Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustinus Sujatmiko
"Latar Belakang : Tinju merupakan olahraga yang paling sering menimbulkan cedera kranioserebral . Pada pukulan langsung di kepala akan terjadi proses akselerasi - deselerasi tinier dan rotatoar yang akan diakhiri dengan cedera serviko kranioserebral akut. Penelitian terbaru pada petinju menyatakan bahwa cedera kranioserebral kronis dihubungkan dengan adanya faktor genetik ( APO E 4) yang mungkin dicurigai menaikkan resiko cedera kranioserebral kronis pada petinju. . Tujuan : Dari penelitian ini dapat diketahui hubungan antara paparan bertinju ( lama bertinju, jumlah pertandingan,kelas bertinju, riwayat KOffKO dan usia) dengan gangguan neurologik yang terjadi dengan menggunakan skor CBI, dan hubungan antara skor CBI dengan APO E 4, yang dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya evaluasi dan monitoring kesehatan para petinju dan pencegahan terjadinya gangguan lebih tanjut. Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang bersifat analitik. Didapatkan 59 petinju profesional yang aktif , dibawah naungan Board Supervisory-and Control For /ndone.'iian Profesional Sport (BPP-OPI) dan Komisi Tinju Indonesia yang mengikuti penelitian ini. Pada petinju dilakukan tiga tes, masing-masing · untuk mengetahui : gangguan fungsi motorik dengan penilaian skor motorik pada pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan motorik dari Skala Terpadu Penyakit Parkinson (Unified Parkinson's Disease Rating Scale ) ,gangguan fungsi kognitif dengan menggunakan MMSE, gangguan perilaku dengan menggunakan skor keparahan NPI . Selanjutnya, semua hasil dijumlah dan ini merupakan skor Chronic Brain Injury ( CB[). Skor CBJ antara 0-9, dengan klasilikasi : normal bila total skor =0 , gangguan ringan ( total skor CBl I atau 2 ). gangguan sedang ( total skor CBl nilai 3 atau 4 ). gangguan berat (total skor CB~ lebih dari 4). Dilakukan juga pemeriksaan APO E4 . Kadar normal APO E dalam darah adalah 4,0 ± 0,9 mgldl . Bila kadar APO E kurang dari 3,1 mgldl , maka dalam tubuh orang tersebut terdapat APO E4 • sedangkan kadar APO E darah diatas 4,9 mg/d, menunjukkannya adanya APO E2. Hasil : Petinju dengan kadar APO E <3,1 mgldl berpeluang untuk terjadinya cedera kranioserebral kronis 32,38 kati (95 C.I :3,01-297,00) dibandingkan dengan petinju dengan kadar APO E t ,3 mg/dl atau lebih. Petinju yang bertanding sebanyak 12 kali atau lebih berpeluang untuk terjadinya cedera kranioserebral kronis 29,932 kali (95% C. I : 3,56-294,00) dibandingkan dengan petinju yang bertanding kurang dari I 2 kali. Kadar APO E merupakan variabel yang paling dominan berhubungan dengan cedera kranioserebral kronis."
Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Kedokteran, 2003
T58383
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aidila Fitri
"Polusi udara menjadi salah satu penyebab tingginya angka kejadian penyakit kardiovaskular di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis pajanan personal debu PM2,5 dan kadar Apolipoprotein-B Apo-B sebagai biomarker aterosklerosis dalam darah pekerja di Pusat Pengujian Kendaraan Bermotor Cilincing tahun 2017. Status merokok, obesitas, penggunaan APD, dan riwayat penyakit juga di analisis dalam penelitian ini dengan menggunakan T-Test independen. Sampel penelitian berjumlah 35 orang pekerja PKB Cilincing sebagai kelompok terpajan dan 24 orang pekerja FKM UI sebagai kelompok kontrol. Pajanan personal diukur menggunakan Leland Legacy Pump dan Sioutas Cascade Impactor, sedangkan analisis Apo-B menggunakan metode Polyethyleneglycol PEG enhanced immunoturbidimetric assay. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata konsentrasi pajanan pada pekerja adalah 232,233 g/m3, sedangkan rata-rata kadar Apo-B pada kelompok terpajan adalah 107,30 mg/dL dan kelompok kontrol adalah 91,17 mg/dL.Kata Kunci: Apolipoprotein-B Apo-B , aterosklerosis, Particulate matter 2.5 PM2,5.

