Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101878 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elissa Aziza
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2007
T58988
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaihatu, V.A.M.
"Dietary diseases adalah penyakit yang merupakan hasil dari malnutrisi yang diderita individu, sedangkan infectious diseases adalah penyakit akibat masuknya benda berbahaya atau mikroorganisme asing di dalam tubuh individu (Sarafino, 1990). Hipertensi termasuk dalam dietary diseases dan kini makin banyak dialami oleh individu dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen penduduk dewasa Indonesia. (Kumala, 2000). Ada 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi sekunder (secondary hypertension) dan hipertensi esensial (essential hypertension). Essential hypertension adalah jenis hipertensi yang penyebab utamanya tidak dapat diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicunya adalah obesitas, elemen-elemen pola makan (diet), konsumsi alkohol yang berlebihan, ketidakaktifan fisik, sejarah hipertensi dalam keluarga dan juga faktor-faktor psikososial, misalnya: stres dan perilaku emosional (Sarafino, 1990).
Tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stres. Variasi ini sering kali muncul sebagai hasil dari faktor psikologis dan faktor sosial yang memodifikasi pengaruh stresor terhadap individu. Salah satu cara individu untuk berespon terhadap stresor adalah dengan melakukan coping. Coping merupakan cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres (Sarafino, 1990). Coping yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stres mungkin bervariasi dan tidak selalu memberikan penyelesaian. Namun selain untuk memperbaiki atau mengatasi masalah, coping juga dapat menolong seseorang untuk mengubah pemahaman akan suatu masalah, melakukan toleransi atau menerima akibat yang ditimbulkan oleh masalah, bahkan untuk menghindari situasi tersebut (Lazarus &Folkman, 1984b; Moos & Schaefer, 1986, dalam Sarafino, 1998).
Coping memiliki dua dimensi luas (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990), yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Cara lain untuk memodifikasi stres sehingga mengurangi pengaruhnya terhadap kesehatan adalah dengan memunculkan dukungan sosial (social supporf) kepada individu. Dukungan sosial menurut Cobb, Gentry & Kobasa, Walston, Alagna, DeVellis & DeVellis, Wills (dalam Sarafino, 1990) merujuk pada adanya perasaan nyaman, perhatian, kepercayaan, dukungan moral dan bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain.
Dukungan-dukungan ini dapat berasal dari berbagai pihak seperti significant others yang dimiliki individu atau rekan kerja, dokter maupun komunitas organisasi yang diikuti oleh individu. Lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial (social supporf) yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990) adalah emotional supporf, esteem supporf, tangible atau instmmental supporf, informational supporf dan network supporf. Penekanan dalam penelitian ini adalah pada dukungan sosial berupa emotional supporf. Dukungan ini diberikan dalam bentuk ekspresi empati, caring dan kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Berdasarkan latar budaya yang ada di Indonesia, tugas dan kewajiban perempuan masih sangat erat dikaitkan dengan pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan keluarga. Sehubungan dengan hal ini, fungsi perempuan dalam rumah tangga masih mendominasi bagian pengaturan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dengan demikian, pemilihan gaya hidup dan pola nutrisi keluarga juga diserahkan pada perempuan, khususnya pada ibu rumah tangga. Pengaturan mengenai makanan dan minuman menjadi tanggung jawab mereka sehingga pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan keluarganya. Bila seorang ibu rumah tangga menderita hipertensi, maka ia harus mengubah pola makannya dan mengikuti diet tertentu untuk mempertahankan tekanan darahnya di posisi normal. Hal ini berarti pola makannya berbeda dengan pola makan keluarganya. Peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap ibu rumah tangga yang menderita hipertensi sehingga harus mengubah pola makannya, namun harus tetap mengatur pola makan keluarganya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres, coping dan dukungan sosial yang diterima oleh ibu rumah tangga penderita hipertensi. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif dengan dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Subyek penelitian terdiri dari empat orang ibu rumah tangga yang tinggal dengan minimal seorang anak yang mengikuti pola makan ibunya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masing-masing subyek umumnya memiliki pola stres dan coping yang sama. Mereka mengalami tahapan yang sama dalam mempersepsikan kondisi sakitnya, menilai sumber-sumber daya coping yang dimiliki dan pada akhirnya menggunakan strategi-strategi coping sesuai sumber daya yang mereka miliki. Keempat subyek memiliki dukungan sosial yang lengkap, mencakup lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990). Namun demikian, dukungan emosional yang diberikan oleh anak subyek dalam bentuk mengikuti pola makan yang sama ternyata tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan stres dan coping subyek dalam menghadapi penyakit hipertensi yang dideritanya.
