Ditemukan 188051 dokumen yang sesuai dengan query
Putri Lenggo Geni
"Fokus pada penelitian ini mengenai kekuatan bukti kepemilikan Akta Pernyataan dan Akta Kuasa kepemilikan tanah dibandingkan dengan Sertipikat Hak Milik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 691/PK/Pdt/2022. Metode penelitian dalam tesis ini yakni menggunakan bentuk penelitian hukum doktrinal. Tipologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari penelusuran data kepustakaan (library research). Sumber bahan hukum pada penelitian hukum doktrinal terdiri atas bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan terkait, sekunder berupa artikel dan jurnal. Penelitian ini menemukan bahwa Sertipikat Hak Milik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya. Sedangkan terhadap Akta Pernyataan dan Akta Kuasa ini dibuat dengan memenuhi prosedur pembuatan akta Autentik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Jabatan Notaris, sehingga ia memiliki mempunyai kekuatan seperti undang-undang bagi pihak yang menandatanginya. Sehingga sepanjang Akta-Akta ini sudah memenuhi syarat-syarat prosedur pembuatannya sebagai Akta Autentik, maka akta-akta ini patut dihormati juga oleh pihak ketiga, sedangkan terhadap para pihak mengikat layaknya undang-undang yang mesti ditaati. Pertimbangan Hakim dalam menilai kekuatan kepemilikan akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah dikaitkan dengan hukum daerah setempat pada penelitian ini dirasakan sudah tepat bahwa Hakim memandang bahwa akta pernyataan dan akta kuasa kepemilikan tanah atau yang dalam penelitian ini lebih tepat disebut sebagai akta pernyataan yang disepakati kedua belah pihak merupakan dasar dari pada Tuan KAJ dalam menerbitkan Sertipikat Hak Milik atas nama Tuan S, namun dalam pertimbangannya kurang kuat/kurang dasar. Patut ditambahkan, seperti ketentuan konstitusi UUD 1945, mengenai kesamaan hak bagi setiap warga negara Indonesia patut dipertahankan dan tidak terdapat perbedaan yang dalam putusan ini belum menjadi bahan pertimbangan Hakim.
The focus of this research is on the strength of the proof of ownership of the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney for land ownership compared to the Certificate of Ownership Based on the Supreme Court Decision Number 691/PK/Pdt/2022. The research method in this thesis uses a form of doctrinal legal research. The typology used in this research is descriptive research. The type of data used in this research is secondary data obtained from library research. Sources of legal materials in doctrinal legal research consist of primary legal materials consisting of related laws and regulations, secondary in the form of articles and journals. This research found that the Certificate of Ownership has perfect evidentiary power, as long as it is not proven otherwise. Meanwhile, the Deed of Declaration and Deed of Power of Attorney are made by complying with the procedure for making an Authentic Deed as stipulated in the Notary's Position Regulations, so that it has the force of law for the party who signs it. So as long as these Deeds fulfill the procedural requirements for making them as Authentic Deeds, then these Deeds should also be respected by third parties, while the parties are binding like laws that must be obeyed.. The Judge's consideration in assessing the strength of ownership of the statement deed and land ownership power of attorney deed is linked to local regional law in this research. In this research, it is felt that it is correct that the Judge considers that the statement deed and land ownership power of attorney deed or what in this research is more accurately referred to as the statement deed are secondly approved. Both parties are the basis for Mr. KAJ in issuing the Certificate of Ownership in the name of Mr. S, but in his consideration it is less strong/less than basic. It should be added, as is the constitutional provision of the 1945 Constitution, regarding equal rights for every Indonesian citizen which should be maintained and there are no differences which in this decision have not been taken into consideration by the Judge."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hikari Kepartono
