Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146980 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panji Arief Sumirat
"Gerakan sosial memanfaatkan media digital untuk bersuara dan menggalang dukungan publik. Salah satu gerakan sosial di Indonesia yang aktif menggunakan media sosialnya adalah Wadas Melawan. Wadas Melawan adalah gerakan akar rumput yang lahir karena adanya konflik lahan antara masyarakat Desa Wadas dengan pemerintah. Mengacu pada konsep digital repertoire of contention, penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana bentuk-bentuk repertoar digital yang dilancarkan masyarakat dan aktivis Wadas Melawan. Repertoar diartikan sebagai serangkaian taktik gerakan sosial yang digunakan untuk bertindak secara kolektif guna mencapai tujuannya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode netnografi untuk mengeksplorasi fenomena budaya dalam konteks daring. Penelitian ini mengungkap repertoar digital Wadas Melawan tidak terlepas dari aksi tradisional serta komunikasi tatap muka peserta aksi. Media sosial memfasilitasi aksi-aksi untuk memobilisasi pesan dan massa. Eskalasi atensi publik terhadap Wadas Melawan terjadi sebanyak tiga kali, salah satunya ketika kerusuhan masyarakat dengan aparat kepolisian terjadi di Desa Wadas. Selama lima tahun berjalan, aktivisme digital Wadas Melawan tidak sepenuhnya mulus karena adanya hambatan-hambatan yang memengaruhi aktivitas di dunia maya.

Social movements use digital media to raise their voice and gather public support. One of the social movements in Indonesia that actively uses social media is Wadas Melawan. Wadas Melawan is a grassroots movement that was born due to a land conflict between the people of Wadas Village and the government. Referring to the concept of digital repertoire of contention, this research aims to see the forms of digital repertoire launched by the community and activists of Wadas Melawan. Repertoire is defined as a set of tactics a social movement uses to act collectively to achieve its goals. This research is a qualitative research using netnography methods to explore cultural phenomena in an online context. This research reveals that Wadas Melawan digital repertoire is inseparable from traditional actions and face-to-face communication between participants. Social media facilitates actions to mobilize messages and mass. Escalation of public attention towards Wadas Melawan occurred three times, one of which was when community riots with the police occurred in Wadas Village. During the five years that have been running, Wadas Melawan digital activism has not been completely smooth due to obstacles that have affected activities in cyberspace."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rezqi
"Pertukaran data secara peer-to-peer telah berhasil mendapatkan popularitas dengan cepat terutama di industri pengiriman media digital seperti musik dan video. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bandwidth untuk jaringan peer-to-peer mencapai 60% dari total lalu lintas internet. Meningkatnya penggunaan aplikasi peer-to-peer, mengakibatkan dependensi antara peer di dalam sistem. Satu peer saja yang hilang atau mati bisa mengakibatkan kegagalan bagi peer-peer lainnya karena data yang ada di peer tersebut ikut hilang. Penelitian ini bertujuan mengembangkan strategi replikasi dan pencarian dokumen yang memanfaatkan konsep lokalitas dan popularitas dokumen. Dokumen-dokumen populer yang dimiliki oleh suatu peer dibuat replikanya ke peer lain yang memiliki kemiripan koleksi dengan peer tersebut. Penulis melaksanakan simulasi untuk menguji strategi yang diusulkan dengan memodifikasi simulator untuk locality-aware peer-to-peer system yang telah dikembangkan sebelumnya oleh peneliti lain (Hamzah, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi yang diusulkan penulis menunjukkan peningkatan performa dibandingkan dengan strategi lain yang merepresentasikan bentuk default dari strategi server-side replication dan client-side replication. Penelitian juga menunjukkan bahwa strategi ini menunjukkan performa yang baik di situasi dimana sebaran query lebih diutamakan untuk dokumen yang populer dan sesuai dengan specialty dari peer yang menginisiasi query.