Air pollution becomes one cause of cardiovascular disease in the world. This study aim for measuring personal exposure of particulate matter 2,5 PM2,5 , and Apolipoprotein B level in diesel exhaust emission inspector blood in PKB Cilincing, 2017. In addition this study analyze smoking status, obesity, FPE using, and history of disease using independent T Test. Study samples of 35 worker of PKB Cilincing as exposed group and 24 worker of FKM UI as control group. Personal exposure measure using Leland Legacy Pump and Sioutas Cascade Impactor, while analysis of Apo B using Polyethyleneglycol PEG enhanced immunoturbidimetric assay method. Result of study shows mean concentration of personal exposure to worker is 232,233 g m3, while mean Apo B level to exposed group is 107.30 mg dL and control group is 91.17 mg dL. Keywords Apolipoprotein B Apo B , atherosclerosis, Particulate matter 2.5 PM2,5."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S69843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumawas, Ashwin Marcel
"LATAR EELAKANG
Kejadian stroke menimbulkan kerusakan sel otak. Berbagai faktor risiko telah dikenal meliputi faktor risiko mayor dan minor. Kadar magnesium endogen sebagai salah satu faktor risiko kerusakan set otak masih belum banyak dianalisa dengan berbagai hasil penelitian yang masih kontroversial.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian prospektif longitudinal (retreated measurement design) dengan data printer diperoleh dari penderita stroke iskemik yang berobat ke RSCM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Diagnosis stroke iskemik dilakukan melalui pemeriksaan klinis dan CT Scan atau MRI kepala. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, analisa urin, EKG, dan foto thoraks pada saat masuk. Dilakukan pemeriksaan magnesium serum, plasma, eritrosit pada hari ke-2, ke-4 dan ke-7 dan skor NIHSS pada hari dan saat yang sama.
HASIL
Jumlah objek penelitian 53 orang. Sebagian besar rerata magnesium serum dan plasma dalam batas normal (1,4-2,0 mmEq/l) pada tiap hari pengambilan (Mg serum 67,9% - 90,6%, Mg plasma 75-5% - 88,7%) sedangkan ditemukan hipoMg eritrosit pada hari ke-4 dan ke-7 onset stroke (81,1 % dan 73,6%). Ditemukan hubungan sangat bermakna antara Mg serum dengan Mg plasma pada tiap hari pengambilan (p=0,000) dan hubungan bermakna antara Mg serum dengan Mg eritrosit (p=0,02) dan Mg plasma dan Mg eritrosit (p=0,033) pada hari ke-4. Ditemukan hubungan bermakna independen antara Mg plasma hari ke-4 dengan NIHSS hari ke-4 (p=0,005) di samping faktor risiko riwayat stroke /TIA, aritmia jantung dan hiperkoleslerolemia dengan NIHSS.
KESIMPULAN
Penderita iskemik serebral menunjukkan perubahan kadar Mg serum, plasma, eritrosit yang dipengaruhi berbagai faktor risiko lain dan hubungan bermakna antara kadar Mg plasma dan skor NIHSS hari ke-4.
KATA KUNCI: Stroke iskemik, hipertensi, magnesium serum, plasma, eritrosit, NIHSS.

PREFACE
Stroke causes damage to brain cells. Many risk factors of stroke are known like mayor and minor risk factors. Endogen magnesium level as one of risk factor of brain cell damage is analyzed rarely with the controversially results of its studies.
