Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132303 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Farhan Ramadhan
"

Pasien pediatri merupakan golongan yang rentan terkena tuberkulosis. Kompleksnya regimen terapi serta masih minimnya sediaan yang ramah pasien pediatri menjadi suatu tantangan dalam pengobatan tuberkulosis. Hal tersebut memberikan potensi pengembangan suatu sediaan yang dapat menyederhanakan regimen terapi serta ramah bagi pasien pediatri. Film berlapis cepat hancur kombinasi dosis tetap menjadi solusi dari tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses pengobatan tuberkulosis pada pasien pediatri. Penelitian bertujuan untuk memperoleh film cepat hancur berlapis kombinasi dosis tetap yang mengandung rifampisin dan isoniazid dengan metode solvent casting. Terdapat tujuh formula film lapis rifampisin dan tujuh formula film lapis isoniazid dengan masing-masing formula memiliki variasi konsentrasi HPMC dan PVA yakni R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). Ketujuh formula dari masing-masing film lapis dikarakterisasi dengan tujuan menentukan formula film terbaik yang nantinya akan dikombinasikan menjadi sediaan utuh. Karakterisasi tersebut mencakup evaluasi organoleptis, kekuatan peregangan, waktu disintegrasi dan persentase kelembapan. Setelah ditentukan formula terbaik dari masing-masing film, kedua film dikombinasikan dan diuji kembali. Uji yang dilakukan diantaranya uji yang telah dilakukan pada proses karakterisasi ditambah dengan uji penetapan kadar serta uji disolusi. Hasil karakterisasi menunjukkan formula R6 dari masing-masing formula film lapis memiliki karakteristik terbaik dari segi organoleptis dan waktu disintegrasi dengan waktu disintegrasi sebesar 49,94 ± 3,38 detik untuk film lapis rifampisin dan 38,84 ± 4,27 detik untuk film lapis isoniazid. Film lapis rifampisin R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,7478 ± 0,0233 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,29 ± 1,36%. Sedangkan film lapis isoniazid R6 memiliki nilai tensile strength sebesar 0,8136 ± 0,0612 N/mm2 dan persentase kelembapan 15,60 ± 1,23%. Film cepat hancur kombinasi dosis tetap yang diperoleh memiliki organoleptis yang baik, waktu disintegrasi yang cepat yakni 52,82 ± 2,76 detik namun tidak memenuhi kriteria uji penetapan kadar dan uji disolusi yang diinginkan.


Pediatric patients are vulnerable group susceptible to tuberculosis. The complexity of the treatment regimen and the limited availability of pediatric-friendly formulations pose challenges in tuberculosis treatment. This presents an opportunity for the development of a formulation that can simplify the treatment regimen and be patient-friendly for pediatric patients. Fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations offer a solution to the challenges faced in the tuberculosis treatment process in pediatric patients. The research aimed to obtain fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations containing rifampicin and isoniazid using the solvent casting method. There were seven formulations of rifampicin films and seven formulations of isoniazid films, each with variations in HPMC and PVA concentrations, namely R1 (100:0); R2 (75:25); R3 (60:40); R4 (50:50); R5 (40:60); R6 (25:75); R7 (0:100). The seven formulations of each film were characterized to determine the best film formulation that would later be combined into a complete formulation. The characterization included organoleptic evaluation, tensile strength, disintegration time, and moisture content. After determining the best formulation for each film, the two films were combined and retested. The tests conducted included the previously performed characterization tests, as well as assay and dissolution testing. The characterization results showed that formulation R6 of each film had the best characteristics in terms of organoleptic properties and disintegration time, with a disintegration time of 49.94 ± 3.38 seconds for rifampicin film and 38.84 ± 4.27 seconds for isoniazid film. Rifampicin film R6 had a tensile strength of 0.7478 ± 0.0233 N/mm2 and a moisture content of 15.29 ± 1.36%. Meanwhile, isoniazid film R6 had a tensile strength of 0.8136 ± 0.0612 N/mm2 and a moisture content of 15.60 ± 1.23%. The obtained fast-disintegrating multilayer films with fixed-dose combinations had good organoleptic properties and fast disintegration time of 52.82 ± 2.76 seconds but did not meet the criteria for assay and desired dissolution testing.

