Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91201 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Feki Anrizal
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan untuk membahas dan menganalisa strategi Vietnam dalam menjaga keamanan Laut Tiongkok Selatan pada tahun 2011. Strategi yang dilakukan Vietnam salah satunya dengan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat melalui penegasan MoU pada tahun 2011. Kerja sama tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan militer Vietnam guna menjaga keamanan di Laut Tiongkok Selatan dari negara-negara yang bersengketa terutama Tiongkok, selaku pemilik kekuatan militer terbesar di kawasan tersebut. Hal ini menuntut Vietnam melakukan kerja sama pertahanan dengan Amerika Serikat sebagai strategi extended deterrence dalam menjaga keamanan Vietnam di Laut Tiongkok Selatan.

This thesis discusses Vietnam's efforts in maintaining the security in the South China Sea in 2011. This study uses explanative and qualitative methods. It to discuss and analyze strategies how Vietnam maintain the security in the South China Sea in 2011. One of the strategies is defense cooperation with United States through the signing of the MoU in 2011. The defense cooperation was expected to help to improve Vietnam’s military strength in order to maintain the security of the South China Sea against the threats produced by other claimants policy, especially China as the largest military forces in the region. Vietnam’s policy to embrace United States extended deterrence, in part was a reaction to China’s military posture."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Asshafiya Khairunisa
"Tugas Karya Akhir (TKA) ini meneliti respon Indonesia, Vietnam, dan Filipina, terhadap aktivitas militer Tiongkok di Laut Cina Selatan antara tahun 2014-2020. Berdasarkan kerangka analisis teori kerja sama, penelitian ini berpendapat bahwa ketiga negara merespon aktivitas militer Tiongkok dengan cara yang kooperatif. Menurut beberapa penelitian sebelumnya, respon negara di wilayah Laut Tiongkok Selatan bergantung kepada jumlah dana bantuan Belt and Road Initiatives (BRI) yang diterima. Penelitian ini menyarankan untuk memasukkan konteks nasional negara-negara penerima BRI, dengan melibatkan motives dan power dalam menganalisis respon. Tulisan ini adalah penelitian kualitatif dan penulis menggunakan metode perbandingan. Penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman tentang persamaan pola respon antara Indonesia, Vietnam, dan Filipina terlepas dari perbedaan jumlah BRI yang diterima.

This study examines the responses of Indonesia, Vietnam, and Philippine, toward China`s military activities at the South China Sea between 2014-2020. Based on the logic of cooperation theory analytical framework, this paper argues that those countries reacted to China`s military activities in a cooperative way. As some scholars predicted if those responses depend on the amount of the Belt and Road Initiatives (BRI) assistance fund. This paper suggests to include the national context of BRI recipient countries, by describing the different motives and power, in examining those responses. This paper
used qualitative framework and comparative methods. This paper may enhance the understanding of the similar pattern of responses between Indonesia, Vietnam, and Philippine despite the differences of the BRI amount received.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Ihsan
"ABSTRAK
Berdasarkan sejarah, terdapat kecenderungan bahwa suatu negara yang tengah mengalami kebangkitan memiliki kecenderungan untuk bersikap ekspansif terhadap negara-negara lainnya, seperti yang dilakukan oleh Jerman dan Jepang pada masa Perang Dunia. Pada saat ini, China merupakan salah satu simbol kekuatan dunia yang tengah mengalami pertumbuhan pesat. Sejalan dengan perkembangannya dalam bidang ekonomi dan militer, kebangkitan China juga berpengaruh terhadap negara-negara lainnya di Asia, terutama terkait dengan adanya motif ekspansionis dari negara tersebut. Pada saat ini, China terlibat dalam sengketa teritorial di Laut China Selatan dengan lima negara Asia lainnya. China memiliki klaim kedaulatan terhadap keseluruhan perairan yang memiliki signifikansi geopolitik dan ekonomi tersebut. Namun, meski melakukan peningkatan kapabilitas militernya, China tidak menginisiasi adanya perang teritorial di Laut China Selatan selama hampir dua dekade. Tesis ini berupaya meneliti tentang strategi keamanan China dari tahun 1949 hingga 2012 dengan menggunakan metode kuantitatif. Berdasarkan analisa korelasi variabel power dan strategi keamanan, diketahui bahwasanya China merupakan kekuatan status quo. Seiring dengan peningkatan power negara tersebut, strategi keamanannya memiliki kecenderungan bergerak ke arah yang non-konfrontatif.