METHOD
The design of this study was repeated measurement with its primary data were collected from ischemic stroke patients in Cipto Mangunkusumo hospital who fulfilled inclusion and exclusion criteria. Diagnosis of stroke was made by physical exam, CT scan or head MRI and completed by blood and urine analysis, echocardiography and chest photo. Serum, plasma and erythrocyte Mg were collected on the 2nd, 4th, aid 7th days after onset and compared with NIHSS scores at the same times.
RESULT
There are 53 persons of subjects studied. Almost all means of the serum Mg and plasma Mg were in normal limits (1,4-2,0 mEq/l) on every days of data collection (serum Mg : 67,6%-90,6%, plasma Mg : 75,5%-88,7%), but there were erythrocyte hipoMg on the 4th and 7th days of stroke onset (81,1% and 73,6%). There were very significant relationship between serum Mg with plasma Mg (p=0,000) on every days of data collection and significant relationship between serum Mg with erythrocyte Mg (p=0,02) and plasma Mg with erythrocyte Mg (p 1,033) on the 4th day onset. There were significant independent relationship between plasma Mg on the 4th day onset with NIHSS in the same day (p=0,005), besides between the history of stroke/TIA, aritmia and hypercholesterolemia with NIHSS.
CONCLUSION
Cerebral ischemic patients showed changes of serum, plasma and erythrocyte Mg levels which were influenced by other risk factors and there was significant relationship between plasma Mg and NIHSS score in the 4th day.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58471
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1985
S31935
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Kurniawan
"Latar Belakang: Cedera reperfusi akibat dilepaskannya reactive oxygen species(ROS) saat penggunaan Cardiopulmonary bypass(CPB) dan kembalinya mengalir darah yang kaya oksigen pada miokard yang iskemia, dapat menyebabkan kerusakan miokard. Allopurinol sebagai penghambat xanthine oksidase, telah diteliti sebelumnya mengenai efektivitas dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah jantung terbuka yang belum menunjukkan hasil yang konklusif, meskipun pada beberapa penelitian memberikan hasil yang cukup baik pada pemulihan dari stunningmiokard, biomarker cedera reperfusi maupun kejadian atrial fibrilasi pascabedah (AFPB). Metilprednisolon juga dipakai untuk mengurangi efek inflamasi dan cedera reperfusi pada pasien bedah jantung terbuka karena perannya dalam menghambat secara indirek pengaktifan enzim NADPH oksidase.Tujuan penelitianini adalah untuk membandingkan efektifitas pemberian allopurinol peroral 600 mg pada malam hari dan 1 jam sebelum pembedahan dengan metilprednisolon intravena 15 mg/kgbb saat induksi anestesi dalam mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.
Metode: Telah dilakukan penelitian uji klinis acak tersamar ganda pada 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner menggunakan CPB antara bulan Oktober 2019 hingga Maret 2020, yang dialokasikan ke dalam kelompok allopurinol atau kelompok metilprednisolon.Pemeriksaan biomarker cedera reperfusi dilakukan dengan pemeriksaan sampel darah malondialdehyde(MDA) yang dilakukan sesaat setelah pemasangan kateter vena sentral (basal) dan 5 menit setelah klem jepit aorta dilepas (pascareperfusi). Pemeriksaan MDA dilakukan dengan metode ELISA. Penilaian skor inotropik dan vasoaktif (SIV) dilakukan pada 24 jam pertama perawatan pascabedah. Sedangkan penilaian kejadian atrial fibrilasi pascabedah dilakukan selama 48 jam pertama pascabedah. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik yang sesuai dengan piranti lunak program SPSS 21. Uji hipotesis pada variabel kadar MDA akan menggunakan uji T tes tidak berpasangan bila sebaran data normal. Pada variabel skor inotropik dan vasoaktif akan menggunakan uji T test tidak berpasangan (bila sebaran data normal) atau dengan uji mann whitney(bila sebaran data tidak normal). Dan uji hipotesis untuk variabel kejadian AFPB menggunakan uji chi-squared(bila syarat x2terpenuhi) atau dengan uji fisher(bila syarat x2tidak terpenuhi).
