Ditemukan 177032 dokumen yang sesuai dengan query
Ana Nadila
"Skripsi ini mencoba membahas bagaimana memahami kontestasi wacana yang muncul dalam memahami substansi draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui pendekatan pluralisme agonistik Chantal Mouffe dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan pluralisme agonistik menjadi pendekatan alternatif dalam memahami keberlangsungan demokrasi di tengah kondisi pluralitas masyarakat. Konsep ini merupakan alternatif dari pendekatan demokrasi liberal yang memusatkan demokrasi pada tujuan untuk mencapai konsensus yang rasional. Mouffe melalui konsep pluralisme agonistiknya mengkritik bahwa orientasi demokrasi liberal pada proses pencapaian konsensus yang rasional telah mengeliminasi “the Political” sehingga berpotensi menghambat terciptanya pluralisme publik dalam kehidupan demokrasi itu sendiri. Adapun kontestasi wacana antara pihak yang mendukung dan menolak pengesahan RUU P-KS menjadi relevan untuk dipahami menggunakan pendekatan pluralisme agonistik karena kontestasi yang terjadi melibatkan wacana dengan pendekatan yang masih belum bisa menemukan titik kesepakatan. Dengan menggunakan pendekatan pluralisme agonistik, kontestasi wacana dalam memahami RUU P-KS merupakan refleksi dari hidupnya proses demokrasi. Berlangsungnya kontestasi wacana ini merupakan wujud ‘konsensus konfliktual’ (conflictual consensus) di mana artinya adalah merayakan keberagaman melalui pluralisme yang sarat konflik.
his thesis discusses about how to understand discourse between supporters and opponents of the Sexual Violence Eradication Bill using the concept of agonistic pluralism by Chantal Mouffe through qualitative research methods. Agonistic pluralism is an alternative approach to understand the process of democracy in divided society like Indonesia. Through this concept, Mouffe criticizes about democracy concept in liberal paradigm that tends to eliminate “the Political” because of its orientation to achieve rational consensus. The orientation of liberal paradigm democracy in a rational consensus process can hinder the creation of public pluralism in democratic it self. Discourse between supporters and opponents of RUU P-KS is relevant to be understood in agonistic pluralism concept because this discourse involves irreconcilable thoughts. By using an agonistic pluralism concept, the discourse in understanding the Sexual Violence Eradication Bill is a reflection of the existence of democracy. The ongoing discourse is a form of “conflictual consensus”, which means celebrating diversity through pluralism which is full of conflicts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nur Fitri Izzati Ramadhani
"Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) gagal mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2019, yang merupakan RUU usulan DPR pada 2016 dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2014-2019. Pembahasan RUU ini cukup lama sejak dirumuskan pada 2014, dan hingga 2019 pembahasan hanya sampai pada tingkat pertama karena menuai pro-kontra di masyarakat. Studi ini fokus menganalisis kegagalan DPR dalam mengesahkan RUU PKS ini dengan menggunaka metode kualitatif berupa wawancara mendalam dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan pada dasarnya merupakan isu krusial yang memerlukan solusi melalui sebuah regulasi. RUU PKS dianggap dapat melindungi hak-hak perempuan dari kekerasan. Tetapi pada sisi lainnya, RUU PKS dinilai bertentangan dengan moral maupun ajaran agama bahkan sampai dianggap melegalkan seks bebas ataupun LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Masih melekatnya budaya patriarki, kurangnya komitmen maupun pemahaman representasi politik para anggota legislatif dalam membela hak-hak perempuan, juga masih adanya seksisme institusional di lembaga legislatif Indonesia, menjadi temuan dari penelitian terkait penyebab gagalnya pengesahan RUU PKS pada tahun 2019.
