Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160190 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rikarni
"Latar Belakang: Sindrom antifosfolipid (antiphospholipid syndrome = APS) merupakan penyakit autoimun dengan gejala trombosis vena atau arteri, kematian janin berulang, dan peningkatan kadar antibodi antifosfolipid yang persisten. Sindrom antifosfolipid merupakan faktor risiko didapat yang paling sering dihubungkan dengan trombosis. Sampai saat ini efek antibodi anti-?2GP1 pada sistem koagulasi, antikoagulan alamiah dan sistem fibrinolisis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisis efek imunoglobulin (Ig)G dan IgM anti-beta-2 glikoprotein-1(?2GP1) terhadap ekspresi messenger RNA (mRNA) tissue factor (TF), mRNA trombomodulin (TM), dan mRNA plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) pada endotel.
Metode: Studi eksperimental dengan memajankan antibodi anti-?2GP1 pada human umbilical vein endothelial cells (HUVEC). Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo/ Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sampel adalah IgG anti-?2GP1 dan IgM anti-?2GP1 dipurifikasi dari 6 pasien sindrom antifosfolipid. Kontrol adalah IgG dan IgM yang dipurifikasi dari orang sehat. HUVEC dipajan dengan IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG orang sehat, IgM orang sehat selama 4 jam. Pengukuran ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 dilakukan sebelum dan sesudah pemajanan dengan metode real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Hasil: Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan dengan IgG anti-?2GP1 adalah (3,14 ± 0,93)-, (0,31 ± 0,13)-, (5,33 ± 2,75)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan dengan IgG orang sehat. Ekspresi relatif mRNA TF, mRNA TM, dan mRNA PAI-1 pada HUVEC yang dipajan IgM anti-?2GP1 adalah (4,33 ± 1,98)-, (0,33 ± 0,22)-, (5,47 ± 2.64)-kali dibandingkan pada HUVEC yang dipajan IgM orang sehat. Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgG anti-?2GP1, memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,09 ± 0,76 berbanding 3,14 ± 0,93, p = 0,003), mRNA TM (0,91 ± 0,11 berbanding 0,31 ± 0,13, p = 0,001), dan mRNA PAI-1 (0,93 ± 0,13 berbanding 5,33 ± 2,75, p = 0,013). Hasil analisis statistik, sebelum dan sesudah pemajanan HUVEC dengan IgM anti-?2GP1 memperlihatkan perbedaan bermakna ekspresi relatif mRNA TF (1,03 ± 0,11 berbanding 4,33 ± 1,98, p = 0,008), mRNA TM (0,93 ± 0,08 berbanding 0,33 ± 0,22, p = 0,003), dan mRNA PAI-1 (1,02 ± 0,10 berbanding 5,47 ± 2,64, p = 0,01).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terbukti bahwa IgG anti-?2GP1 dan IgM anti- ?2GP1 mempunyai efek protrombotik pada sel endotel dengan meningkatkan mRNA TF dan mRNA PAI-1, serta menurunkan mRNA trombomodulin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa mekanisme trombosis pada APS dapat terjadi melalui peningkatan aktivasi koagulasi, penurunan aktivitas fibrinolisis dan penurunan aktivitas antikoagulan.

Background: Antiphospholipid syndrome (APS) is an autoimmune disorder characterized by venous or arterial thrombosis, recurrent pregnancy morbidity and the presence of persistent antiphospholipid antibodies. The antiphospholipid syndrome is the most common acquired risk factor of thrombosis. Until now, the effect of anti-?2GP1 antibodies on coagulation system, natural anticoagulant and fibrinolytic`system has not been completely understood.
Objectives: To analyse the effects of IgG and IgM anti-beta-2 glycoprotein-1 (anti-?2GP1) on the expression of tissue factor (TF), thrombomodulin (TM), and plasminogen activator inhibitor-1(PAI-1) of endothelial cells in the messenger RNA level.
