Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43626 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ericolas Chandra
"Kurangnya pertanggungjawaban etis pada aksi robot disebabkan oleh ketidakseimbangan antara perkembangan otonomi robot dengan kemampuannya dalam membuat putusan moral. Menanggapi isu ini, skripsi ini berupaya menyediakan justifikasi pada posibilitas Agen Moral Artifisial melalui diskursus filsafat akal budi dan metaetika. Posibilitas ini tersusun atas teori komputasional sebagai pandangan ontologis, naturalisme kognitif sebagai pandangan metaetis dan Moral Turing Test sebagai pandangan epistemologis terhadap akal budi lain. Skripsi ini mengusulkan bahwa posibilitas Agen Moral Artifisial dapat tercapai bukan melalui regulasi tingkah laku, melainkan melalui radikalisasi otonomi.

Lackness of ethical responsibility upon robot’s action was caused by unbalanced developments between robot’s autonomy and its ability to generate moral judgement. Concerning to this issue, this thesis would provide a justification of the posibility of Artificial Moral Agents through the discourse of philosophy of mind and metaethics. This possibility is constituted by computational theory of mind as ontological view, cognitive naturalism as metaethical view and Moral Turing Test as epistemological view of other minds. This thesis suggests that the possibility of Artificial Moral Agents would not occur by behavioral regulation, yet by radicalization of its autonomy."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ericolas Chandra
"ABSTRAK
Kurangnya pertanggungjawaban etis pada aksi robot disebabkan oleh ketidakseimbangan antara perkembangan otonomi robot dengan kemampuannya dalam membuat putusan moral. Menanggapi isu ini, skripsi ini berupaya menyediakan justifikasi pada posibilitas Agen Moral Artifisial melalui diskursus filsafat akal budi dan metaetika. Posibilitas ini tersusun atas teori komputasional sebagai pandangan ontologis, naturalisme kognitif sebagai pandangan metaetis dan Moral Turing Test sebagai pandangan epistemologis terhadap akal budi lain. Skripsi ini mengusulkan bahwa posibilitas Agen Moral Artifisial dapat tercapai bukan melalui regulasi tingkah laku, melainkan melalui radikalisasi otonomi."
2016
S67944
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Fahrima
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
T38288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edit Noorita Kusuma
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran tahap perkembangan moral pada remaja yang mengikuti ajang pemilihan da'i. Penelitian ini termasuk penelitian kuantatif dengan metode non eksperimental. One Way Anova digunakan sebagai metode statistik untuk menganalisis data yang diperoleh. Pengukuran perkembangan moral dilakukan dengan alat ukur perkembangan moral Defining Issues Test (DIT).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) rata-rata perkembangan moral responden berada pada tingkat konvensional (tahap 3 dan 4), terdapat seorang responden yang berada pada tingkat pasca-konvensional (tahap 5); 2) tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada perkembangan moral berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

This research aims to know moral development exists in adolescence who participated in da'i election. As a quantitative research this study using non experimental method. One Way Anova was used as statistic method to analyze the data obtained. The moral development measurement was conducted with the Defining Issues Test (DIT).
Result of this study indicates: 1) generally moral development of respondent in conventional level (stage 3 and 4), there is one respondent in pasca-conventional level (stage 5) 2) there is no significant difference of moral development based on gender and level of education."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
155.251 9 KUS t
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Moral judgment is part of the individual development that should be optimized. This research purpose was to know high school students' moral judgment stage and level espicially those who originate from the Malay father and mother in Langkat District, North Sumatra...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Hezer
"Dilema etis merupakan hal yang dialami setiap orang dalam kehidupan sehari-hari. Saat menghadapinya, pengambilan keputusan yang tidak etis dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu hal yang berperan dalam proses pengambilan keputusan etis adalah persepsi mengenai etika yang dimiliki oleh seorang individu. Di sisi lain, nilai yang dipegang seseorang juga diduga dapat memperkuat persepsi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang dimiliki social consensus dan moral judgment, serta pengaruh moderasi conformity pada hubungan tersebut.
Hasil analisis terhadap 86 karyawan umum menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan pada hubungan antara social consensus dan moral judgment. Namun, hasil analisis untuk moderasi menunjukan conformity tidak memoderasi hubungan tersebut. Hasil penelitian ini memiliki implikasi saran pada perusahaan untuk membangun budaya etis sehingga dapat meningkatkan perilaku etis. Penelitian ini juga menambah pengetahuan mengenai hubungan social consensus dan moral judgment, serta pengaruh conformity dalam pengambilan keputusan etis pada karyawan secara umum.

