Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 139708 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pasaribu, Decmonth Nuel
"Indonesia mempunyai masalah lingkungan hidup yang besar dalam deforestasi. Setiap tahun tutupan hutan Indonesia berkurang dengan sangat luas, baik yang sengaja maupun tidak direncanakan oleh Pemerintah. Pada pandemi COVID-19, Pemerintah mengeluarkan Program Strategis Nasional yang dapat menciptakan deforestasi dengan nama Food Estate. Food Estate adalah program pertanian pangan skala luas yang dibingkai untuk tujuan ketahanan pangan. Program ini dibentuk sebagai respons peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) yang mewaspadai kerentanan pangan dalam situasi pandemi. Permasalahannya, program pertanian pangan skala luas ini dapat dibangun di kawasan hutan. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja melandasi program ini dengan mekanisme Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Penelitian hukum ini menggunakan metode normatif yang mengkaji Food Estate berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang pangan dan kehutanan. Penelitian ini akan berfokus menganalisis Food Estate dengan menitikberatkan pada perlindungan kawasan hutan lindung dan ekosistem gambut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat permasalahan hukum dalam peraturan yang melandasi program Food Estate. Program ini tidak sejalan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di sektor kehutanan. Program ini memiliki enam masalah hukum, yakni (1) tidak memiliki urgensi karena hanya membingkai masalah ketahanan pangan dengan sempit, (2) bertentangan dengan asas-asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (3) tidak terbuka dan partisipatif karena menggunakan KLHS cepat, (4) mengalihfungsikan hutan lindung, (5) kontradiktif terhadap upaya perlindungan dan restorasi gambut dan (6) menyulitkan pertanggungjawaban hukum untuk memulihkan hutan. Penelitian ini menyarankan Pemerintah untuk mengevaluasi peraturan yang melandasi program Food Estate sehingga pertanian pangan tidak dilakukan dengan deforestasi dan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup untuk melindungi tutupan dan kualitas fungsi hutan

Indonesia has a major environmental problem with deforestation. Every year Indonesia's forest loss significantly both intentionally and unplanned by the Government. During the COVID-19 pandemic, the Government issued a National Strategic Program that can create deforestation named Food Estate. Food Estate is a large-scale agri-food program framed for food security goals. This program was formed in response to a warning from the Food and Agriculture Organization (FAO) which is aware of food vulnerability in a pandemic situation. The problem is that this large-scale food-agriculture program can be built in forest. Government Regulation Number 23 of 2021 and Minister of Environment and Forestry Regulation Number 7 of 2021 as implementing regulations for the Job Creation Law underlies this program with the Forest Area mechanism for Food Security. This research is legal research using a normative method that examines Food Estate based on food and forestry regulations. This research will focus on analyzing Food Estate with an emphasis on protecting protected forest areas and peat ecosystems. This research concludes that there are legal issues in the regulations that underlie the Food Estate program. This program is not in line with the protection and management of the environment in the forest sector. This program is problematic for six reasons, namely (1) it lacks of urgency because it frames the problem of food security narrowly, (2) it conflicts with the principles of environmental protection and management, (3) it is not transparent and participatory because it uses the “quick appraisal KLHS”, (4) converts protected forests, (5) contradicts efforts to protect and restore peat and (6) makes it difficult for legal accountability to restore forests. This research suggests the Government should evaluate regulations that support the Food Estate program so that food agriculture is not carried out by deforestation and follows the mandate of laws and regulations in the environmental sector to protect forest cover and quality function.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Mulya
