Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124006 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dinar Ramadhanti Putranto
"Perjanjian perkawinan merupakan suatu langkah preventif sekaligus sarana bagi calon suami dan istri untuk melindungi harta bendanya dari akibat hukum perkawinan. Indonesia sendiri mengakui perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri termasuk juga perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri. Dengan ini penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan hukum perkawinan warga negara Indonesia yang dilangsungkan di luar negeri serta dampak dari perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri terhadap harta benda yang ada di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam menyusun penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang memanfaatkan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Selain itu, penulis juga melakukan analisis terhadap Putusan Nomor 536/Pdt.G/2019/PN.Sgr., Putusan Nomor 93/PDT/2020/PT.Dps., dan Putusan Nomor 2234 K/Pdt/2021 untuk melakukan penelitian ini. Temuan penelitian mengindikasikan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri diakui sah selama sesuai dengan hukum negara tempat perkawinan berlangsung dan tidak melanggar undang-undang di Indonesia dan akibat hukum dari perkawinan tersebut baru akan muncul setelah didaftarkan sesuai dengan peraturan di Indonesia. Sementara itu, terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat di luar negeri memerlukan penetapan Pengadilan Negeri untuk dicatatkan di kantor catatan sipil. Keberlakuan perjanjian ini bergantung pada hukum negara yang berlaku serta hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian. Analisis putusan Pengadilan Negeri dalam kasus-kasus tertentu memberikan pemahaman mendalam tentang pertimbangan hakim dalam menangani perkara sejenis. Dengan menyajikan temuan ini, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada pemahaman hukum mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri bagi warga negara Indonesia serta memberikan landasan bagi penanganan kasus serupa di masa depan.

Marriage agreements serve as both a preventive measure and a means for prospective spouses to protect their assets from the legal consequences of marriage. Indonesia recognizes marriages conducted abroad, including marriage agreements made outside the country. Therefore, the author is interested in delving further into the validity of marriage agreements made abroad. This research aims to determine the legal validity of marriages involving Indonesian citizens held outside the country and the impact of marriage agreements made abroad on assets in Indonesia. The research methodology used in this research is a normative juridical method utilizing secondary data consisting of primary, secondary, and tertiary legal materials. Additionally, the author analyses Decision Number 536/Pdt.G/2019/PN.Sgr., Decision Number 93/PDT/2020/PT.Dps., and Decision Number 2234 K/Pdt/2021 for this study. The findings indicate that marriages conducted abroad are recognized as valid as long as they comply with the laws of the country where the marriage occurred and do not violate Indonesian laws, with legal consequences arising only after registration according to Indonesian regulations. Concerning marriage agreements made abroad, a determination by the District Court is required for registration in the civil registry office. The enforceability of these agreements depends on the laws of the relevant country and the laws applicable to the parties involved in the agreement. The analysis of District Court decisions in specific cases provides a profound understanding of the considerations judges take when handling similar cases. By presenting these findings, this research is expected to contribute to the legal understanding of marriages conducted abroad for Indonesian citizens and establish a foundation for the handling of similar cases in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Ridzka Maheswari Djasmine
"Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris sudah seharusnya memberikan penyuluhan hukum terkait pembuatan akta perjanjian perkawinan agar tidak melanggar batas-batas hukum dan agama sebagaimana disebutkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Jika kemudian pasangan suami-istri yang berbeda agama ingin membuat perjanjian perkawinan (postnuptial agreement) yang isinya tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, apakah sesuai kewenangannya Notaris kemudian dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut atau justru Notaris tidak dapat membuat perjanjian perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat mengenai batasan para pihak dalam membuat perjanjian perkawinan dan akibat hukum pembuatan klausula moralitas dalam perjanjian perkawinan terhadap perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri. Bentuk penelitian ini yuridis-normatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis adalah batasan dalam membuat perjanjian perkawinan terdiri dari batasan hukum berupa peraturan perundang-undangan seputar harta kekayaan dan batasan agama berupa hukum agama para pihak. Apabila Notaris membuatkan perjanjian perkawinan antara para pihak yang perkawinannya dilangsungkan di luar negeri akan tetapi perkawinan tersebut merupakan perkawinan beda agama dan kehendak para pihak yang akan dituangkan ke dalam perjanjian perkawinan tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan para pihak tetapi juga mengenai agama yang akan dianut oleh anak-anak para pihak, maka akan memiliki implikasi terhadap tiga pihak, yaitu terhadap Notaris, terhadap para pihak, dan terhadap pihak ketiga. Saran berupa dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang Perkawinan yang memperjelas ketentuan Pasal 29 dan mempertegas larangan perkawinan beda agama serta timbulnya kewenangan PP-INI untuk mengadakan seminar dengan pembahasan mengenai substansi perjanjian perkawinan yang hanya berisikan tentang harta kekayaan.