Methods: Experimental study in human umbilical vein endothelial cells (HUVEC) was done at Cipto Mangunkusumo Hospital/ Faculty of Medicine, Universitas Indonesia. Samples are purified immunoglobulin(Ig)G anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 from six APS patients serum. For controls, purified IgG and IgM from normal human serum (IgG-NHS and IgM-NHS) were used. HUVEC were treated with purified IgG anti-?2GP1, IgM anti-?2GP1, IgG-NHS, IgM-NHS for four hours of incubation. We measured TF, TM, and PAI-1 of HUVEC in mRNA relative expression levels (before and after treatment) by real time reverse transcription polymerase chain reaction.
Results: The mean value of TF, TM, and PAI-1 mRNA levels in HUVEC after treated with IgG anti-?2GP1 compared to Ig-NHS were (3.14 ± 0.93)-, (0.31 ± 0.13)-, (5.33 ± 2.75)-fold respectively. On the other hand, after treated with IgM anti-?2GP1 compared to IgM-NHS, mRNA levels of TF, TM, and PAI-1 were (4.33 ± 1.98)-, (0.33 ± 0.22)-, (5.47 ± 2.64)-fold respectively. Before and after treatment with IgG anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.09 ± 0.76 versus 3.14 ± 0.93, p = 0.003), TM mRNA levels (0.91 ± 0.11 versus 0.31 ± 0.13, p = 0.001), and PAI-1 mRNA levels (0.93 ± 0.13 versus 5.33 ± 2.75, p = 0.013). Before and after treatment with IgM anti-?2GP1, this study showed significant differences of TF mRNA levels (1.03 ± 0.11 versus 4.33 ± 1.98, p = 0.008), TM mRNA levels (0.93 ± 0.08 versus 0.33 ± 0.22, p = 0.003), and PAI-1 mRNA levels (1.02 ± 0.10 versus 5.47 ± 2.64, p = 0.01).
Conclusion: This study has proven that IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 increase TF and PAI-1 mRNA levels in endothelial cells. However, IgG anti-?2GP1 and IgM anti-?2GP1 decrease TM mRNA levels in endothelial cells. It has shown that the mechanism of thrombosis in APS occurs through coagulation activation, reduction of fibrinolysis activity, and reduction of anticoagulant activity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Yanti Anggraini
"Sepsis dikenal secara luas sebagai sindrom klinis yang merupakan hasil dari respon sistemik yang hebat terhadap infeksi dan melibatkan gangguan pada berbagai organ penderitanya Sepsis merupakan penyebab kematian tersering pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif Proses inflamasi dengan respon maladaptif terhadap proses tersebut merupakan mekanisme terjadinya disfungsi organ multipel dan kematian pada sepsis. Heparin juga diketahui dapat memodulasi proses inflamasi, namun belum banyak penelitian yang menjelaskan dosis heparin sebagai antiinflamasi. Penelitian ini ingin mengkaji lebih jauh pengaruh dosis heparin terhadap aktivasi faktor transkripsi Nuclear Factor Kappa Beta (NFkB) melalui pengukuran terhadap kadar NFkB sub unit p65 dan produksi sitokin proinflamasi Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-?) untuk memberikan dasar ilmiah mengenai penggunaan dosis heparin sebagai antiinflamasi pada pasien dengan sepsis berat. Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik dengan menggunakan sampel dari 5 orang sukarelawan sehat dan 10 orang pasien sepsis berat. Sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cells/PBMC) dari darah vena diperoleh dengan teknik Ficoll-hypaque. Fraksi non-monosit dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolasi monosit diresuspensi pada medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) yang disuplementasi dengan 10% fetal bovine serum (FBS). Sel kemudian dipaparkan dengan heparin 0.1 IU/ml (1?g/ml), 1 IU/ml (10 ?g/ml), dan 10 IU/ml (100 ?g/ml), sedangkan kontrol tidak diberi perlakuan. Setelah diinkubasi pada 37°C dan 5% CO2 selama 6 jam dan 24 jam, pelet sel diukur NFkB sedangkan supernatan diukur TNF-? dengan metode ELISA. Hasil penelitian menunjukkan kadar NFkB sub unit 65 dan produksi TNF-? pada kultur monosit pasien sepsis berat yang mendapat heparin ditemukan secara signifikan lebih rendah daripada kontrol. Heparin dosis rendah 0.1 IU/ml (1?g/ml), secara signifikan menurunkan aktivasi NF?B dan produksi TNF-? lebih besar. Penelitian ini menunjukkan bahwa heparin menghambat aktivasi NFkB sehingga menurunkan produksi sitokin TNF-?. Heparin dengan dosis rendah menunjukkan pengaruh sebagai antiinflamasi lebih besar. Hasil yang diperoleh diharapkan memberikan pemahaman baru mengenai pengaruh dosis heparin sebagai anti-inflamasi pada pasien sepsis berat.

