Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106839 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Usman Arif
"Kajian manfaat tumbuhan hutan pamah telah dilakukan berdasarkan data keanekaragaman dari penelitian Anas (2013), Rahmah (2013), Sehati (2013), pada bulan Februari hingga Mei 2014. Kajian tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi pemanfaatan keanekaragaman tumbuhan hutan pamah di zona inti Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Kajian manfaat tersebut dilakukan melalui tahap pengecekan serta dokumentasi spesies terkait, dan penelusuran potensi pemanfaatannya melalui sumber rujukan ilmiah. Potensi pemanfaatan yang diperoleh sejumlah 161 spesies tumbuhan yang termasuk ke dalam 111 genus dan 48 famili. Potensi tersebut dikelompokkan ke dalam kategori bahan pangan (72 spesies), bahan obat (73 spesies), bahan bangunan (87 spesies), bahan bakar (33 spesies), kerajinan dan teknologi lokal (47 spesies), bahan pewarna dan ritual (15 spesies), dan sumber penghasilan nonkayu (20 spesies). Sepuluh famili dengan potensi pemanfaatan manfaat terbanyak adalah Euphorbiaceae (10 spesies), Moraceae (10 spesies), Lauraceae (9 spesies), Clusiaceae (8 spesies), Rubiaceae (8 spesies), Fabaceae (7 spesies), Malvaceae (7 spesies), Phyllanthaceae (7 spesies), Sapindaceae (6 spesies), Annonaceae (5 spesies).

Utilization assessment of low land rain forest vegetation was conducted based on previous research data by Anas (2013), Rahmah (2013), and Sehati (2013) on February to May 2014. Its aim was to acknowledge utilization potential of low land forest plant biodiversity at core zone of Bukit Duabelas National Park (BDNP). The assesment was conducted on checking and documentation of plant biodiversity, and economic potential assessment through scientific reference. Utilization assessment deliver 161 species in 111 genera and 48 families. Utility potential was distributed into seven utilizatition groups, food (72 species) medicinal subtances (73 species), construction (87 species), firewood (33 species), craft and local technology (47 species), natural dye and ritual (15 species), non-timber additional income (20 species). Ten highest families which mostly utilized are Euphorbiaceae (10 species), Moraceae (10 species), Lauraceae (9 species), Clusiaceae (8 species), Rubiaceae (8 species), Fabaceae (7 species), Malvaceae (7 species), Phyllanthaceae (7 species), Sapindaceae (6 species), Annonaceae (5 species)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmah
"ABSTRAK
Analisis komposisi, struktur, dan regenerasi pohon hutan pamah di zona inti
bagian timur Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi dilakukan pada bulan
Oktober hingga November 2012. Pengambilan data dilakukan pada plot seluas
satu hektar yang diletakkan di daerah berbukit. Sebanyak 100 petak masingmasing
berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk memperoleh data tingkat pohon,
dan menyarang di dalamnya plot berukuran 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m untuk
pengamatan data tingkat belta dan semai. Tercatat 414 pohon dengan diameter
setinggi dada (DSD) ≥ 10 cm, yang mewakili 113 spesies dari 38 keluarga,
dengan Luas area dasar (LAD) keseluruhan 25,71 m2 dan indeks keanekaragaman
Shannon - Wiener sebesar 4,29. Sebanyak 282 individu tercatat mewakili 88
spesies dari 34 keluarga pada tingkat belta dan 222 individu yang mewakili 67
spesies dari 32 keluarga pada tingkat semai. Spesies yang paling dominan
berdasarkan Nilai Kepentingan (NK) pada tingkat pohon adalah Prunus arborea
dengan NK sebesar 19,19%. Ficus fistulosa merupakan spesies pohon dengan
kerapatan tertinggi (24 pohon/ha). Kerapatan tertinggi tingkat semai ditempati
oleh Rinorea anguifera (24 pohon/ha) dan kerapatan tertinggi tingkat belta
ditempati oleh Ficus fistulosa (15 pohon/ha). Moraceae dengan NK sebesar
34,05% merupakan famili terpenting dalam plot penelitian pada tingkat pohon,
sementara Violaceae dan Burseraceae dengan masing-masing NK sebesar 28,31%
dan 25,67% menjadi famili terpenting pada tingkat semai dan belta. Sebanyak 71
spesies atau 62,8% dari total spesies pohon beregenerasi di dalam plot penelitian.