Notaries as public officials who are authorized to make authentic deeds and have other authorities based on the Notary Office Law should provide legal explanation regarding the formulation of a marriage agreement deed so as not to violate legal and religious boundaries as stated in Article 29 paragraph (2) of the Marriage Law. If then a married couple of different religions wants to make a postnuptial agreement whose contents not only stipulate the assets of the parties but also regarding the religion that will be adhered to by the children of the parties, is it within the Notary's power to draft such an agreement or even the Notary cannot draft the marriage agreement. Issues raised regarding the limitations of the parties in making marriage agreement and the legal consequences of including morality clauses in marriage agreement for interfaith marriage held abroad. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. The results of the analysis are the limitations in making a marriage agreement consisting of legal restrictions in the form of laws and regulations regarding assets and religious restrictions are in the form of religious laws of the parties. If a Notary draws up a marriage agreement between parties whose marriage was held abroad, but it is an interfaith marriage and the will of the parties to be poured into the marriage agreement regulates not only the assets of the parties but also regarding the religion to which the children will adhere, it will have implications for three parties, namely the Notary, against the parties, and against the third party. Suggestions in the form of revising the Marriage Law which clarifies the provisions of Article 29 and reinforces the prohibition on interfaith marriage as well as the emergence of PP-INI's authority to hold seminars with a discussion of the substance of the marriage agreement, which only comprises assets."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nataya Fariza
"Membina sebuah rumah tangga memang tidak semudah membalikkan tangan, pasti selalu ada konflik yang timbul terutama masalah harta kekayaan dalam perkawinan. Apabila sebelum melangsungkan perkawinan suami isteri tidak membuat perjanjian kawin, maka harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta persatuan bulat. Kemudian selama perkawinan berlangsung, terjadi sesuatu hal misal suami boros dan berkelakukan tidak baik yang mengakibatkan harta bersama akan habis, maka isteri dapat mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayaan ke Pengadilan Negeri, karena perjanjian kawin sudah tidak dapat lagi dibuat setelah perkawinan berlangsung. Dari keadaan tersebut di atas, maka yang jadi permasalahan penelitian ini yaitu bagaimanakah akibat hukum dari pemisahan harta kekayaan yang dilakukan berdasarkan perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan bagaimana secara yuridis pertimbangan Hakim mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan sebagaimana ternyata dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2901 K/Pdt/2012 tanggal 9 Desember 2013. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturanaturan hukum yang ada. Maka ditemukan jawabannya bahwa akibat hukum yang timbul sebagaimana ternyata dalam kasus yang diteliti yaitu tidak dapat diadakan pemisahan karena isteri tidak memenuhi Pasal 186 BW, sehingga objek sengketa tetap menjadi harta bersama suami dan isteri. Untuk perjanjian pisah harta yang telah dibuat dihadapan Notaris menjadi batal demi hukum karena mengandung cacat yuridis dan bertentangan dengan undang-undang. Dan Putusan Mahkamah Agung sudah tepat dan telah sesuai dengan Pasal 119 BW, karena antara suami dan isteri tersebut tetap terjadi persatuan harta bulat. Sedangkan penerapan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perkawinan dalam pertimbangan Hakim dianggap kurang tepat karena tidak terjadi perubahan perjanjian kawin.