Hasil : 42 pasien yang menjalani bedah pintas arteri koroner yang memenuhi kriteria penerimaan, 40 pasien dianalisis karena 2 pasien meninggal sebelum 48 jam pertama pascabedah. Karakteristik demografi dan kadar MDA basal seimbang pada kedua kelompok. Peningkatan kadar MDA pascareperfusi lebih rendah pada pemberian allopurinol, namun secara statistik tidak berbeda bermakna (p=0,379). Nilai SIV pascabedah pada pemberian allopurinol secara statistik lebih rendah bermakna (median 6 vs 22, p=0,009). Kejadian AFPB pada kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna secara statistik (p=0,231).
Simpulan : Allopurinol tidak lebih efektif daripada metilprednisolon dalam upaya mengurangi cedera reperfusi pada bedah pintas arteri koroner.

Background: Reperfusion injury due to the release of reactive oxygen species (ROS) when using cardiopulmonary bypass (CPB) and the return of oxygen-rich blood flow to ischemic myocardium after the release of aortic clamps, can cause myocardial damage. Allopurinol as an inhibitor of xanthine oxidase, has been studied previously about its effectiveness in reducing reperfusion injury in open heart surgery which shows inconclusive results, although in some studies it has given quite good results in recovery from myocardial stunning, biomarkers of reperfusion injuries and postoperative atrial fibrilation (POAF). Methylprednisolone is also used to reduce the effects of inflammation and reperfusion injury in open heart surgery patients because of its role in indirectly inhibiting the activation of the enzyme NADPH oxidase. The aim of this study was to compare the effectiveness of oral administration of allopurinol 600 mg at night and 1 hour before surgery with 15 mg/kg intravenous methylprednisolone during anesthesia induction in reducing reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
Methods: A double-blind randomized clinical trial study was conducted on 42 patients undergoing coronary artery bypass surgery using CPB between October 2019 and March 2020, which was allocated to the allopurinol group or the methylprednisolone group. Examination of biomarkers of reperfusion injury is carried out by examination of a blood sample of malondialdehyde (MDA) which is performed shortly after the installation of a central venous catheter (basal) and 5 minutes after the aortic clamp are removed (post-reperfusion). MDA examination is done by the ELISA method. Assessment of vasoactive-inotropic scores (VIS) was carried out in the first 24 hours of post-surgical treatment. While the assessment of the incidence of POAF was performed during the first 48 hours after surgery. The data obtained were analyzed by the appropriate statistical tests using SPSS 21 software program. Hypothesis testing on MDA variables will use the T test unpaired if the data distribution is normal. In the VIS variables will use the T test unpaired (if the data distribution is normal) or with the Mann Whitney test (if the data distribution is not normal). And hypothesis testing for POAF variables will use the chi-square test (if the x2 requirement are met) or with the fisher test (if the x2requirements are not met).
Results:42 patients who underwent coronary artery bypass surgery who met the admission criteria, 40 patients were analyzed because 2 patients died before the first 48 hours after surgery. Demographic characteristics and basal MDA levels were balanced in both groups. The increased levels of MDA post-reperfusion were lower in allopurinol administration, but the statistics were not significantly different (p = 0.379). The postoperative VIS value in the administration of allopurinol was significantly lower than in the administration of methylprednisolone (median 6 vs 22, p = 0.009). The incidence of AFPB in the two groups showed no differences were statistically significant (p = 0.231).
Conclusion:Allopurinol is not more effective than methylprednisolone in an effort to reduce reperfusion injury in coronary artery bypass surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zaimah Z. Tala
"Tujuan : Untuk mengetahui profil lipid dan kadar Apo-B serta hubungannya dengan asupan makanan dan faktor lain.
Tempat : Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan
Bahan dan cara : Penelitian desain cross sectional pada 105 subyek berusia≥ 35 tahun yang dipilih secara simple random sampling dari sampel MONICA III-Jakarta. Data yang dikumpulkan meliputi data sosioekonomi subyek, asupan makanan, antropometri serta pemeriksaan laboratorium untuk kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida dan Apo-B. Uji statistik yang digunakan adalah uji X2, Fisher dan Kolmogorov-Smirnov.
