Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86536 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Tabitha Chris Mahadewi
"Non-consensual image sharing pada dasarnya adalah penyebaran gambar atau video intim milik seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Dalam kasus ini, non-consensual image sharing dianggap sebagai suatu kejahatan yang bersifat gender, dimana kejahatan ini diklasifikasikan sebagai KBGO yang menimpa perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengalaman viktimisasi perempuan yang mengalami nonconsensual image sharing. Data yang didapatkan dari penelitian ini dikumpulkan melalui metode kualitatif atau wawancara tidak terstruktur kepada narasumber. Narasumber pada penelitian ini adalah AZ, KH, dan AK. Metode wawancara tidak terstruktur bersama ketiga narasumber ini digunakan untuk menggali lebih lanjut bagaimana pengalaman mereka saat mengalami non-consensual image sharing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para perempuan ini mengalami viktimisasi yang beragam. Fenomena ini dilihat oleh teori feminis radikal sebagai suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta kepemilikan modern terhadap perempuan. Para narasumber juga mengalami dampak akibat non-consensual image sharing yang mereka terima yang dibahas juga dalam penelitian ini.

Non-consensual image sharing pada dasarnya adalah penyebaran gambar atau video intim milik seseorang tanpa persetujuan orang tersebut. Dalam kasus ini, non-consensual image sharing dianggap sebagai suatu kejahatan yang bersifat gender, dimana kejahatan ini diklasifikasikan sebagai KBGO yang menimpa perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengalaman viktimisasi perempuan yang mengalami nonconsensual image sharing. Data yang didapatkan dari penelitian ini dikumpulkan melalui metode kualitatif atau wawancara tidak terstruktur kepada narasumber. Narasumber pada penelitian ini adalah AZ, KH, dan AK. Metode wawancara tidak terstruktur bersama ketiga narasumber ini digunakan untuk menggali lebih lanjut bagaimana pengalaman mereka saat mengalami non-consensual image sharing. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa para perempuan ini mengalami viktimisasi yang beragam. Fenomena ini dilihat oleh teori feminis radikal sebagai suatu bentuk dominasi laki-laki terhadap perempuan, serta kepemilikan modern terhadap perempuan. Para narasumber juga mengalami dampak akibat non-consensual image sharing yang mereka terima yang dibahas juga dalam penelitian ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Valencia Katlea Rotua
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana perlindungan hukum bagi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan modus Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) di Indonesia di tengah ketiadaan hukum yang secara spesifik mengaturnya. NCII merupakan tindakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Tindakan ini merupakan bentuk KBGO yang kerap terjadi kepada anak perempuan di bawah umur. Motif dari NCII umumnya dimulai dengan jalinan hubungan romantis, perekaman konten intim tanpa konsen maupun dengan konsen, sehingga berujung dengan pengancaman serta penyebaran konten intim tersebut tanpa persetujuan korban. Di Indonesia NCII masih diatur dalam konteks yang terbatas, yaitu hanya pada Pasal 14 ayat (1) UU TPKS tentang perekaman konten intim tanpa persetujuan, dan Pasal 27 ayat (1) UU ITE tentang mentransmisikan konten bermuatan asusila. Melalui penelitian ini, Penulis menemukan bahwa walaupun undang-undang Indonesia telah mengatur mengenai unsur tindak pidana NCII, akan tetapi pelaksanaannya terkadang masih belum optimal. Dalam suatu perkara NCII, biasanya terdapat beberapa unsur perbuatan lain yang memenuhi kriteria sebagai tindak pidana. Namun, pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku hanya unsur tindak pidana penyebaran konten bermuatan asusilanya saja. Hal ini berpotensi merugikan korban dalam mendapat keadilan. Oleh karena itu, melalui metode socio-legal, penelitian ini mengkaji bagimana penanganan perkara NCII yang paling ideal dapat memberikan keadilan serta perlindungan bagi korban. Penyelesaian jalur hukum bukanlah hal yang mudah bagi korban, sebab terdapat stigma dari masyarakat, sekolah, bahkan APH yang memperburuk situasi korban. Oleh karena itu korban NCII, terutama anak di bawah umur membutuhkan perlindungan lebih dalam menempuh penyelesaian jalur hukum, mulai dari proses pelaporan, persidangan, hingga pemulihan. Dalam memberikan keadilan bagi korban, diperlukan peran APH yang berperspektif korban. Selain keadilan, korban NCII anak di bawah umur juga membutuhkan pemulihan dan penanganan pasca-kejadian agar korban dapat kembali beraktivitas layaknya anak pada umumnya. Selain itu, penanganan korban NCII juga membutuhkan sinergisitas antara lembaga-lembaga sosial terkait. Pemerintah, APH, dan lembaga sosial harus bahu-membahu dalam pencegahan dan penanganan perkara-perkara NCII yang dialami korban anak di bawah umur untuk mencapai keadilan, perlindungan, dan pemulihan bagi korban.