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan pemilik tanah yang tidak lagi menguasai tanahnya secara fisik dan juga terkait perlindungan hukum bagi pembeli yang tidak melakukan pengecekan secara fisik atas objek yang dibelinya dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020. Adapun penelitian ini menggunakan bentuk penelitian dengan pendekatan doktinal terhadap hukum. Dalam hal ini, pemegang hak milik atas tanah yang secara sengaja tidak menguasai secara fisik, tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanah yang ia miliki dapat menyebabkan tanah miliknya tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar dan mengakibatkan pemutusan hubungan hukum antara subjek pemilik hak atas tanah dengan objek tanah sehingga pihak pemilik di sini tidak lagi memiliki hak milik atas tanah yang berkaitan. Dengan demikian, maka pihak pemilik di dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidaklah berhak untuk melakukan jual beli atas tanah tersebut karena ia bukanlah pemilik yang sah atas tanah tersebut dan mengakibatkan jual beli tersebut menjadi batal demi hukum. Berkaitan dengan batal demi hukumnya jual beli tersebut, pihak pembeli yang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas kerugian yang diderita akibat batalnya jual beli tersebut pembeli yang beritikad baik. Adapun pihak JJ selaku pembeli dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1131 K/Pdt/2020 tidak melakukan pengecekan fisik secara aktif dan cermat mengenai ada atau tidaknya pihak yang menguasai secara fisik obyek tanah yang akan dibelinya dan juga tidak menguasai objek tanah tersebut secara fisik. Dengan demikian, maka pihak JJ di sini tidak dapat dikategorikan sebagai Pembeli Beritikad Baik dan tidaklah berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas batal demi hukumnya perjanjian jual beli.
This research discuss the position of land owners who no longer physically control their land and also regarding legal protection for buyers who do not physically inspect the objects they buy in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020. This research uses a form of research with a doctinal approach to law. In this case, the holder of property rights to land who deliberately does not physically control, does not cultivate, does not use, does not exploit, and/or does not maintain the land he owns can cause his land to be categorized as abandoned land and result in the termination of the legal relationship between the subject who owns the land rights and the land object so that the owner here no longer has ownership rights to the land in question. Thus, the owner in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 does not have the right to sell the land because she is not the legal owner of the land and this results in the sale and purchase being null and void. In connection with the nullity of the sale and purchase, the buyer is entitled to legal protection for losses suffered as a result of the cancellation of the sale and purchase, is the buyer who acted with good faith. Meanwhile, JJ as the buyer in the case of Supreme Court Decision Number 1131 K/Pdt/2020 did not carry out an active and careful physical check regarding whether or not there was a party who physically controlled the land object he was going to buy and also did not physically control the land object. Thus, JJ here cannot be categorized as a Buyer in Good Faith and is not entitled to legal protection against the nullity of the sale and purchase agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Maxwell Kurniadi
"Pipil adalah salah satu bentuk dari surat pengenaan pajak atas tanah yang dianggap sebagai hak lama terhadap kepemilikan atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria oleh masyarakat adat. Hak lama atas tanah yang minim informasi kepemilikannya dan tidak tercatat di Badan Pertanahan Nasional sering kali menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan untuk menguasai tanah secara “legal” dengan melakukan penipuan dalam pada salah satu syarat pendaftaran tanah untuk pertama kali. Perbuatan melawan hukum ini dilakukan pelaku dengan tujuan untuk meraup keuntungan melalui jual beli tanah kepada pihak ketiga selaku pembeli beritikad baik yang tidak mengetahui kebenaran sesungguhnya atas tanah tersebut dan mengakibatkan kerugian baik kepada pembeli maupun pemilik tanah sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis bagaimana kedudukan pihak ketiga beritikad baik dalam suatu sengketa jual beli tanah serta akibat hukum terhadap Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar yang cacat hukum akibat penipuan pada pendaftaran pertama kali pada studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 3540M/Pdt/2019. Penelitian ini menggunakan metode penelitian ilmu hukum doktrinal yang bersifat preskriptif dengan menggunakan metode penelitian normatif kualitatif berdasarkan studi dokumen. Prinsip itikad baik memberikan suatu perlindungan hukum terhadap pihak yang menerapkannya dengan memenuhi persyaratan jual beli yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi walaupun pada kenyataannya jual beli tersebut mengandung cacat hukum. Hasil produk hukum berupa Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar dibatalkan demi hukum karena terjadinya kecacatan hukum dan Pipil No. 936, Persil No. 127b, Klas III kembali menjadi satu-satunya hak atas tanah yang pada tanah tersebut.