ABSTRACT
Based on history, there is a tendency that a rising state behave expansively toward others, such as that carried out by the Germans and Japanese during the World War. Meanwhile, at the present time, China is one of great powers which has experienced growth very rapidly. As the progress in economic and military sectors, the rise of China also has a great influence to the other Asian countries as well, mainly related to its expansionist motives. At the moment, the Chinese are involved in the territorial disputes in South China Sea with five other Asian Countries. China has sovereignty claims over the entire waters which have economic and geopolitical significance. However, despite upgrading its military capability, it does not initiate a territorial war in the South China Sea for nearly two decades. This thesis seeks to examine China’s security strategy from 1949 to 2012 by using quantitative methods. Based on the correlation analysis of power and strategy, it is known that China is a status quo power. Along with the power increase, its strategy has a tendency to move towards a less confrontational approaches."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Khadijah
"Pesatnya aktivitas pelayaran menyebabkan sengketa teritorial dan maritim yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan menimbulkan kekhawatiran akan terhambatnya hak untuk berlayar, khususnya bagi kapal perang. Penguasaan secara de facto oleh Tiongkok atas fitur-fitur laut di Spartly, Paracel dan Scarborough Shoal dapat berimplikasi pada keberlakuan hukum domestik Tiongkok yang membatasi hak lintas damai kapal perang asing di laut teritorial dan aktivitas militer asing di ZEEnya. Klaim Tiongkok ini ditentang oleh Amerika dengan cara mengirimkan kapal perangnya untuk berlayar di perairan yang masih bersengketa tersebut di bawah misi FONOP. Dalam meneliti permasalahan ini, Penulis menggunakan metode penelitian berupa yuridis normatif.
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari permasalahan tersebut adalah klaim Tiongkok tidak dapat dibenarkan oleh hukum internasional, dengan demikian hak lintas damai tidak berlaku di perairan sekitar fitur-fitur yang diklaim negara tersebut dan kapal asing tetap dapat berlayar di bawah rezim kebebasan navigasi yang tertuang dalam Pasal 58 1 UNCLOS. Oleh sebab itu, seharusnya Amerika mengirimkan kapal perangnya untuk melakukan kebebasan navigasi. Selain itu, Tiongkok tidak berhak mengklaim ZEE dari fitur-fitur yang diklaimnya tersebut sehingga kebijakan atas aktivitas militer tidak dapat diterapkan. Tiongkok adalah negara yang telah meratifikasi UNCLOS, maka seyogyanya negara tersebut mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut.

Territorial and maritime disputes occurring in the South China Sea have raised awareness among international communities regarding the impediment of navigational rights. China rsquo s de facto control on the sea features such as Spartly, Paracel and Scarborough Shoal possibly implies the enforcement of Chinese domestic laws that limit the innocent passage of foreign warships in territorial sea and foreign military activities in EEZ. However, America opposes Chinese claims by sending its warships to sail near disputed waters under FONOP mission. The research method used in this thesis is yuridis normatif.
The conclusions derived from the problem are, Chinese claims cannot be justified by international law, therefore the right of innocent passage is not applicable in the waters surrounding the claimed features and foreign warships are able to sail under the regime of freedom of navigation provisioned in Article 58 1 UNCLOS. Therefore, America should have sent its warships under the freedom of navigation regime. On the other hand, China is not capable of claiming EEZ derived from the features, therefore the country cannot restrict military activities in the region. Moreover, as member of UNCLOS, China has obligation to follow the rules set up in the convention.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuri Widiastuti Veronika
"Tesis ini membahas tentang pengaruh komponen ? komponen geopolitik yaitu wilayah, energi dan power terhadap sengketa teritorial di Laut China Selatan antara China dan Vietnam periode 2009 - 2011. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian eksplanatif untuk menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel serta menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketiga komponen geopolitik mempengaruhi sengketa teritorial di Laut China Selatan . Pertama, komponen wilayah yang dijelaskan melalui kedekatan geografis dan panjang garis pantai menunjukkan adanya klaim kepemilikan dan tingkat resiko bagi apabila terjadi sengketa di kawasan tersebut. Kedua, komponen energi yang dijelaskan melalui pengukuran tingkat pemenuhan kebutuhan energi menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan energi mempengaruhi eskalasi konflik akibat eksplorasi energi di kawasan yang masih menjadi sengketa. Sedangkan komponen power, kapabilitas militer yang kuat menimbulkan peningkatan agresivitas China ? Vietnam untuk mengklaim kawasan LCS. Selain itu, strategi China ? Vietnam untuk mempertahankan klaim juga mempengaruhi hubungan konfliktual di antara kedua negara ini.

