Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175720 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hafidh Dzaky Ardian
"Pengalihan piutang sebaiknya diimplementasikan dengan wujud akta otentik, yaitu dibuat dihadapan Notaris dan tidak dibuat dalam wujud akta dibawah tangan. Penelitian ini akan membahas mengenai akibat hukum dari pengalihan piutang terhadap debitur dan pemindahan perjanjian cessie dibawah tangan menjadi akta otentik terjadi apabila kreditur lama sedang dalam proses pailit. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dimana merupakan penelitian yang secara khusus meneliti hukum dan mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dengan mendapatkan penalaran ini diharapkan mahir menjawab persoalan-persoalan yang tercantum dalam penelitian ini. Keberadaan perjanjian piutang secara cessie tidak akan mengikat ataupun memberikan dampak hukum kepada debitur apabila tidak diumumkan kepada debitur, secara tertulis tidak diakui atau disetujui oleh debitur. Dalam hal akan melakukan pemindahan perjanjian cessie (pengalihan piutang) yang dibuat dibawah tangan menjadi sebuah akta otentik, Notaris hendaklah memastikan secara langsung bahwa tidak ada pihak yang sedang bermasalah. Perjanjian cessie ini harus ditekankan kembali bahwa agar sah maka harus diketahui oleh pihak yang berutang (debitur). Peran Notaris dalam menunjukkan ketetapan hukum untuk membuat akta cessie di masyarakat wajib dimaksimalkan. Bagi para pihak yang hendak membuat Akta Cessie sebaiknya dimuat dalam akta otentik untuk mendapatkan kepastian hukum.

The transfer of receivables should be implemented in the form of an authentic deed, which is made before a Notary and is not made in the form of a deed under the hand. This study will discuss the legal consequences of the transfer of receivables to the debtor and the transfer of an underhand cessie agreement into an authentic deed occurs when the old creditor is in the bankruptcy process. The form of research used in this research is normative juridical research which is a research that specifically examines the law and conducts systematization of written legal materials. By getting this reasoning, it is hoped that they will be proficient in answering the questions listed in this study. The existence of a cessie receivables agreement will not bind or give legal impact to the debtor if it is not announced to the debtor, in writing it is not recognized or approved by the debtor. In the case of transferring the cessie agreement (transfer of receivables) made under the hand into an authentic deed, the Notary must ensure directly that no party is in trouble. This cessie agreement must be emphasized again that in order to be valid it must be known by the debtor. The role of the Notary in showing legal provisions to make a cessie deed in the community must be maximized. For parties who want to make a Cessie Deed, it should be contained in an authentic deed to obtain legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handari Rozellini
"Skripsi ini membahas mengenai adanya cessie piutang dalam hukum kepailitan, khususnya pada suatu permohonan pernyataan pailit. Terdapat berbagai persoalan seperti dilakukannya cessie atas sebagian piutang oleh kreditor untuk menciptakan kreditor baru sehingga terpenuhi salah satu syarat mengajukan permohonan pailit, yaitu adanya dua atau lebih kreditor.
Berdasarkan hal tersebut, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Apakah cessionaris termasuk dalam kreditor yang didefinisikan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) 2. Bagaimana mekanisme pembuktian sederhana terhadap adanya cessie piutang dalam suatu permohonan pernyataan kepailitan atas debitor?
Pada akhirnya, peneliti memperoleh kesimpulan bahwa cessionaris termasuk dalam kreditor yang didefinisikan dalam Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU sepanjang cessie piutang yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan syarat sahnya cessie. Peneliti juga memperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan mekanisme pembuktian sederhana dalam hal adanya cessie piutang pada suatu permohonan pernyataan pailit. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif.