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah mengenai kelengkapan data tentang faktor penyebab penyakit hipertensi yang diderita oleh masing-masing subyek. Untuk itu perlu diadakan penelitian dengan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap subyek penelitian sehingga faktor-faktor yang berpengaruh dapat diteliti lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sehingga data yang diperoleh dapat saling melengkapi. Selain itu, penelitian juga dapat dikembangkan untuk meneliti stres dan coping yang dialami oleh individu yang anggota keluarganya menderita hipertensi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Edial Sanif
"Telah dilakukan penelitian tentang kadar elemen renik (ER) Zn,Cu,hn,Cd dan Pb dalam rambut penderita hipertensi. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif dan acak. Terdapat 70 kasus hipertensi, 57 orang laki-laki (84%) dan 11 orang wanita (15,7%) berumur antara 22 sampai 60 tahun, rata-rata 38,63 + 9,40 tahun. Sebasar kelompok pembanding diambil 53 orang normotensi terdiri dari 42 orang laki-laki (79,27%) dan 11 orang wanita (20,8%) berumur antara 23 sampai 57 tahun, rata-rata 38.11 + 10,05 tahun. Di temukan kadar ER pada kelompok hipertensi yaitu Zn = 143,7 -+ 52,13 ppm., Cu n 10,24 -+ 5,31 ppm, Hn = 4,90 + 1,20 ppm, Cd dan Pb masing - masing adalah 0 (not) ppm. Kadar ER pada kelompok normotensi yaitu : Zn + 154.23 24.14 + + ppm, Cu = 13,42- 4,18 ppm, Hn = 5 , 52 - 3.57 ppm, Cd dan Pb masing - masing 0 (not) ppm."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1992
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Adrin Aefiansyah Putra
"Latar belakang: Defek atrium septal atrium  (DSA) merupakan salah satu penyakit jantung bawaan (PJB) yang sering ditemukan dan 75% diantaranya adalah defek septal atrium sekundum (DSAS). Pasien DSAS akan mengalami hipertensi pulmonal (HP), yang jika defeknya tidak dikoreksi, kondisi ini berlanjut dan menimbulkan penyakit vaskular paru (PVP). Saat ini standar emas diagnosis PVP adalah pemeriksaan invasif katerisasi jantung kanan (KJK) yang mempunyai komplikasi pneumotoraks, aritmia, hematoma, dan episode hipotensi. Ekokardiografi merupakan modalitas yang murah, tersebar luas, dan mudah dikerjakan. Saat ini ekokardiografi dipakai sebagai alternatif noninvasif untuk menilai anatomi dan hemodinamik kardiovaskular pada pasien dengan kelainan jantung struktural. Berbagai studi mendapatkan karakteristik notch pada right ventricular outflow tract (RVOT) berkorelasi baik dengan tekanan rerata arteri pulmonal (TRAP) yang tinggi dan komplians vaskular paru (KVP) yang rendah pada berbagai jenis kategori HP dan kedua hal ini, terutama KVP berhubungan dengan diagnosis PVP. Oleh karena itu, perlu ada studi yang melihat salah satu parameter notch yang mudah didapatkan, yakni time-to-notch untuk mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP.
Tujuan: Mengetahui apakah time-to-notch RVOT dapat mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP yang dibandingkan dengan KJK sebagai standar emas.
Metode: Dengan consecutive sampling, dilakukan pemeriksaan time-to-notch dengan ekokardiografi transtorakal dalam jarak pemeriksaan 24 jam dengan KJK. Uji vasodilator oksigen (UVO) dilakukan jika hasil rasio resistensi vaskular paru dengan sistemik > 0,33. Diagnosis PVP ditegakkan jika hasil rasio resistensi akhir adalah > 0,33. Dilakukan uji diagnostik dengan cara perhitungan area di bawah kurva dan dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), likelihood ratio (LR), serta analisis reliabilitas.