Berdasarkan kerapatan pada tingkat semai, belta, dan pohon, spesies-spesies dari
famili Euphorbiaceae menunjukkan kemampuan regenerasi yang baik dan
diharapkan menjadi famili yang dominan di masa depan pada plot penelitian.
Sebanyak 61 spesies terdaftar dalam checklist Sumatra dan salah satunya
endemik, yaitu Baccaurea dulcis. Berdasarkan Redlist IUCN, Shorea leprosula
memiliki status konservasi Endangered, Aquilaria malaccensis memiliki status
konservasi Vulnerable, dan 12 spesies lain memiliki status konservasi Low Risk.

ABSTRACT
Analysis of the composition, structure, and tree regeneration of the lowland forest
in the eastern part of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi
was conducted in October and November 2012. The study was carried out on a
one-hectare plot laid out on a slope of a lowland hill forest. A total of 100
quadrats of 10 m x 10 m each was used to obtain data trees, and plots measuring 5
m x 5 m and 1 m x 1 m each were nestled in sapling quadrates to secure data of
saplings and seedlings. We recorded 414 trees with diameter at breast height
(DBH) ≥ 10 cm, representing 113 species of 38 families, with the total basal area
(BA) of 25.71 m2 and Shannon--Wiener diversity index of 4,29. A total of 282
individuals were recorded representing 88 species of 34 families at the sapling
stage and 222 individuals of seedlings representing 67 species of 32 families. The
prevalent species of tree was Prunus arborea with Importance Value (IV) of
19.2%. Ficus fistulosa was the tree species with the highest density (24 trees/ha).
The highest density of seedlings was Rinorea anguifera (24 trees/ha) and the
highest density of saplings was Ficus fistulosa (15 trees/ha). Moraceae with IV
34,05% was dominant in the study site at tree stage, while Violaceae and
Burseraceae with each IV 28.31% and 25.67% were dominant at seedlings and
saplings stage. A total of 71 species or 62.8% of all tree species were
regenerating in the plot. Based on the density of seedlings, saplings and trees, the
species of Euphorbiaceae showed a good regenerating capability and expected to
be the dominant family in the future in the area. A total of 61 species are
registered in the Sumatra checklist and one of them is endemic, which was
Baccaurea dulcis. Following the IUCN redlist we categorized Shorea leprosula
as an endangered species, Aquilaria malaccensis as a vulnerable species, and 12
others as species with low risk."
2013
T34982
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Pramita Siwi
"ABSTRAK
Penelitian etnobotani tumbuhan obat belum banyak dikaitkan dengan penelitian mengenai vegetasi hutan sebagai sumber tumbuhan obat. Telah dilakukan penelitian oleh Anas (2013), Rahma (2013), dan Sehati (2013) yang mendata 213 jenis Angiospermae berhabitus pohon (tingkat pohon, belta, dan semai) dari 53familidi zona inti Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Data tersebut menjadi bahan studi potensi tumbuhan obat untuk mengetahui manfaat pengobatan spesies tumbuhan dari ketiga penelitian tersebut. Studi dilakukan melalui penelusuran pustaka, wawancara ahli, dan dokumentasi tumbuhan. Delapan puluh tiga jenis merupakan tumbuhan obat yang digunakan berbagai etnis di Indonesia dengan keragaman bagian yang digunakan dan penyakit yang diobati. Daun merupakan bagian tumbuhan obat yang paling banyak digunakan. Jenis penyakit yang paling banyak diobati dengan tumbuhan obat adalah gangguan gastrointestinal. Bioaktivitas dari 14 jenis tumbuhan telah diketahui sesuai dengan penggunaan tumbuhan tersebut. Sebanyak 28 jenis berada dalam database IUCN red list dengan 5 jenis berada dalam daftar high risk. Aquilaria malaccensis merupakan satu-satunya jenis yang berada dalam apendiks II CITES.

ABSTRACT
Analysis about forest vegetation are rarely related to medicinal potency of the plants. There are 213 species of Angiospermae in tree form (tree, belt, and seedling level) from 53 family recorded from Anas’ (2013), Rahma’s (2013), and Sehati’s (2013) researches in the core zone of Bukit Duabelas National Park. This data become the material of analysis about medicinal ethnobotanyto understand about medicinal properties of plant species’ from those three researches. The analysis is done by literature study, interview with ethnobotany researcher, and plant documentation. There are eighty three species used as medicinal plants in several Indonesian tribes and ethnics with high variation in use and disease.Leaves are the most frequently used part of medicinal plants and gastrointestinal disfunctions treatment are the one that use the most medicinal plants. Comparation between ethnobotanical study and bioactivity assay only shows correlation for fourteen species. Known that 28 species are in the IUCN redlist database with 5 species in highrisklist. Aquilaria malaccensis is the only plant included in the appendix II of CITES.