Sepsis is a severe systemic response to infection, based on the Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) plus infection proven or clinically suspected infection, with evidence of organ failure due to hypo-perfusion. Anti-inflammatory therapy is one of the important therapeutic modality and applied potential as sepsis therapy. Inflammatory process with a maladaptive response to this process is the mechanism for the occurrence of multiple organ dysfunction and mortality in sepsis. Bacterial lipopolysaccharide binds to CD14 receptors and toll-like receptor (TLR) on the surface of monocytes and activates intracellular signal transduction involving beta-Kinase Inhibitor Kappa/IKKB that activates Nuclear Factor Kappa-Beta (NFkB) enter the nucleus and initiate transcription of RNA that encodes the production of cytokines TNF-?. Heparin has long been known as an anticoagulant, but also known to modulate the inflammatory process. This study want to examine further role of heparin as an anti-inflammatory to provide a scientific basis for the use of heparin in sepsis. Peripheral blood mononuclear cells (peripheral blood mononuclear cells/PBMC) of patients with severe sepsis obtained by Ficoll-Hypaque technique. Non-monocyte fraction of PBMC were removed using a Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolation of monocytes resuspended in Roswell Park Memorial Institute medium (RPMI) supplemented with 10% fetal bovine serum (FBS). Cells then exposed to 0.1 IU heparin (1 ?g/ml), 1 IU (10 ug/ml), and 10 IU (100 ?g/ml), whereas controls did not. After incubation at 37°C and 5% CO2 for 6 hours and 24 hours, each sample is aspirated into micro centrifuge tube and rotated at a speed of 400 g for 5 min. Cell pellet was measured for NFkB and supernatant measured for TNF-?. Both were measured by ELISA. The results showed NFkB activation and TNF-? production in cultured monocytes severe sepsis patients who received heparin found to be significantly lower than controls. Low-dose heparin 0.1 IU (1?g/ml), significantly decreased the activation of NFkB and TNF-? production a lot more. This study demonstrates how heparin interfere an inflammatory response in severe sepsis patients monocytes through interrupt NFkB activation that decrease the production of cytokines TNF-?. The results are expected to provide new insights into the role of heparin as an anti-inflammatory in patients with severe sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Januarsa Suryadi
"ABSTRAK
Tesis ini membahas perbandingan hasil dari pemeriksaan klasik aPL, dan aPS sehingga dokter, sebagai penyedia layanan kesehatan, dapat mengetahui pemeriksaan yang lebih baik dari pemeriksaan sebelumnya, yang berguna untuk menetapkan diagnosis maupun strategi penanganan selanjutnya..Penelitian ini dilakukan dengan desain potong lintang deskriptif.
Semua pasien hamil normal tidak memiliki satupun pemeriksaan klasik (LA, aCL dan anti-β2GPI) dan aPS yang positif. Dari penelitian ini, didapatkan pada pasien yang dicurigai APS tetapi memiliki hasil negatif terhadap aCL, anti- β2GPI , dan LA, ternyata sebanyak 5 (18,5%) pasien memiliki hasil positif pada pemeriksaan aPS.