The focus of this study is analyzing the impact of the components of geopolitics i.e. territory, energy and power toward the territorial dispute between China and Vietnam in the South China Sea at the period of 2009 - 2011. This study is quantitative research that aims to analyze the causal relationship between each variable.
This study summarize that the component of geopolitics give impact to the conflict escalation in the South China Sea dispute between Vietnam and China. In terms of territory, the geographic proximity and the coastline have explained the ownership claim and the country's risk should the dispute escalate into large-scale conflict or even war. In terms of energy, the rate of energy sufficiency ability gives impact to the dispute since it will cause a country to explore the disputed area in order to fulfill the energy demand. And in terms of power, the military capability has been the basis for China-Vietnam to act aggressively in the South China Sea. In addition, China ? Vietnam have also chosen different strategies to maintain their claims that in turns gives impact to the conflicting relationship among them.;The focus of this study is analyzing the impact of the components of geopolitics i.e. territory, energy and power toward the territorial dispute between China and Vietnam in the South China Sea at the period of 2009 ? 2011. This study is quantitative research that aims to analyze the causal relationship between each variable. This study summarize that the component of geopolitics give impact to the conflict escalation in the South China Sea dispute between Vietnam and China. In terms of territory, the geographic proximity and the coastline have explained the ownership claim and the country‟s risk should the dispute escalate into large-scale conflict or even war. In terms of energy, the rate of energy sufficiency ability gives impact to the dispute since it will cause a country to explore the disputed area in order to fulfill the energy demand. And in terms of power, the military capability has been the basis for China-Vietnam to act aggressively in the South China Sea. In addition, China ? Vietnam have also chosen different strategies to maintain their claims that in turns gives impact to the conflicting relationship among them."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30893
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gede Cadhu Wibawa
"Permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan yang belum mencapai titik terang sampai dengan saat ini. Ketegangan kembali menguat setelah munculnya China Threat Teory serta gencarnya kebijakan Belt and Road Initiative oleh pemerintah China yang mencangkup Silk Road Economic dan Maritime Silk Road. Klaim Cina terhadap Kawasan Laut Cina Selatan dengan Nine Dash Line menimbulkan keresahan di negara kawasan ASEAN yang sebagian besar memiliki klaim yang tumpang tindih. Indonesia tidak termasuk sebagai negera penuntut dalam kasus sengketa di Laut Cina Selatan, namun demikian Indonesia turut terkena imbasnya dengan klaim perairan Natuna utara yang diakui Cina sebagai Traditional Fishing Ground. Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran tingkat ancaman Cina terhadap Indonesia dengna menggunakan metode penilaian ancaman Prunckun untuk menilai persepsi tingkat ancaman dari pihak Indonesia. Peneliti menggunakan metodekualitatif, dengan menganalisis hasil wawancara dengan narasumber secara mendalam tentang respon yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap pergerakan yang dilakukan Cina di Laut Cina Selatan. Dalam penelitian ini peneliti berfokus dengan mengkaji respon pemerintah khususnya dari dua sisi komponen strategis yakni aspek kekuatan bersenjata dan aspek ekonomi. Dari dua aspek tersebut dilakukan perbandingan respon untuk melihat konsistensi pemerintah dalam menghadapi ancaman Cina. Dalam penelitian ini didapat bahwa langkah pemerintah dari dua aspek tersebut menunjukkan tidak sejalan. Kemudian Peneliti menggunakan K3N sebagai alat untuk memberikan produk Intelijen sebagai bentuk fungsi intelijen yakni Warning, Forecasting dan Problem Solving.