"
Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sehati
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian tentang komposisi dan struktur hutan pamah serta regenerasi pohon di zona inti bagian barat Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi pada bulan Oktober-November 2012. Plot seluas satu hektare diletakkan di tanah datar di punggung bukit. Plot dibagi menjadi 100 petak yang masing-masing berukuran 10x10 m untuk pencacahan pohon. Petak 5x5 m dan 1x1 m disarangkan dalam plot tersebut untuk pencacahan belta dan semai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pohon dengan diameter setinggi dada (DSD) ≥ 10 cm tercatat sebanyak 463 individu, mewakili 91 spesies dan 36 famili, dengan total area dasar (AD) 27,21 m2 dan indeks keanekaragaman shannon-wiener (H’) 4,04. Spesies dominan berdasarkan nilai kepentingan (NK) adalah Archidendron bubalinum dengan NK tertinggi sebesar 13,93%, diikuti Dacryodes sp. 12,32% dan Antidesma neurocarpum sebesar 12,17%. Archidendron bubalinum adalah spesies dengan kerapatan tertinggi (29 pohon/ha) dan frekuensi tertinggi (22). Koompassia malacensis dari famili Caesalpiniaceae memiliki AD tertinggi 2,23 m2 atau 8,18% dari total AD dalam plot. Burseraceae (32,73%) dan Dipterocarpaceae (25,78%) merupakan famili dengan NK tertinggi, sedangkan famili dengan spesies terbanyak tercatat pada famili Euphorbiaceae (7 spesies). Sebanyak 12 spesies (71 individu) masuk dalam kategori redlist IUCN, 2 di antaranya masuk dalam kategori Critically Endangered (Prashorea lucida dan Shorea acuminata), Endangered (Shorea leprosula), Lower Risk (8 spesies), dan vulnerable (1 spesies). Tercatat sebanyak 511 individu pada tingkat semai, yang diwakili oleh 57 spesies dan 32 famili. Pada tingkat belta tercatat 570 individu yang diwakili oleh 87 spesies dan 36 famili. Di antara 10 spesies pohon yang memiliki kerapatan tertinggi, terdapat 6 spesies (Archidendron bubalinum, Dacryodes sp., Antidesma neurocarpum, Ochanostachys sp., Knema laurina, dan Hydnocarpus sp.) memiliki sebaran lengkap. Empat spesies hanya memiliki sebaran anakan di tingkat belta (Koompassia malacensis, Parashorea lucida, Leptonychia caudata, dan Dacryodes rostrata). Sebanyak 65 spesies atau 71,43% dari semua spesies pohon beregenerasi dalam petak penelitian.

ABSTRACT
Study on the composition, structure, and regeneration of the lowland forest in the western part of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi, was conducted in October-November 2012. A one-hectare plot was established on a flatland, over a ridge. It was divided into 100 quadrats of 10 x 10 m each for the enumeration of trees. Subplots of 5x5 m and 1x1 m were nested within the 10x10 m quadrats for enumeration of saplings and seedlings. The results showed that as many as 463 trees with a diameter at breast height (DBH) ≥ 10 cm were recorded, representing 91 species and 36 families, with a total basal area (BA) of 27.21 m2 and the Shannon-Wiener diversity index (H ') of 4.04. The prevalent species in the plot was Archidendron bubalinum with highest importance value (IV) of 13.93%, followed by Dacryodes sp. with IV of 12.32% and Antidesma neurocarpum with IV of 12.17%. Archidendron bubalinum was the species with the highest density (29 trees/ha) and highest frequency (22). Koompassia malacensis from Caesalpiniaceae was a species having the highest BA 2.23 m2 or 8.18% of the total BA in the plot. Burseraceae (32.73%) and Dipterocarpaceae (25.78%) were a families with the highest IV, while the families with the highest number of species recorded was Euphorbiaceae (7 species). A total of 12 species (71 individuals) occurring in the plot were listed in the IUCN redlist category, 2 of which were in the category of Critically Endangered (Prashorea lucida and Shorea acuminata), Endangered (Shorea leprosula), Lower Risk (8 species), and vulnerable (1 species). We recorded 511 individuals of tree seedling, representing 57 species and 32 families. At the sapling stage 570 individuals were recorded representing 87 species and 36 families. Out of 10 species of tree with the highest density, 6 species (Archidendron bubalinum, Antidesma neurocarpum, Dacryodes sp., Hydnocarpus sp., Knema laurina, and Ochanostachys sp.) had a good number of saplings and seedlings. Only four species had individuals at sapling stage (Koompassia malacensis, Parashorea lucida, Leptonychia caudata, and Dacryodes rostrata). A total of 65 species or 71.43% of all tree species were regenerating in plot."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T39237