"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Naufal Giovanni
"Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang dalam terapi pengobatannya membutuhkan kepatuhan dalam mengonsumsi obat antituberkulosis, durasi terapi yang lama, dan pengobatannya tidak boleh terputus terutama pada kelompok yang rentan yaitu pediatri. Salah satu obat lini pertama pada penyakit tuberkulosis adalah isoniazid. Sediaan yang saat ini umum digunakan untuk diberikan pada pasien pediatri adalah berupa tablet dan sirup. Namun, kendala pada sediaan tersebut adalah kesulitan saat proses penelanan pada sediaan tablet dan membutuhkan alat tambahan seperti sendok takar pada sediaan sirup. Hal tersebut  memberikan potensi pada pengembangan sediaan baru untuk obat TB yaitu sediaan orodispersible film (ODF). Penelitian ini bertujuan untuk membuat sediaan orodispersible film (ODF) isoniazid dengan menggunakan kombinasi polimer pembentuk film yaitu polivinil alkohol (PVA) dan Carbopol 971 dengan menggunakan metode solvent casting. Sebanyak tujuh formula ODF dibuat dengan perbandingan PVA-Carbopol 971 yaitu 100:0 (F1); 80:20 (F2); 60:40 (F3); 50:50 (F4); 40:60 (F5); 20:80 (F6), dan 0:100 (F7). Ketujuh formula ODF tersebut dilakukan evaluasi yang bertujuan untuk menentukan formula terbaik. Evaluasi yang dilakukan di antaranya organoleptis, folding endurance, tensile strength, waktu disintegrasi, penetapan kadar, dan profil disolusi. Setelah diperoleh formula terbaik yang didapatkan dari hasil evaluasi, dilakukan uji stabilitas selama 1 bulan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa formula terbaik ODF yang dihasilkan adalah formula F2. Formula F2 memiliki karakteristik organoleptis yang baik yaitu halus, homogen, tipis, dan fleksibel. Nilai waktu disintegrasi yang diperoleh sebesar 57,00 ± 8,18 detik, tensile strength sebesar 10,18 ± 1,23%, dan tidak menunjukkan kerusakan setelah dilipat sebanyak 300 kali. Nilai kandungan isoniazid pada formula F2 ODF adalah sebesar 2,90 ± 0,30 mg/cm². Profil disolusi pada formula F2 menunjukkan nilai terbaik daripada formula lainnya dengan jumlah obat terdisolusi 100,21 ± 29,44% pada menit ke-45. Selain itu, formula F2 memiliki stabilitas yang baik selama penyimpanan 4 minggu pada suhu 40 ± 2oC dan RH sebesar 75 ± 5%.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease that requires adherence to medication, long treatment duration, and uninterrupted therapy, especially in vulnerable groups such as pediatric patients. One of the first-line drugs for tuberculosis is isoniazid. The formulations commonly used for pediatric patients are tablets and syrups. However, the challenge with these formulations is difficulty in swallowing tablets and the need for additional tools such as measuring spoons for syrups. This situation presents the potential for the development of a new formulation, namely orodispersible film (ODF). This study aims to develop isoniazid orodispersible film (ODF) using a combination of film-forming polymers, namely