The South China Sea problem is a problem that has not yet reached the bright spot until now. Tensions have strengthened again after the emergence of China Threat Theory and the incessant Belt and Road Initiative policy by the Chinese government which includes the Silk Road Economic and Maritime Silk Road. China's claim to the South China Sea Area with the Nine Dash Line has caused unrest in ASEAN countries, most of which have overlapping claims. Indonesia is not included as a claimant country in cases of disputes in the South China Sea, however, Indonesia is also affected by the claim that the North Natuna waters are recognized by China as the Traditional Fishing Ground. In this study, the measurement of China's threat level to Indonesia was carried out using the Prunckun threat assessment method to assess the perceived threat level from the Indonesian side. The researcher used a qualitative method, by analyzing the results of interviews with sources in depth about the response made by the Indonesian government to the movements carried out by China in the South China Sea. In this study, researchers focused on examining the government's response, especially from the two sides of the strategic component, namely the aspect of armed power and the economic aspect. From these two aspects, a response was compared to see the consistency of the government in facing the Chinese threat. In this study, it was found that the government's steps from these two aspects showed that they were not in line. Then the researcher used K3N as a tool to provide intelligence products as a form of intelligence function, namely Warning, Forecasting and Problem Solving.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardina Yunita Kartikasari
"Kajian ini membahas mengenai citra Indonesia di mata Tiongkok dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS). Dalam sengketa di LCS, Indonesia bukan negara penggugat atau non-claimant state. Namun klaim Tiongkok atas sembilan garis putus atau Nine-dashed Line di LCS beririsan dengan sebagian Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kepulauan Natuna. Dalam periode 2010-2016, sejumlah insiden sempat terjadi dan menimbulkan ketegangan. Meski bersikeras bahwa kedua negara memiliki tumpang tindih kepentingan di perairan Natuna, Tiongkok tetap memiliki citra positif tentang Indonesia dan Tiongkok cenderung berhati-hati dalam merespon Indonesia dalam isu tersebut. Terkait hal ini, meski sudah banyak penelitian mengenai kebijakan Tiongkok terhadap Indonesia, namun hanya sedikit kajian yang menulis secara spesifik mengenai persepsi Tiongkok mengenai Indonesia dalam sengketa LCS. Melalui kerangka analisis teori citra atau image theory dan metode penelitian causal process tracing, kajian ini menunjukkan bahwa citra Indonesia di mata Tiongkok adalah ally image. Dalam ally image, Indonesia dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan, kapabilitas dan dimensi kultural yang relatif sepadan. Hal ini mempengaruhi pilihan strategi yang diambil Tiongkok terhadap Indonesia terkait insiden-insiden yang terjadi di perairan Natuna, di mana Tiongkok lebih mengedepankan hubungan baik dan kemitraan kedua negara. Dalam kaitannya dengan isu sengketa LCS secara umum, Tiongkok memandang Indonesia sebagai teman yang mampu bersikap adil terhadap pihak-pihak yang bersengketa.

This study analyses Indonesia's image from China's perspective on the South China Sea (SCS) dispute. Indonesia is a non-claimant state in SCS dispute. China's claim on Nine-dashed Line, however, overlaps with Indonesia's EEZ in Natuna islands. Tensions following some incidents occured in Natuna waters within 2010-2016. China insisted two countries have overlaping interest claim in those area, while Indonesia persisted on its position as non-claimant state. Nevertheles, China still perceives Indonesia in positive image and tend to be cautious when dealing with Indonesia on this issue. Although there are many studies on the SCS dispute and China's policy towards Indonesia, few if any of them discuss specificaly on China's perception towards Indonesia in this regard. Adopting image theory as an analytical framework and causal-process tracing on research method, this study figures that China captures Indonesia's image as an ally. In ally image, Indonesia is perceived as an actor who has positive goal compatibility with similar capability and cultural dimension as well. This perception affects the strategic options taken by China against Indonesia regarding the Natuna incidents in which China prioritize good relation and partnership between both countries. While on the SCS issue, China perceives Indonesia as a good friend capable of being fair to the parties in the dispute."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Hamidah
"Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu bentuk baru ancaman keamanan pasca perang dingin di wilayah Asia Tenggara. Konflik ini melibatkan enam negara sebagai pengklaim secara langsung. Hal ini disebabkan lokasi strategis Laut China Selatan dan potensi yang terkandung didalamnya. Mengingat langkah untuk menyelesaikan konflik ini perlu waktu panjang karena rumitnya permasalahan, maka diperlukan upaya yang bisa tetap menjaga kawasan tetap aman hingga terselesaikannya permasalahan klaim wilayah ini.
