Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137033 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sualang, Keane Natalia Christy
"Penelitian ini membahas mengenai pembentukan produk hukum daerah di daerah otonomi baru di Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan melakukan penelusuran atau pendekatan terhadap Peraturan Perundang-undangan, studi pustaka dan untuk menunjang hal tersebut dilakukannya wawancara terhadap narasumber terkait. Daerah Otonomi Baru mempunyai kondisi yang berbeda dengan Daerah Otonomi yang sudah lama berdiri. Salah satu kondisi tersebut adalah tidak adanya lembaga pembentukan Produk Hukum Daerah yang berwenang. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai pembentukan daerah otonomi baru dan pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia mengalami permasalahan dalam pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah provinsi, peraturan daerah khusus dan peraturan gubernur. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan daripada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah. Kekosongan hukum merupakan salah satu permasalahan dalam penelitian ini. Hasil daripada wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini adalah Kondisi Provinsi Papua Tengah tidak bisa disamakan dengan Provinsi yang sudah lama terbentuk. Untuk pembentukan produk hukum daerah, Provinsi Papua tengah berwenang membentuk produk hukum daerah selain yang diperintahkan Undang-Undang dengan bentuk produk hukum daerah yang lain. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Ilmu dan Teori Peraturan Perundang- undangan.

This research discusses the formation of regional legal products in the new autonomous region in Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia. This research is normative legal research by conducting searches or approaches to Legislative Regulations, literature studies and to support this, interviews with relevant sources are conducted. The New Autonomous Region has different conditions from the long-established Autonomous Region. One of these conditions is the absence of an authorized regional legal product formation institution. This research explains the formation of new autonomous regions and the formation of regional legal products, specifically regional regulations and regional head regulations. Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia is experiencing problems in the formation of regional legal products, specifically provincial regional regulations, special regional regulations and governor regulations. This is due to the authority given by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province and Law Number 15 of 2022 concerning the Establishment of Central Papua Province. Legal vacancy is one of the problems in this research. The results of interviews conducted for this research are that the conditions of Central Papua Province cannot be compared to provinces that have been established for a long time. For the formation of regional legal products, Papua Province has the authority to form regional legal products other than those ordered by law with other forms of regional legal products. But this is not in accordance with the Science and Theory of Legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maharanie
"Undang-undang sebagai hukum tertulis dapat lebih menimbulkan kepastian hukum, mudah dikenali, serta mudah untuk membuat atau menggantinya jika sudah tidak diperlukan lagi atau tidak sesuai lagi. Kelemahannya, kadang suatu perundang-undangan bersifat kaku (rigid) dan ketinggalan zaman karena perubahan di masyarakat begitu cepat. Di samping itu karena undang-undangan sering kali dipandang sebagai sebuah produk hukum namun karena dibuat oleh lembaga politik yang maka seringkali bernuansa politis, dalam pembentukannya kadang terjadi political bargaining atau tawar-menawar yang bermuara pada kompromi yang dapat berupa consensus atau kesepakatan politis yang dituangkan dalam norma (pasal) yang kadang kurang mencerminkan kepentingan umum, melainkan hanya untuk kepentingan golongan bahkan kepentingan pribadi. Hal ini kadang kala tidak dapat dihindari dalam proses pembentukan suatu undang-undang. Untuk itu perlu dicermati bagaimanakah tata cara pembentukan suatu undangundang, agar lebih mencerminkan kepentingan warga Negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Untuk itu perlu dibuka peluang partisipasi publik yang sebesarbsearnya dalam proses pembentukan kebijakan publik. Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan sebuah kebijakan seharusnya dilakukan dari awal perencanaan, pembuatan sampai pada tahan evaluasi. Dalam perencanaan awal pembentukan kebijakan masyarakat perlu untuk dilibatkan agar aware terhadap isu yang akan diatur, dalam proses pembentukan agar bisa mengerti bagaimana arah kebijakan tersebut akan dibentuk, dan pada tahap evaluasi agar memberikan masukan terhadap implementasi sebuah kebijakan.