Pipil is a form of tax imposition letter on land which is considered an old right to land ownership before the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles by indigenous peoples. Old land rights with minimal ownership information and not registered with the National Land Agency often become easy targets for criminals to control land "legally" by committing fraud in one of the land registration requirements for the first time. This unlawful act was carried out by the perpetrator with the aim of making a profit through buying and selling land to a third party as a buyer in good faith who did not know the real truth about the land and resulted in losses to both the buyer and the actual land owner. Therefore, this paper analyzes the position of a third party in good faith in a land sale and purchase dispute and the legal consequences of the Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Bunga Mekar Village which is legally flawed due to falsification of documents during the first registration in the case study of Supreme Court Decision Number 3540M/Pdt/2019. This research uses prescriptive doctrinal legal research methods using qualitative normative research methods based on document studies. The principle of good faith provides legal protection for parties who apply it by fulfilling the terms of sale and purchase determined by law even though in reality the sale and purchase contains legal defects. The resulting legal product is a Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Desa Bunga Mekar was canceled by law due to legal defects and Pipil No. 936, Plot No. 127b, Class III again becomes the only land right on that land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fauzan Aziman Alhamidy
"Sertipikat Hak atas Tanah merupakan tanda bukti yang kuat untuk kepemilikan atas tanah. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukti kepemilikan tanah di Indonesia harus didaftarkan sehingga memperoleh sertipikat. Girik hanya menjadi bukti pembayaran pajak atas tanah bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjadi bukti kepemilikan atas tanah Girik tersebut harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi Sertipikat Hak atas Tanah. Girik yang tidak ditingkatkan berpotensi akan adanya sengketa kepemilikan, seperti yang terjadi pada kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., dimana terjadi sengketa atas tanah yang melibatkan pemilik Sertipikat Hak atas Tanah dengan pemilik girik. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak semula. Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyatakan Sertipikat Hak atas Tanah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak semula. Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk milik Direktorat Jenderal Pajak adalah sah menurut hukum karena dikeluarkan oleh badan yang berwenang yaitu badan pertanahan nasional serta menjadi bukti kepemilikan atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai masa keberatan atas dikeluarkannya Sertipikat Hak atas Tanah memiliki jangka waktu hingga 5 (lima) tahun. Dalam kasus ini gugatan dari pemilik Girik diajukan setelah 28 (dua puluh delapan) tahun dari penerbitan sertipikat. Peradilan umum tidak berwenang untuk menyatakan bahwa Sertipikat Hak atas Tanah tidak memiliki kekuatan hukum tetap sejak semula sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mana kewenangan menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional selaku penerbit sertipikat berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
A land title certificate is a strong proof of land ownership. After the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Regulations, proof of land ownership in Indonesia must be registered in order to obtain a certificate. Girik is only proof of payment of tax on land, not proof of ownership of land rights. To become proof of ownership of the Girik land, it must first be upgraded to a land title certificate. Girik that is not upgraded has the potential for ownership disputes, as happened in the case in the West Jakarta District Court Decision Number 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., where there was a dispute over land involving the owner of the land title certificate and girik owner. In his decision the judge stated that the Right to Use Certificate Number 248/Kebon Jeruk had no binding legal force from the beginning. This research analyzes how the judge's considerations and the authority of the District Court in declaring land title certificates do not have binding legal force from the start. The research method used is the doctrinal method. The results of the research show that the Right to Use certificate Number 248/Kebon Jeruk belonging to the Directorate General of Taxes is valid according to law because it was issued by the authorized body, namely the national land agency and is proof of land ownership in accordance with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration which regulates regarding the objection period for the issuance of a Certificate of Land Rights, it has a period of up to 5 (five) years. In this case the lawsuit from the owner of Girik was filed after 28 (twenty-eight) years from the issuance of the certificate. General courts do not have the authority to declare that certificates of land rights do not have permanent legal force from the beginning as regulated in Article 11 of the Supreme Court Regulation Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Settlement of Disputes on Government Actions and the Authority to Adjudicate Unlawful Acts by Government Agencies and/or Officials. where the authority to resolve land disputes involving the National Land Agency as the certificate issuer rests with the State Administrative Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Andira Permata Sari