Hasil dan kesimpulan : Subyek penelitian terdiri dari 49 laki dan 56 perempuan, dengan rerata umur 54,39 ± 10,72 tahun. Rerata kadar kolesterol total 209 ± 40,5 mg/dL, Nilai tengah kadar LDL 137,0 (58,0 - 223,0) mg/dL; kadar HDL 40,0 (23,0 - 77,0) mg/dL; kadar trigliserida 130,0 (27,0 - 340,0 mg/dL) dan kadar Apo-B 106,0 (44,0 - 172,0 mg/dL). Prevalensi kadar kolesterol total abnormal (≥ 200 mg/dL) sebesar 55,2%; kadar LDL abnormal (≥ 130 mg/dL) 60%; kadar HOL abnormal (< 40 mg/dL) 43,8%; kadar trigliserida abnormal (≥200 mg/dL) 13,3% dan kadar Apo-B abnormal ditemukan 25,7%.
Dari hasil analisis bivariat didapat hubungan bermakna antara (I) kadar kolesterol total dengan jenis kelamin dan IMT, (2) kadar HDL dengan asupan PUFA, jenis kelamin dan umur, (3) kadar LDL dengan umur, 1MT dan Lpe/Lpa, (4) kadar trigliserida dengan Lpe/Lpa, dan (5) kadar ApoB dengan asupan protein, jenis kelamin, DM dan Lpe/Lpa. Setelah dilakukan analisis multivariat terlihat hubungan bermakna antara (1) kolesterol total dengan asupan karbohidrat, asupan protein dan Lpe/Lpa, (2) kadar HDL dengan jenis kelamin, (3) kadar trigliserida dengan Lpe/Lpa, dan (4) kadar ApoB dengan Lpe/Lpa dan asupan karbohidrat.

Relationship between Serum Lipid Profile and Apo-B With Dietary Intake and Other Factors of Adult in Mampang Prapatan District, 2000Objective: To determine serum lipid profile and apoB and its relationship to dietary intake and other factors.
Location: Mampang Prapatan District, South Jakarta
Materials and method: A cross sectional study has been carried out on 105 subjects (age ≥ 35 year), selected using simple random sampling method from MONICA III-Jakarta's sample. Data collected consist of socio-economic status, dietary intake, anthropometric, and laboratory examinations for total cholesterol, HDL, LDL, triglyceride and apoB. Statistical analysis was performed by X2, Fisher exact and Kolrnogorov-Smirnov test.
Results and conclusions: Subjects in this study were 49 male and 56 female with average age 54.39 ± 10.72 year. Mean cholesterol level was 209 ± 40.5 mg/dL, median LDL level 137.0 (58.0 - 223.0 mg/dL), median HDL level 40.0 (23.0 - 77.0) mg/dL, median triglyceride level 130.0 (27.0 - 340.0) mg/dL, and median apoB level 106.0 (44.0 - 172.0) mg/dL. Prevalence of abnormal total cholesterol level (≥ 200 mg/dL) 55.2%, abnormal LDL level (≥ 130 mg/dL) 60%, abnormal HDL level (< 40 mg/dL) 43.8%, abnormal triglyceride level (≥ 200 mg/dL) 13,3%, and abnormal apoB level 25.7%.
Bivariate analysis found significant relationship between (1) total cholesterol level and sex & BMI, (2) HDL level and PUFA intake, sex & age, (3) LDL level and age, BMI & WHR, (4) triglyceride level and WHR, (5) apoB level and protein intake, sex, DM & WHR. Multivariate analysis found significant relationship between (1) total cholesterol level and carbohydrate intake, protein intake and WHR, (2) HDL level and sex, (3) triglyceride level and WHR, (4) apoB level and WHR and carbohydrate intake.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T9329
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Nurhayati
"Latar Belakang: Pada cedera kranioserebral sedang dan berat terjadi stimulasi aksis HPA, aktivasi sel imunokompeten yang menyebabkan pelepasan mediator inflamasi. Peningkatan sitokin menyebabkan stimulasi aksis HPA yang menyebabkan terpacunya pelepasan barman kortisol oleh korteks kelenjar adrenal. Beberapa penelitian menunjukkan semakin tinggi kadar kortisol dalam plasma pada penderita cedera kranioserebral maka semakin buruk prognosis karena tingginya mortalitas.