Law as an written regulation give more certainty in the aplication, friendly recognize, and easy to change if it is not compatible anymore. Law also have some weakness which it?s character is very rigid compare with the changing in the society. Law as legsilastive product sometimes seen as a political product which have it?s political atmosphere because in the law making proccess can be some dealing among the actor and that dealing formulate in the article in the act. It is unavoidable sometime in the law making proccess eventhoug that is not reflecting people?s intersest but only the law maker intersest. That is why, it is necessary to scrutinize the procedure of the law making process so law as a public policy more reflecting people?s interest.That is why it?s really important to open public participation in the policy makin widely open. Public participation in the public policy making should be put on the agenda from the begining from planning, policy decisioning, up to evaluation. In the planning proccess people will be awared of the issue that will be regulate, in the decicion making people will see how is the policy maker vision of the issue, and in the evaluation procces people can give their oponion about the policy implementation."
2009
S25461
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Basuki
"Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi materi Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai produk hukum dalam kerangka perundang-undangan Indonesia. Dengan berfokus pada perspektif perundang-undangan, penelitian ini menggali aspek-aspek hukum yang melibatkan ketetapan MPR, termasuk proses pembuatannya, kekuatan hukumnya, dan dampaknya terhadap sistem hukum nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis normatif dan empiris untuk mengidentifikasi kerangka hukum yang mengatur ketetapan MPR, serta dampaknya terhadap pelaksanaan hukum di Indonesia. Dengan merinci aspek konstitusional dan hubungan ketetapan MPR dengan UUD 1945, tesis ini mengeksplorasi peran MPR dalam pembentukan hukum nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketetapan MPR, sebagai produk hukum, memiliki kekuatan hukum yang signifikan dan dapat menjadi dasar untuk perubahan-perubahan penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. Penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan dan potensi perbaikan terkait dengan implementasi ketetapan MPR, serta memberikan rekomendasi untuk pengembangan lebih lanjut dalam kerangka perundang-undangan.

This research was conducted with the aim of understanding the content of the MPR (People's Consultative Assembly) Decree as a legal product within the framework of Indonesian legislation. By focusing on a legislative perspective, this research explores the legal aspects involving MPR decisions, including the process of making them, their legal strength, and their impact on the national legal system. This research uses a normative and empirical analysis approach to identify the legal framework that regulates MPR decisions, as well as their impact on the implementation of law in Indonesia. By detailing the constitutional aspects and the relationship between MPR decisions and the 1945 Constitution, this thesis explores the role of the MPR in the formation of national law. The research results show that MPR decisions, as legal products, have significant legal force and can be the basis for important changes in the legal system and government. This research also identifies challenges and potential improvements related to the implementation of MPR provisions, as well as providing recommendations for further development within the legislative framework."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Ali
"Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) lahir dari adanya pendelegasian kewenangan mengatur yang timbul dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dimana pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi muatan mengenai mekanisme teknis formil pembentukan undang-undang bukanlah materi muatan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut pun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan memperoleh dukungan dari teori konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi senantiasa berisikan hal yang pokok dan penting. Misalnya seperti jaminan hak asasi manusia maupun norma fundamental ketatanegaraan seperti pengaturan tugas, fungsi, dan pengisian lembaga utama negara. Meskipun demikian pada konteks Indonesia materi muatan tentang pembentukan undang-undang yang diatur di dalam UUP3 tersebut memiliki signifikansi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Sebab sejak amandemen ketiga UUD 1945, Republik Indonesia telah membentuk lembaga negara baru berupa Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenangnya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi bentuk pengujian undang-undang tersebut tidaklah dibatasi dalam artian materil semata atau juga dalam segi formil. Pada praktiknya sejak berdiri pada 2003 yang lalu, Mahkamah Konstitusi secara kontinu menerima dan memutus pengujian materil maupun formil konstitusionalitas undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang ini lah UUP3 akhirnya memiliki signifikansi untuk diberikan kedudukan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengaturan terkait pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan sejumlah landasan berpikir dan prinsip proses pembentukan undang-undang, akan tetapi UUD 1945 tidaklah mengatur mengenai ketentuan metode dan teknis formil pembentukan undang-undang. Sebab hal tersebut memang bukanlah materi muatan UUD 1945 secara teoretik. Dengan demikian UUP3 khusus dalam konteks pengujian formil konstitusionalitas undang-undang harus digunakan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Karena jika hal tersebut tidak diterapkan maka sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi akan mengalami kesulitan dalam memutus permohonan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang yang diterimanya. Pandangan tersebut pun memperoleh dukungan dari sejumlah teori hierarki norma, judicial review, maupun pendekatan konsep pendelegasian kewenangan mengatur. Selain itu pada praktiknya terdapat sedikitnya 22 (dua puluh dua) Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan UUP3 dalam kedudukannya sebagai tolok ukur dalam pengujian formil konstitusionalitas undang-undang.