Salah satu upaya untuk mengelola konflik tersebut adalah dengan peningkatan saling percaya (CBMs). Konsep CBMs yang dikembangkan di Asia Pasifik, adalah konsep CBMs yang unik dimana keamanan dimengerti secara konprehensif meliputi aspek militer dan non-militer. CBMs umumnya dimengerti secara longgar yang meliputi segala upaya formal dan informal pada tingkat unilateral, bilateral atau pun multilateral yang ditujukan untuk mencegah eskalasi konflik atau menyelesaikan ketidak pastian. CBMs yang dikembangkan di LCS tidak hanya terbatas pada CBMs standard yaltu melalui komunikasi, transparansi, constraint measures dan declaratory measures yang umumnya menyangkut bidang politik dan militer, tetapi mencakupkan kerjasama dalam bidang-bidang ekonomi, sosial, lingkungan hidup dan lain-lainnya.
Perundingan untuk pengelolaan dan upaya pencarian penyelesaian damai konflik Laut China Selatan, sejauh ini baru pada tahap disepakatinya suatu non-legally binding code of conduct antara ASEAN dengan China dengan ditandatanganinya Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea pada KTT ASEAN China, 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja.
ASEAN sejak awal menginginkan dikeluarkannya suatu legally-binding code of conduct for the South China Sea, namun karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik, untuk sementara baru dihasilkan suatu 'perjanjian sementara' berupa deklarasi yang akan dijadikan sebagai 'aturan main' dalam senketa di LCS.
Berdasarkan uraian diatas penulis melakukan suatu penelitian untuk mengetahui faktor apakah yang meyebabkan ketidakberhasilan ASEAN untuk menghasilkan suatu legally-binding code of conduct in south china sea, dan akan dikaji lebih jauh bagaimana mekanisme CBMs yang telah dibentuk melalui Declaration on the conduct to parties in the South China Sea ini dapat mengelola konflik Laut China Selatan dengan cara mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama yang efektif. Untuk membahas pokok permasalahan dalam penulisan ini digunakan pendekatan CBMs yang akan dijabarkan sebagai definisi konseptual dan definisi operasional menjadi asumsi-asumsi dalam kerangka analisis. Metode penelitian yang digunakan bersifat Deskriptif Analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa hal-hal yang ada sehingga hasil penlitian dari data-data yang telah diperoleh dapat memberikan dukungan yang kuat terhadap teori atau konsep yang digunakan dalam penulisan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak berhasilnya ASEAN merumuskan suatu legally-binding code of conduct disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. Keberadaan ASEAN yang lebih banyak 'dikendalikan' oleh kekerasan pendirian China yang selalu menegaskan bahwa kedaulatannya di LCS adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu-gugat.
2. Penegasan China yang hanya akan menyepakati suatu non legally-binding code of conduct dan membatasi pada isu Spratly serta memfokuskan pada dialog untuk memelihara stabilitas dikawasan dengan pengembangan kerjasama dan tidak membahas masalah yurisdiksi kedaulatan.
3. China menunjukkan kemampuannya untuk mengkontrol negosiasi seputar konflik territorial tersebut dengan menjalin jaiur bilateral yang telah menghasilkan bilateral code of conduct.
4. Posisi tawar ASEAN yang lemah karena adanya perbedaan pandangan dikalangan ASEAN sendiri.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penandatanganan dokumen tersebut merupakan kemajuan dari upaya CBMs antara ASEAN dan China yang tengah dibangun selama ini, mengingat selama ini China hanya menginginkan pembahasan sengketa secara bilateral dan menolak segala bentuk internasionalisasi sengketa. Sebagai langkah awal deklarasi tersebut telah membawa negara-negara yang terlibat khususnya untuk memberikan komitmen dan pernyataan sikap bersama untuk menyelesaikan masalah sengketa di LCS secara damai. Deklarasi ini juga dapat dijadikan pendukung bagi pelaksanaan kerjasama yang telah dirintis melalui Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea dan starting point untuk pembentukan suatu legally-binding code of conduct.