ABSTRACT
This thesis discusses the comparison of the results of classical aPL and APS so the doctor, as health care providers, can know better inspection of previous examinations, which are useful to establish the diagnosis and treatment strategies. This study was a descriptive cross-sectional. All pregnant patients normally do not have any classic examination (LA, aCL and anti-β2GPI) and aPS were positive. It was found in patients with suspected APS, but has a negative result against aCL, anti- β2GPI, and LA, it turns out as many as 5 (18.5%) patients had positive results on the examination of the APS."
2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erkan, Doruk, editor
"The International Congress on Antiphospholipid Antibodies is held every three years to discuss the recent advances and future directions in Antiphospholipid Syndrome (APS). This volume collects the scientific highlights and new findings about APS that were generated from the most recent 13th congress, held in Galveston, Texas in 2010. Chapters were written by an internationally-distinguished group of scientists from the point-of-view of multiple specialty areas. Each chapter was written in a uniform and systematic basis to present the latest evidence-based research, including the basic science of APS, task force reports from the congress on controversial aspects of APS, and future directions of APS research. "
New York: Springer Science, 2012
e20420980
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
H.M. Soemarko
Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, 2006
616.36 SOE s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tutug Kinasih
"Endometriosis adalah pertumbuhan jaringan mirip endometrium di luar uterus. Jaringan ini memiliki kemampuan tertanam di berbagai tempat ektopik karena dipengaruhi sistem aktivator plasminogen yang berperan dalam proses fibrinolisis. Pada endometriosis terdapat ekspresi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) berlebih yang menyebabkan kurangnya fibrinolisis sehingga menyebabkan terbentuknya produk fibrin terdegradasi yang dapat mempengaruhi penempelan dan perkembangannya. Faktor epigenetik perubahan tingkat metilasi DNA berperan pada patogenesis endometriosis.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat metilasi gen PAI-1 dan hubungannya dengan perkembangan jaringan endometriosis ovarium dan peritoneum. Studi potong lintang ini menggunakan 13 sampel wanita endometriosis ovarium, 5 wanita endometriosis peritoneum, dan 8 wanita tanpa endometriosis. DNA dari sampel diisolasi, dilakukan konversi bisulfit, kemudian diamati tingkat metilasi DNAnya dengan metode methylation specific polymerase chain reaction (MSP). Hasilnya dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis dan uji Mann-Whitney. Terdapat perbedaan yang signifikan tingkat metilasi DNA gen PAI-1 pada ketiga kelompok sampel (p<0,05).
Penelitian ini menemukan perbedaan signifikan antara endometriosis ovarium dan peritoneum dibandingkan dengan kontrol (p=0,006 dan p = 0,003); namun tidak ada perbedaan yang signifikan pada endometriosis peritoneum dibandingkan dengan ovarium (p>0,05). Penelitian kami menunjukkan rendahnya tingkat metilasi gen PAI-1 yang dapat meningkatkan ekspresi gen PAI-1 dan hal ini disugestikan dapat berkontribusi sebagai faktor risiko endometriosis pada ovarium dan peritoneum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Kadar plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang tinggi menyebabkan penurunan aktivitas sistem fibrinolisis. Saat ini kadar PAI-1 yang tinggi diketahui merupakan faktor risiko penyakit jantung iskemik tetapi pada penderita stroke iskemik hal ini masih belum jelas. Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik. Metode Dengan menggunakan desain kasus kontrol, kami melibatkan 38 subjek penderita stroke iskemik dan 38 subjek kontrol yang memenuhi kriteria penelitian. Kadar PAI-1 diperiksa dengan metode ELISA menggunakan reagen Asserachrom PAI-1 dari Stago. Hasil Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada penderita stroke iskemik daripada subjek kontrol (21.1% vs. 7.9 % dengan OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). Analisa terhadap semua subjek yang diteliti menunjukkan adanya hubungan negatif yang lemah namun bermakna antara kadar PAI-1 dengan usia (r = - 0.4; P = 0.000). Kadar PAI-1 yang tinggi ditemukan lebih sering pada subjek berusia muda (40 ? 58 tahun) daripada subjek berusia lebih tua ( 60 ? 84 tahun) (20 vs. 9.8 %) (P = 0.004). Kesimpulan Dari hasil penelitian pendahuluan ini diduga ada hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik pada usia muda. Penelitan lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih besar diperlukan untuk memastikan keadaan ini.

