Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158682 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panggabean, Jose Matthew Aldo
"Trauma masa kanak-kanak merupakan salah satu pengalaman traumatis yang terjadi ketika individu memasuki rentang usia 1 hingga 12 tahun. Tingginya angka gangguan mental emosional dan depresi di DKI Jakarta menjadi pertanda kemungkinan adanya trauma masa kanak-kanak pada emerging adulthood di DKI Jakarta. Adanya trauma masa kanak-kanak dapat saja menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang masih mencari makna hidupnya.  Penelitian ini sendiri bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan kuesioner secara daring, menggunakan alat ukur Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) dan Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM). Penelitian melibatkan 146 partisipan dengan rentang usia 18—25 tahun dan berdomisili DKI Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara trauma masa kanak-kanak dan makna hidup (r (145) = -0,632, p < 0,01, two-tailed). Dari hasil tersebut, terdapat hubungan negatif antara trauma masa kanak-kanak dengan makna hidup.

Childhood trauma is a traumatic experience that occurs when individuals enter the age range of 1 to 12 years. The high rate of emotional mental disorders and depression in DKI Jakarta is a sign of the possibility of childhood trauma in emerging adulthood in DKI Jakarta. The presence of childhood trauma can be a challenge in itself for those who are still looking for the meaning of their lives. This research itself aims to determine the relationship between childhood trauma and the meaning of life. The research was carried out using an online questionnaire, using the Childhood Trauma Questionnaire-Short Form (CTQ-SF) and Three-Dimensional Meaning in life scale (3DM) measuring instruments. The research involved 146 participants with an age range of 18-25 years and domiciled in DKI Jakarta. The results showed that there was a significant negative relationship between childhood trauma and meaning in life (r (145) = -0.632, p < 0.01, two-tailed). From the results, we can conclude that there’s a negative correlation between childhood trauma and meaning in life."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witri Narhadi
"Perlakuan salah terhadap anak merupakan masalah serius yang berkaitan dengan konsekuensi yang Iuas baik secara organik maupun psikologis. Beberapa penelitian mengaitkan riwayat perlakuan salah terhadap anak dengan perilaku delinkuensi pada remaja dan kriminal pada dewasa. Dilakukan penelitian untuk mendapatkan instrumen yang dapat untuk mengetahui adanya perlakuan salah terhadap anak, di Lembaga Pemasyarakatan Anak Pria Tangerang pada bulan April 2004 sampai dengan Juni 2004.
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Childhood Trauma Questionnaire (CfQ) cukup sahih dan terpercaya untuk menentukan adanya riwayat perlakuan salah terhadap anak pada remaja pria.
Metode : Uji validitas dan reliabilitas CTQ dilakukan terhadap 100 remaja pria delinkuen penghuni Lembaga pemasyarakatan Anak Pria Tangerang, dan remaja pria bukan delinkuen pelajar SMP di daerah perkotaan padat di Jakarta. Validasi dilakukan dengan uji valitidas konstruksi dan uji validitas diskriminan. Sementara uji reliabilitas dilakukan dengan uji konsistensi internal dengan menilai cronbach's alpha, dan uji berpasangan untuk menilai reliabilitas intrarater. Penelitian juga menentukan nilai ambang batas terbaik, spesifisitas, dan sensitivitas CTQ.
Hasil: Hasil uji validitas konstruksi dengan analisis faktor terdapat 2 butir pertanyaan mempunyai korelasi lemah. Hasil uji validitas diskriminan menunjukkan seluruh komponen CTQ mampu membedakan antara 2 kelompok responden (p:0,001-0,046). Uji konsistensi internal menunjukkan menilai cronbath's alpha yang baik (0.722-0.907). Reliabilitas intrarater yang dilakukan dengan test retest dengan interval waktu 8 minggu menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Spesifisitas CTQ cukup memuaskan (76-92%), sementara sensitivitas CTQ kurang (40-49%).
