Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129057 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ashilah Chalista
"Jual beli tanah yang dilakukan secara lisan seringkali masih ditemui dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang belum terdapat banyak PPAT di daerahnya. Peralihan hak atas tanah secara lisan dapat menimbulkan berbagai permasalahan di kemudian hari oleh karena minimnya bukti-bukti yang dapat menerangkan mengenai peristiwa tersebut. Salah satu permasalahan yang dapat timbul adalah ketika kemudian hari ternyata pembeli ingin menghibahkan hak atas tanah di hadapan PPAT. Dalam penelitian ini dianalisis dan ditelaah mengenai kekuatan hukum jual beli tanah yang dilakukan secara lisan ketika akan dilakukan peralihan hak setelahnya, keabsahan pembuatan akta hibah oleh PPAT Sementara, serta pertanggungjawaban dibatalkannya akta hibah dengan menggunakan studi kasus dalam Putusan Nomor 95 K/Pdt/2021. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dengan tipe penelitian perskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jual beli tanah yang dilakukan secara lisan mengikat para pihak secara terbatas. Tidak adanya alat bukti yang dimiliki menjadikan jual beli tidak mempunyai kekuatan hukum di muka pengadilan. Penghibahan yang dilakukan juga tidak sah oleh karena tidak terpenuhinya persyaratan-persyaratan hibah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan PMNA No 3 Tahun 1997. PPAT Sementara yang menerbitkan akta hibah hanya berlandaskan pada SPPT PBB yang dimiliki oleh pemberi hibah, padahal SPPT PBB bukanlah bukti kepemilikan hak atas tanah. Atas hal tersebut, PPAT Sementara dapat dimintai pertanggungjawaban, baik dalam aspek perdata maupun secara administratif.

The oral land transactions are still often encountered in community life, especially in rural areas where there are not many Land Deed Officials (PPAT) available. The transfer of land rights orally can lead to various issues in the future due to the lack of evidence that can explain the event. One of the issues that may arise is when, in the future, the buyer wishes to donate the land rights through PPAT. In this research, an analysis and examination were conducted regarding the legal validity of land transactions conducted verbally when transferring ownership rights thereafter, the validity of the process carried out by the Temporary Land Deed Official (PPAT Sementara) in the creation of a deed of gift, and the accountability for the cancellation of the deed of gift using a case study in Decision Number 95 K/Pdt/2021. This study employs a doctrinal method with a descriptive research type. The results indicate that land transactions conducted verbally bind the parties involved to a limited extent. The lack of supporting evidence renders such transactions unjustifiable in court. The act of giving is also deemed invalid due to the failure to fulfill the requirements for a gift as stipulated in Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration and PMNA No. 3 of 1997. The PPAT Sementara issuing the deed of gift is solely based on the Land and Building Tax Payment Receipt (SPPT PBB) held by the donor, although the SPPT PBB does not serve as proof of ownership rights to the land. Therefore, the PPAT Sementara can be held accountable, both in terms of private law and administratively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nandira Vinzka Cahyagita
"Penelitian ini membahas dan menganalisis mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah. Permasalahan dalam penelitian mengenai kekuatan hukum kuasa mutlak serta bagaimana tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak tersebut. PPAT adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar pendaftarannya. PPAT seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa dokumen sebelum pembuatan akta tersebut. Pokok permasalahan dalam penelitian ini bahwa PPAT membuat akta jual beli berdasarkan kuasa mutlak sehingga perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang dikarenakan perbuatan tersebut merupakan penyelundupan hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan menganalisis dan menelaah norma hukum yang relevan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui akta jual beli yang dibuat berdasarkan kuasa mutlak menjadi batal demi hukum dan Notaris/PPAT harus bertanggung jawab dengan sanksi yang dapat diberikan.