This research aims to explore how legal protection is for victims of Online Gender Based Violence (KBGO) using the Non-Consensual Dissemination of Intimate Images (NCII) mode in Indonesia amidst the absence of laws that specifically regulate it. NCII is an act of distributing intimate content without consent. This action is a form of KBGO which often occurs to underage girls. The motives for NCII generally start with a romantic relationship, recording intimate content without consent or with consent, which ends with threats and distributing intimate content without the victim's consent. In Indonesia, NCII is still regulated in a limited context, namely only in Article 14 paragraph (1) of the TPKS Law concerning recording intimate content without consent, and Article 27 paragraph (1) of the ITE Law concerning transmitting immoral content. Through this research, the author found that although Indonesian law has regulated the elements of NCII criminal acts, its implementation is sometimes still not optimal. In an NCII case, there are usually several other elements of the act that meet the criteria for a criminal act. However, the punishment imposed on the perpetrator is only an element of the crime of spreading immoral content. This has the potential to harm victims in getting justice. Therefore, through socio-legal methods, this research examines how the most ideal handling of NCII cases can provide justice and protection for victims. Resolving legal action is not an easy thing for victims, because there is stigma from society, schools, and even law enforcement officers which worsens the victim's situation. Therefore, NCII victims, especially minors, need more protection in pursuing legal remedies, starting from the reporting process, trial, to recovery. In providing justice for victims, a law enforcement officer’s role with a victim perspective is needed. Apart from justice, minor NCII victims also need post-incident recovery and treatment so that victims can return to their activities like children in general. Apart from that, handling NCII victims also requires synergy between related social institutions. The government, law enforcement officers, and social institutions must work together in preventing and handling NCII cases experienced by minor victims to achieve justice, protection, and recovery for victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yashinta Fara Kaniaratri
"Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) adalah jenis kasus kekerasan berbasis gender siber yang paling banyak terjadi, namun hanya sedikit sekali perempuan penyintas yang melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Bahkan, melaporkan viktimisasinya kepada polisi menjadi pilihan terakhir bagi perempuan penyintas. Tulisan ini bertujuan untuk melihat reaksi non-formal dari perempuan korban/penyintas, maupun perempuan yang bukan merupakan korban/penyintas, terhadap viktimisasi sekunder yang dialami oleh perempuan saat melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Tulisan ini berada di bawah naungan teori feminis radikal, dan menggunakan metode analisis isi kualitatif untuk mengkaji berita dan cuitan yang berisi opini perempuan terkait penanganan kasus NCDII oleh polisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepolisian adalah institusi yang tidak ideal bagi perempuan penyintas karena kepolisian adalah salah satu agen yang bertugas untuk melanggengkan patriarki. Perempuan yang mendapat perlakuan buruk dari polisi akan menceritakan pengalamannya melalui media online dan narasi ini kemudian mendorong terbentuknya digital feminist activism di kalangan perempuan untuk menentang perilaku polisi.

Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) is the most common type of cyber gender-based violence, yet only a few numbers of women survivors report their victimization to the police. In fact, reporting their victimization to the police is the last option for women survivors. This paper aims to examine the non-formal reaction of women victims/survivors, as well as women who are not victims/survivors, to the secondary victimization that experienced by women who reported their victimization to the police. This paper is written under the radical feminist theory framework, and uses qualitative content analysis method to examine news and tweets that contains women's opinions regarding the handling of NCDII cases by the police. The results of the analysis show that the police is not an ideal institution for female survivors because the police is one of the agents that’s in charge of perpetuating patriarchal ideology. Women who have been mistreated by the police will share their stories through online media and this narrative then encourage the formation of digital feminist activism among women to oppose police behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Deyana Annisa Febrianti
"Penyebaran gambar intim seksual non-konsensual atau non-consensual distribution of intimate image (NCDII) menunjukkan dominasi laki-laki atas perempuan yang dijadikan sebagai objek seksual. NCDII tidak hanya terbatas pada pembalasan dendam mantan pasangan saja, tetapi juga sebagai hiburan, pemenuhan hak seksual laki-laki, serta mencari keuntungan finansial dan status sosial. Hal ini yang menjadi tujuan Hunter Moore sebagai pendiri situs khusus NCDII, IsAnyoneUp.com. Hunter melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan dan ketenaran dari situs tersebut, termasuk dengan meretas dan memanipulasi secara digital foto-foto intim seksual perempuan, kemudian mengunggahnya di situs miliknya. Perempuan korban yang merasakan dampak atas viktimisasi tersebut, tergerak untuk melakukan resistensi terhadap NCDII. Berdasarkan data sekunder yang bersumber dari e-book, artikel berita, serta film dokumenter, analisis data menggunakan teknik analisis wacana kritis feminis dan teori feminisme radikal sebagai teori utama. Tulisan ini mengkaji fenomena NCDII sebagai bentuk kekerasan seksual siber, dampak NCDII terhadap perempuan, serta bentuk resistensi yang dilakukan perempuan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagai bagian dari patriarki, supremasi laki-laki dan sifat misoginis menjembatani laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, yakni NCDII. NCDII ini berdampak terhadap perempuan dan memicu munculnya berbagai bentuk resistensi, yakni resistensi yang terlewatkan, upaya resistensi, resistensi tersembunyi, proxy resistance, dan resistensi terbuka. Melalui resistensi tersebut, perempuan berhasil mendapatkan kembali hak-hak mereka yang dirampas oleh Hunter, sekaligus menumbuhkan kesadaran kritis di antara perempuan untuk turut serta melakukan perlawanan demi tercapainya perubahan sosial. Tindakan resistensi ini juga dapat dilihat sebagai upaya rekonstruksi melalui pembentukan wacana pengganti yang disebutkan oleh kriminologi konstitutif.

Non-consensual distribution of intimate images (NCDII) reflects male domination over women who are used as sexual objects. NCDII is not only focused on revenge towards their ex, but also as entertainment, fulfillment of men's sexual rights, and to gain financial profit and social status. These goals were set by Hunter Moore, the founder of a site that focuses on NCDII, IsAnyoneUp.com. Hunter has used various ways to gain profit and popularity from the site, which includes hacking and digitally manipulating women's sexual intimate images and posting them on his site. Women victims who suffer from the impact of this victimization are motivated to resist the NCDII. Based on secondary data sourced from e-books, news articles, and documentary film, the analysis of data uses feminist critical discourse analysis techniques and radical feminism theory as the main theory. This paper examines the phenomenon of NCDII as a form of cyber sexual violence, the impact of NCDII on women, and the forms of the women's resistance. The results of the analysis reveal that male supremacism and misogyny, as part of patriarchy, has led men to commit NCDII. NCDII has also impacts on women and resulted in various forms of resistance, which include missed resistance, attempted resistance, covert resistance, proxy resistance, and overt resistance. Through this resistance, women were able to regain their rights that were violated by Hunter, and also developed a critical awareness among women to participate in resistance. This act of resistance can also be considered as an attempt of reconstruction through the establishment of replacement discourse which is mentioned by constitutive criminology."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Santi Wardani
"Fenomena aborsi yang tidak aman dan kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukannya bukanlah hal baru di Indonesia. Angka aborsi tidak aman merupakan akibat dari regulasi yang mengkriminalisasi perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pengambilan keputusan bagi perempuan untuk melakukan aborsi. Selain itu, penelitian ini juga memberikan penjelasan mengenai dampak aborsi terhadap perempuan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara satu informan dan dua narasumber yang berhubungan dengan fenomena aborsi di Indonesia. Pengalaman dan informasi perempuan menjadi dasar analisis untuk memperoleh data yang komprehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksploitasi, manipulasi dan kekerasan seksual merupakan penyebab terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan. Keputusan perempuan untuk melakukan aborsi juga ditemukan berkaitan dengan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan dinamika kekuasaan. Dengan demikian, perempuan dianggap sebagai pelaku, bukan korban penyalahgunaan kekuasaan oleh struktur sosial yang ada. Crime by omission yang dilakukan negara adalah bukti bahwa perempuan adalah korban struktural. Hasil data menunjukkan bahwa perempuan menghadapi viktimisasi ganda berdasarkan keterlibatan mereka dalam sistem peradilan pidana pasca-aborsi. Dalam kondisi sistem peradilan pidana yang standar laki-laki dan bias gender, perempuan mengalami diskriminasi, seksisme, penindasan dan menjadi tidak adil di depan hukum. Pada akhirnya, perempuan akan teralienasi melalui pola viktimisasi dan viktimisasi berganda.