Kesimpulan : Childhood Trauma Questionnaire sahih dan terpercaya untuk digunakan di lingkungan remaja pria. Hasil uji spesifisitas dan sensitivitas menunjukkan bahwa CTQ bukan merupakan alat diagnostik melainkan sebagai alat skrining terhadap adanya riwayat perlakuan salah terhadap anak, sehingga hasil positif perlu ditindaklanjuti dengan penilaian klinis. Pada instrumen ini masih terdapat beberapa pertanyaan yang memerlukan perbaikan agar lebih mencerminkan perlakuan salah terhadap anak Penggunaan pada remaja wanita perlu penelitian lanjut."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syandra Divia Estheresia
"Penelitian kuantitatif ini ditujukan untuk melihat hubungan trait kepribadian dengan gejala depresi pada individu yang mengalami adverse childhood experience dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dan berusia 18-29 tahun. Pengukuran terhadap trait kepribadian menggunakan instrumen Mini-IPIP, sedangkan ACEs diukur dengan ACE-Q, dan gejala depresi diukur dengan BDI-II. Penelitian melibatkan 250 partisipan dengan rata-rata skor ACEs 2, rata-rata gejala depresi minimal, dan kecenderungan memiliki trait kepribadian yang sedang. Hasil analisis regresi menunjukkan trait extraversion (b = -0.14, p < 0.05) dan trait conscientiousness (b = -0.25, p < 0.05) memiliki pengaruh signifikan dengan arah negatif
dalam hubungan ACEs dan gejala depresi. Sedangkan trait neuroticism berpengaruh signifikan secara positif (b = 0.49, p < 0.01).

This quantitative research is aimed to look at the relationship between personality traits
and symptom of depression in individuals who experienced adverse childhood
experiences and live in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek) and
aged 18-29 years. The personality traits was measured using the Mini-IPIP as the instrument, while ACEs was measured by ACE-Q, and depression tendency was
measured by BDI-II. The research involved 250 participants with an average ACEs score of two, an average of minimal symptom of depression, and a tendency to have moderate personality traits. The regression analysis showed that extraversion (b = -0.14, p <0.05) and conscientiousness (b = -0.25, p <0.05) had a significant effect in a negative direction on the relationship between ACEs and depression tendency. Meanwhile, neuroticism had
a significant positive effect on the relationship (b = 0.49, p < 0.01).
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aninda Enza Azura Mundakir
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara makna hidup dengan well-being subyektif melalui peran mediasi pemaafan dan harapan pada 257 pekerja on call. Pada penelitian ini, pengukuran variabel dilakukan menggunakan Meaning in Life Questionnaire MLQ, Satisfaction with Life Scale SWLS, The Scale of Positive and Negative Experience SPANE, Adult Dispositional Hope Scale ADHS, The State Hope Scale SHS, dan The Heartland Forgiveness Scale SHS. Analisis data dilakukan menggunakan model mediasi ganda yang dikemukakan oleh Hayes 2013. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemaafan dan harapan secara signifikan memediasi hubungan antara makna hidup dan well-being subyektif dengan besaran efek total sebesar 0.2169 c = 0.2169, t 257 = 24.64.