The Law on the Establishment of Legislation (UUP3) was emerged from the delegation of regulatory authority arising from the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution. Where the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution stipulate that further provisions regarding the formation of laws are regulated by law. This shows that the content material regarding the formal technical mechanism of forming laws is not the content material of the 1945 Constitution as the constitution of the Republic of Indonesia. This is also based on the results of the analysis that has been carried out to obtain support from constitutional theory which states that constitutional content material always contains basic and important matters. For example, such as guarantees of human rights and constitutional fundamental norms such as the arrangement of tasks, functions, and the filling of the main state institutions. Nevertheless, in the Indonesian context, the content material regarding the formation of laws regulated in the UUP3 has significance in examining the constitutionality of laws in Indonesia. Because since the third amendment to the 1945 Constitution, the Republic of Indonesia has established a new state institution in the form of the Constitutional Court, one of whose powers is to review laws against the 1945 Constitution. In practice, since its establishment in 2003, the Constitutional Court has continuously accepted and decided on material and formal reviews of the constitutionality of laws. In connection with the implementation of the formal review of the constitutionality of laws, the UUP3 finally has the significance of being given a position as a benchmark in this review. This is caused by the lack of regulation regarding the formation of laws in the 1945 Constitution. Although the 1945 Constitution has stipulated a number of rationale and principles for the process of forming laws, the 1945 Constitution does not regulate provisions regarding formal methods and techniques for forming laws. This is because it is not theoretically content material of the 1945 Constitution. Thus the UUP3 in the context of formal review of the constitutionality of laws must be used as a benchmark in this review. Because if this is not implemented, of course the Constitutional Court will experience difficulties in deciding the application for a formal review of the constitutionality of the law it receives. This view has also received support from a number of normative hierarchical theories, judicial review, as well as the delegation of regulatory authority concept approach. Besides that, in practice there are at least 22 (twenty two) Constitutional Court Rulings that use UUP3 in its position as a benchmark in the formal review of the constitutionality of laws."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagir Manan
Bandung: Alumni, 1993
342 BAG b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung
"Pembentukan undang-undang selama ini bersifat periodik, tidak mencerminkan perencanaan yang berkelanjutan, dan tidak efektif. Hal ini tergambar dengan berakhirnya periode masa keanggotaan DPR RI saat ini maka berakhir pula pembentukan undang-undang, sehingga pembentukan undang-undang periode selanjutnya dimulai dari awal. Carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 hadir sebagai solusinya. Penelitian ini menganalisis mengenai konsep carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019; implementasi dan kendala dalam penerapan mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024; serta konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik. Hasil penelitian tersebut bahwa carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 terjadi dalam hal sudah pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR RI sebelumnya, dengan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD dapat dimasukan ke dalam Prolegnas periode masa keanggotaan DPR RI selanjutnya. Carry over sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 merupakan padanan kata untuk RUU luncuran atau luncuran pembahasan yang dikenal dalam penyusunan Prolegnas tahunan, yang terjadi antar tahun dalam periode masa keanggotaan DPR yang sama. Implementasi carry over dalam pembentukan undang-undang dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024, pada umumnya sama seperti pembentukan undang-undang pada umumnya, yang membedakan adalah RUU yang dibentuk pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2019-2024 tidak melewati tahap penyusunan lagi karena dianggap sudah dijalankan pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019. Kendala dalam penerapan carry over adalah belum tersedianya peraturan pelaksana, konsep carry over multitafsir, dan politik hukum terkait pembentukan undang-undang yang dinamis. Konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik adalah carry over dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan perundang-udangan yang bertujuan untuk pemenuhan cita hukum. Saran dari penelitian ini hendaknya mekanisme carry over dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dapat disosialisasikan dengan lebih masif lagi dibentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan lebih lanjut mekanisme carry over serta mekanisme carry over dilaksankan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan undang-undang yang baik, yang sesuai dengan cita hukum bangsa yang tercermin dalam Pancasila.