"Food Estate merupakan usaha pangan skala luas yang dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan produk pangan secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu kawasan hutan. Dalam menjalankan proyek tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Permen LHK Nomor 24 Tahun 2020 yang menyatakan penyediaan kawasan hutan untuk food estate dilakukan melalui Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Dalam ketentuan tersebut, mekanisme KHKP dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 1999 dan PP No. 6 Tahun 2007 jo. UU No. 3 Tahun 2008 mengemukakan bahwa pemanfaatan hutan lindung dilakukan secara terbatas melalui kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, atau pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dalam penelitian ini metode yang digunakan yaitu yuridis normatif yang dimulai dengan menganalisis peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hutan dan tata ruang dalam pengadaan tanah untuk proyek food estate. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengaturan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung dalam perspektif penataan ruang telah mengalami perkembangan dan perubahan yang dipengaruhi oleh politik ekonomi dan politik pangan nasional. Perubahan tersebut menyebabkan melemahnya fungsi penataan rung sebagai bagian dari sistem pencegahan terhadap kerusakan kawasan hutan lindung. Selain itu, kebijakan penataan ruang tidak lagi dapat mempertahankan kriteria luas minimal kawasan hutan yang berada dalam suatu wilayah serta hilangnya mekanisme kajian lingkungan hidup strategis dalam penyusunan dan evaluasi penataan ruang. Selain itu, Pengaturan kebijakan food estate dapat melindungi kawasan hutan lindung dan sesuai dengan tata ruang jika kebijakan tersebut dilakukan dengan menggunakan instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) agar adanya perhitungan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, serta kerentanan bencana dan perubahan iklim. Pengadaan lahan untuk proyek food estate juga harus dapat mempertahankan ketentuan minimal 30% kawasan hutan yang berada dalam suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota.

Legal Analysis of Forest Protection and Spatial Planning in the Land Acquisition for Strategic Projects of National Food Estate Food Estate is a large-scale food business carried out through a series of activities to utilize natural resources by using capital, technology, and other resources to produce food products in an integrated manner, including food crops, horticulture, plantations, livestock, and fisheries in a forest estate. In carrying out this project, the Ministry of Environment and Forestry released the Ministerial Regulation of Environment and Forestry Number 24 of 2020, which stated that the provision of forest estate for food estate is carried out through Change of Forest Area Designation and Determination of Forest Estate for Food Security (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan/KHKP). In this provision, the mechanism of KHKP can be carried out in protected forest estates that are no longer fully functional in accordance with the provision of the law. This is different from the provision of Act No. 41 of 1999 and Government Regulation No.6 of 2007 jo. Act No. 3 of 2008 proposed that the utilization of protected forest is carried out in a limited manner through the utilization of the area, utilization of environment services, or collection of non-timber forest products. In this study, the method used was juridical normative, which began by analyzing the laws and regulations concerning forest protection and spatial planning in the land acquisition for food estate projects. The results of the study stated that the regulation of protected forest areas in the perspective of spatial planning has experienced development and changes influenced by political economy and national food politics. This change causes the weakening of the spatial planning function as a part of the prevention system to the damage of protected forest areas. Moreover, the policy of spatial planning is no longer able to maintain the criteria for the minimum area of forest area and the loss of mechanism of strategic environmental study in the arrangement and evaluation of spatial planning. Furthermore, the arrangement of food estate policy can protect protected forest areas and are in accordance with the spatial planning if the policy is carried out using the instrument of Strategic Environmental Study. Thus, there is a calculation of the carrying capacity and capacity of the environment, as well as the disaster vulnerability and climate change. Land acquisition for food estate projects must also be able to maintain the provision for a minimum of 30% forest area in a province area or regency/city area."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhe Rizki Mulkiana