ABSTRACT
This study was conducted to examine the relationship between meaning in life with subjective wellbeing through the mediation role of forgiveness and hope towards 257 on call workers. In this study, the measurement of variables was conducted using the Meaning in Life Questionnaire MLQ, the Satisfaction with Life Scale SWLS , the Scale of Positive and Negative Experience SPANE, the Adult Dispositional Hope Scale ADHS, the State Hope Scale SHS, and the Heartland Forgiveness Scale SHS. The data analysis was conducted using a double mediation method that was proposed by Hayes 2013. The findings of this study showed that forgiveness and hope significantly mediated the relationship between meaning in life with subjective wellbeing with the total magnitude of effect of 0.2169 c 0.2169, t 257 24.64."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrea Valencie
"Pengalaman buruk masa kecil menjadi suatu kejadian yang dampaknya besar bagi seseorang. Pengaruhnya dapat berlanjut hingga tahapan perkembangan selanjutnya dalam kehidupan. Kini, di Indonesia terdapat peningkatan kasus penganiayaan dan penelantaran anak. Pemahaman umum menekankan pengaruh negatif dari pengalaman buruk masa kecil. Namun, hal ini berbeda dengan yang ditemukan pada kasus kehidupan nyata, di mana individu yang mengalami pengalaman buruk masa kecil mengembangkan resiliensi dan perilaku prososial yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pengalaman buruk masa kecil dan perilaku prososial pada populasi dewasa muda di Indonesia. Partisipan penelitian ini adalah 275 individu berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Indonesia. Pengalaman buruk masa kecil diukur menggunakan alat ukur Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) dan perilaku prososial diukur menggunakan Prosocialness Scale for Adults (PSA). Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi pengalaman buruk masa kecil (M=39,51, SD=9,31), akan diikuti dengan penurunan frekuensi kecenderungan perilaku prososial (M=61,56, SD=9,56). Dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia perlu menciptakan pengalaman yang baik di masa kecil, sehingga perilaku membantu di masa dewasa muda pun meningkat.

Adverse Childhood Experience (ACE) becomes an impactful event for someone. Its influence can continue into later stages of development in life. In Indonesia, there is an increase in cases of child abuse and neglect. Common understanding emphasizes the negative effects of ACE. However, this differs from what is found in real life cases, where individuals who experience ACE develop resilience and high prosocial behavior. This study aims to examine the relationship between ACE and prosocial behavior in emerging adults in Indonesia. The participants of this study were 275 individuals aged 18-29 who live in Indonesia. ACE were measured using the Adverse Childhood Experience International Questionnaire (ACE-IQ) and prosocial behavior was measured using the Prosocialness Scale for Adults (PSA). The results of the research analysis showed that the higher the frequency of negative childhood experiences (M=39.51, SD=9.31), the lower the frequency of prosocial behavior tendencies (M=61.56, SD=9.56). This demonstrates how Indonesians need to create good experiences in childhood, in order to help increase prosocial behavior in emerging adulthood."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abigail Cornelia Ayu
"Emerging adulthood merupakan masa transisi bagi individu dari masa remajamenuju dewasa muda. Pada kelompok usia ini ditemukan terdapat beberapa masalah yang muncul dan memengaruhi kehidupan individu yang dapat menyebabkan distres bagi mereka.Salah satu hal yang memiliki peran dalam membantu individu untuk menghadapi permasalahan tersebut yaitu agama. Melalui penelitian ini digunakan untuk melihat hubungan antara religiusitas dan distres psikologis pada populasi masyarakat miskin. Adapun dari hasil penelitian, diperoleh bahwa terdapat hubungan antara religiusitas (M =46.98, SD = 6,87) dan distres psikologis (M = 1,64, SD = 0,47), dengan nilai r(262) = 0,139, p < 0,024. Populasi dari penelitian ini yaitu masyarakat yang berdomisili di wilayah DKI Jakarta, dengan rentang usia 18-29 tahun. Adapun karakteristik partisipan penelitian ini yaitu masyarakat DKI Jakarta yang menerima bantuan dari pemerintah berupa KJP, KIS, atau BPJS. Penelitian ini menggunakan teknik analisis pearson correlation dengan Teknik bivariat. Alat ukur yang digunakan yaitu HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) yang terdiri 25 item (Turnip & Hauff, 2007) dan CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) dengan 15 item yang menggambarkan lima dimensi dalam religiusitas (Huber & Huber, 2012).