polyvinyl alcohol (PVA) and Carbopol 971, through the solvent casting method. Seven ODF formulations were prepared with different ratios of PVA-Carbopol 971, including (100:0) F1; (80:20) F2; (60:40) F3; (50:50) F4; (40:60) F5; (20:80) F6, and (0:100) F7. These seven ODF formulations underwent evaluation to determine the best formula. Evaluations included organoleptic characteristics, folding endurance, tensile strength, disintegration time, drug content determination, and dissolution profile. After obtaining the best formula based on evaluation results, stability testing was conducted for one month. The evaluation results showed that the best ODF formula produced was formula F2. Formula F2 exhibits good organoleptic characteristics, being smooth, homogeneous, thin, and flexible. The values of disintegration time is 57.00 ± 8.18 seconds; showing no damage after being folded 300 times in the folding endurance test; and a tensile strength value of 10.18 ± 1.23%. The content of isoniazid in the F2 ODF formula is 2.90 ± 0.30 mg/cm². The dissolution profile of the F2 formula shows the best value compared to other formulas, with 100.21 ± 29.44% of the drug dissolved at 45 minutes. Furthermore, the F2 formula exhibits good stability during a 4-week storage period at 40 ± 2°C and 75 ± 5% RH (relative humidity)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edria Rasendriya
"Rifampisin dan isoniazid adalah dua obat antituberkulosis (OAT) yang digabungkan penggunaannya dalam bentuk kombinasi dosis tetap atau fixed dose combination (FDC). Penggunaan kedua obat ini dapat menimbulkan resistensi pada pasien apabila kadar rifampisin dan isoniazid di bawah rentang terapi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegagalan terapi sehingga perlu adanya pemantauan terapi obat (PTO). Metode menggunakan sampel darah kering atau dried blood spot (DBS) dalam PTO menjadi salah satu cara yang dapat digunakan untuk menganalisis konsentrasi kedua obat dalam darah pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis rifampisin dan isoniazid dalam sampel DBS menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi detektor Photodiode Array yang optimum dan tervalidasi berdasarkan pedoman Food and Drug Administration 2018. Analisis rifampisin dan isoniazid dilakukan dengan KCKTPDA menggunakan kolom C18 (Waters, Sunfire™ 5μm; 250 x 4,6mm), volume injeksi 20 μL, dan suhu kolom 40ºC. Fase gerak terdiri atas dapar ammonium asetat-asetonitril-metanol (40:30:30) dengan elusi isokratik, laju alir 0,5 mL/menit dan total waktu analisis 18 menit. Metode ekstraksi pengendapan protein digunakan sebagai metode preparasi sampel dengan pelarut pengekstraksi 1 mL asetonitril-metanol (1:4 v/v%). Nilai Lower Limit of Quantitaion (LLOQ) yang didapat adalah 1,0 μg/mL untuk rifampisin dengan rentang kurva kalibrasi 1,0-30 μg/mL serta 0,4 μg/mL untuk isoniazid dengan rentang kurva kalibrasi 0,4-10 μg/mL. Seluruh hasil validasi memenuhi persyaratan Food and Drug Administration tahun 2018.