Fostering a household is not as easy as turning the hand, there is always a conflict triggered by wealth in marriage. If spouse did not make a prenuptial agreement, separation asset and any asset they acquire during the course of their marriage would be community asset. Furthermore, during the marriage takes place, if there is something happen e.g. the husband is extravagant and does not have good manner which is caused community asset would be lost, the wife could propose a claim for asset separation to District Court, because prenuptial agreement could no longer be made after marriage took place. According to that circumstances, the consent of this research is how the legal consequences of the assets separation that is performed by prenuptial agreement made after marriage and how the juridical considerations of the Judge regarding separation assets in marriage, as it turns out in the Supreme Court Verdict No. 2901 K / Pdt / 2012 dated December 9, 2013. By using a normative juridical research method, the author in researching refers to rules of existing law. Then found the answer that the legal consequences arising in this case study that the separation cannot be held because the wife does not comply with Article 186 BW, then the object of dispute remain the property of the husband and wife. And the prenuptial agreement that has been made before a Notary cancelled and void because of flawed juridical and contrary to law. And Supreme Court decisions were appropriate and in accordance with Article 119 of the BW, as between husband and wife are still having community assets. While the application of Article 29 paragraph (4) of the Law of Marriage in consideration of Judges considered less appropriate because there is no change in prenuptial agreement."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T44573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yotia Jericho Urbanus
"Penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris terhadap pelaku perkawinan beda agama di Indonesia (studi kasus Notaris X di Jakarta Barat). Adanya perkembangan mengenai pengesahan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia dan juga pengalaman Notaris X yang seringkali membuat akta perjanjian perkawinan yang para penghadapnya beda agama menjadi dasar bagi Notaris X untuk membuat akta perjanjian perkawinan bagi Tuan A yang beragama Kristen dan Nyonya B yang beragama Buddha. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X dan mengenai batasan hukum serta langkah hukum bagi seorang Notaris dalam membuat akta perjanjian perkawinan beda agama di Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah yuridisnormatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Pada akhirnya akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X ialah batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat objektif perjanjian. Selanjutnya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh seorang Notaris tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ternyata dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun seorang Notaris dalam menghadapi akta perjanjian perkawinan beda agama, seorang Notaris harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya.

This writing discusses the legal position of the marriage agreement deed made by a Notary against interfaith marriage actors in Indonesia (case study of Notary X in West Jakarta). The developments regarding the legalization of the registration of interfaith marriages in Indonesia and also the experience of Notary X who often makes marriage agreement deeds where the parties are of different religions becomes the basis for Notary X to make a marriage agreement deed for Mr. A who is a Christian and Mrs. B who is a Buddhist. This raises questions about the position of the interfaith marriage agreement deed made by Notary X including the legal limitations and legal steps for a Notary in making the interfaith marriage agreement deed in Indonesia. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. In the end, the deed of interfaith marriage agreement made by Notary X was null and void because it did not meet the provisions of the objective conditions of the agreement. Furthermore, the marriage agreement deed made by a Notary may not conflict with the provisions of religion, morality and public order as stated in Article 29 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. As for a Notary in dealing with an interfaith marriage agreement deed, a Notary must prioritize the principle of prudence in carrying out his duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Safitri
"Hak milik atas tanah merupakan hak terkuat dan terpenuh atas tanah yang hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun akibat percampuran dalam perkawinan campuran, warga negara asing dapat memiliki hak milik atas tanah. Untuk itu Pasal 21 ayat (3) UUPA mengamanatkan bahwa bagi warga negara asing yang memiliki hak milik atas tanah akibat percampuran harta dalam perkawinan campuran diwajibkan untuk melepaskan hak tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Kewajiban pelepasan hak milik atas tanah tersebut kemudian menjadi suatu permasalahan bagi warga negara Indonesia sebagai pihak yang juga berhak atas hak milik atas tanah tersebut. Hal ini kemudian yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis saya yakni bagaimanakah peraturan perundang-undangan mengatur mengenai kepemilikan tanah oleh warga negara asing dalam kaitannya dengan kepemilikan harta bersama dalam perkawinan campuran serta bagaimanakah analisis mengenai Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr tentang penetapan perjanjian kawin setelah perkawinan dalam perkawinan campuran. Penulis kemudian meneliti permasalahan ini dengan metode penelitian yuridis normatif, dimana penulis dalam meneliti mengacu pada aturan-aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan bahwa, hal tersebut dimungkinkan dengan sebelumnya mengajukan permohonan terlebih dahulu dan ijin untuk membuatnya baru muncul ketika Pengadilan melalui Hakim mengabulkan permohonan tersebut. Dalam kesimpulannya, hak yang dapat dimilki oleh warga negara asing, termasuk dalam hal ini mereka yang menikah dengan warga negara Indonesia dan tidak melakukan pemisahan harta, adalah hanya hak pakai.