People deal with ethical dilemma in everyday life. In dealing with ethical dilemma, unethical decision making could damage various parties. One of the leading role in ethical decision making process is the perception regarding ethic within a person. Moreover, personal value is also expected to strengthen ethical perception. This study intended to discover the relationship between social consensus and individuals moral judgment, and the moderation effect of conformity.
86 employees participated in the study and showed a positive and significant relationship between social consensus and individuals moral judgment. However, the moderation analysis result did not show that conformity could serve as a moderator in the relationship. The result had suggestion implication for companies to build a culture of ethic to increase ethical decision making. Furthermore, it also added up the knowledge about relationship between social consensus and individuals moral judgment, and the influence of conformity in ethical decision making on employees.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrina Ratri Paramita
"Gallupe dan Baron (2010) menyatakan bahwa moralitas seseorang memiliki peran dalam memprediksi terjadinya penyimpangan tingkah laku yang mengarah pada kriminalitas. Hal serupa juga dikemukakan oleh Bandura (2004) melalui teori pelepasan moral (moral disengagement) dalam fenomena radikalisme dan terorisme yang dapat dijelaskan sebagai rekonstruksi kognitif terhadap tingkah laku destruktif menjadi tingkah laku yang memiliki tujuan moral tinggi. Meskipun demikian, pelepasan moral dapat dicegah dengan memunculkan aspek-aspek kemanusiaan pada diri seseorang melalui penanaman nilai-nilai positif yang dapat membantu meningkatkan moral judgment seseorang. Meskipun demikian, remaja belum menjadi fokus dari program kontra radikalisasi di Indonesia, sehingga dirasa perlu ada program khusus bagi remaja sebagai kelompok yang rentan dipengaruhi oleh paham radikal. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan moral judgment remaja yang terkait dengan keberagaman dengan menerapkan teknik Appreciative Inquiry (Cooperrider, Whitney, & Stavros, 2003) terhadap siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di wilayah Jakarta. Melalui penerapan teknik tersebut, diperoleh peningkatan moral judgment remaja yang signifikan secara statistik dengan peningkatan rata-rata nilai sebesar 29.5% (t = -2.209, df = 23, p = .037).

Gallupe and Baron (2010) proposed that morality has a role in predicting deviation in one?s behavior leads to crime. Bandura (2004) also proposed the similar idea regarding radicalism and terrorism issues, stated that individuals experienced moral disengagement caused by cognitive reconstruction towards destructive behavior, resulting it to appear as a high morality behavior. Moral disengagement can be prevented by bringing up humanity aspects from one self through teaching positive values to develop moral judgment. Nevertheless, Indonesian adolescents? are not yet the focus for counter-radicalisation program held by the government, making it necessary to develop a program special for adolescents as a group vulnerable to radicalism. This research focus on enhancing adolescents? moral judgment regarding diversity, and appreciative Inquiry technique (Cooperrider, Whitney, & Stavros, 2003) is being used for this intervention technique targeting public high school students in Jakarta area. The application of this technique resulting in the statistically significant enhancement of adolescents? moral judgment with the average increased score 29.5% (t = -2.209, df = 23, p = .037).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
T41516
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irsal Harifasyah
"ABSTRAK
Penelitian ini adalah tipe penelitian cross-sectional yang bertujuan meneliti hubungan antara identifikasi dan
pelepasan moral individu. Desain penelitian ini non-eksperimental yang membandingkan karakter-karakter
dalam tokoh One Piece menjadi tiga karakter. Variabel outcome dalam penelitian ini adalah pelepasan moral
individu, sedangkan variabel predictor dalam penelitian ini adalah identifikasi. Penelitian ini juga berusaha
mencari mengungkap peran mediasi dari penilaian moral dalam hubungan antara variabel prediktor dan outcome.
Responden dalam penelitian ini dibagi secara acak ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok karakter bermoral
paling baik, kelompok karakter bermoral ambigu, dan kelompok karakter paling immoral. Sebanyak 1471
responden mengisi penelitian ini dan dianalisis. Identifikasi terbukti berkorelasi secara positif dengan pelepasan
moral individu. Dalam hasil juga terdapat bahwa penilaian moral tidak memediasi hubungan antara identifikasi
dan pelepasan moral individu.