In Indonesia, it is not uncommon for women to be prosecuted for having an unsafe abortion. Regulations that penalize women contribute to the high rate of unsafe abortions. The goal of this study was to look into how women make decisions regarding abortion. This research also includes a summary of the effects of abortion on women. The research technique employs a qualitative approach, with one informant and two resource persons interviewed about the abortion phenomenon in Indonesia. The analysis is based on the experiences and information of women in order to collect thorough data. The findings of this study show that exploitation, manipulation, and sexual violence are the leading causes of unintended pregnancies among women. Women's decisions to have abortions were also shown to be linked to gender inequality and power dynamics between men and women, with women being viewed as offenders rather than victims of power abuse by the current social framework. Women are structural victims, as evidenced by the state's crime by omission. Women are double victims, according to the data, because of their engagement in the post-abortion criminal court system. Women are ultimately alienated from the state as a result of a pattern of victimization and double victimization. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizkina Aliya
"Penelitian ini bermaksud untuk menelisik apakah norma hukum Indonesia yang ada mampu mengakomodasi dan mengamankan perempuan dari manifestasi kekerasan seksual yang lahir dari perkembangan teknologi. Suatu bentuk kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi adalah non-consensual pornography, yakni penyebaran konten bermuatan seksual tanpa persetujuan dari pemilik, pembuat, dan/atau subyek yang berada dimuat dalam konten tersebut. Terbilang bahwa peraturan perundang-undangan yang sekarang ada berkaitan dengan penyebaran konten pornografi tanpa persetujuan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang- Undang Nomor 19 tahun 2016 (UU ITE), dan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi). Dengan menggunakan teori hukum feminis untuk membedah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, beberapa putusan pengadilan serta pengalaman para korban pornografi tanpa persetujuan, penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah produk hukum yang ada telah menginternalisasi pengalaman para korban perempuan dan memungkinkan mereka untuk mengakses keadilan secara substantif. Penelitian ini menemukan bahwa meskipun Indonesia sudah memiliki regulasi terkait penyebaran muatan pornografi tanpa persetujuan, namun hukum belum bisa menjamin akses pada keadilan yang berkelanjutan bagi perempuan korban sebab hukum yang ada masih acuh terhadap konsep “persetujuan”, “privasi” serta trauma yang dirasakan oleh korban dan memandang tindakan tersebut sebagai pelanggaran rasa kesusilaan masyarakat belaka. Kerangka hukum yang demikian belum bisa memulai perubahan sikap yang bersifat strategik dan berjangka panjang untuk menghapus ketidakadilan sistemik yang dihadapi oleh para perempuan korban kekerasan.

This research aims to explore whether or not existing Indonesian law can accommodate and protect women from forms of sexual violence that are born from technological development, such as non-consensual pornography. As a form of technology facilitated sexual violence, non-consensual pornography is the dissemination/distribution of sexually explicit content without the consent of the owner, producer and/or subject portrayed within the content. Indonesian regulations relevant within the discourse include the Indonesian Penal Code (KUHP), Law No. 11 of 2008 as has been revised by Law No. 19 Year 2016 on Electronic Information and Transactions (UU ITE), and Law No. 44 of 2008 on Pornography (UU Pornografi). By utilizing feminist legal theories and methodologies to analyze laws, court decisions, and victims’ experiences, this research aims to discover whether the law has successfully internalized the experiences of women victims and enabled them to access substantive justice. This research found that although Indonesia already has a number of different regulations pertaining to non-consensual pornography, it is unable to ensure that women have sustainable access to justice as the law still ignores the concept of “consent”, “privacy”, as well as the harms sustained by the victim, and continues to perceive it as a violation of society’s standards of decency as opposed to an act of sexual assault. Such a legal framework is unable to initiate strategic long-term norm changes to eradicate the systemic injustice experienced by sexual violence victims."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iftah Putri Nurdiani
"Penyebarluasan gambar seksual secara non-konsensual merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi dalam era digital ini. Masyarakat yang patriarkal mendorong adanya ketimpangan kekuasaan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan, hal ini lah yang kemudian melanggengkan praktik penyebarluasan terus terjadi. Selama ini, konsep revenge porn digunakan untuk melihat dan menjelaskan fenomena ini dalam masyarakat, padahal konsep tersebut banyak menuai perdebatan karena tidak peka dan insensitif terhadap korban. Penulisan ini bertujuan ingin melihat bagaimana praktik penyebarluasan gambar seksual secara non konsensual dijelaskan sebagai sebuah bentuk Image-Based Sexual Abuse (IBSA) atau kekerasan seksual berbasis gambar. Melalui analisis dengan sudut pandang feminisme radikal dan juga analisa berdasar definisi IBSA dan kerugiannya oleh McGlynn dan Rackley, ditemukan bahwa penyebarluasan gambar seksual secara non-konsensual adalah sebuah kejahatan seksual berbasis gambar (IBSA) yang merugikan perempuan dan sangat berkaitan dengan adanya dominasi serta kontrol laki-laki terhadap perempuan dan tubuhnya.