Hasil: Terdapat 89 subyek yang dilakukan analisis dengan 54 subyek dilakukan UVO. Sebanyak 24 subyek didiagnosis PVP dengan KJK. Mayoritas subyek adalah perempuan (85%) dengan median usia 38 tahun. Didapatkan area di bawah kurva sebesar 0,923 untuk time-to-notch terhadap diagnosis PVP. Titik potong <147,5 ms memiliki tingkat sensitivitas 88%, spesifisitas 87%, NPP 72%, NPN 95%, LR (+) 7,11 dan LR (-) 0,14.
Kesimpulan: Time-to-notch dapat mendeteksi PVP pada pasien DSAS dengan HP dengan validitas dan reliabilitas yang baik.

Background: Atrium septal defect (ASD) is one of the congenital heart diseases (CHD) that often found and 75% of them are ostium secundum ASD (OSASD) type. OSASD patients will experience pulmonary hypertension (PH) and if the defect not corrected, this condition persists and causes pulmonary vascular disease (PVD). Gold standard of PVD is right heart catheterization (RHC). It is an invasive procedure which has complications such as pneumothorax, arrhythmia, hematoma, and hypotension. Echocardiography is a cheap modality, widely available, and good reproducibility. Echocardiography is currently used as a non-invasive alternative to assess cardiovascular anatomy and hemodynamics in patients with structural heart disorders. Various studies stated that notch characteristic on the right ventricular outflow tract (RVOT) correlated well with the mean pressure and compliance of the pulmonary artery in different types of PH categories. Pulmonary artery compliance especially, have good correlation to diagnose PVD. Therefore comparing time-to-notch, an easier notch parameter, with RHC in diagnosing PVD as the gold standard is needed.
Aim: To assess whether time-to-notch RVOT from transthoracic echocardiography (TTE) can diagnose PVD compared to RHC as the gold standard in OSASD with PH patients.
Method: With consecutive sampling, time-to-notch was examined by TTE within 24-hour from RHC. An Oxygen vasodilator test (OVT) was performed when ratio of resistance arterial pulmonary to systemic is > 0.33. PVD was diagnosed if the final resistance ratio is > 0.33. Diagnostic test was carried out to obtain area under curve (AUC). Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and likelihood ratio (LR) were calculated and a reliability analysis were conducted.
Result: We analyzed 89 subjects and OVT was performed in 54 subjects. PVD was diagnosed by RHC in 24 subjects. The majority of subjects were women (85%) with a median age 38 years. AUC was 0.923 for time-to-notch to diagnose PVD. A cut-off point < 147.5 ms has a sensitivity level of 88%, specificity 87%, PPV 72%, NPV 95%, LR (+) 7.11 and LR (-) 0.14 with good realibility.
Conclusion: Time-to-notch has a good validity and reliability to detect PVD in OSASD with PH.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Ansharina Kathin
"Pada penyakit jantung bawaan (PJB) non-sianotik pirau kiri ke kanan dapat terjadi aliran yang berlebihan ke jantung kanan sehingga terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis, yang disebut dengan hipertensi pulmonal (HP). Kondisi ini menyumbang angka kematian dan kesakitan pada PJB. Untuk mendeteksi adanya HP perlu pemeriksaan invasif yaitu kateterisasi jantung. Pemeriksaan yang lebih mudah dan murah diperlukan untuk mendeteksi HP, salah satunya yang sedang dikembangkan adalah biomarker jantung troponin I. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, kadar troponin I, dan perbedaan kadar troponin I pada pasien PJB non-sianotik dengan dan tanpa HP sekunder di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM). Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang analitik terhadap 56 pasien sepanjang Juni-November 2021. Data diambil secara consecutive sampling. Tiga jenis PJB non-sianotik dengan HP terbanyak adalah atrial septal defect (ASD) soliter, ventricular septal defect (VSD) soliter, dan VSD-patent ductus arteriosus (PDA). Status gizi terbanyak adalah gizi buruk. Komorbiditas terbanyak adalah sindrom Down. Median kadar troponin I pada pasien dengan PJB non-sianotik adalah 4,55 pg/mL, dengan perbedaan bermakna pada median kelompok HP adalah 5,6 pg/mL, dan kelompok non-HP adalah 2,6 pg/mL (p<0,05).