Peer-to-peer system has achieved a huge popularity, especially in the digital media industry. Research has shown that 60% of the bandwidth usage in the internet is accumulated by peer-to-peer system. With the increasing usage and demand of peer-to-peer system, comes a high dependency between user or peer in the system. Even one dead peer could cause a failure to many other peers because the dead peer took along all of its data with it. This research aims to develop a search and replication strategy that utilize the concept of locality and document popularity. A popular document that is owned by a peer will be replicated to other peer that share some similarity with the original peer's document collection. A simulation is done by modifying an existing simulator made by another researcher in the field of locality-aware peer-to-peer system (Hamzah, 2007). The result is that the strategy proposed by this research have shown improvement in performance compared to the other strategy that is supposed to represent server-side replication and client-side replication in its default form. This research has also shown that the strategy proposed performed better in a situation where the query prioritize documents with better popularity and have the same topic as the peer's specialty."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2013
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Ismail
"Sejak dekade terakhir, aksi gerakan sosial kian marak terjadi. Namun, yang unik adalah gerakan tersebut dilakukan dengan mengadopsi teknologi internet. Seperti apa yang terjadi di Mesir keruntuhan rezim Husni Mubarak, Gerakan antiwallstreet yang terjadi di Eropa dan Amerika, serta gerakan koin untuk Prita dan gerakan 1 juta facebookers mendukung pembebasan ketua KPK Bibit-Chandra. Hal itu menunjukkan bahwa gejala tersebut bukan hanya tentang inovasi teknologi internet semata, tetapi ini tentang masyarakat sipil dalam melakukan aktivisme. Inilah yang kemudian Hajal (2001) sebut bahwa lahirnya teknologi internet merupakan penemuan kembali masyarakat sipil. Namun bagi Nugroho (2011) gerakan yang dilakukan mengadopsi internet telah melahirkan apa yang disebut sebagai click aktivisme. Juga bagi Faisal (2008) gerakan yang dilakukan di internet hanya sekedar perlawanan simbolik semata. Tetapi apakah gerakan sosial yang dilakukan di internet hanya sebatas click aktivisme atau hanya sekedar perlawanan simbolik semata, atau bahkan bisa melampaui hal tersebut? Kasus dalam penelitian ini adalah Gerakan Akademi Berbagi yang berbasis di internet khususnya sosial media. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode connective ethnography, dan dilakukan selama 5 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan Gerakan Akademi Berbagi merupakan salahsatu bentuk manifestasi lahirnya masyarakat sipil. Gerakan yang mengombinasikan online dan offline telah memberikan konteks, validasi dan keterikatan partisipasi lebih oleh para relawan dalam melakukan gerakan sosial, sehingga melahirkan apa yang disebut "online social movements". Hal ini juga melengkapi konsep yang Nugroho (2011) sebut sebagai "click activism", dengan kasus gerakan yang diangkat dalam penelitian ini, gerakan sosial yang dilakukan di internet melebihi apa yang disebut dengan click activism, dan volunterism yang dilakukan lebih dari sekadar terlibat pada gerakan online, tetapi volunterism ini juga dilakukan dalam konteks offline, sehingga gerakan ini tidak hanya sekadar "click" tetapi juga melibatkan ruang real dalam melakukan gerakan.

Social movement happened intensively since the last decade which its uniqueness is done by internet technology - for example, in the case of Husni Mubarak's regime collapse at Egypt, anti-Wall Street movement at Europe and America, "Koin untuk Prita" and other movement such as one million support of facebook user for Bibit-Chandra of KPK at Indonesia. What happened actually is not just about the innovation of internet technology "itself" - further more, it's about the civil activity that according to Hajal (2001) is the re-discovery of the civil society through internet technology. But to Nugroho (2011), internet adopting movement based gave birth to click aktivisme - also to Faisal (2008); internet movement is just a fighting symbol. Can it move further and over these opinions? Gerakan Akademi Berbagi which based their movement in internet -social media specifically- is the case for this thesis with the use of connective ethnography method for 5 months of research.
The result described that Gerakan Akademi Berbagi is one of wide manifestation that raised the civil society by combining online and offline which contributes context, validation, and bond in participation for its volunteers that gave birth to what it called as "online social movements". This completes Nugroho's concept of "click activism" (2011) because it moved more than just in and an online movement - this offline context based volunterism activity is not just about "click", but it involved and moved the real space as well.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30007
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M Sbastian Rai
"Rencana penambangan batu Andesit di Desa Wadas untuk Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener mendapat penolakan dari warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Penolakan didasarkan pada dampak buruk yang berpotensi membawa kerugian sosial, ekonomi, dan ekologis. Penolakan ini berujung pada konflik berkepanjangan. Sebagai akibatnya, warga Wadas menghadapi berbagai represivitas yang mengancam hak mereka dan lingkungannya. Dalam mempertahankan penolakan ini, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan aktivisme digital dengan memanfaatkan berbagai media sosial sebagai wujud resistensi. Salah satunya, melalui akun Twitter (@Wadas_Melawan), GEMPADEWA mempublikasikan berbagai postingan yang menginformasikan tujuan, perkembangan, dan dinamika resistensi yang mereka lakukan. Tulisan ini, menggunakan pendekatan Kriminologi Visual, bertujuan untuk mencermati visualitas yang diperlihatkan dalam publikasi-publikasi visual (berupa foto dan video) oleh GEMPADEWA. Tulisan ini juga dikonstruksi melalui pandangan Viktimologi Hijau. Dengan demikian, visualitas yang dicermati berkaitan dengan resistensi korban-penyintas kejahatan lingkungan terhadap represi dan viktimisasi lingkungan. Penelitian ini menunjukkan bahwa publikasi visual melalui Twitter dapat memediasi aktivisme digital GEMPADEWA yang memberikan visualitas yang kuat mengenai resistensi terhadap viktimisasi lingkungan. Visualitas resistensi yang ada dapat memperlihatkan dan memperluas cara melihat bentuk-bentuk represi dan viktimisasi lingkungan terhadap warga Wadas.