"Amerika adalah salah satu negara yang fokus memberikan bantuan kepada negara lain. Salah satu bantuan yang diberikan Amerika adalah melalui Millennium Challenge Corporation (MCC). Bantuan MCC di Indonesia dikelola oleh Millennium Challenge Account Indonesia (MCAI) yang salah satu programnya adalah Kemakmuran Hijau. Program Kemakmuran Hijau merupakan program MCC pertama yang berfokus pada upaya mitigasi perubahan iklim. Melalui program Kemakmuran Hijau, dapat dilihat bagaimana politik lingkungan yang dimainkan oleh Amerika melalui MCC di Indonesia, serta apa kepentingan nasional yang ingin dicapai oleh Amerika di Indonesia. Penelitian ini mengambil contoh program yang dikelola oleh Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) di Lombok Utara, Lombok Timur, dan Kolaka. Penelitian ini menggunakan teori politik ekologi dari Raymond L. Bryant dan teori kepentingan nasional dengan pendekatan lingkungan dari Simon Dalby. Hasil penelitian antara lain: Pertama, politik lingkungan yang dimainkan oleh Amerika melalui MCC sangat erat kaitannya dengan konsep scientific forestry. Melalui konsep scientific forestry, Amerika ingin menekankan bahwa upaya pengelolaan lingkungan yang paling tepat adalah dengan pendekatan ilmiah dan teknologi. Hal inilah yag kemudian diajarkan oleh MCC kepada para partner dan masyarakat di Indonesia. Kedua, kepentingan MCC di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu ekonomi dan keamanan nasional. Melalui kepentingan ekonomi, MCC berusaha membantu masyarakat Indonesia agar memperoleh peningkatan pendapatan dengan cara pemberdayaan lingkungan. Sedangkan kepentingan dalam bidang keamanan dilandasi pada masalah lingkungan yang tidak mengenal batas wilayah sehingga dampaknya bisa menyebar ke negara lain. Selain itu, keamanan nasional juga erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi, yaitu untuk mencegah munculnya kelompok teroris atau separatis. Amerika percaya bahwa upaya pencegahan terorisme dapat dilakukan dengan mensejahterakan kehidupan ekonomi dari masyarakat di suatu negara. Sayangnya, pelaksanaan program MCAI Kemakmuran Hijau belum diiringi dengan kesiapan pihak MCC dan MCAI dalam mengawal pelaksanaan programnya. Sehingga hasil program Kemakmuran Hijau bisa dikatakan menjadi kurang maksimal dalam membantu pemberdayaan lingkungan sekaligus pemberdayaan masyarakat.  

America is one of the countries that focus on providing assistances to other countries. One of the assistance provided by America is through the Millennium Challenge Corporation (MCC). In Indonesia, MCC is managed by the Millennium Challenge Account Indonesia (MCAI), and one of its programs is Green Prosperity. The Green Prosperity Program is the first MCC program to focus on climate change mitigation effort. Through the Green Prosperity program, it can be seen how environmental politics is played by America through the MCC in Indonesia, and what national interests America wants to achieve in Indonesia. This study takes the example of a program managed by a Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) in North Lombok, East Lombok, and Kolaka. This research uses the theory of political ecology from Raymond L. Bryant and the theory of national interests with the environmental approach of Simon Dalby. The results of the study include: First, environmental politics played by America through the MCC is very closely related to the concept of scientific forestry. Through the concept of scientific forestry, America wants to emphasize that the most appropriate environmental management efforts are through scientific and technological approaches. MCC then taught this system to the partners and communities in Indonesia. Second, the interests of MCC in Indonesia can be divided into two main categories, which are the economic and national security. Through economic interests, MCC seeks to help the people of Indonesia to increase their income by improving the environment. On the other hand, the interests in the security sector are based on the idea that the environmental issues that know no boundaries may spread and affect national security of other countries. In addition, national security is also closely related to economic interests, which is to prevent the emergence of terrorist or separatist groups. America believes that counter-terrorism act can be done by prospering the economic life of the people in a country. Unfortunately, the implementation of the MCAI Green Prosperity program is not accompanied by the readiness of the MCC and MCAI in overseeing their programs. As a result, the Green Prosperity program is less than optimal in helping environmental and community empowerment."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasichatun Asca
"Kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup dalam pengelolaan B3 harus direncanakan dengan cermat karena merupakan bagian dari proses pembangunan industrialisasi. UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Dalam UUPLH, mengenai pengelolaan Limbah B3 diatur dalam pasal 17 dan pasal 21.
Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengelolaan B3, antara lain PP No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah B3. PP No.19/1994 merupakan jawaban pertama Pemerintah dalam upaya untuk memberikan pedoman peraturan yang dapat diterapkan oleh para pelaku usaha atau dunia industri yang berhubungan langsung dengan lingkungan terutama dengan limbah B3 lain. PP No. 19 Tahun 1994 dengan perangkat hukum yang dimaksudkan untuk mendorong industri penghasil limbah B3 agar meminimalisasi jumlah limbah B3, PP ini kemudian digantikan dengan PP No. 12 Th 1995 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti lagi dengan PP No. 18 Th 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, kemudian dirubah dengan PP No. 85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, diganti dengan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Ada banyak perubahan yang dalam PP yang baru ini, antara lain mengenai istilah, tidak lagi dengan istilah limbah tetapi langsung dengan penyebutan Bahan Berbahaya dan Beracun dan diijinkan kegiatan ekspor dan impor B3.
Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan lalu lintas batas limbah, dengan dasar ratifikasi Konvensi Basel, yang bertujuan mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara tidak sah, antara lain: Keputusan Presiden RI No. 61/1993 tentang Pengesahan Convention on The Control of Trans-boundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/X/f92 tentang Pelarangan Limbah B3 dan Plastik, Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 155/Kp/VII/95 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Import dan Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 156/Kp/VII/95 tentang Prosedur Impor Limbah.
Penegakan hukum dalam masalah B3, berkaitan erat dengan kemampuan aparat dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana administrasi, kepidanaan dan keperdataan. Aparat penegak hukum lingkungan adalah: Polisi; Jaksa; Hakim; dan Pejabat/Instansi yang berwenang memberi izin; serta Penasihat Hukum. Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung. Instrumen bagi
penegakan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan. Penegakan hukum yang bersifat represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan. Penegakan hukum secara pidana umulnnya selalu mengikuti pelanggaran peraturan dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Penegakan hukum lingkungan keperdataan hendaklah dibedakan dari upaya penyelesaian sengketa dengan cara gugatan lingkungan. Untuk memperoleh ganti kerugian bagi korban pencemaran akibat perbuatan melawan hukum oleh pencemar, karena sifatnya individual. Gugatan perdata yang dimaksud dalam penegakan hukum lingkungan dilakukan oleh penguasa apabila sarana penegakan hukum administratif kurang memadai.
Sarana yang dipergunakan dalam upaya penegakan hukum lingkungan meliputi: sarana administrasi; pidana dan Perdata. Sarana administrasi bersifat preventif dan tujuannya sebagai penegakan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan. Dalam sarana administrasi ini dapat diterapkan konsep "Pollution Prevention Pays" terhadap perusahaan dalam proses produksinya. Sanksi administrasi memiliki fungsi instrumental, yaitu untuk mengendalikan perbuatan terlarang, juga sebagai perlindungan kepentingan yang dijaga dengan ketentuan tersebut. Bentuk administrasi ini antara lain: Paksaan Pemerintah atau tindakan paksa, Uang paksa, Penutupan tempat usaha, Penghentian kegiatan mesin perusahaan, Pencabutan izin melalui proses, teguran, paksaan pemerintah, penutupan dan uang paksa. Sarana Kepidanaan, dalam delik lingkungan diatur dalam Pasal 41 s.d 48 UUPLH yang menyangkut penyiapan alat-alat bukti serta penentuan hubungan kausal antara pencemar dan yang tercemar. Tata caranya dalam beberapa pasal tersebut tunduk terhadap UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sarana Keperdataan, dalam hal ini yang dimaksud adalah penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-¬undangan lingkungan, terdapat kemungkinan beracara singkat bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan dengan uang paksa ("injuction"). Gugatan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan atas dasar Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 35 PP No. 74 Tahun 2001, dapat dilakukan baik melalui cara berperkara di pengadilan atau melalui media penyelesaian sengketa lingkungan.
