Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77214 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olla Varalintya Yochanan
"Generasi milenial Indonesia (usia antara 21 hingga 35 tahun) memiliki karakter yang berbeda dengan generasi lainnya. Oleh karena itu, pengembang memandang perlu adanya sebuah konsep penawaran produk hunian terbaru dan dapat menjawab segala kebutuhan mereka, yang sebelumnya belum mampu terpenuhi. Hal ini dipandang sebagai sebuah kesempatan menguntungkan bagi para pengembang untuk menciptakan sebuah tipe properti baru yang sesuai dengan karakter milenial. Konsep hunian co-living merupakan penawaran tepat yang bertujuan untuk memenuhi keinginan milenial. Akan tetapi, isu ketidakseimbangan antara harga unit co-living dengan daya beli milenial Indonesia menjadi sebuah permasalahan. Sehingga pengembang perlu menciptakan beberapa strategi untuk mewujudkan co-living yang menguntungkan dan dapat memfasilitasi kebutuhan milenial Indonesia.
Tantangan bagi para developer adalah bagaimana cara menciptakan dan menjual sebuah proyek co-living yang layak dan berkualitas kepada mereka yang membutuhkan fasilitas hunian yang lebih baik lagi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. Hasil riset menunjukan bahwa disamping price (harga) sebagai purchasing determinant factor, milenial Indonesia juga mementingkan experience (pengalaman) dan utility (ketersediaan fasilitas yang fungsional). Mereka juga lebih tertarik dengan tipe hunian exciting yang sesuai dengan lifestyle milenial. Oleh karena itu, pengembang dapat mengurangi resiko kerugian atau kegagalan dalam mengembagkan proyek co-living dengan strategi branding kuat sebagai transformative co-living space, tidak memfokuskan pemasukan hanya dari penjualan unit saja, namun juga melalui penjualan co-working space, virtual office, dan area komersil. Sedangkan strategi terakhir adalah dengan pengembangan diberbagai area (urban, suburban, rural).

Today’s Indonesian millennials (age between 21 to 35 years) possess distinct characteristics which differ them from the other generations. Thus, the current offered housing in the market that fulfils the older generation does not fully satisfy the millennials. This was rather seen as a profitable opportunity by the developers to create a new type of living arrangement that is made to suit the millennials. Thus, living arrangements such as co-living begin to expand and target to fulfil millennials’ desires. However, with the imbalance between co-living space prices and millennials’ purchasing power, developers need to create strategies to create a profitable and facilitating co-living development for Indonesian millennials.
The challenge lies in how to create and sell a feasible and high quality co-living project to those who have extra needs but are rather financially unstable. The preliminary results show that Indonesian millennials put an importance on experience and utility (availability of the functional facilities) beside price as a purchasing determinant factor. They are also interested in a more exciting type of dwelling that is up to their lifestyle’s pace. Thus, developers can lessen the risks of their co-living project’s financial loss through strong branding as a transformative co-living space, de-emphasizing focus on unit sales through additional income sources from co-working space, virtual office, and commercial space, and developing in various areas (urban, suburban, rural).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olla Varalintya Yochanan
"Generasi milenial Indonesia (usia antara 21 hingga 35 tahun) memiliki karakter yang berbeda dengan generasi lainnya. Oleh karena itu, pengembang memandang perlu adanya sebuah konsep penawaran produk hunian terbaru dan dapat menjawab segala kebutuhan mereka, yang sebelumnya belum mampu terpenuhi. Hal ini dipandang sebagai sebuah kesempatan menguntungkan bagi para pengembang untuk menciptakan sebuah tipe properti baru yang sesuai dengan karakter milenial. Konsep hunian co-living merupakan penawaran tepat yang bertujuan untuk memenuhi keinginan milenial. Akan tetapi, isu ketidakseimbangan antara harga unit co-living dengan daya beli milenial Indonesia menjadi sebuah permasalahan. Sehingga pengembang perlu menciptakan beberapa strategi untuk mewujudkan co-living yang menguntungkan dan dapat memfasilitasi kebutuhan milenial Indonesia.
Tantangan bagi para developer adalah bagaimana cara menciptakan dan menjual sebuah proyek co-living yang layak dan berkualitas kepada mereka yang membutuhkan fasilitas hunian yang lebih baik lagi, terutama bagi mereka yang memiliki kondisi finansial yang tidak stabil. Hasil riset menunjukan bahwa disamping price (harga) sebagai purchasing determinant factor, milenial Indonesia juga mementingkan experience (pengalaman) dan utility (ketersediaan fasilitas yang fungsional). Mereka juga lebih tertarik dengan tipe hunian exciting yang sesuai dengan lifestyle milenial. Oleh karena itu, pengembang dapat mengurangi resiko kerugian atau kegagalan dalam mengembagkan proyek co-living dengan strategi branding kuat sebagai transformative co-living space, tidak memfokuskan pemasukan hanya dari penjualan unit saja, namun juga melalui penjualan co-working space, virtual office, dan area komersil. Sedangkan strategi terakhir adalah dengan pengembangan diberbagai area (urban, suburban, rural).