The People's Representative Council of the Republic of Indonesia (DPR RI) failed to pass the Bill on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) in 2019, which was the draft proposed by the DPR in 2016 in the 2014-2019 Priority National Legislation Program (Prolegnas) Bill. The discussion of this bill has taken a long time since it was formulated in 2014, and until 2019 discussions only reached the first level because of the pros and cons in society. This study focuses on analyzing the failure of the DPR in passing the PKS Bill by using qualitative methods in the form of in-depth interviews and literature review. The results showed that sexual violence against women is basically a crucial issue that requires a solution through a regulation. The PKS Bill is considered to be able to protect women's rights from violence. But on the other hand, the PKS Bill is considered to be contrary to moral and religious teachings and is even considered legalizing free sex or LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). The inherent patriarchal culture, lack of commitment and understanding of the political representation of legislators in defending women's rights, as well as institutional sexism in the Indonesian legislature, are findings from research related to the failure to ratify the PKS Bill in 2019."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Seli Muna Ardiani
"Kekerasan seksual selama ini banyak dipahami dalam definisi subjektif. Maknanya bergantung pada pengetahuan dan batasan subjek penahu. Untuk memecahkan masalah ini, Superson mewakili model feminis analitik, mencoba merumuskan suatu kerangka definisi objektif yang melepaskan kondisi-kondisi: 1) subjek A tidak mengetahui apa itu kekerasan seksual, 2) subjek A tidak mendefinisikan bahwa tindakan B terhadapnya adalah kekerasan seksual, 3) subjek A mengetahui bahwa B melakukan kekerasan seksual terhadapnya namun enggan untuk mengartikulasikan. Studi ini merupakan bentuk dukungan terhadap gagasan objektivitas di dalam kekerasan seksual sekaligus koreksi dengan mempertimbangkan diskusi yang berkembang di dalam teori feminisme. Secara khusus, proses pertimbangan dan kritik yang saya lakukan menggunakan kerangka realisme konstruksi sosial Sally Haslanger. Sehingga, rekonseptualisasi atas definisi objektif saya formulasikan melalui kekuatan konstruksi sosial konstitutif. Amatan ini juga ditujukan pada implikasi argumen objektivitas di dalam kebijakan kekerasan seksual di Indonesia yang saya khususkan yakni UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No 12 Tahun 2022). Permasalahan tersebut saya urai dalam dua rumusan pertanyaan: 1) Bagaimana argumen objektivitas di dalam kekerasan seksual: 1.a) Bagaimana problem pendefinisian kekerasan seksual? 1.b) Bagaimana pemeriksaan argumen objektif dan sumbangsihnya dalam perdebatan teori feminisme mengenai kekerasan seksual?, 2) Apa implikasi teoretik argumen objektivitas bagi kebijakan kekerasan seksual? Kesimpulannya, argumen objektivitas memberikan sumbangan bagi perdebatan teori feminisme, yakni melalui pemeriksaan realisme konstruksi sosial kausal dan konstitutif. Dua model ini mampu menunjukkan mana argumen lemah dan kuat dalam tiga perspektif feminisme mengenai kekerasan seksual (natural-biologi, sosiokultural, dan liberal). Pembedaan tersebut setidaknya berguna dalam melihat keluasan tindakan kekerasan seksual di dalam UU TPKS. Kendati demikian, keluasan permasalahan yang ada dalam UU TPKS tidak sepenuhnya mampu ditangkap oleh model ini. Oleh karenanya, saya memberikan catatan tambahan yang menyangkut dimensi korban kekerasan seksual dan tindakan yang belum diakomodir di dalam UU TPKS.