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar Anas
"ABSTRAK
Penelitian mengenai Komposisi dan struktur serta regenerasi pohon dilakukan di Zona inti bagian tengah Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Penelitian menggunakan metode petak dengan pencuplikan pada plot seluas 1 hektare yang dibagi dalam 100 subpetak berukuran 10 m x 10 m untuk pencacahan pohon. Petak 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m disarangkan dalam petak tersebut untuk pencacahan belta dan semai. Tercatat 540 individu pohon yang terdiri atas 89 spesies dari 36 famili dengan total luas area dasar 30,837 m2 dan nilai Indeks Keragaman (H’) sebesar 3,97. Dacroydes rostrata tercatat sebagai spesies dengan NK tertinggi (15,80%) diikuti oleh Shorea leprosula (15,58% ) dan Hydnocarpus sp. (14,91%). Shorea leprosula merupakan spesies yang memiliki luas area dasar tertinggi dengan nilai 2,829 m2 atau 9,17% dari total keseluruhan. Famili yang memiliki nilai NK tertinggi adalah Burseraceae (31,60) dan Dipterocarpaceae (28,89), sedangkan famili dengan jumlah spesies terbanyak tercatat pada Lauraceae (6 spesies). Terdapat 9 spesies yang masuk dalam kategori Red List IUCN, 2 di antaranya masuk dalam kategori Critically endangered (Parashorea lucida) dan Endangered (Shorea leprosula) serta 7 lainnya masuk dalam kategori Low risk. Pada tingkat semai tercatat 251 individu yang diwakili oleh 73 spesies dari 31 famili. Pada tingkat belta tercatat 305 individu yang terdiri dari 73 spesies dari 30 famili. Di antara 10 spesies pohon yang memiliki kerapatan tertinggi, terdapat 6 spesies yang memiliki sebaran anakan lengkap di tingkat belta dan semai yaitu Hydnocarpus sp., Antidesma neurocarpum, Shorea leprosula, Mussaenda frondosa, Prunus grisea dan Microcos crassifolia, tiga spesies hanya memiliki sebaran anakan di tingkat belta yaitu Dacryodes rostrata, Dacryodes rugosa dan Symplocos sp., dan satu spesies (Artocarpus elasticus) tidak ditemukan anakan di tingkat belta maupun semai. Secara keseluruhan, dari 89 spesies pohon yang tercatat di zona inti bagian tengah TNBD hanya 70 persen (62 spesies) yang beregenerasi.

ABSTRACT
Research on the structure and composition as well as the regeneration of the trees was conducted in the middle section of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi. Research using the plots method, with sampling an area of one hectare plot is divided into 100 subplots measuring 10 m x 10 m for the enumeration trees. Plots 5 m x 5 m and 1 mx 1 m nested within for enumeration saplings and seedlings. As many as 540 trees were recorded in the plot, representing 89 species and 36 families with basal area of 30.837 m2 and Diversity Index value (H ') of 3.97. Dacryodes rostrata recorded as species with the highest importance value (15.80%) followed by Shorea leprosula (15.58%) and Hydnocarpus sp. (14.91%). Shorea leprosula is a species with the highest basal area of 2.829 m2 or 9.17% of the total. Families having the highest importance values were Burseraceae (31.60%) and Dipterocarp (28.89%), while the families with the highest number of species recorded was Lauraceae (6 species). There are 9 species listed in the IUCN Red List category, 2 of which are in the category of Critically endangered (Parashorea lucida) and Endangered (Shorea leprosula) and 7 others in the category Low risk. As many as 251 tree seedlings were recorded in the plot, representing 73 species and 31 families. 305 sapling were recorded in the plot, representing 73 species and 30 families. Out of 10 species of tree which has the highest density, 6 species which had a good number of saplings and seedlings, i.e., Hydnocarpus sp., Antidesma neurocarpum, Shorea leprosula, Mussaenda frondosa, Prunus grisea and Microcos crassifolia,; only three species had individuals at at sapling stage only, i.e., Dacryodes rostrata, Dacryodes rugosa and Symplocos sp., and one species (Artocarpus elasticus) was not found at both saplings and seedling stages. Overall, of the 89 tree species recorded in the middle section of the core zone of the Bukit Duabelas National Park, Jambi, only 70 percent (62 species) were regenerating."
