Ditemukan 78167 dokumen yang sesuai dengan query
Aura Galuh Aiyesa
"Studi ini melihat bahwa prekaritas kerja pada produksi film panjang dan iklan di Indonesia mendorong para pekerja ke dalam fenomena flexploitation. Dalam studi ini, konsep flexploitation merujuk pada strategi manipulasi ruang produksi serta pembentukan kondisi tidak aman yang bertujuan untuk memaksa para pekerja agar menerima kondisi kerja yang eksploitatif. Dengan menggunakan metode existing statistics research dan content analysis, studi ini mengidentifikasi bahwa prekaritas kerja dalam lingkungan kerja kru produksi film secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) keresahan kru produksi film terkait prekaritas kerja yang tidak disuarakan; dan (2) ketidaktaatan pihak pemberi kerja terhadap hukum yang berlaku dalam menjamin hak normatif kru produksi. Melalui perspektif working-class criminology, hasil analisis menunjukkan bahwa prekaritas kerja yang melekat pada kondisi kerja kru produksi film mendorong terjadinya dehumanisasi terhadap para pekerja. Dampak dari prekaritas kerja ini meliputi keterbatasan pilihan yang dimiliki para pekerja sehingga memaksa mereka untuk menjadi konformis dan menjerumuskan mereka ke dalam proses viktimisasi struktural.
This study examines the presence of work precarity within the realms of feature films and advertisings production in Indonesia, elucidating its ramifications in the context of flexploitation. Within the scope of this research, flexploitation is conceptualized as a delineate strategies involving the manipulation of production spaces and the establishment of precarious conditions, ultimately aiming to coerce workers into accepting exploitative work conditions. Utilizing the existing statistics research method and content analysis, this study identifies that work precarity within the film production crew work environment was largely caused by two factors, namely (1) the anxiety of film production crews related to unvoiced work precaricity; and (2) the employer's non-compliance to applicable law in guaranteeing the normative rights of the production crew. Through the perspective of working-class criminology, the results of the analysis show that the inherent work precarity in the conditions of film production crew environments contributes to the dehumanization of workers. The ramifications of work precarity encompass limitations on the choices available to workers, compelling them towards conformity and ensnaring them in processes of structural victimization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Aura Galuh Aiyesa
"Studi ini melihat bahwa prekaritas kerja pada produksi film panjang dan iklan di Indonesia mendorong para pekerja ke dalam fenomena flexploitation. Dalam studi ini, konsep flexploitation merujuk pada strategi manipulasi ruang produksi serta pembentukan kondisi tidak aman yang bertujuan untuk memaksa para pekerja agar menerima kondisi kerja yang eksploitatif. Dengan menggunakan metode existing statistics research dan content analysis, studi ini mengidentifikasi bahwa prekaritas kerja dalam lingkungan kerja kru produksi film secara garis besar disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) keresahan kru produksi film terkait prekaritas kerja yang tidak disuarakan; dan (2) ketidaktaatan pihak pemberi kerja terhadap hukum yang berlaku dalam menjamin hak normatif kru produksi. Melalui perspektif working-class criminology, hasil analisis menunjukkan bahwa prekaritas kerja yang melekat pada kondisi kerja kru produksi film mendorong terjadinya dehumanisasi terhadap para pekerja. Dampak dari prekaritas kerja ini meliputi keterbatasan pilihan yang dimiliki para pekerja sehingga memaksa mereka untuk menjadi konformis dan menjerumuskan mereka ke dalam proses viktimisasi struktural.
This study examines the presence of work precarity within the realms of feature films and advertisings production in Indonesia, elucidating its ramifications in the context of flexploitation. Within the scope of this research, flexploitation is conceptualized as a delineate strategies involving the manipulation of production spaces and the establishment of precarious conditions, ultimately aiming to coerce workers into accepting exploitative work conditions. Utilizing the existing statistics research method and content analysis, this study identifies that work precarity within the film production crew work environment was largely caused by two factors, namely (1) the anxiety of film production crews related to unvoiced work precaricity; and (2) the employer's non-compliance to applicable law in guaranteeing the normative rights of the production crew. Through the perspective of working-class criminology, the results of the analysis show that the inherent work precarity in the conditions of film production crew environments contributes to the dehumanization of workers. The ramifications of work precarity encompass limitations on the choices available to workers, compelling them towards conformity and ensnaring them in processes of structural victimization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Rizki Irma Suryani
"Tulisan ini berupaya menjelaskan film dokumenter The True Cost melalui pendekatan kriminologi visual. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah film dokumenter The True Cost memposisikan fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan terhadap negara-negara yang tidak atau belum maju (Global South). The True Cost merupakan film dokumenter yang rilis pada tahun 2015 dengan Andrew Morgan sebagai sutradaranya. Film ini menampilkan mengenai kenyataan di balik murahnya fast fashion. Fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan dianalisis menggunakan teori Southern Green Criminology oleh Goyes. Teori ini melihat bahwa fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan diciptakan oleh Global North dengan mengorbankan Global South. Hasil analisis menunjukkan bahwa murahnya fast fashion ternyata dibayar mahal oleh kerusakan lingkungan di kawasan Global South. Film dokumenter ini memperlihatkan fast fashion sebagai kejahatan lingkungan yang merugikan manusia, hewan, dan ekosistem. Berbagai macam kejahatan lingkungan tersebut ditemukan dari proses produksi dan siklus akhir fast fashion, dimana keduanya terjadi di Global South.