"Ketentuan dalam UU Pokok Agraria menyatakan bahwa tanah dengan status hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun sebagaimana yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1208 PK/PDT/2022, Orang Asing ternyata menggunakan konsep pinjam nama (nominee arrangement) untuk dapat memiliki tanah hak milik di Gianyar, Bali. Konsep tersebut dituangkan ke dalam bentuk perjanjian yaitu Surat Pernyataan dan Perikatan yang dibuat di hadapan notaris. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat 2 (dua) rumusan masalah, yaitu kedudukan hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) yang dibuat dalam bentuk perjanjian di hadapan notaris dan kesesuaian pertimbangan majelis hakim dalam menggunakan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement). Penelitian ini dilakukan berdasarkan metode doktrinal dengan
menggunakan data sekunder yang didukung oleh data primer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pinjam nama (nominee arrangement) tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia, sehingga untuk menentukan kedudukan hukumnya menggunakan aspek perikatan dan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan aspek larangan pengasingan tanah dalam UU Pokok Agraria. Berdasarkan kedua peraturan tersebut konsep penggunaan pinjam nama (nominee arrangment) dianggap melanggar Pasal 1337 KUHPerdata dan Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria. Sedangkan terhadap notaris yang turut serta membuat akta autentik terkait pinjam nama telah tidak memenuhi kewajibannya dalam UU Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi untuk bersikap cermat dan menjaga kepentingan para pihak. Selain itu, penggunaan Surat Edaran Mahkamah Agung sebagai dasar hukum penggunaan pinjam nama (nominee arrangement) oleh majelis hakim sesuai dengan putusan-putusan pengadilan terdahulu yang memutuskan bahwa kepemilikan hak milik atas tanah tetap menjadi milik WNI sebagai pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Namun ketentuan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berbeda dengan akibat hukum yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU Pokok Agraria.
Agrarian Law (UU Pokok Agraria) stated that land with freehold status can only be owned by Indonesian citizens. However, as happened in Supreme Court Decision No. 1208 PK/PDT/2022, foreigners apparently use the concept of nominee arrangement to be able to own freehold land in Gianyar, Bali. This concept made in the form of a notarial agreement. This research was carried out by raising 2 (two) research questions, namely the legal position of nominee arrangements made in the form of a notarial agreement and the suitability of the panel of judges' considerations in using Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) compared to Agrarian Law (UU Pokok Agraria) as the legal basis for nominee arrangements. This research employs doctrinal legal methods using secondary data and alo supported by primary data. The results of the research shows that the concept of nominee arrangement is not regulated in Indonesian law, so to determine its legal position need to use the agreement aspect in the Civil Code (KUHPerdata) and the prohibition aspect of land alienation in the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Based on these two regulations, the concept of using nominee arrangements is considered to violate Article 1337 of the Civil Code (KUHPerdata) and Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria). Meanwhile, notaries who participate in making authentic deeds related to nominee arrangements have not fulfilled their obligations in the Notary Law and the Professional Code of Ethics to be careful and safeguard the interests of the parties. Apart from that, the use of Surat Edaran Mahkamah Agung as a legal basis for determining the subject who has the right to own land in a nominee arrangement case by a panel of judges is correct. However, the provisions in the Supreme Court Circular (Surat Edaran Mahkamah Agung) are different from the legal consequences regulated in Article 26 paragraph (2) of the Agrarian Law (UU Pokok Agraria)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Adinda Carolina
"Kepastian hukum dalam setiap peralihan tanah sebagai akibat dari transaksi jual beli hak atas tanah sangatlah penting. Oleh karena itu, Undang-Undang Pokok Agraria mewajibkan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak karena jual beli tersebut. Pada prakteknya, di Kecamatan Bermani Ulu Kabupaten Rejang Lebong terdapat praktek jual beli tanah yang belum bersertipikat. Tanah yang belum bersertipikat adalah tanah yang sama sekali belum pernah didaftarkan di kantor pertanahan. Praktek jual beli tersebut banyak dilakukan dihadapan kepala desa bersifat tunai, nyata dan terang. Tesis ini membahas bagaimana proses pencatatan kepemilikan hak atas tanah berdasarkan Surat Keterangan Kepala Desa serta kekuatan hukum terhadap surat keterangan tanah tersebut jika dibandingkan denga akta yang dikeluarkan PPAT. Metode yang digunakan adalah metode yuridis empiris dan spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini bersifat preskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses pencatatan kepemilikan hak atas tanah pada Desa Kampung Melayu terbilang mudah yaitu dengan menghadapnya para pihak kepada kantor desa beserta saksi-saksi lalu kemudian dilakukan pengukuran batas- batas tanah oleh kepala dusun, baru kemudian kemudian kepala Desa mengeluarkan Surat Keterangan Pemindahan Hak. Kedudukan surat jual beli di bawah tangan itu sepanjang menurut Kepala Kantor Pertanahan adalah benar dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka ia dapat dijadikan dasar untuk melakukan pendaftaran tanah pertama kali dan pastinya harus dilengkapi dokumen pendukung lainnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Peraturan KBPN Nomor 1 Tahun 2010.