In left to right shunt acyanotic congenital heart disease (CHD), can occur excessive flow to right heart resulting in increase in pulmonary arterial pressure called pulmonary hypertension (PH). This contributed to morbidity and mortality in CHD. To detect the presence of PH requires cardiac catheterization, an invasive examination. An easier and cheaper examination is needed to detect PH. One of which was being developed is a cardiac biomarker of troponin I. This study aimed to determine patient characteristics, troponin I levels, and differences in troponin I levels in acyanotic CHD patients with and without secondary PH at Ciptomangunkusumo Hospital (RSCM). This study was a cross-sectional analytic study of 56 patients during June-November 2021. Data were taken by consecutive sampling. The most common types of acyanotic CHD with PH were solitary atrial septal defect (ASD), solitary ventricular septal defect (VSD), and VSD-patent ductus arteriosus (PDA). The most nutritional status was severe malnutrition. The median troponin I level in patients with acyanotic CHD was 4.55 pg/mL, with a significant difference in the median HP group was 5.6 pg/mL, while the non-PH group was 2.6 pg/mL (p<0.05)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irman Firmansyah
"Latar Belakang: Penyakit Jantung Koroner (PJK) sebagai masalah kesehatan di Indonesia. Terdapat peningkatan kejadian PJK dihubungkan dengan peningkatan sindrom metabolik. Sampai saat ini belum ada data prevalensi sindrom metabolik pada subyek dengan PIK di RSCM.
Tujuan: Untuk melihat proporsi sindrom metabolik pads populasi penderita PAC, serta profil komponen sindrom metabolik.
Metode Penelitian bersifat deskriptif, dilakukan pada bulan Maret-Nopember 2005 di Poli Kardiologi, Divisi Kardiologi Departemen Penyakit Dalam RSCM.. Subyek adalah penderita PIK di RSCM dengan jumlah responden 92 subyek.
Hasil: Dari 92 responden didapatkan hasil yang mengalami sindrom metabolik pada PJK sebesar 45 (48,9%) lebih besar dibandingkan populasi umum (16,5%-31,1%), dengan komposisi laki-laki 30 (66,7%) clan perempuan 15 (33,3%). Rerata usia 59 tahun (1K 95% 55-63), rerata tekanan darah sistolik 133,9 mmHg (IK 95% 129,7-138,1), rerata tekanan darah diastolik 83,2 mmHg (IK 95% 80,8-85,6), rerata indeks massa tubuh 25 kg/m2 (IK 95% 24,3-25,7), rerata lingkar perut 86,5 cm (IK 84,6-88,4), rerata HDL 42,9 mg/dL (IK 95% 41,04,8), rerata LDL 133,7 mg/dL (IK 95% 126,3-141,1), rerata trigliserida 149,9 mgldL (1K 95% 131,6-168,2), rerata glukosa darah puasa 110,4 mg/dL (1K 95% 101,9-118,9).
Simpulan Sindrom metabolik ditemukan pada sebagian besar populasi penderita PJK.
Kata Kunci : PJK, sindrom metabolik, proporsi.

Background: Coronary heart disease (CHD) has become one of health problems in Indonesia. The increment in CHD incidence is associated with increment in metabolic syndrome. Currently, there is no data about metabolic syndrome in patient with CHD at Dr. Cipto Mangunkusumo hospital.
Purpose_ (1) To find out the proportion of metabolic syndrome among CHD patients. (2) To find out the profiles of the components of metabolic syndrome.
Methods: We conducted a descriptive study during March - November 2005 in Cardiology outpatient unit, Dr. Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects for this study were CHD patients who came to the outpatient unit. The numbers of subjects included were 92 people.