This paper attempts to explain The True Cost documentary film through a visual criminology approach. The aim is to answer the question of how The True Cost documentary film positions fast fashion as a form of environmental crime against countries that are not or have not yet developed (the Global South). The True Cost is a documentary film released in 2015 with Andrew Morgan as the director. This film shows the reality behind the cheapness of fast fashion. Fast fashion as an environmental crime is analyzed using the Southern Green Criminology theory by Goyes. This theory sees that fast fashion as a form of environmental crime was created by the Global North at the expense of the Global South. The results show that the cheapness of fast fashion is paid for by environmental damage in the Global South. This documentary film shows fast fashion as an environmental crime that harms humans, animals, and ecosystems. Various kinds of environmental crimes are found in the production process and the final cycle of fast fashion, both of which occur in the Global South."
2023
TA5331
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Stam, Robert
New York: Blackwell, 2000
791.43 Sta f
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.
Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Kari Gede Pramuwidya
"Skripsi ini mengenai sebuah analisis filosofis suatu film The Day The Earth Stood Still film yang bertemakan lingkungan ini menceritakan mengenai sesosok alien bernama Klaatu yang datang ke bumi untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran dengan cara memusnahkan manusia beserta peradaban peradabannya Manusia dianggap sebagai sosok yang bertanggungjawab atas terjadinya ketidakseimbangan bumi Teori Gaia bumi merupakan sebuah sistem yang dapat mengatur keseimbangannya sendiri Ketika bumi dihadapakan pada suatu masalah bumi akan melakukan homeostasis memanfaatkan spesies spesies yang ada di dalamnya yang bertindak sebagai homeostatic superorganism Dengan menggunakan teori dari James Lovelock ini penulis ingin membuktikan bahwa film The Day The Earth Stood Still bukan merupakan film fiksi semata film ini menyimpan suatu kebenaran yang membuktikan bahwa film ini merupakan gambaran apa yang sedang terjadi di dunia nyata.
This thesis is about the philosophical analysis of a movie. The Day The Earth Stood Still, is an environmentally-themed movie that tells about an alien named Klaatau who came to earth for saving the earth from destruction by demolishing human and their civilization. Humans are considered as being responsible for the imbalance of the earth. According to Gaia Theory, the earth is a system that can manage its own balance. When earth is facing a problem, it will do homeostatic, by employing the species that lives on it as a homeostatic superorganism. By using James Lovelock’s theory, the writer wants to prove that a movie entitled The Day The Earth Stood Still is not a fiction movie, this movie store a truth which proves that it is a picture of what is happening in the real world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45275
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Andriadi
"
ABSTRAKDegradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
"Di suatu pagi di sebuah perpustakaan,seorang siswa SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustaka mengenai Loetoeng kasaroeng . Gurunya menyuruh ,membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di Perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang cukup banyak untuk membuat suatu esai ...."
020 VIS 10:2 (2008)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2019
791.43 TIL
Buku Teks SO Universitas Indonesia Library
Diko Rinaldo
"Skripsi ini merupakan pendekatan filosofis terhadap pilihan identitas atas kecantikan perempuan yang dikonstruksi oleh beberapa ideologi dan dikaitkan dengan derasnya arus informasi yang disodorkan oleh beberapa media elektronik, film khususnya. Kondisi ini membawa kita pada satu bentuk fenomena budaya, yang oleh Jean Baudrillard dikatakan sebagai fenomena budaya hiperrealitas. Berbeda dengan pengkajian budaya, telaah filosofis menaruh perhatian pada kondisi individu yang otonom. Penelitian dilakukan dengan cara membedah fenomena hiperrealitas dengan hipersemiotika sebagai pisau bedahnya.
This undergraduated thesis is a philosophical approach of the female beauty identity selection that is constructed by some of the ideology and associated with a rapid flow of information offered by some of the electronic media, especially movies. This condition leads to a cultural phenomena that Jean Baudrillard said as the cultural phenomenon of hyperreality. Unlike the assessment of cultural, philosophical study concerns with the conditions of the autonomous individual. Research has been done by dissecting the phenomenon of hyperreality with hypersemiotic as the scalpel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43270
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library