Legal certainty in any transfer of land as a result of buying and selling transactions of land rights is very important. Therefore, the Basic Agrarian Law obliges to register the transfer of rights due to such sale and purchase. In practice, in Bermani Ulu District, Rejang Lebong Regency, there is a practice of buying and selling land that has not been certified. Land that has not been certified is land that has never been registered at the land office. The practice of buying and selling is mostly carried out in front of the village head in cash, real and clear. This thesis discusses the process of recording land ownership rights based on a village head's certificate and the legal force of the land certificate when compared to the deed issued by the PPAT. The method used is empirical juridical method and the specifications used in this study are analytical prescriptive. Based on the results of the research, it can be seen that the process of recording ownership of land rights in Kampung Melayu Village is fairly easy, namely by facing the parties to the village office along with witnesses, then measuring the boundaries of the land by the head of the hamlet, then the village head issues a Certificate of Transfer of Rights. The position of the sale and purchase letter under the hand, as long as according to the Head of the Land Office it is correct and can be accounted for, then it can be used as a basis for conducting the first land registration and of course it must be equipped with other supporting documents as mentioned in KBPN Regulation Number 1 of 2010."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Grey, Andrew
"Tesis ini membahas pembatalan sertipikat hak milik atas tanah karena akta jual beli yang dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah terdapat cacat hukum. Akta jual beli menjadi penting dalam proses pendaftaran tanah karena keabsahannya mempengaruhi keabsahan sertipikat yang akan diterbitkan, sehingga jika akta jual beli cacat hukum maka sertipikat yang diterbitkan dapat dilakukan pembatalan seperti dalam kasus pada putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG. Adapun yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah berkaitan dengan akibat hukum pembatalan sertipikat hak milik atas tanah karena akta jual beli yang cacat hukum, tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) terhadap akta yang cacat hukum, serta proses pembatalan sertipikat berdasarkan putusan pengadilan pada Badan Pertanahan Nasional Kota Depok. Metode penilitian tesis ini menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian deskriptif, dan menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara dengan narasumber yang memiliki kompetensi dan pengetahuan terhadap tesis ini. Hasil penelitian dalam tesis ini yaitu, pertama akibat hukum adanya pembatalan sertipikat, mengakibatkkan pihak yang namanya tertulis di sertipikat kehilangan haknya dan pemilik yang sesungguhnya dapat memperoleh haknya, kedua PPAT dalam putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif, perdata maupun pidana karena akta jual beli yang cacat hukum tidak tidak terdaftar di kantor PPAT dan tidak dibuat oleh PPAT yang bersangkutan, ketiga Proses pembatalan sertipikat berdasarkan putusan nomor 72/G/2018/PTUN.BDG belum dapat dilaksanakan karena menurut Badan Pertanahan Nasiolan Kota Depok, belum ada permohonan dari pihak penggugat sebagaimana diamanatkan pada Pasal 50 Ayat (1) PMNA 11/2016. Sehingga Menurut BPN Kota Depok walaupun telah diterima putusan pengadilan, tidak serta merta sertipikat menjadi otomatis batal melainkan harus dilakukan permohonan terlebih dahulu. Agar permasalahan pada tesis ini tidak terulang di masa mendatang sebaiknya Badan Pertanahan Nasional lebih cermat dan teliti lagi dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.