The Indonesian government plans to open an andesite mining in Wadas Village, Purworejo, Central Java, as a part of the national strategic project called the Dam of Bener. However, this plan was challenged by some residents since this project holds several negative impacts on social, economic, and ecology. This challenge led to a prolonged conflict where Wadas residents faced various repressive measures threatening their rights and environment. In maintaining this resistance, the local environmental activist Gerakan Masyarakata Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) has carried out digital activism by utilizing various social media as a form of resistance. One of them, through their Twitter account (@Wadas_Melawan), GEMPADEWA publishes various posts informing their goals and the dynamics of their resistance. Using the Visual Criminology and Green Victimology approach aims to examine the visuality shown in visual publications (photos and videos) by GEMPADEWA. Thus, the visuality examined is related to the resistance of victims of environmental crimes to environmental victimization. This research shows that visual publications through Twitter enable to mediate GEMPADEWA’s digital activism which provides a powerful visualization of resistance to environmental victimization. Visualizing existing resistance can provide us with widened ways of seeing forms of environmental victimization towards local people."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nando Yussele Mardika
"ABSTRAK

Civil society adalah kelompok-kelompok non-negara yang berkepentingan untuk menghadapi hegemoni negara yang diwarnai oleh kontrol negara terhadap hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Penelitian ini meneliti salah satu kelompok civil society yaitu organisasi kepemudaan. Secara keseluruhan penelitian ini akan disajikan dengan analisis diskriptif, yang bertujuan melukiskan secara sistematis hasil penelitian. Kesimpulan penelitian ini menunjukan radikalisme Islam, dengan ciri fanatisme terhadapa ajaran Islam, dan mengenyampingkan sisi kemanusiaan ajaran Islam sehingga muncul sebutan murtad terhadap sesama pemeluk agama Islam. Kedua, menyatakan selain agama Islam harus ditiadakan, dimulai dengan pebuatan yang didasari oleh prasangka buruk terhadap keimanan orang lain, berujung pada intoleransi yang bisa disebut (hate crime). Ketiga, dalam konteks negara, radikalisme Islam adalah keinginan untuk merubah bentuk negara dari sistem demokrasi menjadi sistem Khilafa, dengan tindakan melawan hukum, berhadapan dengan, civil society yang memiliki ciri, pertama terdapat ruang publik yang luas, menguatkan kedua demokrasi, ketiga menguatkan toleransi, dan terakhir keadilan sosial. kemudian organisasi kepemudaan yang diteliti menyebut bahwa media sosial menjadi alat untuk melakukan penyebaran radikalisme Islam, rekrutmen, dan pendidikan anggota, namun dalam praktik gerakan melawan radikalisme, civil society, belum melakukan gerakan yang benar-benar massif, kegiatan yang dilakukan seputar penyuluhan dan sosialisasi. Sehingga belum menunjukan keseriusan dalam menangkal radikalisme Islam di media sosial. 


ABSTRACT

 


Civil society is non-state groups with an interest in dealing with state hegemony which is characterized by state control over almost all aspects of people's lives. This study examines one of the civil society groups, namely youth organizations. Overall this research will be presented with descriptive analysis, which aims to systematically describe the results of research. The conclusions of this study show Islamic radicalism, with the fanaticism characteristic of Islamic teachings, and exclude the humanitarian side of Islamic teachings so that the apostate designation appears to fellow Muslims. Secondly, stating that apart from Islam, it must be abolished, starting with an act based on bad prejudice against the faith of others, leading to a hate crime. Third, in the context of the country, Islamic radicalism is the desire to change the shape of the state from a democratic system into a Khilafa system, against unlawful action, dealing with, civil society that has the characteristics, first there is broad public space, strengthening both democracies, third reinforcing tolerance, and finally social justice. then the youth organizations studied said that social media became a tool for disseminating Islamic radicalism, recruitment, and member education, but in the practice of movements against radicalism, civil society, had not carried out a truly massive movement, activities carried out around counseling and socialization. So that it has not shown seriousness in counteracting Islamic radicalism on social media.