Rifampicin and isoniazid are antituberculosis drugs which are combined for use in the form of a fixed dose combination (FDC). The use of these drugs can cause resistance in patients if the levels of rifampicin and isoniazid are below the therapeutic range. This can lead to therapy failure, so it is necessary to monitor drug therapy. Dried blood spot (DBS) sample method in therapeutic drug monitoring (TDM) is an option that can be used to analyze drug concentration in patient's blood. This research objective was to develop an optimum analytical method for rifampicin and isoniazid in DBS sample using High Performance Liquid Chromatography - Photodiode Array detector (HPLC-PDA) with validation based on 2018 Food and Drug Administration (FDA) guideline. Analysis of rifampicin and isoniazid was performed in HPLC-PDA with a C18 column (Waters, Sunfire™ 5μm; 250 x 4.6mm), injection volume of 20 μL, and column temperature of 40oC. The mobile phase contained buffer ammonium acetate-acetonitrile-methanol (40:30:30) with isocratic elution, flow rate of 0,5 mL/minute, and total run time of 18 minutes. Protein precipitation for extracting drug method was used as a sample preparation method with 1 mL of acetonitrilemethanol as the extraction solvent (1:4 v/v%). The LLOQ values obtained were 1,0 μg/mL for rifampin with a calibration curve range of 1,0-30 μg/mL and 0,4 μg/mL for isoniazid with a calibration curve range of 0,4-10 g/mL. All validation results fulfilled the requirements of the 2018 FDA guideline."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alifia Ayuningtyas
"Terdapat zat aktif yang kurang stabil dalam waktu lama jika dibuat dalam sediaan suspensi yang mengandung banyak air seperti rifampisin. Di Indonesia belum tersedia suatu pembawa sediaan suspensi yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kestabilan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula pembawa suspensi yang stabil secara fisik dan kimia setelah penambahan isi kapsul rifampisin sebagai zat aktif. Formulasi dibuat sebanyak 4 formula dengan variasi jenis dan konsentrasi bahan pensuspensi. Formula pembawa terbaik dari hasil evaluasi volume sedimentasi, redispersi, dan pH dipilih, lalu ditambahkan kapsul rifampisin dan dilakukan pengujian stabilitas. Uji stabilitas fisik pada suhu kamar 25˚± 2˚C, suhu dingin 4˚± 2˚C, dan suhu tinggi 40˚± 2˚C selama 28 hari meliputi pengujian terhadap organoleptis (bau, bentuk, warna) dan pH menunjukkan bahwa suspensi rifampisin mengalami perubahan warna menjadi merah agak kehitaman setelah 7 hari penyimpanan, bau seperti obat, peningkatan pH, serta perubahan konsistensi. Uji stabilitas kimia dilakukan pada kondisi suhu kamar dengan menetapkan kadar rifampisin dalam suspensi menggunakan KCKT. Kadar suspensi rifampisin mengalami penurunan hingga 0,82% selama masa penyimpanan 14 hari pada suhu kamar. Dalam penelitian ini, suspensi rifampisin stabil secara fisik selama 7 hari, namun sangat tidak stabil secara kimia.

Active ingredients in suspending vehicles with high water content, such as rifampicin, can degrade over time due to their instability. In Indonesia, there is no available suspending vehicle that can effectively address this stability issue. This research aimed to develop a stable suspending vehicle after the addition of rifampicin capsule contents as the active ingredient. Four formulations were prepared with variations in the type and concentration of suspending agents. The best suspending vehicle based on the evaluation of sedimentation volume, redispersion, and pH was selected, and then rifampicin capsules were added and stability testing was performed. Physical stability testing conducted at room temperature of 25˚± 2˚C, refrigerated temperature of 4˚± 2˚C, and elevated temperature of 40˚± 2˚C for 28 days, including organoleptic (smell, form, and color) and pH testing, revealed a color change of the rifampicin suspension to a reddish-black color after 7 days of storage, along with a medicinal odor, increased pH, and consistency change. Chemical stability testing was conducted at room temperature conditions by determining the rifampicin content in the suspension using HPLC. The rifampicin suspension concentration decreased by up to 0,82% during the 14-day storage period at room temperature. In this research, the rifampicin suspension was found to be physically stable for 7 days, but chemically very unstable."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karel Daud Rahardian
"Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang paling berbahaya dan menular. Salah satu obat yang umumnya digunakan untuk pasien pengidap tuberkulosis adalah isoniazid. Isoniazid biasanya diberikan dalam bentuk sediaan tablet konvensional. Akan tetapi, jenis sediaan tersebut sulit dikonsumsi untuk anak-anak, dikarenakan sulit untuk ditelan. Oleh karena itu, dikembangkanlah sediaan tablet cepat hancur yang mengandung isoniazid sebagai alternatif terapi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat tablet cepat hancur isoniazid dengan metode kempa langsung serta membandingkan konsentrasi dua superdisintegran, yaitu crospovidone dan sodium starch glycolate (SSG). Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan lima formula dengan variasi konsentrasi crospovidone dan SSG, yaitu F1 (1:0), F2 (0:1), F3 (1:4), F4 (1:1), dan F5 (4:1). Evaluasi yang dilakukan antara lain uji sifat alir, kompabilitas, organoleptis, kadar, keseragaman ukuran, keragaman bobot, keregasan, kekerasan, waktu hancur, waktu pembasahan, disolusi, dan stabilitas selama 4 minggu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelima formula memenuhi syarat tablet cepat hancur, yaitu terdisintegrasi di bawah 1 menit, dengan F1 memiliki waktu paling cepat (27,18 ± 6,71 detik) dan memiliki jumlah obat terdisolusi paling banyak (93 ± 1,30%). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tablet cepat hancur F1 yang diperoleh dengan metode kempa langsung merupakan tablet cepat hancur paling baik.