This study discusses and analyzes the legal power of absolute power in the transfer of land rights. Problems in research regarding the legal power of absolute power of attorney and how is the responsibility of the Notary/PPAT regarding the sale and purchase deed made based on this absolute power of attorney. PPAT is a public official who is authorized to make authentic deeds regarding certain legal actions regarding land rights or apartment ownership rights, or to make evidence regarding certain legal actions regarding land rights that will be used as the basis for registration. PPAT should be more careful and thorough in checking documents before making the deed. The main problem in this study is that the PPAT makes a sale and purchase deed based on absolute power of attorney so that the act is a prohibited act because the act is legal smuggling. The research method used in this research is normative juridical which is carried out by analyzing and examining relevant legal norms. The results of this study indicate that the transfer of land rights through a sale and purchase deed made based on absolute power of attorney is null and void and the Notary/PPAT must be responsible for the sanctions that can be given."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Sakinah
"PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai hak atas tanah, salah satunya ialah Akta Hibah. Hibah ialah perjanjian sepihak dimana pihak pertama akan menyerahkan suatu benda karena kebaikannya kepada pihak lain. Dalam pelaksanaannya, hibah harus memenuhi syarat objektif maupun subjektif. Tidak terpenuhinya syarat materiil menyebabkan suatu perbuatan hukum menjadi batal demi hukum seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 195/Pdt.G/2020/PN Blb yang mana hakim menyatakan batal demi hukum akta hibah yang dibuat berdasarkan identitas palsu. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. tanggung jawab PPAT terhadap pembuatan akta hibah berdasarkan identitas palsu, 2. akibat hukum pembatalan akta hibah, 3. implementasi asas itikad baik atas peralihan hak atas tanah berdasarkan putusan pengadilan negeri bale bandung Nomor 195/Pdt.G/PN Blb. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah PPAT tidak bertanggung jawab atas pembuatan akta hibah yang memuat identitas palsu sebab PPAT hanya bertanggung jawab atas kebenaran formiil, 2. Akta hibah yang memuat identitas palsu tidak memenuhi syarat objektif sehingga batal demi hukum, maka hibah hibah tersebut dianggap tidak pernah ada, 3. YK dalam kasus posisi tersebut tidak mengimplementasikan asas itikad baik sedangkan DW selaku pembeli atas tanah objek hibah dapat dinyatakan sebagai pembeli beritikad baik. Adapun saran yang dapat diberikan yaitu seharusnya PPAT dalam menjalankan tugasnya mengedepankan asas kehati-hatian dan setiap individu harus mengimplementasikan asas itikad baik atas setiap perbuatan hukum.

PPAT is a public official authorized to make authentic deeds regarding land rights, one of which is the Grant Deed. A grant is a one-sided agreement in which the first party will hand over an object because of their kindness to another party. In its implementation, grants must meet both objective and subjective requirements. The non-fulfillment of material conditions causes a legal action to be null and void, as in the Bale Bandung District Court Decision Number 195/Pdt.G/2020/PN Blb, in which the judge declared null and void the grant deed made based on a false identity. The problems raised in this study are 1. PPAT's responsibility for creating a grant deed based on a false identity, 2. the legal consequences of canceling the grant deed, 3. implementation of the principle of good faith on the transfer of land rights based on the decision of the Bale Bandung District Court Number 195/ Pdt.G/PN Blb. A normative juridical legal research method with an explanatory type of research was used to answer these problems. The analysis results are that PPAT was not responsible for making a grant deed containing a false identity because PPAT was only responsible for the formal truth, 2. The grant deed containing a false identity did not meet the objective requirements, so it was null and void, then the grant was considered to have never existed, 3. In the case of the position, YK did not implement the principle of good faith, while DW, as the buyer of the land object of the grant, can be declared a buyer in good faith. The advice that can be given is that PPAT should prioritize the principle of prudence in carrying out its duties, and each individual must implement the principle of good faith for every legal act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febyola Berlyani Sugiarto
"Dalam rangka memberikan kepastian hukum maka peralihan hak atas tanah melalui jual beli harus dituangkan dalam Akta Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Namun apabila persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang belum dipenuhi maka dapat dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai perjanjian pendahuluan. Dalam kenyataannya, PPJB sering disalahgunakan untuk menutupi perbuatan hukum yang tidak seharusnya dilakukan guna mengalihkan kepemilikan hak atas tanah, yaitu melalui pencantuman klausula “membeli kembali” sebagaimana ditemukan dalam kasus yang ada pada Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 215/PDT/2021/PT.SMG. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” serta tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta jual beli (AJB) berdasarkan PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali”. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan untuk menjawab kedua masalah tersebut. Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi dokumen (kepustakaan), selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dinyatakan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, akibat hukum dari PPJB yang mengandung klausula “membeli kembali” menurut putusan hakim a quo adalah sah dan mengikat. Namun putusan tersebut tidak tepat, karena PPJB dengan klausula “membeli kembali” tidak dikenal dalam Hukum Adat, selain itu juga merupakan suatu penyelundupan hukum yang menjadikan isi PPJB tersebut mengandung unsur penyalahgunaan keadaan, kausa terlarang, dan pelanggaran iktikad baik sehingga mengakibatkan PPJB menjadi cacat hukum dan seharusnya batal demi hukum. Adapun AJB yang dibuat berdasarkan PPJB semacam itu juga menjadi tidak sah, terlebih dalam pembuatan AJB di hadapan PPAT pihak penjual tidak dihadirkan, oleh karena itu AJB tersebut tidak memenuhi syarat formiil sehingga harus dinyatakan batal demi hukum; Kedua, tanggung jawab PPAT dalam pembuatan AJB berdasarkan PPJB yang mengandung unsur cacat hukum adalah tanggung jawab secara perdata. Hal ini disebabkan karena PPAT telah lalai dalam membuat AJB tanpa memperhatikan keabsahan dokumen yang berkaitan dengan AJB, selain itu juga tidak dihadirkannya salah satu pihak pada saat pembuatan AJB. Namun PPAT dalam kasus yang ada dalam putusan a quo telah meninggal dunia sehingga pertanggungjawaban secara perdata yang harus ditanggung oleh PPAT menjadi gugur.