Metode: Studi porospektif tanpa kelompok pembanding untuk melihat hubungan kadar kortisol dalam darah pada onset < 48 jam terhadap keluaran kematian dan hidup selama 3 hari perawatan pada penderita cedera kranioserebral dengan skala koma glasgow 3-12.
Hasil: Dari 64 subyek, terdapat 54,7% subyek mati pada 3 hari perawatan pertama. Rerata kadar kortisol darah subyek adalah 32,88+10,16 µg/dl, sedangkan rerata nilai SKG adalah 9,17+2,49. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar kortisol dengan nilai SKG dimana pada nilai SKG 3-6 kadar kortisol dalam darah paling tinggi (p<0.05). Rerata kadar kortisol pada keluaran mati lebih tinggi bermakna dibadingkan dengan keluaran hidup yaitu 44,38+8,87 µg/dl (p<0.05). Titik potong kadar kortisol untuk kematian adalah 31,1 µg/dl, spesifisitas 94,3% dan sensitifitas 96,6%. Pada nilai SKG 3-8, 85,7% subyek mati. Terdapat hubungan yang bermakna antara nilai SKG dengan keluaran mati.
Kesimpulan: Keluaran kematian pada penderita cedera kranioserebral menunjukkan kadar kortisol dalam darah yang Iebih tinggi dan nilai SKG yang lebih rendah dibandingkan dengan keluaran hidup.

Background: There are many processes in moderate and severe head injury, such as HPA axis stimulation, immuno-competent cell activation that cause releasing of inflammation mediator. Increasing of cytokine causes HPA axis stimulation and triggers cortisol release by adrenal cortex. Previous studies showed that the increasing of plasma cortisol related with poor outcome in head injury patient.
Methods: Prospective study without control in head injury patients with GCS 3-12 and onset less than 48 hours. The aim of this study was to see relation between blood cortisol level and outcome in three days of hospitalization.
Results: From 64 subjects, there are 54.7% subjects who died within 3 days of hospitalization. Mean of blood cortisol is 32.88+10.16 µg/dl, while mean of GCS is 9.17+2.49. There is significant correlation between blood cortisol level and GCS which is blood cortisol level is highest in subjects with GCS 3-6 (p<0.05). Mean cortisol level in poor outcome subjects is significantly higher (44.38+8-87 p.gldl) than good outcome subjects (p<0.05). Cut-off point of cortisol level for poor outcome is 31.1 µg/dl with 94.3% specificity and 96.6% sensitivity. In GCS 3-8 group, 85.7% subjects have poor outcome. There is significant correlation between GCS and poor outcome.
Conclusion: Moderate and severe head injury patient with poor outcome show higher blood cortisol level and lower GCS compare with patient with good outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58492
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nuraiza Meutia
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Bertambah atau berkurangnya berat badan terjadi akibat perubahan pada keseimbangan energi tubuh. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal ini adalah adanya perubahan pada nafsu makan. Bagian tubuh yang dipahami sebagai pusat pengaturan nafsu makan adalah hipotalamus. Hipotalamus menerima berbagai sinyal dari dalam dan luar tubuh untuk menimbulkan respon perubahan nafsu makan. Pegagan merupakan salah satu tanaman yang secara tradisional disebutkan dapat meningkatkan nafsu makan. Qfeh karena itu permasaiahannya adalah apakah benar pegagan dapat meningkatkan nafsu makan, dan dengan mekanisme yang bagaimana.
Pada penelitian ini diamati efek pegagan terhadap nafsu makan melalui parameter-parameter jumlah asupan makanan dan pertambahan berat badan. Dan untuk menjajaki mekanisme yang mungkin terjadi sebagai sinyal yang mempengaruhi nafsu makan, diperiksa kadar glukosa darah dan kadar hormon ghrelin.