Tuberculosis is one of the most dangerous and infectious diseases. One of the drug that is commonly used for patients with tuberculosis is isoniazid. Isoniazid is usually given in conventional tablet dosage forms. However, this type of dosage form is difficult to consume for children, because it is hard to swallow. Therefore, a fast disintegrating tablet containing isoniazid was developed as an alternative therapy. This study aims to make isoniazid fast disintegrating tablets by direct compression method and to compare the concentration ratio of two superdisintegrants, crospovidone and sodium starch glycolate (SSG). In this study, a comparison was made of five formulas with various concentrations of crospovidone and SSG, namely F1 (1:0), F2 (0:1), F3 (1:4), F4 (1:1), dan F5 (4:1). Evaluations carried out included flow properties, compatibility, organoleptic, size uniformity, weight variation, friability, hardness, disintegration time, wetting time, dissolution, and physical stability for 4 weeks. The results showed that the five formulas met the requirements for fast disintegrating tablets,where they disintegrated less than 1 minute, with F1 having the fastest time (27.18 ± 6.71 seconds) and having the most amount of drug dissolved (93 ± 1.30%). So it can be concluded that the fast disintegrating tablet F1 obtained by direct compression method is the best fast disintegrating tablet."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athalla Syahandana Sydqi Rahadi
"Tuberkulosis merupakan penyakit kuno yang telah berevolusi bersama manusia sejak ratusan tahun lalu dan jutaan orang di seluruh dunia hingga saat ini masih menderita akibat penyakit ini. Resistansi terhadap beberapa agen terapeutik merupakan masalah yang signifikan. Hal ini mendesak peneliti untuk menemukan obat antitubercular lain untuk menekan penyebaran. Polyketide Synthase 13 (Pks 13) merupakan enzim yang berperan dalam proses pembentukan asam mikolat penyusun dinding sel Mycobacterium Tuberculosis (Mtb) yang memiliki peran penting dalam kelangsungan hidup dan virulensi Mtb. Penelitian ini bertujuan menemukan obat antituberkular baru yang dapat digunakan sebagai inhibitor dari Pks 13. Pada penelitian ini, dilakukan modifikasi terhadap senyawa turunan oxazole menggunakan metode scaffold replacement untuk menghasilkan ligan yang berpotensi menjadi kandidat inhibitor Pks13. Pemilihan senyawa turunan Oxazole mengacu pada kemampuannya sebagai antibakteri. Metode Scaffold Replacement dilakukan menggunakan software Molecular Operating Simulator (MOE). Senyawa turunan oxazole yang akan dimodifikasi, dilakukan penapisan terlebih dahulu dengan perangkat lunak OSIRIS Data Warior dan dilakukan simulasi penambatan molekul dengan protein target enzim Pks 13, yang diperoleh dari Protein Data Bank (PDB). Simulasi ini menghasilkan 6 ligan terbaik dengan nilai energi bebas Gibbs terendah terhadap Pks 13. Ligan terpilih diprediksi sifat farmakologinya secara komputasi dan menghasilkan dua ligan OXMCTR13431 dan OXMCTR13432 yang memiliki karakter absorpsi, distribusi, metabolisme, eksresi, dan toksisitas yang sesuai.