Abstract
Aim Recently, increased plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) has been known a risk factor for ischemic heart disease. However, the association of increased PAI-1 level with ischemic stroke remains unclear. The aim of this study was to analyze the association of PAI-1 level with ischemic stroke. Methods By case control design we involved 38 ischemic stroke and 38 risky-matched control subjects who fulfilled the criteria. The PAI-1 level was determined by ELISA method using Asserachrom PAI-1 from Stago. Results High PAI-1 level was found more frequent in ischemic stroke subjects than in control subjects (21.1% vs. 7.9 % with OR 3.1; 95 % CI 0.757 ? 12.790). The analysis of all studied subjects showed that there was a weak negative correlation between PAI-1 level and age (r = -0.4; P = 0.000). High PAI-1 level was found more frequent in younger (40 ? 58 years old) than in the older subjects (60 ? 84 years old) (20% vs. 9.8 %) (p=0.004). Conclusion The result of this preliminary study suggested an association between PAI-1 level and ischemic stroke in younger age. Further study with larger subjects is recommended to confirm this association."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny Surjawan
"Stroke iskemik merupakan suatu disfungsi jaringan otak yang disebabkan oieh penurunan aliran darah ke otak. Penyebab tersering penurunan aliran darah ke otak adalah aterotrombosis dan emboli serebral. Untuk mencegah stroke diperlukan pengenalan dan pengendalian terhabap faktor risiko stroke. Seat ini peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor-I (PAI-I) telah dinyatakan sebagai faktor risiko penyakit jantung iskemik. Peningkatan kadar, PAI-1 telah dihubungkan dengan penurunan aktivitas sistem fibinolisis. Mengenai hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik masih belum jelas.
Pada penelitian ini ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik. Selain itu, pada penelitian ini juga ingin diketahui hubungan antara kadar PAI-1 dengan faktor risiko stroke iskemik Iainnya seperti usia, jenis kelamin, status metabolik glukosa terganggu, hipertrigliseridemia, obesitas dan hipertensi. Oleh karena keterbatasan jumlah subjek penelitian, maka kami mengawalinya dengan suatu penelitian pendahuluan. Penelitian pendahuluan ini dilakukan dengan rancangan kasus kontrol, melibatkan 38 subjek penderita stroke iskemik dan 38 subjek kontrol yang telah memerwhi kriteria penelitian. Kadar PAI-1 diperiksa dengan metode ELISA menggunakan reagen Asserachrom PAI-1 dari Stago.
Hasil penelitian menunjukkan hubungan antara kadar PAI-1 dengan stroke iskemik mempunyai nilai rasio odds sebesar 3.1, tetapi secara statistik hubungan ini tidak bermakna karena nilai 95 % interval kepercayaan adalah 0.757 - 12.790 (p = 0.103). Hasil analisis multivariat dengan regresi multipel menunjukkan adanya hubungan yang Iemah namun bermakna antara kadar PAI-i dengan usia (r = -0.2; p = 0.020), hipertensi (r = -0.2; p = 0.042) dan hipertrigliseridemia (r = 0.3; p = 0.004), tetapi tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar PM-1 dengan jenis kelamin (p = 0.616), status metabolik glukosa terganggu (p = 0.653) dan obesitas (p = 0.328). Hubungan antara kadar PAI-1 dan faktor risiko stroke Iainnya dapat digambarkan melalui persamaan berikut yaitu kadar PAI-1 = 55.4 - 0.5 x (usia) - 5.3 x (hipertensi) + 11.1 x (hipertrigliseridemia). Untuk mendapatkan kesimpulan, penelitian pendahuluan ini sebaiknya dilanjutkan dengan jumlah sampel yang cukup.