The focus of this thesis is on the existence of debt assignment in bankruptcy law, particularly in relation to a petition for declaration of bankruptcy. There are various issues regarding debt assignment, such as partial debt assignment by a creditor to create a new creditor (cessionaris) so that the requirement for there to be two or more creditors, in order to submit a bankruptcy petition, is fulfilled.
Based on the preceding, the Writer formulated and discussed the following problems: 1) Are cessionaris classified as creditors defined in Article 2 paragraph (1) of Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation For Payment of Debts (UUK-PKPU) 2. How is the ordinary evidentiary mechanism implemented towards debt assignment in a petition for declaration of bankruptcy exist.
At the end, the Writer arrived at the conclusion that cessionaris are classified as creditors defined in Article 2 paragraph (1) UUK-PKPU to the extent that the debt assignment is not contrary to the requirements for a debt assignment to be valid. The Writer also came to the conclusion that there is a different ordinary evidentiary mechanism in the case of a debt assignment in a petition for declaration of bankruptcy. This research is in the form of a normative juridical with a descriptive typology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61536
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rio Maesa
"Berbagai persoalan yang berkembang dalam berbagai perkara-perkara kepailitan yang terjadi di Indonesia masih memiliki banyak kelemahan, terutama apabila menyangkut kepailitan terhadap perusahaan asing dalam bentuk holding company. Perusahaan grup semakin mendominasi kegiatan usaha dan memiliki peran penting dalam pembangunan. Konstruksi perusahaan grup terpisah secara hukum namun berada dalam satu kesatuan ekonomi. Permohonan PKPU oleh anak perusahaan terhadap holding company yang berakhir pailit dalam satu perusahaan grup merupakan hal yang tidak biasa. Permohonan PKPU tersebut terjadi pada kasus kepailitan AcrossAsia Limited sebagai holding company yang berkedudukan di Hong Kong dan dipailitkan oleh anak perusahaannya yaitu PT. First Media Tbk. Apakah permohonan PKPU tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah hukum kepailitan, bagaimana tanggung jawab holding company yang pailit terhadap anak perusahaan dalam satu perusahaan grup, dan apa saja hambatan dalam penerapan cross-border insolvency dalam hukum kepailitan terkait adanya putusan pengadilan asing. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif, dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, sejarah, dan pendekatan analisis. Kepailitan terhadap holding company oleh anak perusahaan merupakan penyalahgunaan kekuasaan holding company dan trik bisnis yang memanfaatkan instrumen hukum kepailitan untuk menghindari kewajiban terhadap pihak ketiga. Hukum kepailitan di Indonesia perlu merumuskan insolvensi tes terhadap permohonan pailit debitor, hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi kepailitan terhadap perusahaan yang masih solven. Dalam pengaturan cross-border insolvency, UU Kepailitan Indonesia belum mengakomodasi aturan mengenai cross-border insolvency dalam UNCITRAL Model Law. Hal tersebut menyulitkan proses eksekusi harta debitor pailit di luar negeri dan pemerintah Indonesia juga perlu melakukan perjanjian bilateral maupun multilateral dengan negara lain dalam hal pengakuan putusan pengadilan asing.

Various problems that develop in various cases of bankruptcy that occurred in Indonesia still has many weaknesses, particularly when it concerns of foreign companies bankruptcy in the form of holding company. The domination of Company group business activity increasingly raising and have an important role in development. The construction of group company is legally separated but it is in one economic entity. The Suspension of Debt Payment Obligation PKPU petition by subsidiaries against its holding company that ends in insolvency in one of the group company is uncommon. The PKPU petition occurred in the bankruptcy case of AcrossAsia Limited as a holding company with legal domiciled in Hong Kong and bankrupted by its subsidiary PT. First Media Tbk. Is the PKPU petition of its case is in accordance with the principle of bankruptcy law, how is the responsibility of the insolvent holding company to its subsidiary in the one of the group company, and what 39 s are the obstacles in implementing of the cross border insolvency in bankruptcy law related to the foreign court resolution. The legal research method that used is legal normative research, with the statute, case, historical and analytical approach. The bankruptcy of a holding company by its subsidiary is an abuse of holding company powers and business tricks that take an advantage of bankruptcy legal instruments to avoid liability to the third parties. Bankruptcy law in Indonesia needs to formulating insolvency test to the debtor bankruptcy petitioner, due it is necessary to avoid bankruptcy against the company that is still solvent. In a cross border insolvency regulations, the Indonesian Bankruptcy Law has not accommodated the rules of UNCITRAL Model Law on cross border insolvency. This matter makes complicating the execution process of the bankrupt debtor assets abroad and Indonesian government also needs to enter into bilateral and multilateral agreements with other countries in the recognitions of foreign courts resolution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48872
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felton Hartato
"