Rights to land an exclusive right that can only be owned by Indonesian citizens to own land in the strongest and fullest. However, due to mixing in mixed marriages, foreigners can own landed property. For that article 21 Paragraph (3) The Law Number 5 Year 1960 Regarding The Regulation Of The Basic Agrarian Principles mandates that foreign citizens who have the right to land due to mixing in the mixing property must waive the right for a period of 1 (one) year. Liability waiver to land then becomes an issue of Indonesians citizens as well as the party entitled to the possession of the land. It then becomes the identification of the problem in my thesis how the legislation rules of law arrange foreigners can own landed property from their marital property in mixed marriages and then how to analyze verdict of the sentence of east state court number 207/Pdt/P/2005/PN.Jkt.Tmr regarding covenant agreement after marriages in mixed marriages. The author then examines these issues with the method of juridicial normative research, which examined in reference to the existing rules of law to then be able to answer this problem in a descriptive analytic. Through the study authors found the answer that, it is possible to do by previously apply for permission in advance and if the Court of Justice granted the request. In conclusion, the rights to land in Indonesia that can be owned by mixed marriage couple who did not have a covenant agreement is only The Right to Use."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35480
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Suwasiswahyuni
"Perkawinan berbeda agama di Indonesia tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, oleh sebab itu banyak pasangan berbeda agama yang hendak menikah melakukan pernikahannya di Luar Negeri lalu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil Indonesia ketika mereka kembali ke Tanah Air. Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan kemudahan bagi para pasangan berbeda agama ini dalam mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan perkawinan beda agama ini hanya diakui oleh negara bahwa benar mereka adalah pasangan suami istri, tapi tidak sah menurut Agama.
Disini akan di bahas tentang bagaimana keabsahan perkawinan beda agama di Indonesia dan tentang pertimbangan hakim dalam memberikan putusan pengadilan sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan termasuk penelitian kepustakaan, data dan informasi diperoleh melalui dokumen-dokumen hukum dan juga dari hasil wawancara kepada Kepala Sub Dinas Kantor Catatan Sipil Jakarta.
Pada kasus yang akan di bahas disini, pencatatan perkawinan yang dilakukan di luar negeri hanya untuk memenuhi syarat pada pasal 56 Undang-Undang Administrasi Kependudukan, bukan menentukan sah atau tidaknya perkawinan tersebut. Undang-Undang Administrasi Kependudukan juga tidak mengatur mengenai tata cara melangsungkan perkawinan beda agama itu sehingga masih mengacu pada Undang-Undang Perkawinan yang berlaku. Undang-Undang Administrasi Kependudukan masih memerlukan penyempurnaan agar tidak bertentangan dengan pasal 2 Undang-Undang Perkawinan.

Marriage of different religions in Indonesia are not regulated in the Marriage Law in force in Indonesia, so many couples of different religions who want to get married are held marriage in other State and listed in the Civil Indonesia when they returned to the country. Population Administration Act provides convenience for couples of different religions to register their marriages at the Registry Office. Recording of interfaith marriage is only recognized by the state that they are properly married couples, but not valid according to religion.
Here will be discussed about how the validity of the marriage of different religions in Indonesia and on consideration of the judge in giving the verdict the court before and after the enactment of Law number 23 year 2006 about Population Administration. This study is normative and juridical research including library research, data and information obtained through legal documents and also from interviews to the Head of Sub Office of Civil Registry Office in Jakarta.