Today’s Indonesian millennials (age between 21 to 35 years) possess distinct characteristics which differ them from the other generations. Thus, the current offered housing in the market that fulfils the older generation does not fully satisfy the millennials. This was rather seen as a profitable opportunity by the developers to create a new type of living arrangement that is made to suit the millennials. Thus, living arrangements such as co-living begin to expand and target to fulfil millennials’ desires. However, with the imbalance between co-living space prices and millennials’ purchasing power, developers need to create strategies to create a profitable and facilitating co-living development for Indonesian millennials.
The challenge lies in how to create and sell a feasible and high quality co-living project to those who have extra needs but are rather financially unstable. The preliminary results show that Indonesian millennials put an importance on experience and utility (availability of the functional facilities) beside price as a purchasing determinant factor. They are also interested in a more exciting type of dwelling that is up to their lifestyle’s pace. Thus, developers can lessen the risks of their co-living project’s financial loss through strong branding as a transformative co-living space, de-emphasizing focus on unit sales through additional income sources from co-working space, virtual office, and commercial space, and developing in various areas (urban, suburban, rural).
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Syawie
"ABSTRAK
Co-living space adalah sebuah hunian temporer yang dirancang untuk generasi
milenial agar dapat tinggal dan bekerja dalam suatu komunitas. Dengan adanya
teknologi, generasi ini terbiasa melakukan berbagai hal dengan praktis sehingga
dibutuhkan suatu tempat yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan dasarnya.
Skripsi ini bertujuan untuk mengkaji karakter ruang co-living space dalam upaya
memenuhi kebutuhan dasar manusia. Dari kajian teori saya serta studi kasus di
Roam dan Livit Space Bali, terlihat bahwa co-living space menyediakan first
place, second place, dan third place yang tersebar di ruang privat serta
komunalnya. Oleh karena itu, kebutuhan dasar penghuni dapat dipenuhi dan coliving
space dapat menjadi alternatif hunian untuk generasi milenial.

ABSTRACT
Co-living space is a transient dwelling designed for the millennial generation to
live and work in a community. By the presence of technology, this generation is
used to do everything at a touch of a button. As a result, they need a place that can
provide their various needs all at once. This thesis aims to examine the characters
of spaces in co-living space as an effort to provide basic human needs. Through
literature and case studies in Roam and Livit Bali, it appears that co-living space
provides first, second, and third place spread in its private and communal spaces.
Therefore, basic human needs can be fulfilled and co-living space can become a
dwelling alternative for the millennial generation."
2016
S63290
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balmori, Diana
Hoboken, N.J. : John Wiley & Sons, 2007
333.77 BAL l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Thauriq Anwar
"Tesis ini meneliti tentang keuntungan dari sekuritisasi Islam dibandingkan dengan sekuritisasi konvensional. Islamic-Real Estate Investment Trusts (I-REITs) adalah salah satu bentuk proses sekuritiasi yang sesuai dengan shariah compliance. Dengan menggunakan analisa treynor index dan jensen-alpha index, performa IREITs Malaysia lebih baik dibandingkan dengan benchmark. Sedangkan I-REITs jika dibandingkan dengan REITs konvensional memiliki volatilias yang lebih kecil. Equity I-REITs yang merupakan produk yang shariah compliance bisa menjadi salah satu inovasi produk di dalam pasar modal syariah Indonesia.