Notaris dalam membuat akta lalai karena tidak memperhatikan lebih lanjut objek yang dibuat. Seorang istri dari debitur pailit mengagunkan tanah yang merupakan harta pailit sehingga perlu untuk diteliti lebih dalam. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis jangka waktunya serta akibat hukum dari kelalaian seorang notaris dalam membuat akta yang objeknya merupakan harta pailit. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian normatif dengan sumber data yaitu data sekunder. Kemudian diambil kesimpulan bahwa tidak ada berakhirnya atau jangka waktu tanggung jawab seorang debitur dalam suatu kasus kepailitan. Menurut Undang Undang Kepailitan setelah diputus pailit, harta debitur menjadi termasuk dalam harta pailit dan kemudian dapat di eksekusi. Apabila harta yang dimilikinya dapat menutupi semua utang yang dimilikinya, maka seorang debitur telah melaksanakan kewajibannya setelah adanya penetapan eksekusi dari pengadilan. Namun apabila harta pailit yang dimiliki belum dapat melaksanakan seluruh hutang yang dimilikinya, maka suatu saat apabila debitur menjalankan hidupnya dan melaksanakan usahanya kemudian mengalami kesuksesan dan telah memiliki harta kembali, maka kurator atau kreditur lainnya dapat melakukan pembukaan kasus pailit kembali guna memperoleh pembayaran dari hutangnya yang dulu dengan tanpa jangka waktu tertentu. Artinya sampai seumur hidup debitur hutang tersebut tetap tercatat. Serta dalam kasus yang diambil, dijelaskan bahwa istri dari debitur pailit, dengan sengaja mengagunkan sebidang tanah yang merupakan bagian dari harta pailit yang merupakan atas nama istri debitur pailit. Akan tetapi, karena tidak adanya perjanjian kawin, maka harta tersebut menjadi harta bersama. Maka, yang terjadi terhadap akta pemberian hak tanggungan yang dibuat oleh notaris tersebut adalah batal demi hukum karena terjadinya Actio Pauliana.


Notary in making the deed negligent because it does not pay further attention to the object being made. A wife of a bankrupt debtor pledges the land which is bankrupt property so it needs to be investigated more deeply. The purpose of this study is to analyze the responsibility of the bankrupt debtor and the time period and legal consequences of the notary's failure to make a deed whose object is bankrupt property. The research method used is normative research with data sources, namely secondary data. Then conclusions are drawn that there is no end or duration of responsibility for a debtor in a bankruptcy case. According to the Bankruptcy Law after being declared bankrupt, the debtor's assets are included in the bankrupt assets and can then be executed. If the assets they have can cover all their debts, a debtor has fulfilled his obligations after the execution of the court is determined. However, if the bankruptcy assets that have not been able to carry out all the debt it has, then one day if the debtor runs his life and conducts his business then experiences success and has had the assets back, then the curator or other creditors can open a bankruptcy case again in order to obtain payment from his debts which are first with no specific period. This means that for the lifetime of the debtor the debt remains recorded. And in the case taken, it was explained that the wife of the bankrupt debtor deliberately pledged a piece of land that was part of the bankrupt property which was in the name of the bankrupt debtor's wife. However, due to the absence of a marriage agreement, the property becomes joint property. So, what happened to the deed of granting the mortgage right made by the notary was null and void by law because of the Actio Pauliana.

"
2020
T54812
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jacinta Azalea Hapsari
"Skripsi ini mencoba mengkaji dan membahas mengenai pertanggungjawaban yang dapat dibebankan kepada Kurator secara pribadi apabila terdapat kesalahan dalam tugasnya melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal tersebut dibahas dengan melihat teori-teori kesalahan yang digunakan sebagai hukum positif di Indonesia, seperti dalam hukum pidana, karena UU No. 37 Tahun 2004 tidak memberikan penjelasan dan pengaturan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukan Kurator dalam menjalankan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit. Dalam skripsi ini juga akan dibahas mengenai posisi Direksi dalam suatu Perseroan Terbatas yang telah dinyatakan pailit, sebagai organ yang menjalankan pengurusan Perseroan Terbatas pada umumnya. Kemudian dalam skripsi ini akan menganalisis putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya agar lebih relevan.

This thesis tries to examine and discuss about the responsibility that can be charged to the Bankruptcy Trustee rsquo s own asset if there is a mistake in his duty to arrangement and ordering the bankrupt property as regulated in Article 72 of Law no. 37 Year 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Obligation of Debt Payment. This is discussed by looking at the theories of error that are used as positive law in Indonesia, as in criminal law, because of Law no. 37 of 2004 does not provide further explanation and regulation regarding the accountability for the mistakes made by the Bankruptcy Trustee in carrying out the task of managing and securing the bankruptcy property. In this thesis will also be discussed about the position of the Board of Directors in a Limited Liability Company that has been declared bankrupt, as an organ that runs the management of Limited Liability Company in general. Then in this thesis will analyze the decision of Commercial Court in Surabaya District Court to be more relevant.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Kris Lihardo Aksana Sijabat
"Asas kelangsungan usaha (Going Concern) merupakan salah satu asas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Perusahaan yang telah diputus pailit dengan segala akibat hukumnya tidak selalu berakhir dengan pemberesan, dimana peluang supaya usaha kembali dilanjutkan masih dimungkinkan dan tentu dengan tujuan untuk meningkatkan boedel pailit. Namun menurut peraturan perundang-undangan dalam hukum pertambangan, asas kelangsungan usaha bisa terhenti apabila ijin dicabut oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) apabila suatu perusahaan dijatuhi pailit, meskipun berstatus going concern. Oleh karena itu, dalam tesis ini akan dibahas lebih lanjut berkaitan dengan Tindakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencabutijin perusahaan pailit walaupun telah dinyatakan going concern oleh pengadilan.