This thesis discusses the cancellation of a certificate of land ownership due to the deed of sale and purchase which is used as the basis for land registration has legal defects. Deed of sale and purchase becomes important in the process of land registration because its validity affects the validity of the certificate to be issued, so that if the sale deed is legally flawed, the certificate issued can be canceled as in the case in decision number 72/G/2018/PTUN.BDG. The problem in this thesis is related to the legal consequences of the cancellation of certificate of land ownership due to the deed of sale and purchase is legally defected, PPAT's responsibility for the legal defect, and the process of cancellation the certificate based on court decision at BPN Depok City. This thesis research method uses a form of juridical-normative research with descriptive research typology, and uses secondary data which is supported by interviews with resource persons who have the competence and knowledge of this thesis. The results of research in this thesis are, firstly due to the legal existence of certificate cancellation, resulting in the party whose name is written on the certificate losing their rights and the real owner can obtain their rights, secondly PPAT in decision number 72/G/2018/PTUN.BDG, cannot be held liable for administrative, civil or criminal liability because deed of sale and purchase is legally flawed are not registered at the PPAT office and not made by the relevant PPAT, thirdly, the process of certificate cancellation is based on decision number 72/G/2018/PTUN.BDG cannot be implemented because according to the BPN Depok City, there is no application from the plaintiff as mandated in Article 50 Paragraph (1) PMNA 11/2016. So according to the BPN Depok City even though a court decision has been received, it does not necessarily mean that the certificate will automatically be canceled, unless the application must be done in advance. In order for the problem in this thesis are not repeated in the future, the National Land Agency should be more carefully and more thorough in the process of issuing certificates of land rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nandira Vinzka Cahyagita
"Penelitian ini membahas dan menganalisis mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah. Permasalahan dalam penelitian mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak tersebut. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. PPAT seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa dokumen sebelum pembuatan akta tersebut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini bahwa PPAT membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan penyelundupan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak menjadi batal demi hukum dan Notaris/PPAT harus bertanggung jawab dengan sanksi yang dapat diberikan.
This study discusses and analyzes the legal power of absolute power in the transfer of land rights. Problems in research regarding the legal power of absolute power of attorney and how is the responsibility of the Notary/PPAT regarding the sale and purchase deed made based on this absolute power of attorney. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or apartment ownership rights, or to make evidence regarding certain legal actions regarding land rights that will be used as the basis for registration. PPAT should be more careful and thorough in checking documents before making the deed. The main problem in this study is that the PPAT makes a sale and purchase deed based on absolute power of attorney so that the act is a prohibited act because the act is legal smuggling. The research method used in this research is normative juridical which is carried out by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study indicate that the transfer of land rights through a sale and purchase deed made based on absolute power of attorney is null and void and the Notary/PPAT must be responsible for the sanctions that can be given."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Victoria Natalie
"Pemerintah menerapkan pembatasan terhadap kepemilikan tanah di Indonesia. Pemerintah melarang badan hukum memiliki hak milik atas tanah, kecuali badan hukum yang dinyatakan oleh peraturan pemerintah. Dalam transaksi yang berkaitan dengan pertanahan, seringkali dijumpai badan hukum (yang tidak ditunjuk pemerintah) yang mengupayakan untuk dapat memperoleh tanah dengan status hak milik dengan mekanisme perjanjian pinjam nama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum doktrinal berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan data primer. Kasus pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2305 K/Pdt/2020 menyatakan bahwa pemilik sebenarnya dari tanah dan bangunan objek sengketa adalah pihak Gapensi yang merupakan badan hukum berbentuk Perkumpulan. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan perjanjian nominee yang dibuat dengan Akta Notaris No 7 antara Gapensi dengan Gito Suwiryo sebagai upaya penyelundupan hukum tetapi menjadikannya dasar bahwa tanah dan bangunan objek sengketa tersebut sebenarnya adalah milik Gapensi. Disisi lain perjanjian nominee tersebut apabila diuraikan berdasarkan syarat-syarat sah suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat “suatu sebab yang halal”. Hal ini karena perjanjian nominee tersebut melanggar Pasal 21 ayat (2) jo Pasal 1 ayat (1) PP No 38 Tahun 1963 dan Pasal 26 ayat (2) UUPA, sehingga seharusnya perjanjian nominee tersebut menjadi batal demi hukum karena melanggar hukum. Akan tetapi dalam putusan, Majelis Hakim mengakui keabsahan perjanjian nominee yang dibuat dihadapan notaris.
