Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 196223 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Aisyah Natasha Afirandini
"Bunga dan denda merupakan salah satu aspek yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Eksistensi Putusan 2899 K/Pdt/1994 berakibat adanya multitafsir mengenai pembebanan bunga dan denda dalam hukum kepailitan yang sudah pada pokoknya diatur dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tulisan ini menganalisis bagaimana pembebanan bunga dan denda dalam pernyataan kredit macet debitor pailit dalam kasus PT Mimi Kids Garmindo yang tertuang dalam Putusan 1021K/Pdt.Sus-PAILIT/2018 ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode doktrinal. Pembebanan bunga dan denda dalam kredit macet debitor pailit telah menjadi salah satu pokok permasalahan yang terjadi dalam perkara kepailitan. Dalam kasus PT Mimi Kids Garmindo, debitor menggunakan Putusan No. 2899K sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa pembebanan bunga dan denda tidak dapat diberikan pada kredit yang sudah dinyatakan macet. Pada pokoknya perhitungan mengenai pembebanan bunga dan denda sudah diatur dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Adapun mengenai pernyataan kredit macet dalam hukum kepailitan terjadi pada saat putusan pernyataan pailit. Hal inipun berdampak pada pembebanan bunga dan denda dalam hukum kepailitan. Hasil peneleitian ini adalah hukum kepailitan mengatur bahwa pembebanan bunga dan denda harus dihitung pada saat putusan pernyataan pailit. Hal ini merupakan bentuk pengimplementasian sita umum dan asas-asas dalam hukum kepailitan.

Interest and penalties are one of the aspects agreed upon in a credit agreement. The existence of Decision 2899 K/Pdt/1994 results in multiple interpretations regarding the imposition of interest and penalties in bankruptcy law, which is basically regulated in Article 137 of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. This paper analyzes how the imposition of interest and penalties in the statement of bad debts of bankrupt debtors in the case of PT Mimi Kids Garmindo as stated in Decision 1021K/Pdt.Sus-PAILIT/2018 is reviewed from Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. This paper is prepared using the doctrinal method. The imposition of interest and penalties in bad debts of bankrupt debtors has become one of the main problems that occur in bankruptcy cases. In the case of PT Mimi Kids Garmindo, the debtor used Decision No. 2899K as a legal basis to state that the charging of interest and penalties cannot be given to loans that have been declared bad debts. In essence, the calculation of interest and penalties is regulated in Article 137 of Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. As for the statement of bad credit in bankruptcy law occurs at the time of the bankruptcy statement decision. This also has an impact on the imposition of interest and penalties in bankruptcy law. Bankruptcy law regulates that the imposition of interest and penalties must be calculated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matelesi, Nico
"Jaminan merupakan suatu tanggungan yang diberikan oleh debitur atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin pelunasan utang debitur. Lembaga jaminan ini diberikan khusus untuk kepentingan kreditur guna menjamin piutangnya melalui perikatan khusus. Jaminan terbagi menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan dan jaminan perorangan yang masing-masing memiliki ciri dan sifat tersendiri. Jaminan perorangan (Penanggungan) diatur di dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata.
Dari ketentuan pasal 1820 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa dalam suatu skema penanggungan terdapattiga pihak, yaitu debitur sebagai pihak yang berutang, kreditur sebagai pihak yang berpiutang, dan terkahir adalah penanggung sebagai pihak yang menjamin terpenuhinya prestasi debitur berupa utang-utang debitur kepada kreditur.
Pengajuan permohonan pailit terhadap penanggung merupakan hal yang cukup lumrah terjadi, khususnya apabila penanggung merupakan penanggung perusahaan (Corporate Guarantee). Namun tidak demikian halnya dengan permohonan pailit terhadap penanggung pribadi (Personal Guarantee). Hanya sedikit sekali permohonan pailit yang diajukan kepada penanggung pribadi, karena secara umum ada kecendrungan bahwa kreditur enggan berurusan dengan debitur untuk alasan praktis.