The non-consensual dissemination of sexual images is one of the most common phenomena in this digital era. A patriarchal society encourages inequality of power and male domination of women. Hence the practice of dissemination continues up until now. The concept of revenge porn has been used to explain and understand the phenomena despite its insensitivity to the victims. This writing aims to see how non-consensual dissemination of sexual abuse as a form of Image-Based Sexual Abuse (IBSA). Through the analysis using radical feminism perspective and definition of IBSA by McGlynn and Rackley, the data findings show that the non-consensual dissemination of sexual images is a form of Image-Based Sexual Abuse (IBSA) that harms women and is closely related to male domination and control towards women."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agriphina Naura Difanka
"Karya akhir ini disusun untuk menganalisis reproduksi kekerasan simbolik terhadap perempuan dalam pemberitaan kasus penyebaran video intim seksual non-konsensual GA dan MYD dibentuk melalui proses framing oleh Tribunnews.com. Penulisan ini menggunakan teknik analisis wacana kritis Sara Mills dengan data penulisan bersumber dari 10 berita yang terdapat dalam kanal Tribunnews.com. Dengan menggunakan konsep kekerasan simbolik dan teori feminisme radikal, penulisan membuktikan bahwa media Tribunnews digunakan sebagai medium untuk melakukan kekerasan simbolik terhadap perempuan (GA) karena adanya upaya untuk mendominasi wacana dalam berita dengan menggunakan simbol-simbol tertentu berupa bahasa dan visual melalui proses framing yang dikonstruksikan berdasarkan ideologi patriarki, yang pada akibatnya memunculkan berita yang bias gender, seksis, dan misoginis. Hal tersebut menimbulkan dan sekaligus melegitimasi misrecognition atau pemahaman yang salah akan citra perempuan dalam proses pembentukan kekerasan simbolik, dan pada akhirnya menghasilkan kekaburan realitas kekerasan seksual terhadap perempuan yang sesungguhnya.

This thesis discusses the analysis of the reproduction of symbolic violence against women in reporting cases of the spread of GA and MYD non-consensual sexual intimate videos formed through the framing process by Tribunnews.com. This thesis uses Sara Mills' critical discourse analysis technique and data were collected from 10 news stories in Tribunnews.com online site. By using the concept of symbolic violence and the theory of radical feminism, the research proves that Tribunnews media is used as a medium for carrying out symbolic violence against women (GA) because of an attempt to dominate the discourse in the news by using certain symbols in the form of language and visuals through a constructed framing process based on patriarchal ideology, which in turn produces news that are gender biased, sexist, and misogynistic. This creates and at the same time legitimizes misrecognition or a false understanding of the image of women in the process of forming symbolic violence, and ultimately results in the blurring of the reality of sexual violence against women that occurs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kharina Triananda
"ABSTRAK
Tugas Karya Akhir (TKA) ini membahas mengenai viktimisasi sekunder oleh sistem peradilan pidana terhadap perempuan korban kekerasan. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk melihat apa saja bentuk-bentuk viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan yang dilakukan oleh sistem peradilan pidana. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus dari hasil wawancara 2 informan pendamping perempuan korban kekerasan dan data-data sekunder. Terdapat beberapa temuan penting dari penelitian ini, yaitu adanya viktimisasi sekunder terhadap perempuan korban kekerasan oleh sistem peradilan pidana melalui institusi, aparatur negara, dan prosedur persidangan. Hasil penelitian menyarankan perlunya objektivitas dari sistem peradilan pidana dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan.

Abstract
This study focus on secondary victimisation by the criminal justice system against women victims of violence. The goal is to analyze what are the forms of secondary victimisation by the criminal justice system against women victims of violence. Using qualitative method, this study collected data from short interview with 2 accompanying victims to court and secondary data. This study found that there are secondary victimisation against women victims of violence by criminal justice system through the institution, state apparatus, and trial procedure. The result suggest that criminal justice system need an objectivity when handle the case of violence against women."
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Oktaviani
"Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan.

Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>