Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 299 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rofiman Hermanu
"Pendahuluan: Perkembangan kota Tangerang menyebabkan perkembangan lalu lintas di jalan raya. Perkembangan jumlah kendaraan meningkatkan pajanan polusi udara seperti debu, asap dan zat polutan lain hasil pembakaran mesin kendaraan berpengaruh terhadap faal paru orang-orang yang berada di jalanan terutama pada polisi lalulintas yang sedang bekerja. Penelitian ini dilakukan untuk menilai pajanan zat polutan terhadap nilai faal paru seseorang. Penelitian ini menilai usia, Indeks Massa Tubuh (IMT), nilai faal paru, kebiasaan merokok, masa tugas, dan pemakaian masker pelindung.
Metode: Dilakukan survei pada 112 anggota polisi lalu lintas yang bertugas di lapangan. Nilai faal paru di dapatkan dengan spirometri, kadar CO dengan CO meter, pemeriksaan fisis, foto toraks dan wawancara kuesioner. Indeks pencemaran dengan survei kualitas udara.
Hasil : Penurunan faal paru pada 17% polisi lalu lintas. Penurunan nilai faal paru ini meliputi restriksi ringan 13% dan obtruksi ringan 4%. Seluruh foto toraks normal. Delapan puluh satu persen polisi mempunyai berat badan lebih atau obese, 60,7% perokok aktif dan 63 persen mempunyai kebiasaan penggunaan masker yang buruk.
Kesimpulan: Kelompok umur mempunyai hubungan yang bermakna terhadap faal paru polisi lalu lintas. Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok, pemakaian masker , kadar CO dan gangguan faal paru.

Introduction: The city of Tangerang has develop into big city. The government has built a new street to anticipating the raising amount of the vehicle.The street became busy street. The fumes, chemical and particles present in the emission are reported to be damaging of these people especially traffic policemen. Since there were no data available on the pulmonary fuction test (PFT) of Traffic Police personel in Tangerang, this study was taken up to assess the effect of air pollution to the PFT. The measurement were recorded in age, body weight, height, Forced Vital Capacity, Forced Expiratory Volume in first second, gender, smoking habit, Body Mass Index (BMI), year of duty, chest x ray and mask.
Method: We evaluated 112 traffic police personel.Subject of this study were interviewed to identify the clinical sign. Physical examination, pulmonary function test, chest x ray, measurement CO level by using CO smoker analyzer and air pollutant level were done. Result: Nineteen from 112 police personel have decrease of PFT. Fourteen (13%) police was indicated mild restriction to the lung expansion and 5 (4%) police mild obstruction. Total Suspended Particle (TSP) was 478,8 ug/Nm3 higher than normal limit 230 ug/Nm3. Weight and height were measure to calculate the Body Mass Index (BMI), we found that most of police personel have overweight and obese. Sixty percent of police were active smoker. All of the X ray in normal limit.
Conclusion: There was decrease in PFT in 19% of police personel. These indicate mild restriction and mild obstruction. There are significant correlation between age and PFT. There was no significant correlation between smoking habit, protection mask, CO level, level of air pollution, year of duty and pulmonary function test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhair Amir Alkatiri
"Latar Belakang
Tuberkulosis masih menjadi epidemi global dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun keberhasilan pengobatan tuberkulosis telah meningkat, banyak pasien yang sembuh mengalami sequelae post-tuberkulosis, termasuk fibrosis paru, yang menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. Sequelae ini berkontribusi besar terhadap beban kesehatan, dengan fibrosis menjadi komponen utama dalam perubahan jaringan paru post-tuberkulosis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi progresi fibrosis, termasuk peran status gizi. Metode
Metode penelitian adalah retrospektif dengan data sekunder berupa rekam medis, diambil pada bulan Januari 2024 sampai bulan Agustus 2024 di RSUP Persahabatan. Sampel berjumlah 62 subjek yang telah menyelesaikan pengobatan TBC paru di RSUP Persahabatan. Data yang diambil meliputi status gizi pasien, derajat keparahan fibrosis paru berdasarkan hasil radiologi, dan pola spirometri pasca infeksi tuberkulosis.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan usia rata-rata pasien dengan fibrosis minimal-ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 39,54 ± 15,23 tahun, 47,27 ± 20,09 tahun, dan 50,90 ± 12,95 tahun, dengan korelasi positif lemah antara usia dan keparahan fibrosis paru (r = 0,284, p = 0,025). Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT sebelum dan sesudah pengobatan (p < 0,001), dengan kelompok minimal-ringan dan sedang memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan kelompok berat. Hanya 18% subjek memiliki data spirometri, di mana semua pasien dengan fibrosis derajat sedang menunjukkan pola restriksi, sedangkan pasien dengan fibrosis minimal-ringan memiliki spirometri normal.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) pada pasien tuberkulosis yang menjalani terapi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT), mengindikasikan perbaikan status gizi selama pengobatan. Meskipun demikian, tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan status gizi dan derajat keparahan fibrosis paru. Hasil spirometri terbatas menunjukkan bahwa subjek dengan fibrosis minimal-ringan cenderung memiliki fungsi paru yang lebih baik dibandingkan dengan subjek dengan fibrosis sedang.