Results: From 92 subjects who participated in this study, we found 45 subjects (48.9%) had metabolic syndrome more than general population 16.5%-31.1%). Thirty six subjects (66.7%) were male. Mean age was 59 years old (95% CI = 55 - 63 years old)_ Mean systolic pressure was 133.9 mmHg (95% CI = 1293 - 138.1 mmHg). Mean diastolic pressure was 83,2 mmHg (95% CI = 80.8 --- 85.6 mmHg). Mean Body Mass Index was 25 kglm2 (95% CI = 24.3 - 25.7 kglm2). Mean waist circumference was 86.5 cm (95% CI = 84.6 - 88.4 cm). Mean HDL level was 42.9 mg/dL (95% CI = 41,0 - 44.8 mg/dL). Mean LDL level was 133.7 mg/dL (95% CI = 126.3 - 141.1). Mean triglyceride level 149.9 mg/dL (95% CI = 131.6 - 168.2 mg/dL). Mean fasting blood glucose level was 110.4 mg/dL (95% CI = 101.9 -118.9).
Conclusion. Metabolic syndrome was found in the majority of CHD patients.
Keywords : coronary heart disease, metabolic syndrome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
"ABSTRAK
Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring

ABSTRACT
Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heditya D. I.
"Rencana penelitian mengenai gambaran analisis suara pada kelompok pascastroke iskemik ini diajukan dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Di Indonesia sendiri saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menganalisis gambaran analisis suara pada pasca-stroke iskemik dengan menggunakan alat analisis suara MDVP.
Masalah penelitian
1. Apakah terdapat perbedaan gambaran kualitas suara berupa peningkatan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pasta-stroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan dengan kelompok kontrol?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi gambaran analisis suara pada pasien pascastroke iskemik?
Tujuan penelitian
Umum : Mengetahui adanya peningkatan parameter akustik berdasarkan pemeriksaan analisis suara, sehingga diharapkan dapat mencegah adanya gangguan suara yang lebih progresif.
Khusus :
1. Mengetahui perbedaan rerata nilai parameter akustik pada kelompok pascastroke iskemik yang berusia antara 45-70 tahun dibandingkan kelompok control.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gambaran kualitas suara pada penderita pasca-stroke iskemik seperti usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan penggunaan suara dalam bekerja, derajat deficit neurologik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Aspar Mappahya
"Pemeriksaan invasif dengan arteriografi koroner selektif dapat memberi informasi akurat tentang lokasi dan luasnya proses aterosklorosis sekaligus memungkinkan visualisasi kolateral. Dengan pemeriksaan ventrikulografi kiri dapat diketahui kemampuan kontraksi ven trikel kiri dengan menganalisa kontraktilitasnya baik Secara regional maupun global.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data awal tentang gambaran morfologi arteri koronaria termasuk distribusi, lokasi dan derajat stenosis serta hubungannya dengan beberapa parameter yang berkaitan erat pada penderita Penyakit Jantung Koroner di Indonesia umumnya dan di Rumah Sakit Jantung Hara pan Kita khususnya; dan menilai peranan sirkulasi kolateral pada penderita infark miokard anterior dengan obstraksi total dan subtotal pada arteri desendens anterior kiri.
Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 821 penderita yang dirujuk ke Unit Pelaksana Fungsionil Invasif RSJHR dengan suspek atau pasti menderita PIK selama periode 1 Januari 1986 sampai dengan 31 Desember 1988. Terdapat 126 penderita dengan arteri koronaria yang normal dan sisanya, 695 penderita dianalisa lebih lanjut. Secara keseluruhan dari 821 penderita ditemukan 44,7% distribusi dominan kanan, 40,1% distribusi seimbang, dan 15,2% distribusi dominan kiri. Dari perhitungan berat dan luasnya stenosis ditemukan korelasi bermakna (p <0,01) antara skor stenosis cara AHA dan jamlah pembuluh yang sakit cara GLH. Dari segi umur tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara kelompok umur dengan rata-rata keseluruhan (p>0,05). Tetapi ada perbedaan bermakna (