The principle of business continuity is one of the principles regulated in Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. Companies that have been declared bankrupt with all the legal consequences do not always end with settlements, where the opportunity for business to be resumed is still possible and of course with the aim of increasing the bankrupt account. However, according to the laws and regulations in mining law, the principle of business continuity can be stopped if the permit is revoked by the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) if a company is declared bankrupt, even though it has a going concern status. Therefore, in this thesis, we will discuss further regarding the action of the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) which revoked the bankrupt company's license even though it had been declared a going concern by the court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Olivia Rachel Anggraeni
"Renvoi prosedur dalam perkara kepailitan merupakan suatu lembaga penyelesaian terhadap perselisihan antara kreditor, debitor pailit, dengan kurator atas daftar piutang yang telah dibuat oleh kurator. Perselisihan ini timbul pada proses pencocokan piutang dan sering terjadi jika kurator menolak suatu nilai atau sifat/peringkat piutang yang telah diajukan oleh kreditor pada masa pengajuan tagihan. Pasal 127 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara tegas mengatur bahwa proses pemeriksaan perkara renvoi prosedur dilaksanakan secara sederhana. Maksud dari kata “sederhana” yang terkandung dalam aturan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Hukum Acara Renvoi Prosedur pada UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 109/KMA.SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Putusan Nomor 2/Pdt.Sus-Renvoi Prosedur/2021/PN Niaga Jakarta.Pst., merupakan salah satu putusan yang dalam bagian pertimbangan hakimnya telah menerapkan ketentuan Pasal 127 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yuridis-normatif ini menjelaskan bahwa pemeriksaan secara sederhana dalam renvoi prosedur dilaksanakan tanpa adanya tahap eksepsi (kecuali eksepsi kewenangan mengadili), replik, duplik, rekonvensi, intervensi, serta pembatasan alat bukti yang dapat diajukan. Penulis memandang bahwa sudah saatnya diatur makna dan penjelasan dari pemeriksaan secara sederhana dalam renvoi prosedur agar adanya kejelasan mengenai tahapan beracara serta kepastian proses renvoi prosedur bagi para pihak.

Renvooi procedure in bankruptcy cases is an establishment for settling disputes between creditors, bankrupt debtors and the curator over list of credits made by the curator. This dispute arises in the process of claim adjustment and often occurs when the curator rejects a value or nature/ranking of credits that has been submitted by creditors at the time of submission of the claim. Article 127 paragraph (3) Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment explicitly stipulates that the process of examining renvooi procedure cases is carried out in a simple examination. The meaning of the word "simple" contained in the paragraph is not further explained either in Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment nor Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 109/KMA.SK/IV/2020 on Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Debt Payment. Court Verdict Number 2/Pdt.Sus-Renvoi Procedure/2021/PN Niaga Jakarta.Pst., is one of the verdicts in which the judge’s consideration section has applied Article 127 paragraph (3) Law no. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment. The results of this juridical-normative research explains that simple examination of renvooi procedure is carried out without any exception stages (except exception to the authority to adjudicate), reply, rejoinder, reconvention, intervention, and limitations to the submitted evidence. Writer suggest that it is time to regulate the meaning and explanation of simple examination in renvooi procedure so that there is explication regarding the stages of the proceeding as well as certainty of the renvooi procedure process for the parties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jeremiah Ernest Doloksaribu
"Terdapat beberapa model bisnis yang dapat digunakan oleh seorang pengusaha dalam membangun bisnisnya. Salah satunya adalah menggunakan jenis Induk-Anak Perusahaan (Perusahaan Grup). Menggunakan model bisnis apa pun, sering kali kegagalan tidak dapat dihindari. Kesulitan finansial dengan berbagai faktor, menjadi alasan dari gagalnya suatu bisnis. Kepailitan hadir sebagai solusi bagi seorang pengusaha untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut. Tetapi kehidupan ekonomi di Indonesia masih banyak ditemukan kekurangan. Kosongnya pengaturan mengenai Induk-Anak Perusahaan menjadi salah satunya. Padahal praktik Induk-Anak Perusahaan bukan hanya satu atau dua entitas di Indonesia, tetapi banyak sekali digunakan bagi pengusaha. Selain itu juga dalam hukum kepailitan di Indonesia tidak luput dari segala kekurangannya. Tidak hadirnya tes insolvensi, membuat suatu perusahaan dapat dengan mudah pailit selama memenuhi persyaratan pailit yang diatur dalam UUKPKPU, padahal perusahaan tersebut masih mampu untuk membayar utang-utangnya. Tulisan ini hadir membahas masalah-masalah tersebut, mulai dari urgensi tes insolvensi di Indonesia, studi kasus penerapan insolvensi tes dalam kasus kepailitan PT Hanson International Tbk yang menjadi contoh semrawutnya hukum ekonomi di Indonesia, serta eksekusi kepailitan yang dalam hal terjadinya kepailitan Induk-Anak Perusahaan di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan dalam bentuk kualitatif, yang kemudian menyimpulkan bahwa PT Hanson International Tbk belum dalam keadaan insolven, serta menyimpulkan eksekusi harta pailit dalam bentuk saham yang dimiliki Induk Perusahaan terhadap Anak Perusahaannya.