Sexual violence has been widely understood in terms of subjective definitions. Its meaning depends on the knowledge and limitations of the knowing subject. To solve this problem, Superson represents the analytic feminist model, trying to formulate an objective definitional framework that releases the conditions: 1) subject A does not know what sexual violence is, 2) subject A does not define that B's actions against him are sexual violence, 3) subject A knew that B had sexually assaulted her but was reluctant to articulate it. This study is a form of support for the idea of objectivity in sexual violence as well as a correction by considering the discussions that developed in feminism theory. In particular, the process of consideration and criticism that I carried out used the framework of Sally Haslanger's social construction realism. Thus, I have formulated a reconceptualization of the objective definition through the power of constitutive social construction. This observation is also aimed at the implications of objectivity arguments in the policy of sexual violence in Indonesia, which I specifically focus on, namely the UU TPKS (Law on the Crime of Sexual Violence No. 12, 2022). I will describe the problem in two questions: 1) What is the argument for objectivity in sexual violence: 1.a) How is the problem of defining sexual violence? 1.b) How is the objective argument examined and its contribution to the feminist theory debate on sexual violence? 2) What are the theoretical implications of the objectivity argument for sexual violence policy? In conclusion, the objectivity argument contributes to the debate on feminism theory, namely through an examination of the realism of causal and constitutive social constructions. These two models are able to show which arguments are weak and strong in the three feminist perspectives regarding sexual violence (natural-biological, sociocultural, and liberal). This distinction is at least useful in looking at the breadth of acts of sexual violence in the UU TPKS. However, the breadth of the problems contained in the UU TPKS cannot be fully captured by this model. Therefore, I provide additional notes concerning the dimensions of victims of sexual violence and acts that have not been accommodated in the UU TPKS."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Shara Monarizka
"Saat ini ditemukan banyak kasus kekerasan seksual yang dialami oleh para perempuan di Indonesia yang diungkap oleh media massa. Peran media massa dalam penyebaran informasi pun lantas menjadi krusial karena dapat berpengaruh terhadap pembentukan pandangan masyarakat terhadap kasus tersebut. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, masyarakat pun dapat dengan mudah mengakses pemberitaan terkait melalui gawai dan sejenisnya. Adapun salah satu kasus kekerasan seksual yang pemberitaannya diungkapkan secara berkelanjutan hingga pada akhirnya menjadi perbincangan nasional adalah kasus yang dialami oleh Baiq Nuril, korban pelecehan seksual secara verbal yang juga dipidanakan atas pelanggaran UU ITE untuk pencemaran nama baik oleh mantan Kepala Sekolah bernama Muslim. Kasus tersebut pun merambah menjadi wacana internasional yang diberitakan terus-menerus yang salah satunya oleh The Jakarta Post, media massa di Indonesia yang berbahasa Inggris dengan target audiens menengah ke atas. Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji bagaimana The Jakarta Post merepresentasikan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual dari segi ideasional (gagasan) dan interpersonal (hubungan antarpartisipan). Penelitian ini juga mengkaji bagaimana keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril. Dengan menggunakan ancangan campuran, yaitu kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini mengaplikasikan analisis wacana kritis oleh Fairclough (2010) dan linguistik fungsional sistemik oleh Halliday dan Matthiessen (2014), khususnya yaitu transitivitas dan modus. Sebanyak 27 teks berita tentang kasus Baiq Nuril di The Jakarta Post diperoleh secara daring sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa baik dari segi ideasional maupun interpersonal, Baiq Nuril secara utama direpresentasikan sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril ditunjukkan dengan bagaimana Baiq Nuril ditampilkan sebagai pihak yang tidak bersalah dan lantas memperoleh banyak simpati serta dukungan dari berbagai kalangan, seperti aktivis dan lembaga keagamaan hingga pemerintah daerah setempat.
Nowadays, there are many cases of sexual violence experienced by women in Indonesia that are revealed by the mass media. The role of the mass media in disseminating information is crucial because it can influence public‟s views on the case. Along with technological advances, public can easily access related news through gadgets and so on. One of the cases of sexual violence whose news was continuously disclosed until it eventually became a national discourse was the one experienced by Baiq Nuril, the victim of verbal sexual harassment who was also convicted of violating the ITE Law for defamation by a former school principal named Muslim. The case has become an international discourse that was being reported by media continuously, such as The Jakarta Post which is the English-speaking mass media in Indonesia targeting the middle and upper middle class. In this regard, this study examines how The Jakarta Post actually represents Baiq Nuril as a victim of sexual harassment from both ideational and interpersonal perspectives. This study also examines how The Jakarta Post takes sides with Baiq Nuril. By conducting a mixed approach, namely qualitative and quantitative, this study applies critical discourse analysis by Fairclough (2010) and systemic functional linguistics by Halliday and Matthiessen (2014), especially transitivity and mode. A total of 27 news texts about Baiq Nuril in The Jakarta Post are obtained online as the primary data source in this study. The results of the analysis show that from both ideational and interpersonal perspectives, Baiq Nuril is primarily represented as a victim of sexual harassment as well as a victim of the ITE Law. The way The Jakarta Post advocates Baiq Nuril is shown by how Baiq Nuril is represented as the innocent party that gets a lot of sympathy and support from various groups, from activists and religious institutions to the local government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Baker, Christine D.