Hewan coba yang digunakan adalah tikus Wistar jantan dengan berat 141,2 t 12,7 gram. Penelitian dibuat 2 kelompok yaitu : kelompok kontrol dengan pemberian cekokan aquades selama 2 minggu ( n = 14 ) dan kelompok uji dengan pemberian cekokan ekstrak pegagan selama 2 minggu (n = 14 ).
Hasil dan Kesimpulan : Dari hasil pengamatan didapatkan jumlah asupan makanan kelompok kontrol ( MBK = 8,28 ± 0,76 gr vs MSK = 8,05 ± 0,83 gr, T-test, p > 0,05 ). Pada kelompok uji didapat ( MBu = 8,21 ± 1,38 gr vs MSu = 8,05 ± 0,73, T-test, p > 0,05 ). Pengamatan terhadap kenaikan berat badan antara kelompok kontrol dan kelompok uji didapat ( PBK = 16,26 ± 5,24 gr vs PBu = 13,22 ± 8,06 gr, T-test, p > 0,05 ). Pengamatan terhadap kadar glukosa darah pada kelompok kontrol dan kelompok uji didapat ( KGDK = 119,21 ± 17,91 mg/di vs KGDu = 166,86 ± 54,85 mgldl, T-test, p < 0,05 ). Pengamatan terhadap kadar ghrelin plasma darah pada kelompok kontrol dan kelompok uji didapat (GK = 2,483 ± 0,507 nglml vs Gu = 2,126 ± 0,347 nglml, T-test, p < 0,05 ).
Hasil analisa menunjukkan bahwa jumlah asupan makanan rata-rata kelompok kontrol dan kelompok uji menunjukkan adanya penurunan tetapi tidak bermakna secara statistik (p > 0,05). Pada kedua kelompok terjadi pertambahan berat badan karena hewan coba yang digunakan masih pada usia pertumbuhan, dan pertambahan yang terjadi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna secara statistik ( p > 0,05 )Sedangkan hasil analisa terhadap kadar glukosa darah menunjukkan adanya peningkatan dan bermakna secara statistik ( p 0,05 ). Dan untuk kadar ghrelin plasma menunjukkan penurunan dan bermakna secara statistik ( p < 0,05 )."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 13660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisak
"Penyakit paru obstruksi kronis PPOK merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dengan prevalensi 5,6 di Indonesia. Penderita PPOK berisiko mengalami eksaserbasi yang dicetuskan oleh inflamasi dan/atau stres oksidatif. Stres oksidatif akan mempengaruhi status antioksidan di dalam tubuh termasuk vitamin E. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi pada penderita PPOK. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan April-Agustus 2016, melibatkan 47 penderita PPOK. Asupan vitamin E dinilai dengan food frequency questionnaire FFQ semikuantitatif, kekerapan eksaserbasi didapatkan dari wawancara dan/atau rekam medis, kadar vitamin E serum ditentukan mengunakan high performance liquid chromatography HPLC . Rerata asupan vitamin E subjek adalah 5,8 2,9 mg/hari, di bawah Angka Kecukupan Gizi. Nilai median kadar vitamin E serum 10,8 3,0 ? 14,8 ?mol/L, dan kekerapan eksaserbasi 2 0 ? 9 kali/tahun. Tidak didapatkan korelasi bermakna antara kadar vitamin E serum dan kekerapan eksaserbasi.