In a case that will be discussed here, the recording of marriages conducted in foreign countries only to meet the requirements in article 56 of Law on Population Administration, instead of determining whether or not the marriage is legitimate. Population Administration Act does not establish ordinances regulating the marriage of different religions, so it still refers to the Marriage Law. Population Administration Act still requires refinement in order not to conflict with Article 2 of the Marriage Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21820
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Muhammad Aryadi
"Perkawinan lahir dari kesepakatan untuk terikat dalam suatu perjanjian suci antara calon suami-istri yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita dan akan menimbulkan ikatan lahir batin, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga  yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Antara suami-istri memiliki hubungan hukum yang terjadi, tidak hanya mengatur mengenai hak dan kewajiban suami-istri, tetapi juga mengatur mengenai hubungan hukum antara orang tua dan anak, hibah, pewarisan, perceraian dan juga perjanjian kawin yang mengatur mengenai harta benda dalam perkawinan. Perjanjian kawin merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap perundangan yang berlaku dan pada umumnya dimaksudkan untuk mengatur hak-hak suami istri serta mengenai harta kekayaan suami dan istri, baik terhadap harta yang dibawa sebelum perkawinan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan, lazimnya perjanjian perkawinan mengatur mengenai pemisahan harta, menjadi pertanyaan ketika adanya ambiguitas mengenai suatu ketentuan mengenai pembagian harta di dalamnya. Penelitian ini mengkaji mengenai hal apa yang dapat atau tidak dapat dibuat dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian yuridis normatif, di sini digunakan tipologi penelitian berdasarkan sifatnya yaitu penelitian deskriptif, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data sekunder dengan menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian diharapkan mampu meningkatkan pemahaman mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam perjanjian perkawinan dan juga mengenai isi yang dapat dibuat di dalamnya menurut ketentuan perundang-undangan yang ada.

Marriage is born from an agreement to be bound in a sacred agreement between a prospective husband and wife that occurs between a man and a woman and will lead to an inner and outer bond, as a husband and wife with the aim of forming a happy and eternal family based on the One Godhead. Between husband and wife has a legal relationship that occurs, not only regulates the rights and obligations of husband and wife, but also regulates the legal relationship between parents and children, grants, inheritance, divorce and also  marriage agreements governing property in marriage. Marriage agreements are a form of deviation from applicable legislation and are generally intended to regulate the rights of husband and wife as well as regarding the property of husband and wife, both the assets brought before marriage and the assets acquired during marriage, the marriage agreement usually regulates the separation of assets , becomes a question when there is an ambiguity regarding a provision regarding the distribution of assets in it. This study examines what can or cannot be made in making marriage agreements. The author uses a normative juridical research method. In relation to normative juridical research, here used a research typology based on its nature, namely descriptive research, this study aims to obtain secondary data using qualitative analysis. The results of the study are expected to be able to increase understanding of the elements contained in the marriage agreement and also about the content that can be made in it according to the existing statutory provisions."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherly Adella
"Peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai perjanjian perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ketentuan undangundang inilah yang berlaku. Ketentuan perjanjian perkawinan diatur dalam pasal 29 Undang- Undang Hukum Perdata. Dalam pasal 29 ayat 1 dinyatakan bahwa perjanjian dibuat dengan bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Berdasarkan pasal 29 ayat 3 yang menegaskan perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian perkawinan juga harus didaftarkan bersamaan dengan pendaftaran perkawinan untuk dapat disahkan bersamaan dengan perkawinan.
Dalam membahas yang menjadi permasalahan Penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Bahan hukum dan data diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan survey lapangan dengan wawancara notaris dan pegawai arsip Pengadilan Negeri.
Dari hasil penelitian dalam masyarakat terhadap warganegara Indonesia yang melangsungkan perkawinan di luar wilayah Indonesia setelah kembali ke Indonesia harus mendaftarkan perkawinan dan perjanjian perkawinan secara bersamaan di Indonesia. Namun karena yang dicatatkan hanya perkawinannya saja sehingga perjanjian perkawinannya tidak ikut dicatatkan bersamaan pencatatan perkawinan. Terhadap pendaftaran perjanjian perkawinan setelah perkawinan belum memiliki pengaturan dalam perundang-undangan. Untuk itu digunakan jalan keluar dengan meminta izin kepada Pengadilan Negeri berupa Penetapan Pengadilan Negeri.

Legislation have been set regarding the marriage covenant. Provisions regarding the aggrement marriage set forth in the Book of the Civil Code Act, but after the passing of Law set forth in article 29 of Law Civil Law. In Article 29 paragraph 1 stated that the agreement made with the written form and approved by the Civil Registrar of Marriage. Beside article 29, paragraph 3 which confirms the marriage agreement effective from the marriage took place, then the marriage contract should also be registered conducted with the registration of marriages to be legalized along with marriage.