This thesis examines the advantages of Islamic securitization compared to conventional securitization. Islamic Real Estate Investment Trusts (I-REITs) are one form securitization in accordance with shariah compliance. By using analysis Treynor index and Jensen-alpha index, the performance of the I-REITs Malaysia better than the benchmark. While I-REITs when compared with conventional REITs have a smaller volatility. Equity I-REITs that are Shariah compliant products could be one product innovation in the Islamic capital market in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinto Mustika Sari
"Tujuan penelitian ini adalah untuk berusaha menerapkan teori dan metode yang dikembangkan oleh Dominic Dodd dan Ken Favaro (2007) dalam bukunya "The Three Tension:Winning The Strugle to Perform Without Compromise", pada perusahaan real estate yaitu PT Bakrieland Development Tbk. Three tensions yang dianalisis dalam penelitian ini adalah : profitability vs. revenue growth; results today vs. results tomorrow; and the performance of the company as a whole vs. the performance of each part of the company.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa PT Bakrieland Development Tbk masih memiliki kesulitan- kesulitan dalam mengelola ketiga tensions dengan baik, yang tercermin dari skor batting average yang dicapai perusahaan sebesar 0 persen untuk ketiga tensions tersebut dan Total Shareholder Return perusahaan yang masih lebih rendah dari Total Shareholder Return IHSG Property & Real Estate.

The objective of this research is to apply the theory and method developed by Dominic Dodd and Ken Favaro (2007) in their book The Three Tensions: Winning the Struggle to Perform without Compromise, in a real estate company, PT Bakrieland Development Tbk. The three tensions analyzed in this research are: profitability vs. revenue growth; results today vs. results tomorrow; and the performance of the company as a whole vs. the performance of each part of the company.
The results of this research show that PT Bakrieland Development Tbk still has difficulties in managing the three tensions well, which are reflected from the batting average score reached by the company, which is 0% for the three tensions and Total Shareholder Return of the company that is still lower than Total Shareholder Return of the JCI for Property & Real Estate.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T34648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Analisa
"Perumahan merupakan kebutuhan dasar masyarakat selain sandang dan pangan. Pemerintah memiliki kebijakan yang sifatnya strategis yaitu pembangunan satu juta rumah untuk rakyat. Untuk mewujudkan kebijakan tersebut, diperlukan kerja sama dan kolaborasi antar pemangku kepentingan yang terkait. Penelitian ini menganalisis tata kelola kolaborasi dalam pembangunan satu juta rumah untuk rakyat yang dilakukan pada Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Ekonomi, Infrastruktur dan Kemaritiman, Setwapres dan pemangku kepentingan terkait lainnya Kementerian PUPR, Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, REI, dan HUD Institute. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1 menganalisis proses tata kelola kolaborasi dalam kebijakan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat; 2 menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap tata kelola kolaborasi dalam kebijakan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat. Penelitian ini menggunakan pendekatan postpositivis dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dengan informan terkait. Hasil dari data dan informasi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kompensial. Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa 1 proses tata kelola kolaboratif yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan yang terkait dengan pembangunan satu juta rumah untuk rakyat belum sepenuhnya sempurna. 2 dalam proses tata kelola kolaborasi pembangunan satu juta rumah untuk rakyat, desain kelembagaan/institusi dan kepemimpinan fasilitatif memiliki pengaruh terhadap jalannya proses kolaborasi tersebut. Kata kunci: Tata kelola kolaborasi; kebijakan publik; perumahan rakyat xiii 107 halaman; 4 bagan; 5 tabel; 1 lampiran