Universitas Indonesia, 2013
T35984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"
The diversity of mangrove at West Bali National Park has not been reported completely. The exploration was conducted from 12 - 16 June, 2011 from Banyuwedang to Gilimanuk and from Gilimanuk to Sumbersari-Melaya mangrove forests. The result showed that 18 families consist of 21 genera and 28 mangrove species were recorded at West Bali National Park, these are 11,5% of the Indonesian mangroves.
"
580 BKR 15:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wendel, Jonathan F., editor
"In volume I of plant genome diversity, an update is provided on what we have learned from plant genome sequencing projects. This is followed by more focused chapters on the various genomic “residents” of plant genomes, including transposable elements, centromeres, small RNAs, and the evolutionary dynamics of genes and non-coding sequences. Attention is drawn to advances in our understanding of plant mitochondrial and plastid genomes, as well as the significance of duplication in genic evolution and the non-independent evolution among sequences in plant genomes. Finally, volume I provides an introduction to the vibrant new frontier of plant epigenomics, describing the current state of our knowledge and the evolutionary implications of the epigenomic landscape."
Wein: Springer, 2012
e20401874
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arifin
"ABSTRAK
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto pengelolaan sumber daya hutan
berlangsung dengan pembangunan nasional dan pertumbuhan ekonomi sebagai
kerangka utama. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar hutan
memanfaatkan berbagai sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari. Persinggungan antara kedua hal tersebut memicu sebuah pertanyaan terkait
bagaimana praktik mata pencaharian lokal berlangsung di Kampung Sangar pada saat
itu. Melalui metode kualitatif dengan pendekatan etnografi, skripsi ini menunjukkan
bahwa berbagai bentuk pengelolaan hutan di sekitar Kampung Sangar berdampak
signifikan terhadap mata pencaharian lokal baik yang bersumber secara langsung dari
ekosistem hutan maupun yang tidak. Lebih jauh, mata pencaharian lokal di Kampung
Sangar secara dominan dipengaruhi oleh berbagai faktor determinasi eksternal seperti
kebijakan negara, perubahan lingkungan ekologi, dan permintaan terhadap produk
hasil hutan dari masyarakat sekitar

ABSTRACT
During the New Order of President Soeharto the management of forest resources
occurred with national development and economic growth as main framework.
Meanwhile, the people who lives in and around the forest utilize various forest
resources for their daily living needs. The interface between those statement above
comes out with question on how the practices of local livelihood exist in Kampung
Sangar in the meantime. Through qualitative method within ethnographic approach,
this thesis shows that various forms of forest resource management around Kampung
Sangar has significant impact to the local livelihood whether those are obtained directly
from the forest ecosystem or not. Moreover, The local livelihood in Kampung Sangar
dominantly influenced by various external determination factors such as state policies,
agro-ecological changes, and demand to forest products from the people around."
2016
S64912
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Nur Cahya Murni
"ABSTRAK
Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang khas terutama karena posisinya sebagai peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut. Kondisi lingkungan fisiknya yang sangat khusus menyebabkan ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang terbatas dan ekosistem ini sangat rawan terhadap adanya pengaruh luar terutama karena spesies biota pada hutan mangrove memiliki toleransi yang sempit terhadap adanya perubahan dari luar (Alikodra, 1995).
Luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut dan hingga saat ini tinggal + 3,24 juta ha. Penyebarannya yang terluas kurang lebih 3 juta ha di Irian Jaya dan sisanya tersebar secara sporadis di Daerah Istimewa Aceh dan propinsi-propinsi : Sumatera Utara, Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Maluku (Yayasan Mangrove, 1993).
Peran serta masyarakat yang hanya terkait dengan kegiatan pemanfaatan tanpa memperhatikan kelestarian hutan mangrove, dapat merusak ekosistem hutan mangrove. Peran serta seperti ini perlu diubah, yaitu dengan cara meningkatkan kesadaran mereka untuk turut mencegah kerusakan hutan mangrove, yang meliputi kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari, agar manfaat hutan mangrove tersebut dapat berlangsung terus menerus.