The author discusses the problems of using a normative juridical approach. Legal materials and data obtained through library research and field survey by interviewing the notary and civil court records.
From the results of research in Indonesian society of citizens who hold a marriage outside Indonesian territory after returning to Indonesia must register the marriage and the marriage covenant together in Indonesia. However, because the only recorded marriage alone, so the marriage agreement did not enter recorded simultaneously recording marriage. Against registration of a marriage agreement after the marriage has not been setup in the legislation. It is used to exit with the permission from the District Court of the District Court Decision.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43624
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Halifa Pasha
"Tesis ini membahas mengenai implikasi yuridis perjanjian perkawinan yang dibuat dalam proses kepailitan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, serta peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement serta akibatnya bagi pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat 1 , 3 , dan 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan prenuptial agreement tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Hal ini kemudian dapat berdampak pada dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.

This thesis discusses the juridical implications of marriage agreements made in the bankruptcy proceedings in relation to the decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, as well as the role of Notary in the making of marriage agreements made after the postnuptial agreement and its consequences for third parties. The research method used in this thesis is normative juridical. Prior to the Ruling of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, couples must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage for the limitative reason as provided for in Article 186 of the Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a particular reason for making a marriage agreement made after marriage takes place postnuptial agreement . Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 provides a constitutional interpretation of Article 29 Paragraph 1 , 3 , and 4 Law no. 1 Year 1974 on Marriage by extending the meaning of the marriage agreement so that the marriage agreement is no longer interpreted only as a contract made before the marriage prenuptial agreement but also can be made after the marriage took place postnuptial agreement . This can then have an impact on the possibility of a married couple who are in bankruptcy process to make a marriage agreement that then harms the third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilah Shafa
"Perceraian dari perkawinan di luar negeri dan perkawinan campuran internasional dapat dikatakan sebagai perceraian dengan unsur asing. Dalam perkara perceraian dengan unsur asing ini jika ditinjau dari segi HPI memiliki persoalan pokok yang menyangkut pada penentuan hukum yang berlaku serta kewenangan mengadili dari sebuah forum. Dalam prakteknya, ketika perkara perceraian yang melibatkan unsur asing diajukan di hadapan pengadilan Indonesia, maka hukum yang digunakan dalam perkara-perkara perceraian tersebut selama ini adalah lex fori, yakni hukum Indonesia. Sementara itu, dengan adanya perbedaan hukum yang mengatur perceraian serta forum tempat mengadili perceraian yang mungkin berbeda dengan hukum dan forum perkawinan menyebabkan permasalahan perceraian dengan unsur asing menjadi kompleks, Penelitian ini akan membahas serta menganalisis mengenai pertimbangan hakim terhadap forum yang berwenang dan lex fori sebagai hukum yang berlaku dalam perkara-perkara perceraian di Indonesia yakni Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0304/Pdt.G/2014/PA.JP, Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor Register Perkara 1978/Pdt.G/2017/PA.Tng.Nomor, dan Putusan Pengadilan Negeri Singaraja Nomor 449/Pdt.G/2015/PN.Sg. Penelitian ini akan mengaitkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan teori-teori HPI.

Divorce from marriage abroad and international mixed marriage in Indonesia can be considered as divorce with foreign elements. In the case of divorce with foreign elements, if viewed from the Private International Law (PIL) point of view, has the main problem concerning the determination of the applicable law and the competent to adjudicate from a forum. In practice, when cases such as divorce with foreign elements are presented before an Indonesian court, then the law used in divorce cases so far is lex fori, specifically Indonesian law. In fact, due to the differences of the laws governing divorce as well as forums where the divorce proceedings may be different from the law and marriage forums, the problem of divorce with foreign elements becomes complex. This research will discuss and analyze the judges' consideration of the authorized forum and lex fori as the applicable law in the case of Central Jakarta Religious Court Decision Number 0304 / Pdt.G / 2014 / PA.JP, Tangerang Religious Court Decision Case Registration Number 1978 / Pdt.G / 2017 / PA.Tng, and Singaraja District Court Decision Number 449 / Pdt.G / 2015 / PN.Sg. This research will correlate these considerations with PIL theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>