada odds rasio perempuan tanpa atau dengan satu komorbiditas dan juga yang lebih dari satu komorbiditas 2,6 (95%CI:0,4-17,9). Ketika laki-laki disertai lebih dari satu komorbiditas odds rasio meningkat menjadi 4,1 (95% CI:0,97-16,96).
Kesimpulan: Pengaruh komorbiditas terhadap rehospitalisasi dini berbeda antara laki-laki dan perempuan dengan gagal jantung. Peningkatan risiko rehospitalisasi dini lebih tinggi pada laki-laki dan meningkat seiring jumlah komorbiditas.

Background: Heart disease is one of main problems for chronic disease in Indonesia. Unfortunately, heart failure is the one important problem among heart diseases. Rehospitalized of heart failure patient made additional burden health care costs, and also early rehospitalization lead to increasing mortality risk.
Objectives: To study the comorbidities effect on early rehospitalization of heart failure within 30 days after discharge from first hospitalization.
Methods: Using Heart Failure Registry of Harapan kita Hosiptal, the study select all 147 cohort who first time hopitalized within October 2009-Oktober 2010.
Results: Early rehospitalization or rehospitalization in 30 days after discharge is 18,7%. Comorbidity is associated with early rehospitalization. There are different effect of comorbidies between male and female. Odds ratio of male without or with one comorbidity of 3.1 (95% CI :0.8-11.6) is higher than the odds ratio of female without or with one comorbidity and also that more than one comorbidity 2.6 (95 % CI :0,4-17, 9). When a male with more than one comorbidity increased the odds ratio to 4.1 (95% CI :0,97-16, 96).
Conlusion: Comorbidity effect on early rehospitalization is different among gender differences The increasing of early rehospitalization risk among male is higher and concomitant with the number of comorbidities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Omar Luthfi
"Latar belakang. Dislipidemia merupakan salah satu faktor resiko berkembangnya gagal jantung dan telah menjadi masalah kesehatan diseluruh dunia. Penelitian mengenai hubungan dislipidemia dan penyakit jantung belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui karakteristik pasien gagal jantung akut dan mengidentifikasi hubungan antara riwayat dislipidemia dengan mortalitas pasien gagal jantung akut selama perawatan.
Metode. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang serta menggunakan 268 data sekunder dari studi Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 - 2006.
Hasil. Pasien gagal jantung akut dalam penelitian ini dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama merupakan pasien dengan dislipidemia (88,8% dan kelompok kedua meupakan pasien tanpa dislipidemia (12,2%). Angka mortalitas pada kelompok pertama mencapai 3,0% dan pada kelompok kedua 0%. Melalui analisis bivariat tidak didapatkan hubungan bermakna antada riwayat dislipidemia dengan mortaitas pasien gagal jantung akut (p=0,603; OR: 0,828; CI: 0,101-6,759).
Kesimpulan. Tidak terdapat hubungan bermakna antara riwayat dislipidemia dengan angka mortalitas gagal jantung akut selama perawatan di lima rumah sakit di Indonesia pada bulan Desember 2005 - 2006.

Background. Dyslipidemia can promote the development of heart failure and has become one of global health problem. The study about associatin between dyslipidemia and in-hospital mortality of acute heart failure has never been done before in Indonesia.
Objective. To define the characteristic of patient and to identify the association between dyslipidemia and in-hospital mortality of acute heart failure.
Method. The design of this study was cross sectional with onsecutive sampling. This study used 976 acute heart failure patients from Acute Decompensated Heart Failure Registry (ADHERE) of 5 hospital in Indonesia from December 2005-2006.
Result. Patiens with acute heart failure in this study were categorized in two groups. The first group was patients with dyslipidemia (88,8%) and the second was group wihout dyslipidemia (12,2%). The mortality rate of the first group was 3,0% and from the second was 0%. The bivariat analysis showed that there is no association between dyslipidemia and in-mortality of AHF patients (p=0,603; OR: 0,828; CI: 0,101-6,759).
Conclusion. There is no significant association between Dyslipidemia and Inhospital Mortality of Acute Heart Failure in Five Hospital in Indonesia on December 2005 -2006."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S09130fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>