Mengenai hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan B3 meliputi: Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat dan hak untuk berperan serta dalam pengelolaan B3. Hak masyarakat atas hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup. Dalam UUPLH No. 23 Tahun 1997 Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat." Peran serta masyarakat dalam pengelolaan limbah B3 lebih diutamakan dalam hal prosedur penerapan peraturan. Peran serta
masyarakat dalam pengelolaan B3 tersebut selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, juga dapat mereduksi kemungkinan terjadinya konflik. Peran serta masyarakat dapat efektif dan berdaya guna, apabila kepastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya, adanya Informasi lintas batas dan informasi tepat waktu. Pasal 35 PP No. 74 Tabun 2001 tentang Pengelolaan B3, menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3 ini sedangkan dalam Pasal 36 PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3, disebutkan setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T19184
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McDermott, Constance
"Market globalization and the globalization of environmental concerns have spurred demand for greater international accountability for forest stewardship. This book provides a detailed and systematic comparison of environmental forest policies and enforcement in twenty countries worldwide, covering developed, transition and developing economies."
London ; Washington, DC: Earthscan, 2010
333.75 MCD g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tamara Puspadianti
"ABSTRAK
Penghitungan estimasi potensi cadangan karbon pada vegetasi tegakan pancang telah dilakukan pada tahun 2017 di tiga zona Hutan Kota Universitas Indonesia UI, zona Wallace Timur, zona Wallace Barat, dan zona Vegetasi Alami. Penelitian bertujuan untuk mengestimasi jumlah cadangan karbon terkini pada tahun 2017 yang terkandung pada tegakan pancang di Hutan Kota UI dan mengestimasi jenis tumbuhan pada tegakan pancang yang memiliki potensi cadangan karbon tertinggi di Hutan Kota UI. Penelitian dilakukan dengan metode non-destructive sampling menggunakan persamaan alometrik, yaitu berdasarkan pengukuran diameter at breast height DBH pada tegakan pancang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan plot berukuran 5 m x 5 m sebanyak 75 plot yang tersebar di tiga zona penelitian dengan masing-masing sejumlah 25 plot. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa potensi cadangan karbon pada tegakan pancang di Hutan Kota UI sebesar 23,02 ton/ha. Potensi cadangan karbon pada tegakan pancang yang tertinggi berada pada Zona Vegetasi Alami sebesar 8,67 ton/ha. Potensi cadangan karbon pada tegakan pancang di zona Wallace Timur sebesar 8,05 ton/ha dan zona Wallace Barat sebesar 6,30 ton/ha. Jenis tumbuhan dengan rata-rata nilai cadangan karbon tertinggi, yaitu Merbau Intsia bijuga sebesar 0,296 ton/ha.

ABSTRACT
Estimation of carbon stocks at stake stands vegetation has been conducted in 2017 in three Universitas Indonesia UI Urban Forest zones, East Wallace zone, West Wallace zone, and Natural Vegetation zone. The study aims to estimate the current amount of carbon reserves in 2017 contained in stake stands vegetation in UI Urban Forest and estimate plant species on stake stands that have the highest carbon stock potential in UI Urban Forest. The study was conducted by non destructive methods using allometric equations based on calculating stake stands diameter at breast height. The study used plot sized 5 m x 5 m as much as 75 and spread over the three zones, each zones have 25 plot. The results shows that the potential of carbon stocks in UI Urban Forest is 23.02 ton ha. Zones with the highest potential for above ground carbon stocks at stake stands is in the Natural Vegetation zone with a carbon stocks of 8,67 ton ha. The potential for above ground carbon stocks at stake stands in East Wallace zone is 8,02 ton ha and Western Wallace zone is 6,30 ton ha. The species with the highest average carbon stock potential, namely Merbau Intsia bijuga of 0,296 ton ha. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Joko Subagyo
Jakarta: Rineka Cipta, 2002
344.046 JOK h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Supriadi
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
344.046 SUP h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1989
344.046 IND l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanus Munadjat Danusaputro
Jakarta: Binacipta, 1984
344.046 MUN b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>