Hutan mangrove di Segara Anakan perlu mendapat perhatian yang serius untuk dilindungi dan dilestarikan, mengingat semakin meningkatnya permasalahan yang mengancam keberadaannya. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove di Segara Anakan adalah (ASEAN/US, 1992):
1. Penyusutan hutan mangrove karena diambil kayunya oleh masyarakat sekitar untuk bahan bangunan dan kayu bakar, serta adanya konversi hutan mangrove untuk lahan pertanian dan empang (tambak). Di antara tahun 1974-1978 telah terjadi kerusakan hutan mangrove kurang lebih 1.454 ha.
2. Belum mantapnya koordinasi dan masih lemahnya sistem informasi serta adanya tumpang tindih fungsi antar instansi yang terkait dalam pengelolaan hutan mangrove, sehingga menyebabkan ketidakjelasan wewenang dan tanggung jawab serta yurisdiksinya.
3. Banyaknya tanah timbul yang belum jelas status dan peruntukannya, mengakibatkan pemanfaatan yang kurang benar dan atau tidak terkendali. Hal ini juga mempengaruhi status kepemilikan lahan di beberapa kawasan di Segara Anakan, seperti kawasan Perum Perhutani, tanah milik penduduk dan Kawasan Nusakambangan.
4. Kondisi jalan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan dan air bersih sangat terbatas.
5. Pendidikan masyarakat yang masih rendah serta kurangnya persepsi masyarakat tentang arti penting hutan mangrove dan terbatasnya kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan mangrove, menyebabkan kurangnya peran serta masyarakat dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan mangrove.
Keberadaan hutan mangrove Segara Anakan saat ini mendapat ancaman yang sangat serius, karena di samping adanya pemanfaatan oleh masyarakat, seperti dilakukannya penebangan kayu mangrove untuk kayu bakar dan bahan bangunan tanpa dilakukan usaha rehabilitasi, juga adanya usaha membuka hutan mangrove untuk tambak dan kegiatan pertanian lainnya. Guna menjamin berlangsungnya kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan kelestarian potensi perairan laut akan produksi ikan, diperlukan pengaturan dan pengelolaan yang menjamin kelestarian hutan mangrove.
Oleh karena itu saya melakukan penelitian dengan judul Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Maksud dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menyusun tesis sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Magister Sains (MSi) Ilmu Lingkungan pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, dengan tujuan untuk menghasilkan konsep pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove.
Atas dasar hasil penelitian tersebut, ditetapkan pengembangan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan sosial ekonomi masyarakat dan melindungi serta melestarikan hutan mangrove, melalui strategi yang meliputi, peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan dan pentaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, yang ketiganya sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia.
Untuk melaksanakan strategi tersebut, masing-masing dilakukan dengan :
1. Pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan yang mencakup perlindungan, pelestarian, penelitian dan pemanfaatan dalam pengelolaan hutan mangrove.
2. Pengembangan sosial ekonomi masyarakat melalui sistem empang parit (silvofishery).
3. Pengembangan kelembagaan dengan meningkatkan tugas dan fungsi lembaga-lembaga yang ada di daerah penelitian dan secara langsung melibatkan peran serta masyarakat dengan membentuk Kelompok Tani Hutan Mangrove (KTH Mangrove).
4. Pengembangan pentaatan pelaksanaan peraturan perundangundangan melalui pemasyarakatan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove serta mempertegas pelaksanaan sanksi terhadap pelanggar atau perusak hutan mangrove.
Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan :
1. Kondisi hutan mangrove yang ada di daerah penelitian telah mengalami kerusakan dan luasnya mengalami penyusutan, baik diakibatkan oleh adanya penebangan secara ilegal, maupun usaha konversi lahan mangrove untuk kegiatan lain seperti pertambakan dan pertanian.
2. Kerusakan dan penyusutan hutan mangrove di daerah penelitian erat kaitannya dengan peran serta masyarakat, di mana mereka hanya memanfaatkan hutan mangrove tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya.
3. Pada umumnya kondisi masyarakat Segara Anakan berpendidikan rendah, kondisi sosial ekonomi rendah dan persepsi terhadap konservasi rendah.