In order to provide legal certainty, the transfer of land rights through buying and selling must be stated in the Sale and Purchase Deed before the Land Deed Making Officer (PPAT). However, if the requirements specified by law have not been met, a Sale Purchase Agreement (PPJB) can be made as a preliminary agreement. In reality, PPJB is often misused to cover up legal actions that should not have been taken to transfer ownership of land rights, namely through the inclusion of a “buy back” clause as found in the case in the Semarang High Court Decision Number 215/PDT/2021/PT. SMG . The issues raised in this study are related to the legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause and the PPAT's responsibility in making a sale and purchase deed (AJB) based on the PPJB which contains a "buy back" clause. This doctrinal legal research was conducted to answer these two problems. Secondary data collected through document study (library), then analyzed qualitatively. From the results of the analysis, several things can be stated as follows: First, legal consequences of the PPJB which contains a "buy back" clause according to the judge's decisiona quo is valid and binding. However, this decision is not correct, because the PPJB with the "buy back" clause is not recognized in customary law, besides that it is also a law smuggling which makes the contents of the PPJB contain elements of misuse of circumstances, prohibited causes, and violations of good faith so that the PPJB becomes legally flawed and should be null and void. As for AJB made based on such PPJB also becomes invalid, especially in the making of AJB before the PPAT the seller is not presented, therefore the AJB does not meet the formal requirements so it must be declared null and void; Second, PPAT's responsibility in making AJB based on PPJB which contains elements of legal defects is a civil responsibility. This was because the PPAT had neglected to make the AJB without regard to the validity of the documents related to the AJB, besides that one of the parties was not present at the time the AJB was made. But PPAT in the case that is in the decisiona quo has passed away so that the civil liability that must be borne by the PPAT is null and void."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Yuvika Jasmin
"Konversi hak atas tanah dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemilik tanah dengan diperlukannya suatu pendaftaran tanah agar diterbitkannya suatu sertipikat untuk dapat melakukan perbuatan hukum seperti pemberian warisan. Cara mendapatkan suatu warisan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan undang-undang atau berdasarkan dengan kehendak terakhir dari seseorang yang dituangkan ke dalam suatu wasiat (testament). Permasalahan dalam penelitian ini mengenai perlindungan hukum terhadap pelaksana wasiat sebagai pemilik tanah bekas hak eigendom verponding yang belum dilakukan konversi terlebih dahulu namun disertipikatkan oleh ahli waris lainnya dan kedudukan harta peninggalan pewaris yang diberikan kepada pelaksana wasiat melalui hibah wasiat terhadap golongan kedua. Penelitian ini menggunakan penelitian doktrinal dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan. Hasil penelitian terhadap pelindungan hukum yang diperoleh oleh pelaksana wasiat adalah ketika menerima hibah wasiat berupa tanah dan bangunan, dapat mengajukan pendaftaran melalui permohonan dan pemberian hak tanah dengan status tanah negara, namun ternyata adanya surat keterangan waris yang dibuat oleh ahli waris lainnya yaitu saudara kandung pewaris yang masih hidup tanpa menjadikan pelaksana wasiat sebagai pihak, maka perlindungan hukumnya adalah berupa pembatalan surat keterangan waris dilanjutkan dengan penetapan kembali ahli waris sehingga pelaksana wasiat masuk sebagai pihak dan melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sporadik. Terhadap terbitnya Sertipikat atas nama ahli waris golongan kedua, dapat diajukan permohonan pencatatan blokir oleh pelaksana wasiat sebagai bentuk perlindungan hukum atas konflik terhadap tanah dan bangunan yang dimiliki pelaksana wasiat. Penetapan kembali terhadap surat keterangan waris memasukkan pelaksana wasiat sebagai ahli waris pengganti dan pelaksana wasiat berdasarkan akta hibah wasiat, sesuai dengan Pasal 917 KUHPerdata seluruh harta pewaris dapat diberikan kepada pelaksana wasiat. Dengan demikian, kedudukan harta yang ditinggalkan oleh pewaris adalah dalam kekuasaan pelaksana wasiat berdasarkan hibah wasiat yang diberikan kepadanya. Saran terhadap penelitian ini tanah negara yang diperoleh melalui hibah wasiat dilakukannya permohonan dan pemberian hak oleh pelaksana wasiat agar tidak bernilai nihil serta dalam menentukan kedudukan harta peninggalan pewaris tidak hanya melihat adanya sertipikat hak guna bangunan yang terbit atas nama ahli waris golongan kedua, tetapi juga melihat adanya akta hibah wasiat atas nama pewaris.