Tuberculosis is an old disease that originated alongside humans hundreds of years ago, and millions worldwide are still affected by it today. Resistance to several therapeutic agents is a significant problem. This spurred researchers to seek other antitubercular medications to combat the spread of the disease. Polyketide Synthase 13 (Pks 13) is an enzyme that facilitates the formation of mycolic acid, which forms the cell wall of Mycobacterium tuberculosis (Mtb) and is essential for Mtb survival and virulence. This research aims to identify novel antitubercular medicines that can be employed as Pks13 inhibitors. In this work, oxazole compounds were modified through the scaffold replacement approach to develop ligands with the potential to be Pks 13 inhibitor candidates. The selection of Oxazole derivatives is based on their antibacterial properties. Molecular Operating Simulator (MOE) program was used to perform the Scaffold Replacement method. Before modifying the oxazole derivatives, it must be screened using the OSIRIS Data Warrior program and simulated molecular docking with the Pks 13 enzyme's target protein, obtained from the Protein Data Bank (PDB). This simulation generated the top six ligands for Pks 13 with the lowest Gibbs free energy values. The chosen ligands were computationally predicted for their pharmacological properties, identified two ligands, OXMCTR13431 and OXMCTR13432, with the necessary absorption, distribution, metabolism, excretion, and toxicity characteristics."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sisfa Shabela
"Kebanyakan orang mengetahui bahwa tuberkulosis mempengaruhi paru-paru, tetapi jarang mengetahui bahwa TB dapat mempengaruhi tulang belakang. Penyakit ini dikenal sebagai penyakit Pott. Pasien penyakit Pott sering diresepkan dengan beberapa obat anti-tuberkulosis dalam formulasi obat tunggal dan kombinasi biner. Namun, beberapa pasien menjadi resisten terhadap obat anti-tuberkulosis karena penggunaan yang tidak tepat. Kekhawatiran telah dikemukakan oleh peneliti mengenai degradasi rifampisin (RIF) yang disebabkan oleh oksigen. Obat tunggal dan biner yang tidak stabil dan tidak aktif dapat mengganggu efektivitas pengobatan dan meningkatkan kemungkinan resistensi obat pada pasien. Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), untuk penentuan stabilitas obat anti tuberkulosis tunggal dan biner dalam 4 jam, digunakan untuk menyelidiki degradasi obat anti-tuberkulosis (OAT) di dalam larutan PBS pada pH 7.4 di suhu kamar dengan variasi H2O2 (0%, 0,3%, 3%, dan 30% b/v). RIF terdegradasi hingga 14.92% setelah ditambahkan H2O2 3% dan menghasilkan turunan RIF-Q dengan konsentrasi sebesar 4.57 PPM, 3.38 PPM, 2.52 PPM, and 0.87 PPM untuk variasi H2O2 0%, 0,3%, 3%, dan 30% b/v. Setelah ditambahkan H2O2 3% INH, PZA, dan ETH terdegradasi sebesar 5.70%, 13.58%, dan 3.48% secara berurutan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa semua OAT tunggal dan biner terdegradasi, tidak tahan oksidasi alami, dan oksidasi H2O2. Oleh karena itu, semua obat membutuhkan antioksidan alami seperti gingerol, kurkumin, mangostin, dan asam askorbat sebagai penstabil untuk menstabilkan obat.