Ischemic stroke is a cerebral dysfunction caused by decreased cerebral blood flow. The main causes of decreased cerebral blood flow are atherothrombosis and cerebral emboli. In attempt on stroke prevention, risk factors of stroke should be recognized and controlled_ Recently increased plasminogen activator inhibitor--1 (PAI-1) has been established as a risk factor for ischemic heart disease. Increased PAI-1 level is associated with decreased fibrinolytic activity. The association of increased PAI-1 level with ischemic stroke remains unclear.
The aim of this study was to analyze the relationship between PAI-1 level and ischemic stroke_ In addition, the relationship between PAI-1 level and other risk factors of ischemic stroke such as age, gender, uncontrolled blood glucose, hypertriglyceridemia, obesity and hypertension, would also be analyzed. Due to the limitation of sample size, we begin with a preliminary study. This preliminary study was a case control design, involved 38 patients of ischemic stroke and 38 control subjects who fulfilled the criteria. The level of PAI-1 was determined by ELISA method using Asserachrom PAI-1 from Stago. The results indicated that the odds ratio of the relationship between PAI-1 level and ischemic stroke was 3.1, but this relationship was not statistically significant since the 95 % confidence interval was 0.757 - 12.790 (p = 0.103).
The result of multivariate analysis with multiple regression showed that there were significant weak correlation between PAM level with age (r = -0.2; p = 0.020), hypertension (r = -0.2; p = 0.042), and hypertriglyceridemia (r = 0.3; p = 0.004) but there were no correlation between PAI-1 level with gender (p = 0.616), uncontrolled blood glucose (p = 0.653), and obesity (p = 0.328). The relationship of PAI-1 level and other risk factors could be described by this formula, PAI-1 level = 55.4 - 0.5 x (age) - 5.3 x (hypertension) + 11.1 x (hypertrygliceridemia). To obtain a conclusion, this preliminary study should be continued with adequate sample size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T55745
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khomimah
"Penyandang diabetes melitus (DM) mempunyai risiko tinggi mengalami penyakit kardiovaskular (PKV), yang progresivitasnya dipercepat oleh penurunan kapasitas fibrinolisis. Penyandang DM yang berpuasa Ramadhan mengalami berbagai perubahan yang dapat memengaruhi kendali glikemik dan status fibrinolisisnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui penurunan fruktosamin dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), dengan metode kuasi eksperimental one group design self control study pada penyandang DM tipe-2 yang berpuasa Ramadhan dan berusia 40-60 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar subjek memiliki 3 faktor risiko PKV dan dengan kendali glikemik yang jelek sebelum puasa Ramadhan. Terdapat penurunan yang bermakna pada glukosa puasa plasma, tetapi tidak bermakna pada glukosa darah 2 jam setelah makan. Tidak terdapat perbedaan asupan kalori pada 18 subjek yang dianalisis. Tidak didapatkan penurunan yang bermakna pada fruktosamin serum maupun PAI-1 plasma. Kendali glikemik yang dicapai sebelum dan asupan kalori selama berpuasa Ramadhan kemungkinan merupakan faktor yang memengaruhi penurunan fruktosamin. Selain glukosa darah, faktor yang memengaruhi kadar PAI-1 plasma di antaranya adalah insulin plasma, angiotensin II, faktor pertumbuhan dan inflamasi, yang tidak diukur dalam penelitian ini.