Conversion of land rights can provide legal protection for landowners who require land registration to issue a certificate to be able to carry out legal actions such as inheritance. An inheritance can be obtained by following the laws of the law or by following the testament of a person. The problem in this study was the legal protection of the testator as the owner of the former eigendom verponding land that had not been converted first but was certified by other heirs, as well as the status of the testator's inheritance granted to the testator through a bequest to the second group. This study used doctrinal research data collection procedures in the form of a literature review. The result of the research on the legal protection obtained by the testamentary executor was that when receiving a bequest in the form of land and buildings, it can apply for registration through an application and grant land rights with the status of state land, but if it turns out that there is a certificate of inheritance made by other heirs, namely the siblings of the living testator without making the testamentary executor a party, then the legal protection is in the form of canceling the certificate of inheritance followed by re-determination of the heirs so that the testamentary executor enters as a party and conducts land registration for the first time sporadically. To prevent the issuance of a certificate in the name of the second group of heirs, the testamentary executor can file an application for blocking registration as a form of legal protection against conflicts over land and buildings owned by the testamentary executor. The re-determination of the heirs includes the testamentary executor as a substitute heir and the testamentary executor based on the deed of testamentary grant, in line with Article 917 of the Civil Code, all of the testator's property can be given to the testamentary executor. Therefore, the position of the property left by the testator is in the power of the testamentary executor based on the testamentary grant given to him. The suggestion for this research is that state land obtained through testamentary grants should be applied for and given rights by the testamentary executor so that it is not worthless and in determining the position of the testator's estate, it looks not only at the existence of a building use right certificate issued in the name of the second group of heirs, but also at the existence of a testamentary grant deed in the name of the testator."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Pratiwi
"Perpindahan hak atas tanah (HAT) yang berstatus kredit pemilikan rumah (KPR) yang dibebani Hak Tanggungan melalui jual beli menggunakan perjanjian dibawah tangan yang masih sering dijumpai di kalangan masyarakat memiliki implikasi hukum terhadap para pihak terutama pihak pembeli pada saat penjual tidak dapat diketahui keberadaannya setelah pembeli melaksanakan kewajibannya, sehingga di pembeli kesulitan memperoleh haknya yaitu pengambilan sertifikat di bank. Hal tersebut terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong Nomor 365/PDT.G/2020/PN.Cbi. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengangkat permasalahan terkait perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik atas perjanjian jual beli HAT berstatus KPR yang dilakukan dengan perjanjian dibawah tangan. Penelitian hukum ini merupakan penelitian doktrinal, dengan bahan hukum diperoleh melalui studi dokumen kepustakaan. Adapun objek penelitian hukum berupa putusan pengadilan yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa dalam hal terjadi perpindahan HAT berstatus KPR melalui perjanjian dibawah tangan, pembeli dapat mengajukan gugatan perdata di pengadilan dan membuktikan keabsahan perjanjian dibawah tangan tersebut agar dapat mengambil sertifikat di bank dalam hal penjual tidak diketahui keberadaannya dan pembeli sudah melakukan kewajibannya.