Tuberculosis remains a global health issue with high morbidity and mortality rates. Despite successful treatment, many recovered patients still experience sequelae such as pulmonary fibrosis, which can lead to disability and reduced quality of life. This study aims to evaluate the relationship between nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis in patients post-tuberculosis infection. The method used was retrospective with secondary data from medical records of 62 patients who had completed tuberculosis treatment at Persahabatan General Hospital between January and August 2024. Results showed a significant increase in Body Mass Index (BMI) before and after treatment (p < 0.001), indicating an improvement in nutritional status. However, no significant association was found between improved nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis. Limited spirometry data showed that patients with minimal-mild fibrosis tended to have better lung function compared to patients with moderate fibrosis. This study highlights the importance of monitoring nutritional status in tuberculosis patients, although its impact on the severity of pulmonary fibrosis requires further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrudin Ali Achmad
"ABSTRAK
Untuk mengetahui hubungan antara variabel demografi, geografi, iklim, sosial ekonomi, fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis dan tenaga kesehatan terlatih dengan jumlah kasus TB paru BTA positif, perlu dilakukan penelitian di Jakarta Selatan tahun 2007-2009 dengan studi ekologi melalui pendekatan spasial dan menggunakan data sekunder. Data diolah secara statistik dengan uji korelasi Pearson, dan analisis spasial dengan tehnik Overlay. Hasil penelitian menunjukkan secara statistik tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti, sedangkan secara spasial variabel kepadatan penduduk, keluarga miskin dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis berpengaruh terhadap jumlah kasus TB paru BTA positif di Kecamatan Tebet, dan di kecamatan lain variabel tidak berpengaruh.

ABSTRACT
To determine the relationship between demographic variables, geography, climate, socio-economic, microscopic health facilities and health personnel trained with the number of BTA positive pulmonary TB cases, need to do research in South Jakarta in 2007-2009 with a spatial approach to ecological studies and to use secondary data. Data was statistically analyzed by Pearson correlation test, and spatial analysis techniques Overlay. The results showed no statistically significant correlation between the variables studied, whereas the spatially variable population density, poor families and microscopic health facilities effect on the number of BTA positive pulmonary TB cases in the District of Tebet, and in other districts did not influence the variables.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28839
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Komunikasi antara arteri koroner dan arteri pulmonalis, yang dikenal sebagai fistula arteri koroner ke pulmonal, merupakan sumber pasokan darah yang sangat jarang ke paru-paru pada penyakit atresia pulmonal yang disertai defek septum ventrikel. Seorang anak perempuan berusia 4 tahun dirujuk ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan gejala dan tanda-tanda peningkatan vaskularisasi pembuluh darah paru sejak bayi dan telah dipastikan dengan pemeriksaan foto X-ray toraks. Pemeriksaan fisik jantung ditemukan bunyi jantung I normal, bunyi jantung II keras dan tunggal, dan didapatkan bising ejeksi sistolik pada area pulmonal. Pemeriksaan EKG menunjukkan irama sinus dengan aksis normal serta hipertrofi biventrikel. Pada pemeriksaan ekhokardiografi dicurigai terdapat trunkus arteriosus tipe I dengan defek septum ventrikel perimembran, overriding aorta, dan dilatasi pada pangkal arteri pulmonalis. Namun demikian pada pemeriksaan kateterisasi jantung ditemukan fistula non obstruktif antara arteri koroner kiri dan pangkal arteri pulmonalis yang disertai kelainan defek septum ventrikel. Tindakan bedah telah berhasil dilakukan sekaligus memastikan diagnosis sebelumnya. Walaupun terdapat episode krisis hipertensi paru selama awal perjalanan pasca operasi, pasien tersebut dipulangkan dari perawatan dengan kondisi yang baik. Karena penyakit pembuluh darah paru yang irreversibel bisa terjadi pada fistula koroner ke pulmonal yang tidak restriktif, pengenalan dini terhadap kelainan ini sangat penting untuk mendapatkan hasil tindakan koreksi bedah yang lebih baik. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)

A communication between the coronary and pulmonary arteries, so called coronary to pulmonary fistula, is a rare source of pulmonary supply in pulmonary atresia (PA) with ventricular septal defect (VSD). A 4 year old girl referred to National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta with symptoms and signs of increased pulmonary blood flow since infancy and was confirmed by the chest x-rays. Heart examination revealed normal first heart sound with single loud second heart sound and an ejection systolic murmur at the pulmonary area. ECG demonstrated sinus rhythm with normal axis and biventricular hypertrophy. Echocardiography was performed and truncus arteriosus (TA) type I was suspected with perimembranus VSD, overriding of the aorta, and dilated main pulmonary artery. But on cardiac catheterization studies, a non obstructive fistula was found between the left coronary and main pulmonary artery coexisted with PA and VSD. A successful surgery was performed subsequently and confirmed the above diagnosis. Although there were episodes of pulmonary hypertension crisis during early post operative course, she was then discharge from the hospital in a good condition. Since irreversible pulmonary vascular disease may develop in a non restrictive coronary to pulmonary fistula, early recognition of this anomaly is very important for better surgical result. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)"
Medical Journal Of Indonesia, 13 (4) October December 2004: 237-240, 2004
MJIN-13-4-OctDec2004-237
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirwan Arief
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0219
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>