Dalam suatu skema penanggungan utang, terdapat dua perjanjian yang berbeda, yaitu perjanjian pokok antara debitur dan kreditur dan perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung. Perjanjian penanggungan itu sendiri bersifat Accesoir , jadi pada asasnya jika perjanjian pokoknya hapus maka perjanjian penanggungannya turut hapus. Perjanjian penanggungan sifatnya mengikuti perjanjian pokok sehingga suatu perjanjian penanggungan tidak dapat melebihi perjanjian pokoknya.
Seorang penanggung memiliki hak istimewa, salah satunya hak untuk menuntut supaya harta benda debitur terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hak ini dapat dilepaskan oleh penanggung dalam perjanjian penanggungan, yang membuat kreditur dapat memilih harta mana yang harus disita dan dijual terlebih dahulu.

Collateral was a guarantee given by a debitor or third party for a creditor to guarantee of paying debt. Collateral institution was specially given for the significance of the creditor in order to guarantee the debt through a special bond. It was divided into two, they were property collateral and personal collateral in which each one had its own features and characteristics. Personal collateral was regulated in the Article 1820 to Article 1850 Civil Code.
In the regulation of Article 1820 KUHP Perdata, it could be understood that in the scheme of there were three parties, they were a debitor as the party who was in debt, a creditor as the party who gave debt, and the last, a guarantor as the party who guaranteed fulfillment of achievement that was debts of debitor to creditor.
Submission of Act of Bankruptcy toward the guarantor was a common thing, especially if he was a corporate guarantor. However, it would not happen to Act of Bankruptcy for personal collateral. It was only few of Act of Bankruptcy proposed by personal collateral since generally there was tendency that creditor was reluctant to have a deal with debitor for practical reasons.
In scheme of debt collateral, it was included two different agreements, they were main agreement between debitor and creditor and collateral agreement between creditor and guarantor. Collateral agreement itself was accesoir so that basically, if main agreement was removed, it was also the collateral agreement. It was based on main agreement so that it could not exceed its main agreement.
The person who guaranteed owned special rights, one of them was to insist so that properties of debitor, firstly, was confiscated and sold to pay the debt. The right could be undone by him in collateral agreement in order to make the creditor can choose which property had to be consficated and sold first.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lena
"Pailit merupakan upaya akhir bagi debitor yang berada dalam keadaan insolven dimana ia tidak lagi mampu melakukan kewajiban kepada para kreditornya. Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 merupakan peraturan terakhir yang diamandemen Indonesia namun masih memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan Jepang, Malaysia, dan Singapura tentang insolvency test yang dijadikan tolak ukur pengajuan pailit. Hukum yang seyogyanya dijadikan sandaran demi memenuhi nilai keadilan bagi debitor dan kreditor secara proporsional, dalam hal ini akan dibahas dengan membandingkan hukum kepailitan dan insolvency test.
Dengan melihat Undang-Undang Kepailitan Jepang, Malaysia, dan Singapura, tulisan ini dibuat untuk mengambil kelebihan yang ada pada hukum Negara lain serta melihat kekurangannya untuk dijadikan pegangan dalam memperbaiki Hukum Kepailitan Indonesia kearah yang lebih baik. Dengan demikian diharapkan hukum dapat memenuhi perannya sebagai pedoman dalam memberikan nilai keadilan, serta utilitas pengadilan dalam memutus perkara dengan waktu yang efisien dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bankrupt ought to be last resort for debtor who could not pay his debt to his creditors as it became due and payable and he has been stated as insolvent. Bankruptcy Act Number 37 of 2004 is the last amended statute in Indonesia. This Act has fundamental difference with Bankruptcy Law of Japan, Malaysia, and Singapore concerning about insolvency test which is used as legal task for bankruptcy petition. Justice for both of debtors and creditors should rely on Bankruptcy Law in such case as mentioned. In this matter, insolvency test is an important point to be considered in bankruptcy law.