Most people knew that tuberculosis affect the lungs, but rarely knew it may affect other sites including spine. The disease is known as the pott’s disease. Pott’s disease patients are often prescribed with a few anti-tubercular drugs in a single and binary drug formulation. Concern has been arises regarding the degradation of rifampicin (RIF) caused by oxygen that produce inactive rifampicin quinone (RIF-Q) and isonicotinyl hydrazone (HYD) in the presence of isoniazid (INH). Unstable and inactive single and binary drugs may compromise treatment effectiveness and enhance the possibility of drug resistance in patient. An HPLC method, for the determination of single and binary anti-tuberculosis drugs stability in 4 hours, was employed to investigate the degradation in PBS solution at pH 7.4 in ambient temperature with H2O2 variation (0%, 0.3%, 3%, and 30% w/v). RIF degraded up to 14.92% after 3% H2O2 was added and produced RIF-Q with concentrations of 4.57 PPM, 3.38 PPM, 2.52 PPM, and 0.87 PPM for 0%, 0.3%, 3%, and 30% w/v H2O2. Meanwhile, INH, PZA, and ETH degraded by 5.70%, 13.58%, and 3.48%, respectively after 3% H2O2 was added. It was found that all single and binary anti- tuberculosis drugs are degraded, did not resist natural oxidation, and H2O2 oxidation. Therefore, all drugs need natural antioxidant such as gingerol, curcumin, mangostin, and ascorbic acid the stabilizer to stabilize the drugs."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faishal Andzar
"Penyakit Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menjadi salah satu permasalahan di negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Terapi tuberkulosis yang biasanya dominan dalam administrasi oral memiliki berbagai permasalahan, yaitu salah satunya adalah rendahnya konsentrasi obat pada tempat infeksi Mycobacterium tuberculosis, yaitu di alveolus.Penghantaran obat antituberculosis langsung ke paru-paru merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan konsentrasi obat di lokasi infeksi sehingga efektivitas terapi meningkat. Isoniazid merupakan salah satu lini terapi pertama terapi tuberkulosis. Namun, serbuk isoniazid perlu memiliki sifat arodinamis yang baik agar dapat terdeposisi di paru-paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh eksipien L-leusin dan/atau amonium bikarbonat terhadap sifat aerodinamis dan profil pelepasan obat serbuk inhalasi isoniazid. Semua formula serbuk inhalasi isoniazid dibuat dengan metode semprot kering. Serbuk inhalasi yang diperoleh kemudian dikarakterisasi morfologi, kandungan lembab, densitas bulk, distribusi ukuran partikel, sifat aerodinamis, gugus fungsi, kadar, serta profil pelepasan dalam medium simulasi paru-paru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan L-leusin meningkatkan sifat aerodinamis, sementara penambahan amonium bikarbonat tidak meningkatkan sifat aerodinamis secara signifikan. Formula serbuk inhalasi isoniazid dengan kombinasi eksipien L-leusin dan amonium bikarbonat memiliki sifat aerodinamis paling baik dengan nilai persentase emitted fraction (EF) 62,08%±1,80 dan fine particle fraction (FPF) 50,39%±6,13 dan diameter aerodinamis (MMAD) 5,68±0,35 µm. Uji pelepasan obat secara in-vitro menunjukkan bahwa semua formula dapat terdisolusi hingga 100% dalam waktu 45 menit. Namun, penambahan amonium bikarbonat tidak mampu mengubah morfologi serbuk inhalasi isoniazid menjadi berpori seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, optimasi parameter proses penyemprotan diperlukan untuk menghasilkan partikel dengan pori.