 

"
2019
T53525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Schramm, Wilbur
Stanford: Stanford University Press , 1964
301.243 SCH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Schramm, Wilbur
Stanford: Stanford Universuty Press, 1967
301.243 SCH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Schramm, Wilbur
Stanford: Stanford Universuty Press, 1965
301.243 SCH m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Maharatun Faikoh
"Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Di Indonesia, sebagai negara berkembang saat ini mengalami peningkatan dalam hal jumlah pengguna internet, jumlah perangkat seluler yang digunakan, dan langganan broadband, tetapi dengan adanya pembangunan wilayah yang tidak merata, ketidaksetaraan geografis, masih terdapat kesenjangan digital yang mencolok di dalam dan antar kabupaten. Tujuan dari studi ini adalah membangun kerangka konseptual kesenjangan digital untuk 514 kabupaten di Indonesia dengan mengeksplorasi pengaruh dari kesenjangan spasial. Metode yang digunakan adalah Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) dengan fungsi kernel adaptive Gaussian untuk analisis di setiap daerah dan Two-stage Least Square (TSLS) untuk menjelaskan hubungan kausal satu arah antara kesenjangan digital dan kesenjangan spasial. Hasil analisis menggunakan GWPR dan TSLS menunjukkan bahwa kesenjangan spasial berhubungan dengan kesenjangan digital. Namun, pengaruh dari kesenjangan spasial tersebut berbeda-beda di setiap kabupaten di Indonesia.

At the present, the development of Information and Communication Technologies (ICTs) has become a vital part of human life. In Indonesia, as a developing country that is currently growing in terms of the number of internet users, mobile devices in use, and broadband subscriptions, but that has experienced unequal regional development, geographic inequalities and it has notable digital divide within and between districts. The aim of this study is to build a conceptual framework of digital divides for 514 districts in Indonesia by exploring the effects of spatial inequalities. The method used was Geographically Weighted Panel Regression (GWPR) with Gaussian adaptive kernel function for cluster analysis and Two-stage Least Square (TSLS) to explain the one-way causal relationship between digital divide and spatial inequalities. The result of analysis using both GWPR and TSLS indicates that spatial inequalities are associated with the digital divides. Nevertheless, the effect of spatial inequalities varies by districts in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Deviatika
"Skripsi ini bertujuan untuk melihat bagaimana aksi repertoar digital berperan dalam membentuk sebuah aksi gerakan sosial beserta strateginya dalam kasus Candlelight Movements tahun 2008 di Korea Selatan. Menurut Charles Tilly sebuah gerakan sosial membutuhkan aksi repertoar yang menekankan kepada inovasi-inovasi strategi. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, aksi repertoar turut mengembangkan strateginya kepada pemanfaatan media-media internet. Strategi yang tergolong inovatif tersebut tepat dilakukan di Korea Selatan sebagaimana negara tersebut menduduki peringkat tertinggi dunia dalam angka penggunaan internet diawal tahun 2000-an. Kasus Candlelight Movements tahun 2008 ini dianalisa melalui teori aksi repertoar digital (digitalized action repertoires). Teori aksi repertoar digital yang digagas oleh Jeroen Van Laer dan Peter Van Aelst memercayai bahwa kehadiran media internet memudahkan pelaksanaan aksi dalam segi pembagian informasi dan mobilisasi.
Untuk melakukan penelitian ini, digunakan metode kualitatif dengan jenis pendekatan studi kasus. Berdasarkan konsep aksi repertoar digital, Candlelight Movements tahun 2008 digolongkan sebagai gerakan sosial yang didukung penuh oleh media internet (internet-supported). Rangkaian strategi dalam tahap sebelum melaksanakan aksi tersebut menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Aksi repertoar digital berimplikasi kepada partisipan dari Candlelight Movements tahun 2008 yang beragam dan terbesar sepanjang sejarah Korea Selatan. Serta, menggambarkan komitmen masyarakat sipil yang cukup tinggi atas keikutsertaan mereka dalam proses politik di Korea Selatan. 

This paper aims to assess how digitalized action repertoires has helped in shaping social movement and its strategies in the case of South Koreas Candlelight Movements in 2008. Charles Tilly suggests a notion of repertoires of action, which means social movement needs of innovative sets of strategies. In this digital age, the repertoires of action expanded it strategies into the role of internet media. Such innovative strategies was perfectly in line with South Koreas internet traffic ranking as the highest in the world in the early 2000s. The 2008s Candlelight Movements would be analysed through digitalized action repertoires theory proposed by Jeroen Van Laer dan Peter Van Aelst. Both theorists believe that the present of internet media would help the society to build relations, mobilizations, and collecting informations. In the end, the relations that were built on the internet would easily shape the movement.
This research was conducted by using a qualitative method and a case study approach. According to the theory, the 2008s Candlelight Movement can be classified as social movement which was entirely internet supported. The digitalized action repertoires which happened before the movement showed the high threshold of peoples participation in political process in South Korea. It also impacted the Candlelight Movements to became the biggest and longest movement in the history of South Koreas democracy. 
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>