"buku ini membahas mengenai pengalaman psikologis wanita yang pada masa kecilnya pernah mengalami pelecehan seksual. terdiri atas 15 bab yang disusun dalam 5 bagian, yaitupendahuluan: cerita dan bukti-bukti; integrasi, alienasi, dan terapis; perjalanan menuju penyembuhan; keluarga, disclosure, dan peran ibu, dan topik lainnya."
East Sussex : Brunner-Routledge, 2002
616.858 3 BAK f
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Thifalina Alam Aulia
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara seksual permisif dan religiusitas islam pada dewasa muda. Partisipan penelitian ini melibatkan 440 dewasa muda muslim yang berusia 20-30 tahun dan belum menikah se-Indonesia. Pengambilan data dilakukan melalui kuesioner online. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Premarital Sexual Permissivenes (untuk mengukur seksual permisif) dan Revised Muslim Religiosity Personality Inventory (untuk mengukur religiusitas Islam). Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan negatif signifikan antara seksual permisif dan religiusitas islam pada dewasa muda dengan koefisien korelasi sebesar r (438) = 0,385, p < 0,01. Hal ini mengartikan bahwa semakin tinggi religiusitas Islam seseorang maka semakin rendah seksual permisif yang dimilikinya.
This study was conducted to determine the relationship between sexual permissiveness and Islamic religiosity in young adults. Participants of this study were 440 people with the age range of 20-30 years, muslim, and single in Indonesia. The data were collected through an online questionnaire. The instruments used were Premarital Sexual Permissiveness (measured Sexual Permissiveness) and Revised Muslim Religiosity Personality Inventory (measured Islamic Religiosity). The result showed a significant negative correlation between sexual permissiveness and Islamic religiosity in young adults with a correlation coefficient of r (438) = 0,385, p < 0,01. It means that the higher level of Islamic religiosity, the lower a person's sexual permissiveness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63179
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ismu Wardhani
2003
S3187
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kekerasan berbasis gender. Sementara itu sejak 1998-2013 Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan dan pendokumentasian, menemukenali sebanyak 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual dari berbagai fakta kejadian. Sementara ini, Komnas Perempuan mengklasifikasi ke-15 bentuk kekerasan seksual menjadi 6 tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan kesamaan unsur delik pidananya. Sejauh ini penanganan kasus kekerasan seksual mengalami hambatan dalam pencegahan, perlindungan, pemulihan korban, rehabilitasi pelaku, belum adanya hukum acara peradilan tindak pidana kekerasan seksual. Sehingga negara harus bertanggung jawab untuk segera menyusun Undang- Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, sebagai upaya negara dalam menjalankan prinsip due diligence."
364 JP 21:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Silmi Kamilah
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter sebagai bentuk resistensi penyintas kekerasan seksual di Indonesia. Studi-studi terdahulu mengenai pengungkapan kasus kekerasan seksual membahas dua jenis pengungkapan, yaitu secara langsung dan secara daring melalui perantara media sosial. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi penyintas, khususnya melalui pewacanaan diskursus tandingan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Penelitian ini berargumen bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual di Twitter merupakan bentuk resistensi penyintas dan terwujud melalui diskursus tandingan yang memicu dialog publik mengenai kekerasan seksual. Diskursus tandingan penyintas beroperasi dalam online counterpublics, yaitu arena diskursif berbasis teknologi internet di mana kelompok marjinal mampu mengontestasikan eksklusi mereka dari ruang publik. Temuan penelitian menunjukkan diskursus tandingan penyintas terlihat dalam teks yang merebut kembali narasi kekerasan seksual dari perspektif penyintas, menggambarkan bentuk kekerasan yang beragam, serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Proses produksi teks utas juga merepresentasikan resistensi penyintas sebagai aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, terdapat kontestasi antara diskursus tandingan penyintas dengan diskursus dominan yang mereproduksi nilai-nilai rape culture di arena diskursif yang sama. Resistensi penyintas juga diinterpretasi secara berbeda-beda oleh publik sehingga arena diskursif yang ada tidak menjadi ruang aman bagi penyintas untuk bersuara. Oleh karena itu, pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter tidak menjadi jalur alternatif yang ideal bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan di tengah konteks sosiokultural Indonesia yang masih melanggengkan kekerasan seksual.