Discussion between Japan, Malaysia, Singapore, and Indonesia Bankruptcy Law is purposed to analyze law and to compare insolvency matters in each laws. Through this analytic discussion, taking excess points and also to prevent short points of law is the priority to improve Indonesia Bankruptcy Law. Thus law can fulfill its duties as reference to produce just norm, show utility of court in deciding case, and also give an efficient proceedings to support economic growth.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39018
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marleen Josephine
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh Krediturnya, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/PDT.SUSPAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adapun ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga untuk berinvestasi melalui pasar modal. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa panitera harus menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh pihak selain Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pada praktiknya masih terdapat banyak pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang tidak diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek (PT Brent Securities) yang diajukan oleh Kreditornya karena izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu Perusahaan Efek dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek dalam putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek mutlak merupakan kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Efek, sekalipun izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh Krediturnya, tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

This thesis discusses about bankruptcy against Securities Company filed by its Creditors, with a case study of Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company may only be filed by the Financial Services Authority. The existence of these provisions is intended to protect the interests of third parties to invest through the capital market. Then, Article 6 paragraph (3) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the principal registrar is required to reject a petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company if it’s filed by any other party besides the Financial Services Authority. However, in practice there are still many petitions for a declaration of bankruptcy against Securities Company that are not be filed by the Financial Services Authority. This can be seen on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, which granted the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company (PT Brent Securities) that filed by its creditors due to its business license revoked by Financial Services Authority. This research aims to identify the mechanism of filing an application for a bankruptcy against Security Company and the authority of Financial Services Authority for the bankruptcy petition of Securities Company in Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. based on Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment. Type of research applied in this research is normative juridical approach with a descriptive typology. The result shows that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company is the exclusive power of Financial Services Authority as a state institution that supervises Securities Company, even though their business license has been revoked by Financial Services Authority. Then, the decision of The Judges on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST which granted the application for bankruptcy declaration against the Securities Company by its Creditors, was not in accordance with the regulations in Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Firmansyah
"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan kondisi usaha dan investasi yang lebih baik. Bagian yang penting dari Kepailitan adalah Kurator. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan / atau membereskan harta Pailit. Kurator harus terdaftar pada Kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Hukum dan Peraturan Perundang-Undangan, dalam hal ini Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia. Kurator berperan dalam penyelesaian hubungan hukum antara Debitor Pailit dengan para Kreditornya. Selain itu ia bertanggung jawab kepada Hakim Pengawas, Kreditor, dan Debitor Pailit.
Dalam menjalankan tugasnya, Kurator harus memahami bahwa tugasnya tidak sekadar menyelamatkan harta Pailit yang berhasil dikumpulkannya untuk kemudian dibagikan kepada para Kreditor, tetapi Kurator dituntut untuk bisa meningkatkan nilai harta Pailit tersebut. Yang lebih penting, Kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati Standar Profesi dan Etika. Hal ini menghindari adanya benturan kepentingan dengan Debitor Pailit ataupun Kreditor.
Walaupun tugas dan kewenangan Kurator telah ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dalam praktek sering terjadi permasalahan yang dihadapi kurator dalam hal tugas dan kewenangannya tidak diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Untuk mengatasi masalah-masalah ini prinsip kebenaran dan keadilan harus selalu ditegakkan oleh Kurator."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15420
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angel Risha
"Skripsi ini membahas dampak penerapan Pasal 16 ayat (2). UUK-PKPU dalam hal pembatalan pernyataan pailit terkait dengan asas keadilan, asas kelangsungan usaha, dan asas keseimbangan serta cara untuk melindungi properti kebangkrutan Debitur selama proses hukum kasasi dan setelah kasasi diberikan. Penelitian ini akan mencoba menguraikan masalah dengan menguraikan konsep pemulihan hukum kasasi, kepailitan, dan perdamaian dalam hukum kepailitan di Indonesia berbeda dengan konsep yang umumnya dikenal. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan sumber data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan terkait dengan konsep kebangkrutan dan pengajuan perdamaian dalam undang-undang
kebangkrutan di Indonesia yang dapat berdampak pada perlindungan hukum harta pailit Debitor dalam pembatalan putusan pernyataan pailit tingkat kasasi yang didasarkan pada Pasal 8 ayat (7) jo. Pasal 16 ayat (2) UUK-PKPU.