The law-making process so far has been periodic, does not reflect sustainable planning, and is not effective. This is illustrated by the end of the current period of The Indonesia House of Representatives, so the law-making process is also ending, so that the law-making process for the next period starts from beginning. Carry over of the law-making process according to Article 71A Act No. 15 of 2019 is present as a solution. This study analyzes the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 and prior to the enactment of Act Number 15 of 2019; implementation and constraints on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024; and carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process. The results of this study show that the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 occurred in the event that the Inventory List of Problems has been discussed during the previous of The Indonesia House of Representatives period, with the agreement of the The Indonesia House of Representatives, President, and/or The House of Regional Representatives, that it can be included in the Prolegnas of the next period of The Indonesia House of Representatives. The carry-over concept on the law-making process of prior to the enactment of Act Number 15 of 2019, is the equivalent of the launch bill or launch discussion which is known in the preparation of the annual Prolegnas, which occurs between years within the same period of The Indonesia House of Representative. The implementation on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024 is generally the same as the formation of laws in general, what distinguishes is the bill that was making during of The Indonesia House of Representative period 2019-2024, does not pass the drafting stage again because it is considered to have been implemented during period 2014-2019. Constraints in implementing carry-over include the unavailability of implementing regulations, the concept of carry-over with multiple interpretations, and legal politics related to dynamic of law-making process. Carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process are carry over in the law-making process in accordance with the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process that aim to fulfill legal ideals. The suggestion from this research are that the carry-over mechanism of the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 can be more massively socialized; a Government Regulation has been established to regulate further provisions on the carry over mechanism; and the carry-over mechanism is carried out by taking into the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process which are in accordance with the ideals of national law as reflected in Pancasila."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2016
R 348.02 IND p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Chairunnisa Zahrariyadi
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kewenangan dalam pembentukan Peraturan Menteri ditinjau dari teori perundang-undangan dan dari Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 serta bagaimana keberlakuan Peraturan Menteri yang pembentukannya tidak didasarkan pada kewenangan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Peraturan Menteri adalah peraturan delegasi sehingga pembentukan Peraturan Menteri hanya bisa didasarkan pada kewenangan delegasi. Pasal 8 ayat (2) tidak bisa diartikan sebagai bentuk pengatribusian kewenangan mengatur sehingga Menteri dalam membentuk Peraturan Menteri tetap harus berdasarkan pendelegasian kewenanagan mengatur lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bagi Peraturan Menteri yang dibentuk tidak berdasarkan kewenangan delegasi, maka Peraturan Menteri itu tidak dapat diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara umum.

This thesis provides explanation on how the legislation authority works in establishing a Ministerial Regulation, based on the legislation theory and Article 8 paragraph 2 Law No. 12 of 2011. This thesis also provides explanation on how the impact of a Ministerial Regulation establishing if it was not based on the authority. This thesis is a normative legal study with bibliographical method. This thesis concludes that the Ministerial Regulation is a delegated legislation. Therefore, the Minister in terms of making this regulation shall refer to a delegated authority appointed by a higher regulation. The Regulation of The Minister formed without the delegated authority as the basic will make the regulation to be unrecognized as a regulation and not publicly binding."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ateng Syafrudin
Bandung: Mandar Maju, 1991
328.014 ATE d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Soemantri Martosoewignjo
Bandung: Padjadjaran, [date of publication not identified]
342.02 SRI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>