The transfer of land rights (HAT) which has the status of a home ownership credit (KPR) which is burdened with mortgage rights through buying and selling using a private agreement which is still often found among the community has legal implications for the parties, especially the buyer, when the whereabouts of the seller cannot be known. after the buyer has carried out his obligations, the buyer has difficulty obtaining his rights, namely taking the certificate at the bank. This is contained in the Cibinong District Court Decision Number 365/PDT.G/2020/PN.Cbi. Therefore, this research was conducted to raise issues related to legal protection for buyers in good faith for HAT sale and purchase agreements with KPR status which were carried out by private agreement. This legal research is doctrinal research, with legal material obtained through the study of library documents. The object of legal research is court decisions that are linked to statutory regulations. From the research results, it can be explained that in the event of a transfer of HAT to KPR status through a private agreement, the buyer can file a civil suit in court and prove the validity of the private agreement so that he can take the certificate at the bank in the event that the seller's whereabouts are unknown and the buyer has already done his obligations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sila Rizki Mauliddini
"Pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap bidang-bidang tanah di wilayah Indonesia dengan suatu kepemilikan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya adalah tanah negara. Di Kota Balikpapan, dapat dijumpai tanah dengan status segel yakni tanah negara yang bukti penguasaannya ada pada seseorang. Dalam rangka mencegah terjadinya tumpang tindih tanah dengan status segel maka Pemerintah Kota Balikpapan mengeluarkan Izin Membuka Tanah Negara (IMTN). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pemegang IMTN. Namun dalam kenyataannya masih ditemukan persoalan yang dipicu oleh IMTN itu sendiri sebagaimana dialami oleh Tuan H sebagai pemegang IMTN atas tanah dengan status segel yang tidak dapat melakukan perpanjangan izin. Terkait hal tersebut maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah tentang kedudukan IMTN dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap pemegang IMTN yang tidak dapat melakukan perpanjangan izin. Untuk dapat menjawab kedua masalah tersebut maka penelitian doktinal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan hukum melalui studi dokumen. Guna memperkuat data sekunder yang dikumpulkan melalui studi tersebut, dilakukan pula wawancara dengan beberapa responden yang relevan dengan masalah penelitian. Selanjutnya data sekunder dan hasil wawancara dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa pengaturan tentang IMTN atas tanah dengan status segel tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960, namun diatur secara tersirat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, khususnya Pasal 24 Ayat (1). Pengaturan tentang IMTN ini termasuk dalam otonomi daerah berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Adapun perlindungan hukum yang semestinya diberikan kepada pemegang IMTN adalah bersifat preventif. Hal tersebut disebabkan penguasaan tanah negara dengan status segel oleh Tuan H yang tidak dapat dilakukan perpanjangan IMTN adalah karena telah dilakukan perpanjangan IMTN dan berada di kawasan resapan air. Perpanjangan IMTN tersebut hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. Adanya perlindungan hukum preventif yang dinyatakan sebelumnya dilakukan dengan pendaftaran tanah ke kantor pertanahan sesuai dengan peruntukkan tanah dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), yang dalam penelitian ini berupa Hak Pakai.