p <0,05) antara kelompok dibawah 39 tahun dan kelompok 40-69 tahun. Juga tidak ada perbedaan bermakna (p >0,05) diantara kelompok umur pada mereka dengan penyakit satu maupun dua dan tiga pembuluh.Berdasarkan jenis kelamin tidak banyak perbedaan distribusi jumlah pembuluh yang sakit. Obstruksi total lebih banyak dijumpai pada ke tiga arteri koronaria utama dibanding obstruksi subtotal pada semua kelompok umur kecuali pada kelompok diatas 70 tahun untuk Cx terjadi sebaliknya. Secara umum hipotesis tentang makin banyaknya faktor risiko koroner makin tinggi skor stenosisnya tidak terbukti pada penelitian ini dan hanya hipertensilah satu-satunya terbukti mempunyai pengaruh jelas terhadap beratnya stenosis . Dari gambaran radiologis, terbukti bahwa berat stenosis merupakan salah satu penyebab yang penting untuk timbulnya kardiomegali; selain itu adanya kardiomegali pada penderita PJX bisa meramalkan adanya asinergi dengan sensitivitas 64% dan spesifitas 57%. Berdasarkan gambaran EKG penderita yang diteliti lebih banyak yang telah mengalami infark (56,7%) dibanding yang tanpa infark; dan ada kecenderungan persentase penyakit satu pembuluh lebih dominan pada penderita tanpa infark dan persentase penyakit tiga pembuluh lebih dominan pada penderita infark, sementara penyakit dua pembuluh paling tinggi persentasenya pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan skor stenosis yang bermakna antara penderita infark transmural dan penderita infark non-Q meskipun skor stenosis pada infark transmural lebih tinggi. Stenosis bermakna pada LMCA lebih banyak ditemukan pada penderita PJK tanpa infark (55%) dibanding yang telah infark, juga persentase bermakna pada LMCA lebih banyak dijumpai.pada penyakit tiga pembuluh. Terdapat 5 (20,8%) dari penderita dengan aneurisma ventrikel yang menunjukkan elevasi. ST dan hany,a 11 (45,8%) yang disertai kolateral. Hasil ULJB pada 267 penderita memperlihatkan kecenderungan hasil positif ringan lebih banyak pada penyakit satu pem buluh dan hasil positif berat lebih banyak pada penyakit tiga pembuluh; sensitivitas pemeriksaan ULTB adalah 85%. Dari beberapa parameter yang berhubungan dengan ventrikulografi terlihat gambaran asinergi lebih sering dijumpai pada penyakit yang lebih luas sedangkan normokinesis lebih sering pada mereka dengan stenosis yang tidak begitu luas. Tnsufisiensi mitral sering dijumpai pada pemeriksaan ventrikulografi dan pada penelitian ini lebih banyak dijumpai (40,8%) pada asinergi inferior; juga paling sedikit ditemukan pada penyakit satu pembuluh.
Penilaian peranan sirkulasi kolateral terhadap PJK umumnya terlihat tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05) persentase pemendekan hemi dan longaxis diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral pada 38 penderita PIK dengan obstruksi total dan subtotal -
tanpa infark anterior. Juga tidak ada perbedaan bermakna dalam hal FE, TDAVK dan VDA pada kelompok ini. Adapun pada kelompok penderita yang telah mengalami infark anterior, ternyata ada perbedaan persentase pemendekan hemi dan longaxis yang bermakna, (p<0.01 ), khususnya aksis yang sesuai dengan perfusi LAD, sehingga dapat disimpulkan bahwa makin baik kualitas kolateral makin baik pula fungal ventrikel kiri, meskipun persentase pemendekan tersebut masih lebih rendah dibanding yang ditemukan pada kelompok kontrol. Demikian pula ada perbedaan bermakna (p 0,01) dalam hal FE,dan TDAVK diantara keempat kelompok derajat kualitas kolateral yang selanjutnya memperkuat kesimpulan diatas.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa peranan sirkulasi kolateral pada penderita PJK baik yang belum maupun yang telah mengalami infark sangat penting dalam menilai hubungannya dengan fungsi ventrikel k iri serta sangat berguna untuk menentukan tindak lanjut baik yang bersifat konservatif maupun yang bersifat intervensi angioplasti dan bedah pintas koroner.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T 4126
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Andriyani
"Latar belakang: Gangguan tidur pada penderita penyakit Parkinson merupakan masalah yang paling sering muncul namun jarang sekali terdeteksi. Gangguan tidur merupakan gejala non motorik dengan prevalensi 40% sampai 95% pada seluruh populasi pasien PP di dunia. Evaluasi pola tidur seharusnya menjadi bagian evaluasi rutin penyakit Parkinson. SCOPA SLEEP INA menjadi salah satu pilihan untuk mendeteksi gangguan tidur pada pasien PP dengan sensitivitas 90% dan spesifitas 88% dalam penapisan gangguan tidur.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan desain penelitian potong lintang untuk mengetahui gambaran gangguan tidur pada penderita PP dan gambaran distribusi gangguan tidur pada pasien PP pada pasien yang kontrol dan berobat di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada bulan Oktober 2020- Mei 2021. Subyek penelitian terdiri dari 25 subyek namun yang memenuhi kriteria inklusi terdiri dari 23 subyek. Dua puluh tiga subyek yang diambil data demografis, data depresi dengan mempergunakan HRDS (Hamilton Rating Deppresion Scale), SCOPA SLEEP (Scale For Outcome in Parkinson Disease – Sleep) - INA DS (day scale) dan NS (night scale). Penelitian ini dilakukan secara wawancara terpimpin dengan video virtual. Kuesioner dibagikan sebelum dilakukan wawancara terpimpin. Kemudian hasil dari kuesioner dihitung untuk melihat proporsi gangguan tidur.