Tuberculosis is a major health problem in many developing countries, including Indonesia. The therapy for tuberculosis primarily consists of orally consumed drugs, which can result in several issues, including low concentration of antibiotics at the alveoli, the primary site of infection of Mycobacterium tuberculosis. Pulmonary delivery of anti-tuberculosis drugs is one of strategies to provide adequate concentrations at the site of infection, thus increase effectiveness of therapy. Isoniazid is one of the first-line drugs for tuberculosis therapy. However, isoniazid powder should exhibit good aerodynamic properties to be deposited in the lungs. Thus, this study aimed to examine the effect of L-leucine and/or ammonium bicarbonate on aerodynamic properties and drug release profile of isoniazid inhalation powder. All formulations were produced by spray drying, with or without L-leucine and/or ammonium bicarbonate. The obtained powder was characterized by its morphology, moisture content, bulk density, particle size distribution, aerodynamic properties, functional group, content assay, and drug release profile in simulated lung medium. The results showed that the addition of L-leucine increased the aerodynamic properties of isoniazid, while the addition of ammonium bicarbonate did not increase the aerodynamic properties significantly. Isoniazid inhalation powder with combination of 5% w/w L-leucine and 5% w/w ammonium bicarbonate exhibited the best aerodynamic properties with emitted fraction (EF) 62.08%±1.80% and fine particle fraction (FPF) 50.39%±6.13%, and aerodynamic diameter (MMAD) 5.68±0.35 µm. In-vitro drug release test showed that isoniazid in all formulations can be dissolved up to 100% within 45 minutes. However, the addition of ammonium bicarbonate could not form large porous particles as expected. Therefore, further research is required to optimize spray drying parameters in order to achieve the desired particles."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Ashiila Amalia
"ABSTRAK
Rifampisin RIF merupakan salah satu obat antituberkulosis anti-TB lini pertama yang penggunaannya dikombinasikan dengan isoniazid INH dalam bentuk fixed dose combination FDC selama 4 bulan. Rendahnya konsentrasi RIF dalam darah pasien dapat menyebabkan resistensi obat yang berujung pada kegagalan terapi, sehingga perlu dilakukan pemantauan terapi obat PTO . PTO dengan metode sampel darah kering DBS memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien TB untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis RIF dengan keberadaan INH dalam sampel DBS, mulai dari kondisi kromatografi optimum, metode preparasi sampel DBS optimum, dan validasi metode bioanalisis. Kondisi kromatografi optimum adalah menggunakan kolom C8 Waters, SunfireTM 5 m; 250 x 4,6 mm ; fase gerak dapar amonium asetat 50 mM pH 4,5 ndash; asetonitril ndash; metanol 40 : 30 : 30 ; laju alir 0,5 mL/menit; suhu kolom 40 C; deteksi pada panjang gelombang 261 nm; waktu analisis selama 16 menit; menggunakan cilostazol sebagai baku dalam. Preparasi sampel menggunakan metode pengendapan protein dengan pelarut pengekstraksi asetonitril-metanol 1:4 v/v . Hasil validasi terhadap metode analisis RIF dengan keberadaan INH yang dilakukan memenuhi persyaratan validasi berdasarkan EMEA pada tahun 2011. Metode yang diperoleh linear pada rentang konsentrasi 1,0 ndash; 30,0 g/mL dengan nilai r > 0,9984.

ABSTRACT
Rifampicin RIF is one of the first line antituberculosis anti TB drug combined with isoniazide INH in fixed dose combination FDC form which is consumed for 4 months. RIF has been associated with treatment failure in some patients because of a low blood drug concentrations. Therefore, TB patient using RIF is recommended to determine plasma concentrations of RIF. Biosampling method using dried blood spots DBS offers some advantages such as the patient comfort. Monitoring TB drug using DBS helps to improve effectiveness of therapy. This research objective is to develop an analytical method of RIF in presence of INH in DBS starting from optimum chromatography condition, optimum whole blood preparation method, and analytical method validation. The optimum chromatographic condition was obtained using C8 Waters, SunfireTM 5 m 250 x 4.6 mm the mobile phase contains buffer ammonium acetate 50 mM pH 4.5 ndash acetonitrile ndash methanol 40 30 30 flow rate was 0.5 mL min column temperature 40 C which was detected with UV at wavelength of 261 nm time of analysis 16 minutes and cilostazol as internal standard. The optimum preparation method was protein precipitation technique using acetonitrile and methanol 1 4 v v . The validation result of RIF in presence of INH analysis method fulfilled the validation requirement using EMEA Bioanalytical Guideline in the year 2011. The method was linear at concentration range of 1.0 30.0 g ml with r 0.9984. "
2017
S67574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>