Daftar Pustaka : 24 Dokumen + 16 Buku + 23 Artikel + 3 Paper Diskusi/Seminar + 2 Disertasi + Internet"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudho Sasongko
"Kasus pendudukan Cina di Mischief Reef pada akhir tahun 1994 menandai babak baru dalam sengketa Laut Cina Selatan, yakni ketika Cina untuk pertama kalinya bersikap asertif terhadap salah satu negara ASEAN. Tindakan Cina ini setidaknya mengandung dua risiko, yakni terganggunya hubungan strategis Cina dengan negara-negara ASEAN serta semakin menguatnya dugaan tentang adanya "ancaman Cina" ("China threat ") di Asia Tenggara.
Tindakan Cina tersebut menarik untuk dikaji, khususnya untuk mencari faktor-faktor yang mungkin berkaitan dengan tindakan tersebut. Dalam kaitan ini, penulis memfokuskan pembahasan pada politik domestik Cina, khususnya persaingan antar unit-unit birokrasi di dalamnya. Dengan menggunakan teori tentang proses pengambilan kebijakan (policy-making process), terutama teori Graham Allison tentang politik birokratik, penulis berusaha menjelaskan persaingan birokrasi yang terjadi dan kaitannya dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan. Dalam hal ini, insiden pendudukan Cina di Mischief Reef digunakan sebagai studi kasus. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan persaingan antarunit birokrasi di Cina yang saling memperebutkan pengaruh dalam upaya mempertahankan dan mengedepankan kepentingan birokratiknya; menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan kelompok 1 unit birokrasi tertentu lebih mampu mendominasi dan memenangkan persaingan; dan menjelaskan kaitan antara dominasi kelompok 1 unit birokrasi tertentu dalam persaingan birokratik dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan, khususnya ketika Cina menduduki salah satu pulau karang di gugusan Kepulauan Spratly, yakni Mischief Reef.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah aktor utama yang saling bersaing dalam upaya mempertahankan kepentingan birokratiknya dan dalam upaya mempengaruhi kebijakan Cina, khususnya kebijakan dalam konflik Laut Cina Selatan. Aktor-aktor tersebut terdiri dari Kementrian Luar Negeri (MFA), Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), dan unsur-unsur dalam PLA, yakni Departemen Staf Umum (GSD), Angkatan Laut (PLA-N), dan Angkatan Udara (PLA-AF). Diantara aktor-aktor utama tersebut, PLA dan PLA-N sangat mendominasi persaingan, dan hal ini disebabkan setidaknya olch 5 (lima) faktor, yakni (1) tingginya posisi politis PLA dalam politik domestik Cina yang disebabkan oleh tragedi Tiananmen dan situasi power struggle yang menguntungkan posisi tawar-menawar PLA; (2) lemahnya MFA sebagai rival utama PLA dalam persaingan birokratik; (3) tingginya posisi elit PLA-N (yakni Admiral Liu Huaqing) dalam lingkaran elit pengambil keputusan tertinggi di Cina; (4) lemahnya GSD dan PLA-AF sebagai rival PLA-N dalam persaingan intra-PLA; (5) kemampuan PLA-N dalam mencari dan menjalankan strategi yang mengaitkan kepentingan birokratik dengan kepentingan nasional.
Keterkaitan antara dominasi PLA dan PLA-N dalam politik domestik Cina pada periode sebelum pendudukan Cina di Mischief Reef dengan perilaku asertif Cina di Laut Cina Selatan terutama terlihat dalam proses pembuatan kebijakan Cina tentang Laut Cina Selatan, dimana pengaruh militer Cina khususnya dalam institusi CMC sangat besar. Figur Liu Huaqing sebagai perwira senior PLA dalam CMC yang sekaligus memiliki kedudukan dalam lingkaran elit tertinggi Cina, yakni Komite Tetap Politbiro kemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap munculnya kebijakan Cina yang asertif di Laut Cina Selatan pada umumnya, dan pendudukan di Mischief Reef pada khususnya. Meskipun tidak dapat dipastikan bagaimana CMC dan Liu Huaqing mempengaruhi proses pengambilan keputusan tentang kebijakan Cina Laut Cina Selatan, namun dengan melihat besarnya wewenang CMC dan tingginya kedudukan Liu dalam sistem politik Cina serta prestise yang menyertainya sebagai seorang veteran masa revolusi, bisa diperkirakan bahwa pengaruh Liu sangat besar dalarn mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut.