Housing is a basic need of society in addition to clothing and food. The government has a policy of strategic nature, namely the construction of one million houses for the people. To realize these policies, there is the need for cooperation and collaboration among relevant stakeholders. This study analyzes the governance of collaboration in the construction of one million houses for the people undertaken by the Deputy for Economic, Infrastructure and Maritime Policy Support, Secretariat of Vice President, and other relevant stakeholders Ministry of PUPR, Ministry of Home Affairs, Ministry of ATR BPN, REI, and HUD Institute. The purpose of this study is to 1 analyze the governance process of collaboration in the development of the one million houses for the people policy 2 analyze the factors that affect the governance of the collaboration in the development of the one million houses for the people policy. This research uses a post positivist approach with qualitative methods of data collection techniques such as in depth interviews with relevant informants. The results of the data and information obtained were analyzed using comparative analysis techniques. From the results of the research, it was found that 1 the collaborative governance process carried out by the stakeholders associated with the construction of one million houses for the people has not been fully completed 2 in the governance process of collaboration in building one million houses for the people, institutional design and facilitative leadership have influence on the course of the collaboration process. Keywords Collaborative governance, public policy, affordable housing xiii 107 pages 4 figures 5 tables 1 attachments "
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T51663
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Kumoro Setiadi
"Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui variabel apa sajakah yang berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan yang termasuk kedalam sektor properti dan real estate di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2010-2014. Jumlah perusahaan yang termasuk kedalam penelitian ini adalah sebanyak 32 perusahaan. Pada penelitian ini menggunakan 10 rasio yang digunakan untuk menggambarkan struktur modal, antara lain profiability, growth, asset tangibility, size, cost of debt, liquidity, financial distress, tax rate, dan age. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa variabel seperti asset tangibility, size, liquidity, dan financial distress berpengaruh terhadap struktur modal.

The purpose of writing this study is to determine what are the variables that affect the company's capital structure which are included in property and real estate sector in the Indonesia Stock Exchange for period 2010-2014. The number of companies included in this study are 32 companies. In this study using 10 ratio used to describe the capital structure, profiability, growth, asset tangibility, size, cost of debt, liquidity, financial distress, tax rate, and age. Results from this study showed that variables such as asset tangibility, size, liquidity, and financial distress affect the capital structure.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2015
S59357
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Defi Reisna
"Produk properti perkantoran berkembang seiring permintaan pasar terhadap tempat bekerja dengan fleksibilitas tinggi, dikenal sebagai serviced office. Permintaan terhadap ruang kantor ini, berbeda dengan ruang kantor sewa umumnya, ditinjau dari segi pengembangan real estate. Kantor sewa umumnya dimulai dari improvisasi terhadap lahan dan menjadikan ruang sewa sebagai komoditi. Sementara serviced office dimulai dari improvisasi terhadap ruang dan tidak hanya menjadikan ruang sebagai komoditi tetapi juga ruang beserta fasilitas dan pelayanannya. Hal ini menjadikan pengembangan serviced office memerlukan beban biaya tersendiri dalam penyediaan fasilitas dan instalasi jaringan pendukung ruang sewa dibandingkan penyediaan ruang kantor sewa umumnya. Kondisi ini bertolak belakang dengan pasokan serviced office yang semakin meningkat dan diprediksi terus berkembang.
Meninjau fenomena tersebut, penelitian ini berupaya menginvestigasi potensi pengembangan serviced office dalam memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan kantor sewa pada umumnya, dengan kondisi permintaan pasar positif. Dilakukan dengan pendekatan kuantitatif, melalui simulasi perhitungan nilai IRR (Internal Rate of Return), disertai analisa tata ruang serviced office. Penelitian dilakukan terhadap 2 obyek gedung perkantoran di Jakarta. Dari simulasi perhitungan diperoleh hasil pengembangan serviced office memberikan keuntungan lebih baik dibandingan kantor sewa pada umumnya dalam tingkat huni 100%.