4. Kondisi kelembagaan di daerah penelitian belum berjalan secara optimal, demikian juga pentaatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
5. Berdasarkan hal tersebut di atas (angka 1,2,3 dan 4) perlu dikembangkan konsep peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove yang meliputi :
a. Pengembangan sumber daya manusia melalui, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kepada masyarakat, menggunakan Cara Training of Trainers.
b. Pengembangan sosial-ekonomi masyarakat melalui kegiatan empang parit (silvofishery).
c. Pengembangan kelembagaan dengan menambah struktur organisasi di tingkat kecamatan sebagai upaya untuk lebih mendekatkan jangkauan pembinaan kepada masyarakat dan peningkatan tugas serta fungsi lembaga yang telah ada baik formal maupun informal.
d. Pengembangan pentaatan pelaksanaan peraturan perundang-undangan melalui upaya pemasyarakatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove serta pelaksanaan sanksi yang tegas terhadap para pelanggar. Upaya penaatan ini dilakukan secara menyeluruh dan terkoordinasi baik kepada masyarakat maupun aparat pemerintah.
6. Perlu ditingkatkannya kemampuan aparatur Pemerintah Daerah dan koordinasi antar instansi terkait di Segara Anakan.

ABSTRACT
Mangrove forest is a special forest ecosystem due to, mainly, its position as a transition between terrestrial ecosystem and marine ecosystem. Its physical environmental condition which is very special has caused the mangrove ecosystem to possess limited biodiversity and this ecosystem is very fragile towards the presence of external influences, especially since the biota species in mangrove forest have limited tolerance towards the presence of changes from outside (Alikodra, 1995).
Mangrove forests in Indonesia is ever decreasing in size and at present only 3.24 million ha remain. The most extensive distribution is about 3 million ha in Irian Jaya and the remainder are scattered sporadically in areas of special territory of Aceh and provinces, including : North Sumatera, Jambi, Riau, West Sumatera, South Sumatera, Bengkulu, Lampung, West Kalimantan, Central Kalimantan, East Kalimantan, South Kalimantan, DKI Jakarta, West Java, Central Jawa, East Jawa, Bali, West Nusa Tenggara, East Nusa Tenggara, South Sulawesi, Central Sulawesi, South-east Sulawesi, North Sulawesi and Maluku (Yayasan Mangrove, 1993).
Community participation that is only related to exploitation activities without observing the preservation of the mangrove forest may destroy the mangrove forest ecosystem. This participation should be changed, namely by raising the awareness to participate in preventing mangrove forest destruction covering activities like protection, preservation and utilization in a proper can manner so that the benefit arising from the mangrove forest can be harvested continuously.
The mangrove forest in Segara Anakan needs serious attention to protect and preserve its existence, since increasing problems threatened its very existence. Several problems related to its management include (ASEAN/US, 1992) :
1. The mangrove forest is reduced in size, due to the need of wood as building material and energy source of the surrounding community, as well as its conversion into agricultural land and fish ponds. Between 1974-1987 some 1.454 ha of mangrove forest was destroyed.
2. The lack of coordination and weak information system As well as overlapping functions between related institutions in mangrove forest management resulted in obscure authority, responsibility and respective jurisdiction.
3. The unclear status of land and its respective allocations, resulted in improper utilization and or uncontrollable situation. These, also influenced the ownership of land in several areas of Segara Anakan, like Perum Perhutani complex, inhabitants ownership and the Nusakambangan complex.
4. The condition of roads, health facilities, educational facilities and clean water is very much limited.
5. The community educational level that is still low as well as the lack of community perception as to important meanings of the mangrove forest. resulted in limited community participation in endeavors of protection and preservation of mangrove forest.
Segara Anakan mangrove forest is at present being seriously threatened because besides. Its utilization by the community without rehabilitation efforts, there is also the activity of clearing and opening up the mangrove forest for fish ponds or other agricultural activities. To guarantee the continuation of community socio-economic life and coastal marine potential preservation of fish production proper management and regulations are needed that will guarantee the preservation of mangrove forest.
Hence, this study : Community participation in mangrove forests management" is carried out. The purpose of this study is to formulate a thesis as a requirement to obtain a Master of Science degree (MSi) in Environmental Sciences at the Postgraduate Program University of Indonesia. The objective is to produce a community participation development concept in mangrove forest management.
Based on the results of the study, community participation development in mangrove management is determined. The objective is to promote community socio-economic status and protect as well as preserve the mangrove forest through a strategy that covers the promotion of community socio-economic condition, institution and observance of laws and regulation implementation, all of which are very much dependent on the capacity of human resources.
To implement the strategy, each is carried out by :
1. Development of human resource quality by way of education and training activities as well as communication, information and education which cover protection, preservation, research and utilization in mangrove forest management.