Kemampuan PLA dan PLA-N untuk mendominasi persaingan birokratik terhadap rivalrivalnya tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor seperti power, prosedur dan aturan main yang cenderung menguntungkan kedua institusi tersebut, melainkan juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas, yakni perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup politik domestik Cina, yang antara lain ditandai oleh meningkatnya peran militer dalam proses politik. Peningkatan peran tersebut merupakan disebabkan oleh proses suksesi yang terjadi beberapa tahun sebelumnya serta proses adaptasi yang dilakukan oleh institusi-institusi politik Cina dari waktu ke waktu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12075
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Widian
"ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang topik kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Sejak tahun 1990an, Indonesia telah dan terus berperan sebagai fasilitator dialog dalam isu sengketa di Laut Tiongkok Selatan. Indonesia selalu berusaha mengubah nuansa sengketa menjadi lebih kooperatif. Hal ini didukung oleh posisi dasar Indonesia yang bukan sebagai negara klaim di perairan tersebut. Namun, sejak tahun 2009, saat Tiongkok menegaskan klaimnya di Laut Tiongkok Selatan, Indonesia terlihat menegaskan kebijakannya untuk menyatakan kedaulatannya di wilayahnya yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan, walaupun Indonesia tidak mengubah posisi dasarnya dalam isu sengketa tersebut. Hal ini mengindikasikan suatu persepsi ancaman yang dirasakan Indonesia akibat perilaku Tiongkok sehingga Indonesia merasa harus menegaskan kedaulatannya. Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan apa saja faktor yang mungkin dapat mengancam Indonesia di Laut Tiongkok Selatan dan bagaimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi kebijakan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan. Dalam menjawab pertanyaan ini, artikel ini akan merujuk pada teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat oleh Steven Walt dan konsep Perimbangan Intensitas Ringan. Untuk mengaplikasikan teori dalam analisis, data-data dalam penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Dalam analisis, penelitian ini menemukan bahwa perilaku Tiongkok di wilayah Indonesia yang berpotongan dengan Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 2009 memberikan persepsi ancaman bagi Indonesia terkait keamanan wilayahnya dan mendorong Indonesia melakukan perimbangan terhadap ancaman tersebut, walau Indonesia tetap memposisikan diri bukan sebagai negara klaim. Dengan demikian, penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia telah melakukan perimbangan terhadap ancaman yang dihasilkan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.

ABSTRACT
AbstractThis research talk about Indonesian Policy in The South China Sea. Since 1990s, Indonesia has been played a role of dialogue falisitator in the South China Sea Disputes. Indonesia always tried to change the disputes environtment to become more cooperative. This role is supported by Indonesia rsquo a posisition as non claimant states in the issue. However, since 2009, when China rsquo s claim assertiveness rised, Indonesia seems to affirm its policy to assert its sovereignity in its territory that which intersects with The South China Sea, eventhough Indonesia still maintain its non claimant status. This indicated that Indonesia already feels some threat perseptions because of China rsquo s assertiveness and policy so that Indonesia urge to reaffirm its sovereignty in its territory. Seeing this, the question arises as to what factors might threaten Indonesia in the South China Sea and how these factors influence Indonesia 39 s policies in the South China Sea. In answering this question, this research will refer to the theory of the Balance of Threat by Steven Walt and the concept of Low Intensity Balancing. To apply the theory in analysis, the data in this research will use qualitative research method with deductive approach. In the process, the study found that China rsquo s behavior in Indonesian territory intersecting with the South China Sea since 2009 provided a threat perception for Indonesia and encouraged Indonesia to balance the threat, although Indonesia remained positioned as a non claimant country. Thus, this study concluded that Indonesia has use balancing policy to balance the threat produced by China in the South China Sea. "
2018
T51184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>