This thesis discusses the impact of the application of Article 16 paragraph (2). UUK-PKPU in terms of cancellation of bankruptcy statements related to the principle of justice, the principle of business continuity, and the principle of balance as well as ways to protect the debtor's bankruptcy property during the cassation legal process and after the cassation is given. This research will attempt to elucidate the problem by outlining the concepts of legal recovery for cassation, bankruptcy and peace in bankruptcy law in Indonesia, which is different from the commonly known concepts. The writing of this thesis uses a normative juridical research method using secondary data sources. The results of this study indicate that there are differences related to the concept of bankruptcy and peace proposals in the law bankruptcy in Indonesia which may have an impact on the legal protection of the Debtor's bankruptcy property in the cancellation of the bankruptcy declaration at the cassation level based on Article 8 paragraph (7) jo. Article 16 paragraph (2) UUK-PKPU."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Andika
"Tulisan ini membahas mengenai pertanggungjawaban kurator dalam melakukan tugasnya terhadap harta pailit agar tidak menyebabkan kerugian terhadap kreditor atau debitor pailit yang dibandingkan dengan ketentuan hukum kepailitan yang berlaku di Amerika Serikat. Pembahasan juga ditinjau dari pertimbangan hakim pada kasus terdahulu di Indonesia dan Amerika Serikat mengenai kasus kurator yang digugat oleh para pihak dalam kepailitan atas dasar tindakan yang tidak beritikad baik sehingga menyebabkan kerugian terhadap para pihak dan harta pailit. Untuk mencari jawaban dari tulisan ini, tulisan ini ditulis dengan metode penelitian doktrinal. Peran kurator sebagai satu-satunya lembaga dalam kepailitan yang berwenang melakukan tugas pengurusan dan pemberesan harta pailit membuat kurator memikul tanggungjawab yang besar kepada para pihak dalam kepailitan atas harta pailit. Atas tanggung jawab yang besar itu maka undang-undang kepailitan mengatur agar kurator dapat bertanggung jawab terhadap kerugian atas harta pailit dan para pihak kepailitan. Tetapi pada praktiknya atas adanya tanggung jawab kurator tersebut maka tidak sedikit kasus pada pengadilan yang melakukan penggugatan terhadap kurator atas tindakan itikad tidak baik yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit dan para pihak. Maka dari tanggung jawab tersebut, ditentukan bahwa kurator dapat bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh para pihak atau kerugian terhadap harta pailit apabila tindakan yang dilakukan tersebut terbukti merupakan tindakan di luar kewenangan yang dimiliki oleh kurator yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan tugasnya sebagai kurator.