2. Community socio-economic development by way of silvo-fishery system.
3. Institutional development by improving the task and functions of available institutions in the study area and directly involve community participation by establishing mangrove forest farmers group.
4. Laws and regulations implementation observance development by way of popularization of laws and regulations relating to mangrove forest management as well as stressing the implementation of sanctions towards trespassers or mangrove forest destroyers.
Based on the findings of the study, the following conclusions were made :
1. The mangrove forest condition in the study area has suffered damage and its size is reduced, both due to illegal felling and efforts towards conversing the mangrove grounds for agricultural and fish ponds purposes.
2. Mangrove forest damage and reduction in the study area is closely related to community participation, such as mangrove utilization without considering the aspects of preservation.
3. The condition of socio-economic, education and perception the local community in the study area are limited.
4. The capability of institution and law enforcement in the study area are weakness.
5. Based on the finding of the study, the following conclusions for development of human participation for the mangrove forest management :
a. Human resource development by way of education, training and communication, information and education to the community using the "Training Of the Trainers" method.
b. Community socio-economic development by way of silvofishery.
c. Institutional development as well as for the kecamatan level by raising the duty and .functions of available institutions both formal as well as informal.
d. Laws and regulations implementation observance development by way of popularization endeavours of laws and regulations related to mangrove forest management as well as strict sanctions implementation toward trespassers. This observance endeavours is carried out in a comprehensive and coordinated manner, both to the community as well as government apparatus.
6. To develop the capability of government apparatus and coordination between related institutions for management of Segara Anakan.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Asnawati Safitri
"Kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia dianggap bertanggungjawab pada munculnya dampak ekologis, ekonomis dan sosial pada kehidupan masyarakat lokal. Kajian-kajian yang membahas kebijakan umumnya hanya menganalisis substansi kebijakan, tetapi tidak mempertanyakan mengapa substansi semacam itu muncul. Kajian semacam ini dikatakan sebagai kajian isi kebijakan, sedangkan kajian yang membahas mengenai bagaimana kebijakan sebenarnya dibuat dan diterapkan disebut sebagai kajian proses kebijakan. Dalam kajian proses kebijakan ada dua pendekatan yang biasa digunakan yaitu pendekatan struktural dan kultural. Dalam konteks Indonesia kedua pendekatan itu lebih banyak digunakan untuk membahas kebijakan nasional daripada kebijakan daerah. Kajian ini menjelaskan hubungan antara substansi kebijakan yang ada di daerah dengan kebudayaan birokrasi dan lingkungan dimana birokrasi itu berada. Substansi kebijakan dipengaruhi oleh hasil interaksi antara kebudayaan birokrasi dan lingkungannya. Kebudayaan birokrasi adalah cara birokrasi mempersepsikan hutan, bentuk pengelolaan dan kepada siapa pengelolaan itu diberikan sedangkan lingkungan mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial dan politik.
Lampung dan Kalimantan Timur dipilih untuk menunjukkan bahwa di dua daerah yang berbeda lingkungannya menghasilkan kebudayaan birokrasi yang sama dengan beberapa perbedaan nuansa dalam substansi kebijakan. Dalam konteks eksploitasi, birokrasi mempersepsikan hutan sebagai harta kekayaan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam waktu secepatnya. Dalam hal perlindungan dan pelestarian hutan birokrasi menganggap bahwa hutan harus segera dilindungi dari segala bentuk kegiatan eksploitasi dan untuk itu birokrasilah yang menjadi aktor tunggal yang berperan dalam perlindungan dan pelestarian hutan karena masyarakat tidak dapat dipercaya mampu menjalankan peran itu. Persepsi yang muncul dalam konteks perlindungan dan pelestarian hutan adalah reaksi dari kegagalan kebijakan eksploitasi. Persepsi itu mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan, namun dalam beberapa kasus terjadi perubahan tekanan dan jenis kebijakan dari kebijakan eksploitasi menjadi kebijakan perlindungan dan pelestarian tetapi kebudayaan birokrasi masih menganggap bahwa hutan masih perlu dieksploitasi secepatnya. Kesamaan kebudayaan birokrasi ini disebabkan kuatnya pengaruh pemerintah pusat dalam menentukan gagasan dan tindakan birokrasi di daerah. Perbedaan nuansa kebijakan disebabkan berbedanya lingkungan fisik, ekonomi dan sosial. Karena perbedaan itulah maka Lampung lebih mengutamakan eksploitasi dan perlindungan pada lahan sedangkan Kalimantan Timur memilih kayu, gaharu dan sarang burung."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>