Emerging Adulthood is a transition period for individuals from adolescence to young adults. In this age group, there are some problems that arise and affect the lives of individuals that can cause distress for them. One of the things that have a role in helping individuals to deal with these problems is religion. This research is used to see the relationship between religiosity and psychological distress in the poor population. As for the results of the study, it was found that there was a relationship between religiosity (M = 46.98, SD = 6.87) and psychological distress (M = 1.64, SD = 0.47), with a value of r (262) = 0.139, p < 0.024. The population of this study is the people who live in the DKI Jakarta area, with an age range of 18-29 years. The characteristics of the participants of this study were the people of DKI Jakarta who received assistance from the government in the form of KJP, KIS, or BPJS. This study used the Pearson correlation analysis technique with bivariate techniques. The measuring instrument used is HSCL-25 (Hopkins Symptom Check List - 25) which has 25 items (Turnip & Hauff, 2007) and CRS-15 (Centrality Religiosity Scale) with 15 items that describe five dimensions in religiosity (Huber & Huber, 2012)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mitra Atensi
"Kemiskinan yang terjadi di suatu negara menyebabkan terjadinya permasalahan sosial, kriminalitas, meningkatnya jumlah siswa putus sekolah, serta kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Keinginan untuk dapat menolong orang lain dalam hal ini kaum fakir miskin berkaitan dengan kerelaan seseorang untuk dapat meluangkan dan mengorbankan apa-apa yang dia miliki, baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta materi untuk diberikan kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan atau imbalan atas pertolongan yang diberikan (Myers, 1988).
Setiap orang yang (normal) senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya, serta bagi dirinya sendiri (Bastaman, 1996). Dalam pandangan logoterapi hasrat untuk hidup bermakna akan memotivasi setiap orang untuk bekerja, berkarya, dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya- dengan tujuan agar hidupnya menjadi berharga dan dihayati secara bermakna.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dorongan yang membuat seseorang memilih menjadi relawan pemberdayaan masyarakat miskin, makna hidup yang dihayati oleh para relawan, serta alasan yang membuat mereka bertahan dengan berbagai tantangan serta konsekuensi yang dihadapi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa para partisipan menghayati hidupnya untuk menjadi seseorang yang bermanfaat bagi lingkungan dan orang lain. Terdapat beberapa faktor yang mendorong partisipan memutuskan untuk menjadi relawan antara lain adanya perasaan empati, minat & kecintaan terhadap sesuatu, dan dorongan untuk berbuat kebaikan dalam hidup. Alasan bertahan dipengaruhi oleh faktor adanya dukungan dari significant others, penghayatan kebahagiaan, serta keinginan untuk tetap memberikan manfaat dan kebaikan.

Poverty has caused the arousing of many other social problems namely high crime rate, malnutrition, schooling and health. The will to help the other - in this case the poor - is related to one's voluntarily to be willing to sacrifice everything one's has, whether it is time, body, or mind as well as to be willing to give materials to others without ever expecting any rewards based on what has given (Myers, 1988).
Every normal person has a desire to be meaningful and precious to his/her family, surroundings, society, and to him/herself (Bastaman, 1996). Based on Logotherapy point of view, to have a meaningful life is indeed every human being's main motivation. This is the very desire that has motivated every person to work, to dedicate and to do many other important activities so that his/her life is deeply regarded to be meaningful.
This research has a goal to see what particular motivation that stimulates a person to choose to become a volunteer, what kind of meaning of life that is being deeply regarded by them, and the reason what makes them cling to this kind of life with its challenges as well as consequences faced.