Chronic obstructive pulmonary disease COPD is the third leading cause of death in the world with a prevalence of 5.6 in Indonesia. COPD patients were at risk of exacerbations which may be triggered by inflammation and or oxidative stress. Oxidative stress will affect the antioxidant status, including vitamin E. The aim of this study was to investigate a correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency of COPD. This cross sectional study was conducted at Persahabatan General Hospital from April to August 2016, involving 47 COPD patients. Vitamin E intake was assessed using semi quantitative food frequency questionnaire FFQ , exacerbation frequency was obtained by interview and or medical records, serum vitamin E concentration was determined using high performance liquid chromatography HPLC . Subjects rsquo mean vitamin E intake was 5.8 2.9 mg day, which did not meet Recommended Dietary Allowance. Median serum vitamin E concentration was 10.8 3.0 14.8 mol L, and exacerbation frequency was 2 0 9 times year. There was no significant correlation between serum vitamin E concentration and exacerbation frequency. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianty Hevy Kartini
"Penelitian ini membahas bagaimana idiom diterjemahkan berdasarkan tingkat keidiomatisannya. Data yang akan digunakan komik, karena komik mengandung unsur visual. Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana proses idiom diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia jika dilihat dari sudut pandang tingkat keidiomatisannya.
Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah teori tingkat keidiomatisan yang menurut Palm (1995:12-13), teori penerjemahan idiom menurut Nida dan Taber (1969:12) dan teori prosedur penerjemahan menurut Machali (2009:62). Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 16 idiom, sembilan idiom termasuk ke dalam frasa metaforis transparan, tiga idiom termasuk ke dalam frasa metaforis legap dan empat idiom termasuk ke dalam frasa khusus.
Hasil penelitian membuktikan bahwa idiom yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan penerjemahan idiom ke non idiom. Selain itu, untuk menerjemahkan idiom yang merupakan frasa metaforis transparan membutuhkan sedikit prosedur penerjemahan dibandingkan dengan idiom yang merupakan frasa metaforis legap dan frasa khusus.

This research discusses how idioms are translated based on level of idioms. The Data will be used comics because the comics contain visual elements. The aim of this research to discuss how the idioms are translated from German into the Indonesian language based on level of idioms.
The theories of this research are the level of idioms concept according to Palm (1995:12-13), the theory of the translation of idioms according to Nida and Taber (1969:12) and the theory of the translation procedure according to Machali (2009:62). In this study found as many as 16 idioms, nine idioms included in the transparent metaphorical phrases, three idioms included into the non-transparent metaphorical phrases and four idioms included in the special phrase.
The results of this research proved that the idioms are translated into Bahasa Indonesia used the translation of idioms to non-idioms. Also, to translate idioms which are the phrase transparent metaphorical, need fewer steps of the translation procedures than idioms which are the phrases of the non-transparent metaphorical and special phrases.
Teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah teori tingkat keidiomatisan yang menurut Palm (1995:12-13), teori penerjemahan idiom menurut Nida dan Taber (1969:12) dan teori prosedur penerjemahan menurut Machali (2009:62).  Dalam penelitian ini ditemukan sebanyak 16 idiom, sembilan idiom termasuk ke dalam frasa metaforis transparan, tiga idiom termasuk ke dalam frasa metaforis legap dan empat idiom termasuk ke dalam frasa khusus.
Hasil penelitian membuktikan bahwa idiom yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menggunakan penerjemahan idiom ke non idiom. Selain itu, untuk menerjemahkan idiom yang merupakan frasa metaforis transparan membutuhkan sedikit prosedur penerjemahan dibandingkan dengan idiom yang merupakan frasa metaforis legap dan frasa khusus.

This research discusses how idioms are translated based on level of idioms. The Data will be used comics because the comics contain visual elements. The aim of this research to discuss how the idioms are translated from German into the Indonesian language based on level of idioms.
The theories of this research are the level of idioms concept according to Palm (1995:12-13), the theory of the translation of idioms according to Nida and Taber (1969:12) and the theory of the translation procedure according to Machali (2009:62). In this study found as many as 16 idioms, nine idioms included in the transparent metaphorical phrases, three idioms included into the non-transparent metaphorical phrases and four idioms included in the special phrase.
The results of this research proved that the idioms are translated into Bahasa Indonesia used the translation of idioms to non-idioms. Also, to translate idioms which are the phrase transparent metaphorical, need fewer steps of the translation procedures than idioms which are the phrases of the non-transparent metaphorical and special phrases."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>