Land registration is intended to provide legal certainty for land parcels in the territory of Indonesia with ownership of land rights by applicable laws and regulations, including state land. In Balikpapan City, land with Segel status can be found, namely state land where proof of ownership is in the possession of a person. The Balikpapan City Government issues the Practice of License to Open State Land (IMTN) to prevent land overlapping with Segel status. The policy is intended to provide legal protection for IMTN holders. However, in reality, there are still problems triggered by the IMTN itself, as experienced by Mr. H as the IMTN holder of land with a Segel status who cannot extend the permit. Related to this, the issues raised in this study are about the legal status of IMTN in the land registration system in Indonesia and legal protection for IMTN holders who cannot extend permits. To be able to answer these two problems, this doctrinal research was carried out by collecting legal materials through document studies. To strengthen the secondary data collected through the study, interviews were also conducted with several respondents who were relevant to the research problem. Furthermore, secondary data and interview results were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be stated that the regulation regarding IMTN on land with Segel status is not regulated in the 1960 Indonesian Agrarian Law, but is implicitly regulated in Indonesian Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration, specifically Article 24 Paragraph (1). This arrangement regarding IMTN is included in regional autonomy based on the Decree of the President of the Republic of Indonesia Number 34 of 2003 concerning National Policy in the Land Sector. The legal protection that should be given to IMTN holders is preventive. This is due to the possession of state land with Segel status by Mr. H, which IMTN cannot extend because it has already been developed and is in a water catchment area. IMTN extension can only be done 1 (one) time with a period of 3 (three) years. The existence of preventive legal protection, which was stated previously, was carried out by registering land with the land office by the land allotment and the Regional Spatial Plan (RTRW), which in this study was in the form of a Right to Use."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Alexandra
"Peralihan hak atas tanah, salah satunya melalui jual beli harus dilakukan sesuai prosedur dan peraturan yang berlaku. Hal ini untuk mencegah terjadinya sengketa kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam jual beli. Salah satu syarat formil dalam jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus menerima sertipikat asli dan memeriksa kesesuaian data pada sertipikat tanah dengan data pada Kantor Pertanahan. Salah satu sengketa dalam jual beli tanah terjadi pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Penelitian ini menganalisis kedudukan hukum pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat dan tanggung jawab PPAT yang membuat akta jual beli yang bersangkutan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3081 K/Pdt/2021. Metode penelitian ini adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris yang menggunakan studi dokumen. Hasil penelitian ini adalah pihak yang menguasai secara fisik hak atas tanah berdasarkan akta jual beli tanpa kepemilikan sertipikat tidak memiliki kedudukan sebagai pihak yang berhak atau pemilik yang sah atas hak atas tanah yang bersangkutan karena jual beli tidak sah sesuai peraturan yang berlaku. PPAT yang membuat akta jual beli tanpa melakukan pengecekan sertipikat dapat dimintakan tanggung jawab secara administratif, perdata, dan pidana. PPAT seharusnya menolak untuk membuat akta jual beli apabila tidak diserahkan sertipikat asli.

The transfer of land rights, such as through buying and selling, should be done according to the procedure and prevailing regulations. This must be fulfilled to prevent conflict of land rights ownership and to give legal certainty for the parties. One of the formal requirements in the buying and selling of land rights is The Land Deed Official (PPAT) must receive the authentic land certificate and verify the data in the certificate with the data in the National Land Agency. An example of this issue happens in Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research analyses the legal standing of a party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate and the responsibility of The Land Deed Official who makes the sale and purchase deed in the Supreme Court Decision Number 3081 K/Pdt/2021. This research uses juridical normative method with explanatory typology using document studies. As the result of this research, the party who physically own land right based on sale and purchase deed without owning the certificate does not have the legal standing as the rightful owner of the land right because the sale and purchase deed does not fulfil the formal requirements and regulations. The Land Deed Official who made the sale and purchase agreement without verifying the certificate can be held responsible either administrative, civil, or criminal. The Land Deed Official should refuse to make the sale and purchase deed if there is no authentic certificate provided."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rissa Zeno Tulus Putri
"Untuk menjamin kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah dibutuhkan bukti yang sempurna dalam suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data yuridis pendaftaran tanah di Indonesia, yang prosedur pembuatannya harus sesuai dengan ketentuan tata cara pembuatan akta PPAT. Salah satu kewajiban PPAT adalah membacakan sendiri akta yang dibuatnya. Pada praktiknya, masih ditemukan permasalahan mengenai akta jual beli yang tidak dibacakan sendiri oleh PPAT, melainkan dibacakan oleh pegawai kantornya. Terdapat dua masalah yang diangkat dalam tesis ini yaitu akibat hukum akta jual beli yang dibacakan oleh pegawai kantor PPAT, dan keabsahan dari pendaftaran peralihan hak atas tanah berdasarkan akta jual beli yang dibacakan oleh pegawai kantor PPAT. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, dengan analisis data kualitatif. Menurut sifatnya, penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan akta jual beli yang dibacakan oleh pegawai kantor PPAT akan membawa akibat hilangnya otentisitas dari akta. Seharusnya akta jual beli yang tidak memenuhi persyaratan formil dalam suatu pembuatan akta PPAT tidak dapat dijadikan dasar untuk dilakukannya perubahan data pendaftaran tanah. Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah dilakukan dan dikemudian hari diketahui bahwa akta PPAT yang dijadikan dasar untuk dilakukannya perubahan data pendaftaran tanah sebenarnya telah kehilangan otentisitasnya, maka pendaftaran peralihan hak atas tanah yang telah dilakukan tersebut dapat dilakukan pembatalan oleh Kepala Kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional.