Hasil: Penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan tidur pada SCOPA SLEEP – INA terdapat 7 dari 23 subyek (30,43%). Dari ketujuh subyek tersebut, didapatkan gangguan tidur NS saja sebanyak 2 orang (8,7%), gangguan tidur DS saja sebanyak 3 orang (13,04%), sedangkan yang menderita gangguan tidur NS dan DS sebanyak 2 orang (8,7%). Tidak didapat adanya perbedaan faktor demografi antara subyek gangguan tidur dan tanpa gangguan tidur. Kelompok pasien dengan gangguan tidur lebih banyak mengalami depresi dibanding subyek yang tidak memiliki gangguan tidur.
Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan subyek dengan gangguan tidur berdasarkan SCOPA SLEEP – INA secara keseluruhan terdapat 7 dari 23 subyek (30,43%). Di antara ketujuh subyek tersebut, didapatkan gangguan tidur NS sebanyak 2 orang (8,7%), gangguan tidur DS sebanyak 3 orang (13,04%), sedangkan yang menderita gangguan tidur NS dan DS sebanyak 2 orang (8,7%). Proporsi depresi pada PP yang mengalami gangguan tidur lebih tinggi daripada kelompok tanpa gangguan tidur.

Background: Sleep disturbances in patients with Parkinson's disease are the most common problems but are rarely detected. Sleep disturbance is a non-motor symptom with a prevalence of 40% to 95% in the entire population of PP patients in the world. Evaluation of sleep patterns should be part of the routine evaluation of Parkinson's disease. SCOPA SLEEP INA is an option for detecting sleep disturbances in PP patients with a sensitivity of 90% and a specificity of 88% in screening for sleep disorders.
Research method: This study was conducted in a cross-sectional design to determine the description of sleep disorders in PP patients and the distribution description of sleep disorders in PP patients in patients who control and seek treatment at the Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital in October 2020-May 2021. Research subjects consisted of 25 subjects but who met the inclusion criteria consisted of 23 subjects. Twenty-three subjects were taken demographic data, depression data using HRDS (Hamilton Rating Depression Scale), SCOPA SLEEP (Scale For Outcome in Parkinson's Disease – Sleep) - INA DS (day scale) and NS (night scale). This research was conducted by means of guided interviews with virtual videos. Questionnaires were distributed prior to the guided interview. Then the results of the questionnaire were calculated to see the proportion of sleep disorders.
Results: This study found that subjects with sleep disorders in SCOPA SLEEP – INA were 7 of 23 subjects (30.43%). Of the seven subjects, there were 2 people with NS sleep disorders (8.7%), 3 people with DS sleep disorders (13.04%), while 2 people with NS and DS sleep disorders (8.7%) ). There was no difference in demographic factors between subjects with sleep disorders and without sleep disorders. The group of patients with sleep disorders experienced more depression than subjects who did not have sleep disorders.
Conclusion: In this study, the subjects with sleep disorders based on SCOPA SLEEP – INA were 7 out of 23 subjects (30.43%). Among the seven subjects, there were 2 people with NS sleep disorders (8.7%), 3 people with DS sleep disorders (13.04%), while 2 people with NS and DS sleep disorders (8.7%). The proportion of depression in PP with sleep disturbances was higher than in the group without sleep disorders.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>