ABSTRACT
This study is cross-sectional research aimed to investigate relationship between identification and moral
disengagement. This study is non-experimental that compares three characters that exist in the story of One
Piece. Outcome variable of these study is moral disengagement, whereas the predictor is identification. Also,
these study try to reveal the mediation model of the predictor and outcome. 1471 respondents randomly assigned
into one of three group character that based on moral continuum which are most morally, morally ambiguous,
and most immoral character. The result shows that identification positively correlate with moral disengagement,
but the mediation which explains that moral judgement mediates the relationship between identification and
moral disengagement is not significant."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zainal Arifin Hoesein
"ABSTRAK
Perjuangan panjang tentang kekuasaan kehakiman yang babas dalam negara hukum sesuai dengan UUD 1945, terakhir disuarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang dituangkan dalam memorandum tanggal 23 Oktober 1996 yang menghendaki agar kekuasaan kehakiman di bawah satu payung, yakni Mahkamah Agung. Gagasan tersebut, sejalan dengan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 beserta penjelasannya. Kekuasaan kehakiman yang bebas dalam perspektif negara hukum, akan berkaitan dengan beberapa faktor, di antaranya adalah segi kelcmbagaan dan segi sistem peradilannya. Dari segi kelembagaan, perlanyaan yang timbul seperti, apakah kekuasaan kehakiman yang babas harus berada pada satu payung, yakni Mahkamah Agung ? Apakah hal tersebut akan mengganggu sistem kekuasaan negara sebagaimana yang telah diatur oleh UUD 1945 dan dari segi sistem peradilannya, juga akan timbul pertanyaan, bagaimanakah sistem peradilan yang dikehendaki oleh UUD 1945 dalam mewujudkan negara hukum ? Persoalan kekuasaan kehakiman sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia rnasih tetap aktual dan menjadi bahan perdebatan para pakar karena pada lembaga ini kewibawaan hukum diuji.
Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu perwujudan dari penegasan dianutnya paham negara hukum oleh konstitusi Indonesia. Salah satu ciri negara hukum adalah adanya lembaga peradilan yang bebas dan tidak memihak, Kekuasaan kehakiman yang babas dan lidak memihak secara normatif telah diatur dalam ketiga konstitusi yang pernali berlaku di Indonesia, yakni pada UUD 1945 diatur dalam Pasal 24 ayat (I), Konstitusi RIS diatur dalarn Pasal 145 ayat (1) dan UUi) Semcntara 1950 diatur dalam Pasal 103. Dari segi substantif, ketiga konstitusi tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu babas dan tidak memihak. Perwujudan kekuasaan kehakiman yang bebas akan bertautan dengan kemauan politik dalam menempatkan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti hukum dan kekuasaan senantiasa memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi. Dapat dipahami bahwa di satu pihak hukum dalam suatu negara hukum adalah sebagai landasan kekuasaan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi di lain pihak hukum juga merupakan produk kekuasaan. Pemahaman terhadap hukum sebagai landasan kekuasaan, berarti segala kekuasaan negara yang lahir diatur oleh hukum dan dijalankan berdasar atas hukum, sehingga hukum ditempatkan pada posisi lebih tinggi (supremacy of law) sebagaimana yang dikehendaki oleh rumusan negara hukum. Di sisi lain, hukum juga merupakan produk kekuasaan, berarti setiap produk hukum merupakan hasil dari interaksi politik yang memerlukan adanya komitmen politik.
Kecenderungan yang akan lahir adalah, bahwa suatu produk hukum bergantung pada format politik/konfigurasi politik.Oleh karena itu, implementasi kekuasaan kehakiman yang bebas sebagaimana yang dikehendaki oleh konstitusi, tetap berkaitan dengan kemauan politik penyelenggara kekuasaan negara. Peradilan yang bebas berrnakna bahwa kekuasaan kehakiman tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan negara lainnya dalam menjalankan fungsinya, baik sebagai lembaga penegakan hukum maupun sebagai lembaga penemuan hukum. Rumusan normatif yang demikian itu, dalam implementasinya tidak terlepas dari sisi politik dan sosial budaya yang berkembang. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang babas memiliki relevansi dengan konfigurasi politik dan sosial budaya suatu negara.
"
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baihaqi Musyafa
"Effective altruism (Altruisme efektif) yang diusung Peter Singer dalam upayanya mewujudkan dunia yang lebih baik melalui etika terapan memang mampu menarik perhatian dan mengubah cara pandang banyak orang. Terutama mengenai prinsipnya dalam bagaimana menggunakan asas utilitarian untuk memaksimalkan kegiatan berdonasi. Semangat utilitarian yang diaplikasikan di gerakan ini adalah rasionalisasi dan kalkulasi dalam berderma. Hal ini diharapkan dapat menjadikan kegiatan donasi sebagai sesuatu yang efektif dan paling menimbulkan dampak ke orang banyak. Namun, semangat dominasi rasio dalam tindakan moral ini memunculkan anggapan bahwa ada keharusan untuk meminggirkan emosi dalam keputusan etis. Padahal emosi tidak bisa dicabut begitu saja dalam suatu keputusan moral. Seperti apa yang diargumenkan oleh Hume dan Westermarck, emosi berperan penting dalam setiap tindakan moral dan juga dibuktikan dengan adanya bias-bias yang muncul dalam kegiatan beraltruis. Meniadakan emosi ini juga mempunyai dampak lain yaitu melahirkan pandangan moralitas yang sempit. Tulisan ini akan memperlihatkan bagaimana emosi terus berperan dalam keputusan moral serta apa yang dimaksud dengan moralitas yang sempit sebagai hasil dari dominasi rasionalisasi dan kalkulasi yang berlebihan di dalam altruisme efektif.

Peter Singers effective altruism (effective Altruism) in its efforts to create a better world through applied ethics is indeed able to attract attention and change the perspective of many people. Especially regarding the principle in how to use the utilitarian principle to maximize donation activities. The utilitarian concept that is applied in this movement is the rationalization and calculation in giving. This is expected to make donation activities as something that is effective and has the most impact on the people. However, this dominance of rationality in moral action raises the assumption that there is a necessity to marginalize emotions in ethical decisions. Though emotions cannot be revoked in a moral decision. As Hume and Westermarck argue, they always present in moral decisions and is proven by the existence of biases in the activities of the altruism. Eliminating this emotion also has another effect, namely giving birth to a narrow view of morality. This paper will show how emotions continue to play a role in moral decisions and what is meant by narrow morality as a result of the dominance of rationalization and excessive calculation in effective altruism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>