The result has shown that the participants are having a deep understanding that in life, they have to maximize their usability to their surroundings and to the others. There are several factors that encourage the participants to have chosen to become a volunteer which are the feeling of empathy, the feel of affection, and the desire to make good deeds in life. The reason why they keep clinging to this kind of life is the existence of significant others' support, a deep understanding upon happiness, and the desire to keep being able to give self-usability and good deeds."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Siti Salamah
"Penelitian ini menerapkan wawancara mendalam dan observasi terhadap dua belas orang partisipan laki-laki dewasa dengan pendekatan desain studi kasus. Mereka adalah residivis yang pernah menjalani hukuman penjara, bebas untuk jangka waktu tertentu dan selanjutnya ditahan kembali akibat melakukan tindak kriminal. Partisipan yang berproses menemukan makna hidup dapat bertahan menjalani kehidupan di masyarakat dan tidak kembali di penjara; menjaga perilaku yang tidak menularkan HIV kepada istri dan anakanak mereka; serta terlibat dalam pekerjaan membantu sesama mantan pecandu dan orang dengan HIV/AIDS. Makna hidup ditemukan dalam berbagai bentuk, di antaranya menentukan tujuan hidup, memperbaiki kesalahan, membangun keluarga dan relasi personal yang positif serta keterlibatan dalam aktivitas sosial. Proses pemutusan perilaku berisiko ditunjukkan dengan cara menghindari lingkungan sebelumnya dan melakukan kegiatan yang membuat partisipan merasa hidupnya bermanfaat untuk dirinya, keluarga dan masyarakat. Sementara mereka yang tidak menemukan makna hidup ternyata kembali di penjara akibat perilaku berisiko seperti penyalahgunaan narkotika; menjadi perantara penjualan narkotika; melakukan tindak kriminal untuk mendapatkan uang pembeli narkotika, serta melakukan perilaku seks berisiko tinggi yang memungkinkan penularan HIV. Mereka mungkin memiliki keinginan untuk mengubah keadaan namun tidak melakukan tindakan nyata untuk mewujudkannya. Dalam penelitian ini ditemukan berbagai kebiasaan di antara narapidana, seperti tindak kekerasan, penyalahgunaan narkotika, penyewaan jarum suntik kotor, perilaku seks tidak aman dan pemasangan ‘tasbih’ (manik-manik) pada penis yang juga berisiko terhadap penularan HIV.

This study was conducted by using depth interview and observation towards twelve male subjects using the case study design. They are recidivists who have been imprisoned, being released for certain period of time and later on being re-arrested of the criminal cases. Participants whose found meaning in their life could remain staying in society and did not come back into the jail; preventing the HIV transmission to their wives and children; and being involved helping other drug addicts and people living with HIV/AIDS. Victor Frankl (1969) in logotherapy divided meaning in three stages, freedom of will, the will to meaning and the meaning of life. Those who did not find the meaning of life were getting back in prison due to drug abuse; mediating narcotics sales; commit criminal acts to get money for drugs, and engage in high-risk sexual behavior that enables the transmission of HIV. They may have a desire to change things but do not take any real action to make it happen. Meaning in life were found in various forms, such as setting goals in life; correcting the mistakes they have been doing; building a family and positive personal relation; and being involved in social activities. The termination of high risk behavior indicated by subject’s avoidance toward previous vulnerable environment and by doing some valuable works for family and community. This study also found common behavior among inmates inside the prison, such as violence, drug abuse, renting dirty needles, unsafe sexual behavior and inserting penile implant which also increasing the risk of HIV transmission.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shierlen Octavia
"ABSTRAK
Trauma masa kanak-kanak adalah faktor risiko yang mempengaruhi perkembangan gejala psikotik. Berbagai penelitian telah menjelaskan mekanisme hubungan antara keduanya
variabel. Skema diri negatif, respons psikologis terhadap trauma dan diketahui memiliki
dampak pada tingkat gejala psikotik, dipostulatkan untuk memediasi dua variabel ini. Ini
Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran skema negatif diri sebagai mediator antara masa kanak-kanak trauma dan gejala psikotik dengan mengendalikan gejala depresi sebagai kovariat. Itu Penelitian dilakukan pada 397 peserta (25,4% pria; Mage = 22,28, SD = 4,93).