Office property product growing as market demand for high flexibility of working space, called as serviced office. The demand of this office space different from office rent space generally, in real estate development. Rent office generally begin from land improvement and rent space as main commodity. Meanwhile, serviced office begin from space (interior) improvement and not only space as a commodity but also space with its facilities and services. This condition cause development of serviced office require its own cost in providing facilities and networking to support rent space, compare with rent office in general. It is opposite with condition of serviced office supply, which is increasing, and predicted to continue to grow.
Based on the phenomenon, this research investigate potential development of serviced office in providing a better profit than rent office in general, with positive market. To investigate, conducted a quantitative approach by simulation of calculating the internal rate of return (IRR) and layout plan analysis. This research use two office buildings in Jakarta. The conclusion of this research is serviced office provide better profit than rent office generally in occupancy rate of 100%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
T41498
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Gumilang Raksamala Basmara Putra
"Dalam teknologi konstruksi dikenal rumah prefabrikasi yaitu rumah yang sebagian besar komponennya seperti dinding, atap, kamar mandi, serta elemen strukural balok dan kolom dirancang dan diproduksi di pabrik dengan perakitan dilakukan di lokasi pembangunan. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara produk rumah prefabrikasi telah berhasil memasuki pasar komersial. Rumah prefabrikasi menunjukan nilai investasi yang lebih baik dibanding dengan rumah konvensional. Dengan teknologi prefabrikasi proses pembangunan rumah dapat lebih cepat dan hemat dengan kualitas workmanship lebih baik.
Hingga kini Indonesia masih mengalami permasalahan perumahan antara lain berupa housing backlog sebesar sekitar 13 juta unit. Rumah prefabrikasi berpotensi mempercepat mengatasi permasalahan perumahan di Indonesia, namun demikian pengembangan rumah prefabrikasi di Indonesia selama ini belum dapat diterima pasar, baik dari pihak produsen maupun konsumen.
Tulisan ini membahas hasil penelitian tentang penyebab kurang berkembangnya rumah prefabrikasi dalam bisnis real etate di Indonesia, melalui metode komparasi, yaitu membandingkan rumah prefabrikasi dan rumah konvensional dalam hal 1 tingkat produktivitas, 2 tingkat preferensi konsumen dan 3 performa investasinya. Data dikumpulkan melalui metode survey, wawancara dan penyebaran kuesioner.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun tingkat produktivitas dalam hal mutu dan waktu lebih tinggi, rumah prefabrikasi memperlihatkan produktivitas rendah dalam hal biaya karena membutuhkan biaya produksi lebih tinggi dibanding rumah konvensional. Di samping itu kurang berkembangnya bisnis rumah prefabrikasi di Jabodetabek disebabkan oleh rendahnya tingkat preferensi konsumen terhadap produk ini antara lain karena fleksibilitas yang kurang dan penampilan yang kaku atau monoton. Selain itu investasi pengembangan rumah prefabrikasi dalam jumlah kecil menujukkan NPV dan IRR yang rendah. Dengan pendekatan investasi yang lebih tepat antara lain berupa pembangunan secara massal dalam jumlah memadai, fleksibilitas yang baik, penampilan yang variatif rumah prefabrikasi berpeluang dapat diterima oleh pasar bisnis real estate di Indonesia khususnya di Jabodetabek.

In the housing construction technology, prefabrication is known as a process in where a house with all its components such as walls, ceilings, bathrooms, and all the structural beam and column elements are designed and produced in a factory while its assemblage is done in its assigned site. Based on the experience in various countries, prefabricated houses has succeeded in entering the commercial market due to its benefits of faster construction time and its ability to save money through better workmanship quality. Thus, prefabricated houses show a leading investment value compared to conventional houses.
Until this day, Indonesia is still undergoing through various housing problems such as a housing backlog of about 13 million units. Prefabricated housing has potential to accelerate the overcoming of housing issues in Indonesia. However, prefabricated housing developments in Indonesia has not been accepted by the housing market from both the producer and consumer side.
This paper will discuss about the research of the cause behind the underdevelopment of prefabricated housing in the real estate business in Indonesia, while also calculating its level of productivity and feasibility. The methods used in this research are surveys, interviews and a simulation of the project rsquo s feasibility calculation.
The preliminary result stated that prefabricated houses have not been developed in Indonesia due to the low flexibility, monotone design quality, and relatively higher price. Furthermore, prefabricated houses have higher productivity in terms of cost, quality and time. With the right approach such as mass construction of an adequate amount of housing, better flexibility, and various designs, prefabricated houses have the potential to be a part of the real estate business in Indonesia especially in Jabodetabek.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T47940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>