This study aims to explain how sexual assault disclosure on Twitter is a form of sexual violence survivors’ resistance in Indonesia. Previous studies on sexual assault disclosure mainly discussed two kinds of disclosure, which are direct or offline disclosure and disclosure through social media or online disclosure. However, there is little to no studies which analyzed the phenomenon as sexual violence survivors’ resistance through the construction of counter discourse, specifically using critical discourse analysis (CDA). This study argues that sexual assault disclosure on Twitter is a form survivors’ resistance which further manifested through counter discourse that encourages public discussion on sexual violence. Survivors’ counter discourse operates through online counterpublics, which is a discursive arena facilitated by the internet in which marginalized group contested their exclusion from the public sphere. The findings of this study show that survivors’ counter discourse can be seen through texts which reclaim sexual assault narrative, depict various sexual violence forms, and give social punishment to the perpetrators. The text production process also represents survivors’ resistance as an active actor in the decision-making process. However, there is a contestation between survivors’ counter discourse and the dominant discourse which reproduces rape culture values in the same discursive arena. Survivors’ resistance is also interpreted in different ways by the public, emphasizing how the discursive arena is not a safe space for survivors to speak up. Therefore, the sexual assault disclosure through Twitter is not an ideal alternative route for survivors to seek justice in the midst of Indonesia's sociocultural context which still perpetuates sexual violence"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yunni Wulan Ndari
"Kekerasan seksual terhadap perempuan sering diberitakan berlebihan dan bias gender di media pemberitaan nasional berbasis online, Tribun News. Gaya pemberitaan Tribun News menimbulkan bias gender dan tendensi untuk melecehkan atau mengekploitasi perempuan sebagai objek kekerasan seksual. Tujuan penelitian ini adalah unruk mengetahui bagaimana kekerasan seksual terhadap perempuan dideskripsikan di kanal berita Tribun News. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis, pendekatan kualitatif dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis Sara Mills untuk membedah teks pemberitaan yang ada. Adapun teks pemberitaan yang dipilih adalah tiga berita kekerasan seksual dalam kurun waktu tahun 2021, yang melibatkan tiga subjek pemberitaan atau pelaku yang memiliki latar belakang berbeda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tribun News dalam pemberitaannya menggunakan sudut pandang dari pelaku dimana aktor yang muncul dalam pemberitaan adalah laki-laki. Tribun News pun menggunakan pilihan kata eksploitatif bagi korban kekerasan seksual yang menjadi objek pemberitaan. Kedudukan yang tidak setara disebabkan oleh hadirnya konstruksi sosial yang berkiblat pada ideologi patriarki.
Sexual violence against women is often reported excessively and gender-biased in the online-based national news media, Tribun News. Tribun News' reporting style creates gender bias and a tendency to harass or exploit women as objects of sexual violence. The purpose of this study is to find out how sexual violence against women is described on the Tribun News news channel. This research uses a critical paradigm, a qualitative approach by using Sara Mills' Critical Discourse Analysis to dissect existing news texts. The news text chosen is three news of sexual violence in the period 2021, involving three news subjects or perpetrators who have different backgrounds. The results of this study show that Tribun News in its reporting uses the point of view of the perpetrator where the actors who appear in the news are the men. Tribun News also uses exploitative word choices for victims of sexual violence who are the object of reporting. The unequal position is due to the presence of social constructs that revolve around patriarchal ideology."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library