Gejala psikotik diukur oleh Asesmen Komunitas terhadap Pengalaman Psikotik (AKPP), trauma masa kecil diukur dengan kuesioner berbasis laporan diri pada studi NEMESIS, dan skema negatif diri diukur dengan Skema Inti Singkat Timbangan (BCSS). Melalui analisis mediasi, hasilnya menunjukkan skema self-negative secara signifikan memediasi hubungan antara trauma masa kecil dengan positif gejala (ab = 0,08; SE = 0,04; 95% CI [0,01, 0,17]), serta gejala negatif dari gejala psikotik (ab = 0,08; SE = 0,03; 95% CI [0,03, 0,14]), dan juga langsung hubungan antara pengalaman traumatis masa kanak-kanak dan gejala positif juga
ditemukan. Ini menjelaskan pentingnya mempertimbangkan peran kognitif dalam menerjemahkan efek trauma masa kecil terhadap gejala psikotik.

ABSTRACT
Childhood trauma is a risk factor that influences the development of psychotic symptoms. Various studies have explained the mechanism of the relationship between the two
variable. Negative self schemes, psychological responses to trauma and are known to have
impact on the level of psychotic symptoms, postulated to mediate these two variables. This This study aims to examine the role of self-negative schemes as a mediator between childhood trauma and psychotic symptoms by controlling depressive symptoms as covariates. The study was conducted on 397 participants (25.4% male; Mage = 22.28, SD = 4.93). Psychotic symptoms were measured by the Community Assessment of Psychotic Experience (PPA), childhood trauma was measured by a self-report questionnaire based on the NEMESIS study, and a negative self-scheme was measured by the Short Core Scales Scheme (BCSS). Through mediation analysis, the results showed a self-negative scheme significantly mediated the relationship between childhood trauma with positive symptoms (ab = 0.08; SE = 0.04; 95% CI [0.01, 0.17]), as well as symptoms negative psychotic symptoms (ab = 0.08; SE = 0.03; 95% CI [0.03, 0.14]), and also a direct relationship between childhood traumatic experiences and positive symptoms as well
was found. This explains the importance of considering the cognitive role in translating the effects of childhood trauma on psychotic symptoms."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Asri Adriati
"Kanker payudara merupakan kasus kanker terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2020 tercatat 16,6% kasus kanker payudara di Indonesia. Penyakit kanker payudara yang dialami pasien berdampak pada fungsi fisik, psikologis, dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien kanker payudara. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara aspek spiritualitas dengan kualitas hidup pasien kanker payudara di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian cross sectional. Jumlah sampel yang dicapai pada penelitian ini adalah 135 responden. Teknik pengambilan sampel ini adalah purposive sampling. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini Daily Spiritual Experience Scale (DSES) dan The European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-C30). Dalam penelitian ini menunjukan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara karakteristik sosiodemografi dan karakteristik penyakit dengan kualitas hidup pasien kanker payudara dengan (p > 0,05), terdapat hubungan yang signifikan pada dukungan sosial dan aspek spiritualitas (p < 0,05) dengan kualitas hidup pasien kanker payudara. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan faktor-faktor penting untuk mempertahankan aspek spiritualitas pada pasien kanker payudara.

Breast cancer is the most common cancer cases worldwide. In 2020, there were 16.6% of breast cancer cases in Indonesia. Breast cancer experienced by patients has an impact on physical, psychological, and spiritual functions that affect the quality of life of breast cancer patients. The purpose of this study is determine the relationship between aspects of spirituality with breast cancer quality of life at Dharmais Cancer Hospital Jakarta. The type of research is quantitative using a cross sectional research design. The number of samples achieved in this study were 135 respondents. The sampling technique is purposive sampling. The instruments used in this study were the Daily Spiritual Experience Scale (DSES) and The European Organization for Research and Treatment of Cancer Quality of Life Questionnaire (EORTC QLQ-C30). The results of data analysis shows no significant relationship between sociodemographic characteristics and disease characteristics with the quality of life of breast cancer patients (p > 0.05), there was a significant relationship on social support and spirituality aspects (p < 0, 05) with the quality of life of breast cancer patients. Future researchers are expected to pay attention to important factors to maintain aspects of spirituality in breast cancer patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>