To ensure the legal certainty of the transition of land rights it requires perfect evidence in a deed made by and in the presence of PPAT. PPAT Deed is one of the main sources in the maintenance of the data on the registration of land in Indonesia, whose manufacturing procedures must be in accordance with the provisions of the procedure for the creation of PPAT deed. One of PPAT`s obligations is to read the deed itself. In practice, it is still found the problem of buying and selling act which is not read by PPAT, but read by his office officers. There are two problems raised in this thesis that is due to the legal buy and sell act which is read by the PPAT office employees, and the validity of the transitional registration of land rights based on the deed of sale which is read by the PPAT office employees. This research uses juridical-normative research methods, with qualitative data analysis. According to its nature, this research is an analytical descriptive.
Based on the results of the research, the manufacture of sale and purchase deed read by the PPAT office will bring the consequences of loss of authenticity from the deed. It should be a sale deed that does not meet the formyl requirements in the creation of the PPAT deed could not be made basis for the change of land registration data. On the registration of land rights transition that has been done and later known that the PPAT deed as the basis for the change of land registration data has actually lost its authenticity, then the registration of the transition The rights to the land that has been done can be cancelled by the head of the National Land Agency office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53685
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Blansius Ma
"Akta Jual Beli seharusnya dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan murni karena kehendak kedua belah pihak. Apabila terdapat keraguan dalam prosesnya, Pejabat Pembuat Akta Tanah sebaiknya tidak melanjutkan pembuatan akta tersebut. Pada putusan Mahkamah Agung Nomor 3507 K/Pdt/2023, diketahui bahwa proses pembuatan Akta Jual Beli dilakukan tidak sesuai dengan prosedur yang ada dan atas dasar kesepakatan satu pihak. Hal ini dapat ditunjukkan dari pembuatan akta yang dilakukan tidak dihadapan pejabat, akta yang tidak dibacakan dan dijelaskan, serta adanya penyalahgunaan keadaan karena keunggulan ekonomis terhadap Penggugat. Permasalahan yang diteliti dalam tesis ini adalah mengenai keabsahan dari Akta Jual Beli yang dibuat dengan penyalahgunaan keadaan dan pertanggungjawaban dari Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menerbitkan akta tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian doktrinal yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Seluruh data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menghasilkan tulisan yang eksplanatoris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Akta Jual Beli yang dibuat dengan penyalahgunaan keadaan tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian, sehingga berakibat dapat dibatalkannya perjanjian tersebut. Penggugat yang dirugikan meminta pembatalan kepada pengadilan dan dikabulkan. Peralihan hak atas tanah yang dilakukan Tergugat juga menjadi tidak sah karena pembatalan Akta Jual Beli ini. Pejabat Pembuat Akta Tanah tetap bertanggung jawab atas akta yang dibuatnya, walaupun terdapat penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh satu pihak. Pertanggungjawaban yang dapat dimintakan kepadanya adalah tanggung jawab secara administratif.

The Deed of Sale and Purchase should be made in accordance with the provisions of the applicable laws and purely because of the will of both parties. If there is any doubt in the process, the Land Deed Making Officer should not proceed with the making of the deed. In the Supreme Court Decision Number 3507 K/Pdt/2023, it is known that the process of making the Deed of Sale and Purchase was carried out not in accordance with existing procedures and based on agreement of only one party. These can be shown from the making of deed that were carried out not in front of the officer, deeds that were not read and explained, and abuse of circumstances due to economic superiority over the Plaintiff. The problem explained in this thesis are about the validity of the Deed of Sale and Purchase made by abusing the circumstance and the accountability of the Land Deed Making Officer who issued the deed. The research method used in this thesis is a doctrinal research method conducted by researching literature materials. All data obtained were analyzed qualitatively to produce an explanatory writing. The results of the study show that the Deed of Sale and Purchase made by abusing circumstance does not meet the subjective requirements of the agreement, resulting in the cancellation of the agreement. The Plaintiff then asked the court for annulment, and it was granted. The transfer of land rights carried out by the Defendant also became invalid due to the cancellation of the Sale and Purchase Deed. The Land Deed Making Officer remains responsible for the deed he makes, even if there is an abuse of circumstance committed by one party. The responsibility that can be asked of him is administrative responsibility."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>