Diabetes mellitus (DM) have a high risk of cardiovascular disease (CVD). CVD progression is accelerated by the reduction in the capacity of fibrinolysis. Persons with DM who fasting Ramadan have a variety of changes that can affect glycemic control and status of fibrinolysis. To know decreased fructosamine and plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), with the method of quasi-experimental one-group design with self-control study in type-2 diabetes who were fasting Ramadhan, and aged 40-60 years. These study showed most of the subjects had 3 risk factors for CVD and with poor glycemic control before the fasting of Ramadan. There was a significant decreased in fasting plasma glucose, but not significantly decreased in blood glucose 2 hours post meal. There was no difference in calorie intake in 18 subjects who were analyzed. There were no significant reductions in serum fructosamine and plasma PAI-1. Glycemic control achieved before and calorie intake during Ramadan fasting is possible factors that affect fructosamine decreased. In addition to blood glucose, factors that affect the levels of PAI-1 plasma including plasma insulin, angiotensin II, growth factors and inflammation, which were not measured in this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
by Rumita S. Kadarisman
"Untuk mengetahui effektivitas dan keamanan injeksi intravitreal gas Sulfur Heksaflorida (SF6) tanpa tissue Plasminogen Activator (tPA) pada perdarahan subhialoid di premakula, 5 mata dari 5 pasen dimasukkan dalam penelitian ini. Setelah parasentesis cairan akuos, 0.3 ml gas sulfur hexafluoride murni disuntikkan intravitreal dan penderita diharuskan mempertahankan posisi muka kebawah selama 5 hari.. Foto fundus dibuat pre injeksi,pada 1 hari dan 7 hari pasca injeksi. Perdarahan subhialoid bergeser pada 4/5 (80%) mata dengan lama perdarahan subhialoid kurang dari 2 minggu. Tajam penglihatan pre-operatif pada ke-lima mata adalah hitung jari, dan mengalami perbaikan pasca-operatif pada 4/5 (80%) mata dalam 3 hari sampai 7 hari.. Tajam penglihatan berkisar antara 6/20 hingga 6/6. Penyakit sistemik yang mendasari, terdiri dari hiperkoagulasi pada 1 pasien, diabetes mellitus pada 2 pasien, hipertensi pada 1 pasien dan tidak ditemukan pada 1 pasien. Komplikasi akibat tindakan tidak ditemukan pada semua mata yang diinjeksi. Sebagai kesimpulan, injeksi gas SF6 tanpa penggunaan tPA ke dalam vitreus mampu menggeser perdarahan subhialoid, bila dilakukan dalam 14 hari, dan dapat menghasilkan perbaikan tajam penglihatan yang cepat. Tindakan ini terbukti aman. (Med J Indones 2007; 16:104-7).

To assess the efficacy and safety of intravitreal injection of Sulfur Hexafluoride (SF6) gas without the use of tissue Plasminogen Activator (tPA) in premacular Subhyaloid Hemorrhage ( SHH ), 5 eyes of 5 patients with premacular SHH were enrolled. After performing paracentesis of the anterior chamber, 0.3 ml pure SF6 gas was injected through pars plana with a 30 gauge needle. Facedown position was maintained for 5 days. Subhyaloid Hemorrhage was displaced in 4/5 ( 80% ) eyes with a duration of SHH less than 2 weeks. The pre-injection visual acuity of all 5 eyes was finger counting and improved in 4/5 ( 80% ) eyes within 3 days to 7 days post-injection to 6/20 - 6/6. The underlying disease was hypercoagulation in 1 patient , diabetes mellitus in 2 patients , hypertension in 1 patient and unknown in 1 patient. No complications were encountered. In conclusion, SF6 gas injected into the vitreous without the use of tPA, can displace SHH if performed within 14 days of duration, and results in rapid visual recovery. This procedure is proven to be safe. (Med J Indones 2007; 16:104-7)."
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-2-AprJun2007-104
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>