This paper discusses the responsibility of the trustee in conducting his duties towards the bankruptcy estate so as not to cause any disadvantage to creditors or bankruptcy debtors compared to the provisions of bankruptcy law applicable in the United States. The discussion is also reviewed from the consideration of judges in previous cases in Indonesia and the United States regarding cases of trustees being sued by parties in bankruptcy on the basis of actions that are not in good faith, causing harm to the parties and the bankruptcy estate. To find the answers, this paper is written using doctrinal research method. The role of the trustee as the only authorized entity in bankruptcy to manage and settle the bankruptcy estate makes the trustee bear a great responsibility to the parties in bankruptcy for the bankruptcy estate. For this great responsibility, the bankruptcy law regulates that the trustee can be responsible for the loss of bankruptcy assets and bankruptcy parties. However, in practice, due to the trustee's responsibility, there are many cases in which the court sues the trustee for bad faith actions that cause losses to the bankruptcy estate and the parties. From this responsibility, it is determined that the trustee can be personally liable for losses suffered by the parties or losses to the bankruptcy estate if the actions taken are proven to be actions outside the authority granted to the trustee by law to perform his duties as a trustee."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Calvin Nathanael
"Tulisan ini membahas tentang kepailitan BUMN menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Untuk memahami cara mengajukan pailit pada BUMN di Indonesia, syarat permohonan pailit, jenis-jenis BUMN, karakteristik BUMN dan pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit berdasarkan UU KPKPU juga dibahas. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis. Selanjutnya, temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa, kreditor selain Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU BUMN, jika BUMN berbentuk perseroan terbatas, dapat langsung mengajukan kepailitan. Penelitian ini diharapkan mampu memberi jawaban mengenai kepailitan pada BUMN berdasarkan UU KPKPU.

This thesis discusses the bankruptcy of BUMN according to Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. To understand how to file for bankruptcy with BUMN in Indonesia, the requirements for bankruptcy applications, types of SOEs, characteristics of BUMN and parties who can file for bankruptcy under the KPKPU Law are also discussed. This paper was written using the normative legal writing method to produce analytical descriptive data. Furthermore, the findings of this study conclude that creditors other than the Minister of Finance based on Article 2 paragraph (5) of the BUMN Law, if the BUMN is in the form of a limited liability company, can immediately file for bankruptcy. This research is expected to be able to provide answers regarding the bankruptcy of BUMN based on the KPKPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
"Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU.

In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armellia Denetta
"Direksi dengan didasari itikad baik wajib menjalankan kepengurusannya sesuai dengan apa yang diamanatkan kepadanya oleh Perseroan sesuai dengan UUPT, anggaran dasar, serta keputusan RUPS. Suatu keputusan bisnis yang diambil oleh Direksi bertujuan untuk memberikan keuntungan bagi Perseroannya. Bagaimana tanggung jawab Direksi dalam hal keputusan bisnis yang diambilnya merugikan atau mengakibatkan pailitnya Perseroan? Untuk menentukan tanggung jawabnya dapat dilihat dari apakah ada kesalahan atau kelalaian yang dilakukannya saat mengambil keputusan bisnis tersebut, yang dikaitkan dengan doktrin-doktrin modern dalam corporate law. Apabila terbukti keputusan bisnis tersebut adalah akibat dari kesalahan atau kelalaiannya, maka atas keputusannya yang menyebabkan kerugian Perseroan tersebut Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi oleh Perseroan melalui Pengadilan Negeri. Kemudian apabila keputusannya mengakibatkan pailitnya Perseroan sehingga harta Perseroan tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya, maka Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban baik oleh Perseroan maupun Kreditur melalui Pengadilan Niaga. Hal demikian dilakukan semata-mata untuk memenuhi kekurangan pelunasan utang kepada para Kreditur.

Board of Directors are obliged to manage the Company based on good faith in accordance with the Company Law, the Articles of Association, as well as the resolution of the GMS. Business decisions made by the Board of Directors is solely to benefit the Company. How can Director be held responsible for business decisions that leads to loss or even banctrupcy to the Company? To determine the responsibilities of Directors can be review from whether there is an error or neglectance when making business decisions, that can be related with modern doctrines in corporate law. If proven, that the business decision is a result of errors or neglectance, then the decision which led to the loss of the Company's Board of Directors can be held personally by the Company through the District Court. Then if the decision resulted in the Company banctrupcy with no sufficient assets to pay off all of its debts, the Board of Directors may be held accountable by both the Company and the Lenders to the Commercial Court. It is solely done to meet the shortage of debt repayment to the creditors.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>