There are several business models that can be used by an entrepreneur in building his business. One of them is using the Parent-Subsidiary type (Group Company). Using any business model, failure is often inevitable. Financial difficulties with various factors become the reason for the failure of a business. Bankruptcy comes as a solution for an entrepreneur to be able to solve these problems. However, economic life in Indonesia still has many shortcomings. The absence of regulations regarding the Parent-Subsidiary Company is one of them. Whereas the practice of Parent-Subsidiary Company is not only one or two entities in Indonesia but is widely used for entrepreneurs. In addition, Indonesian bankruptcy law is not free from shortcomings. The absence of an insolvency test means that a company can easily go bankrupt as long as it meets the bankruptcy requirements stipulated in the UUKPKPU, even though the company is still able to pay its debts. This paper discusses these issues, starting from the urgency of the insolvency test in Indonesia, a case study of the application of the insolvency test in the bankruptcy case of PT Hanson International Tbk, which is an example of the chaos of economic law in Indonesia, as well as the execution of bankruptcy in the event of Parent-Subsidiary bankruptcy in Indonesia. This paper uses a qualitative approach, which then concludes that PT Hanson International Tbk is not yet insolvent and concludes the execution of bankruptcy assets in the form of shares owned by the Parent Company against its Subsidiaries."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Hapsari Putri
"Penulisan ini membahas mengenai benturan kepentingan yang dilakukan oleh Direksi Pemohon dan Termohon Pailit yang terdapat pada Putusan No. 30/Pdt.Sus.Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt antara PT. Multilines Shipping Service dengan PT. Multilintas Agung Perkasa. Dalam putusan ini, Direksi tidak menjalankan prinsip fiduciary duty dengan baik sehingga terdapat benturan kepentingan akibat tidak dijalankannya prinsip tersebut. Dalam tulisan ini juga akan membahas mengenai benturan kepentingan dilihat dari doktrin ultra vires, serta akibat hukum permohonan pailit atas benturan kepentingan yang dilakukan oleh Direksi Pemohon dan Termohon Pailit berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam kasus ini, secara eksplisit diketahui bahwa, benturan kepentingan membuat suatu permohonan kepailitan ditolak, karena benturan kepentingan menyebabkan pembuktian dalam proses pailit menjadi tidak sederhana. Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian normatif dengan studi kepustakaan dalam hal analisis kasus yang sudah dalam bentuk putusan pengadilan pada tingkat pertama.

The focus of this study is about conflict of interest between The Directors of Claimant and Respondent in the Case Study Number 30 Pdt.Sus.Pailit 2015 PN.Niaga.Jkt between PT. Multilines Shipping Service and PT. Multilintas Agung Perkasa. In this case, conflict of interest occured when The Director did not implementing the priciple of fiduciary duty properly. This study will also discuss about conflict of interest from ultra vires doctrine, and the legal consequences of bankruptcy petition made by The Director who has a conflict of interest based on Law Number 37 Year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment Bankruptcy and PKPU . In this case, explicitly known that the conflict of interest have made a bankruptcy petition is denied by the court because when a conflict of interest occured, there won rsquo t be a simple justification. The method of this thesis is based on literature study with normative judicial analysis in order to analyze cases based on court jurisprudence. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>