The government imposes restrictions on land ownership in Indonesia. The government prohibits legal entities from having ownership rights to land, except for legal entities declared by government regulations. In land-related transactions, legal entities (which are not appointed by the government) are often found who try to obtain land with ownership status using a nominee agreement mechanism. This research uses a doctrinal legal research method based on secondary data obtained from the results of library research and primary data. The case in the Supreme Court decision Number 2305 K/Pdt/2020 states that the actual owner of the land and buildings subject to dispute is Gapensi which is a legal entity in the form of an association. The Panel of Judges did not consider the nominee agreement made with Notarial Deed Number 7 between Gapensi and Gito Suwiryo as an attempt to smuggle the law but used it as the basis that the land and building objects in dispute actually belonged to Gapensi. On the other hand, if the nominee agreement is described based on the legal terms of an agreement, then the agreement does not fulfill the requirement of "a lawful cause". This is because the nominee agreement violates Article 21 paragraph (2) in conjunction with Article 1 (1) PP No. 38 of 1963 and Article 26 (2) UUPA, so the nominee agreement should be null and void because it violates the law. However, in the decision, the Panel of Judges acknowledged the validity of the nominee agreement made before a notary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nurmala Kristina
"Sertipikat merupakan suatu alat bukti yang kuat, selama tidak dapat dibuktikan lain. Akan tetapi jika terdapat suatu perjanjian dimana sertipikat menjadi obyeknya, manakah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lebih kuat. Permasalahan yang dibahas yaitu bagaimanakah kekuatan perjanjian dibandingkan dengan sertipikat untuk dijadikan sebagai bukti kepemilikan serta bagaimanakah hakim menerapkan hukum mengenai keabsahan perjanjian dibandingkan dengan bukti kepemilikan sertipikat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2972 K/Pdt/2002 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 191 PK/Pdt/2012. Penelitian ini merupakan yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriftif analitis.
Berdasarkan penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perjanjian yang berlaku sah dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat, hal ini berkaitan dengan pemenuhan syarat sahnya perjanjian serta dalam bentuk apa perjanjian tersebut dituangkan tertulis ataukah lisan oleh para pihak yang terkait dalam perjanjian itu sendiri yang dapat menyebabkan suatu perjanjian dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang kuat. Sementara penerapan hukum yang dilakukan oleh hakim, yaitu bahwa perjanjian dalam kasus ini tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti yang kuat, hal itu tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1875 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian juga mengikat bagi para ahli waris dari pihak yang membuat perjanjian yang dimaksud.
The certificate is a powerful evidence, as long as it can not be proved otherwise. But if there is an agreement whereby the certificate becomes its object, which one can serve as a stronger evidence. The issue discussed is how is the power of the agreement compared with the certificate to be used as an evidance of ownership and how the judges apply the law regarding the validity of the agreement compared with the evidence of ownership of the certificate in the Supreme Court Decision Number 2972 K/Pdt/2002 jo. Supreme Court 191 PK/PDT/2012. This research is normative juridical with analytical descriptive research type. Based on the research it can be concluded that a valid agreement can be used as a strong evidence, it relates to the fulfillment of the validity of the agreement and in what form the agreement is written or oral by the parties involved in the agreement itself which may cause a Agreements can be used as a powerful evidence. While the application of the law by the judge, namely that the treaty in this case can not be said as a strong evidence, it is not in accordance with the provisions of Article 1875 Civil Code which states that an agreement also binds to the heirs of the party making the agreement in question."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48750
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library