Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225417 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rifdah Rudi
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan Kebebasan Panorama sebagai pengecualian perlindungan Hak Cipta. Pada dasarnya Indonesia belum mengatur ketentuan Kebebasan Panorama dalam Undang-Undang Hak Cipta. Kebebasan Panorama hadir untuk memberikan kebebasan bagi penikmat karya cipta dalam melakukan tindakan reproduksi/penggandaan, publikasi kepada publik atas karya arsitektur, karya seni seperti patung, pahatan, dan karya seni tiga dimensi yang berlokasi ditempat umum, terbuka dan terletak secara permanen tanpa mendapatkan tuntutan dari pencipta atau pemegang Hak Cipta. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti secara mendalam pentingnya keberadaan pengaturan Kebebasan Panorama yang terdapat dalam Konvensi Bern, Undang-Undang Hak Cipta di Negara Amerika Serikat dan Jerman sehingga dapat dijadikan referensi dalam pembuatan pengaturan Kebebasan Panorama di Indonesia. Penelitian memiliki bentuk penelitian hukum normatif dengan studi Pustaka dan hukum positif yang berlaku di Indonesia.

This thesis discusses the regulation of freedom of panorama as an exception to copyright protection. Basically, Indonesia has not regulated the provisions for Freedom of Panorama in the Copyright Law. Panoramic freedom exists to provide freedom for fans of creative works to carry out acts of reproduction/duplication, publication to the public of architectural works, works of art such as statues, carvings, and three-dimensional works of art located in public places, open and permanently located without receiving demands from the creator or copyright holder. This research was conducted to examine in depth the importance of the existence of panorama freedom regulations contained in the Berne Convention, and Copyright Laws in the United States and Germany so that they can be used as references in making panorama freedom regulations in Indonesia. The research takes the form of normative legal research with literature studies and positive law that applies in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ladito Risang Bagaskoro
"ABSTRAK
Perlindungan hak-hak korban tindak pidana, merupakan tanggungjawab negara terhadap korban, tanpa terkecuali. Hal tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban negara atas ketidakmampuannya dalam melindungi masyarakat, sehingga timbul korban. Namun, efektifitas dan ketepatan sasaran serta bentuk perlindungan yang diberikan Pemerintah Indonesia dinilai masih kurang tepat, khususnya korban tindak pidana terorisme. Setiap negara memiliki sudut pandang yang berbeda atas perlindungan hak korban tindak pidana terorisme, khususnya terhadap peraturan yang mengatur dan bentuk perlindungan yang diberikan terhadap korban tindak pidana terorisme, seperti dalam sistem hukum Indonesia, Amerika Serikat dan Republik Jerman. Analisis terhadap perbedaan dan persamaan dari ketiga Negara tersebut tentu dapat menjadi bahan masukan dalam politik hukum pidana Indonesia, khususnya dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia korban tindak pidana terorisme, yang mana akan merujuk pada rekomendasi model perlindungan korban tindak pidana terorisme di Indonesia.

ABSTRACT
The protection of victims right is the state responsibility without exception. It is a state responsibility for its inability to protect the community, resulting in casualties. However, the target and forms effectiveness and accuracy of protection provided by Indonesia is still considered inadequate, especially the terrorism victims Each country has different responses to the protection terrorism victims rights, especially to the regulating rules and forms of protection afforded to victims of terrorism, such as in the Indonesia, the United States of America and the Republic of Germany legal system. The analysis of the differences and similarities of the three States can certainly be an input to Indonesian criminal law policies, especially in the effort to fulfil the terrorism victim human rights, which will refer to the recommendation of terrorism victim rsquo s protection model in Indonesia."
2018
T49759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurusyifa, authot
"Tulisan ini menganalisis doktrin freedom of panorama (Kebebasan Panorama) dalam konteks perlindungan hak cipta atas karya fotografi. Doktrin ini berkaitan dengan limitasi (limitations) dan pengecualian (exception) dalam peraturan terkait hak cipta. Hak cipta menimbulkan hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Karya fotografi merupakan salah satu jenis karya cipta yang dilindungi namun sejauh mana perlindungannya jika terdapat unsur ciptaan lain di dalamnya.  Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian hukum bersifat normatif, yang menitik beratkan pada norma atau aturan hukum dengan pendekatan Inter-Disiplin, dan analisis data kualitatif untuk menjawab pokok permasalahan berikut: bagaimana hak cipta atas karya fotografi dapat lahir, apakah Pencipta karya fotografi harus meminta izin kepada pemilik setiap objek yang difotonya, dan apakah doktrin Freedom of Panorama diakui dalam hukum hak cipta di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah Hak cipta atas karya fotografi lahir saat Ide telah diwujudkan dalam bentuk nyata, dideklarasikan, dapat dilihat, didengar, digandakan, atau dikomunikasikan melalui perangkat apapun, dan merupakan karya yang orisinal atau berasal dari kreasi, imajinasi, dan ekspresi pribadi penciptanya, tanpa meniru atau menjiplak karya orang lain. Perlindungan atas karya fotografi bersifat terbatas, Hak ekonomi berlaku selama periode tertentu, yaitu 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman. Status ciptaan menjadi public domain setelah waktu perlindungannya habis. Pencipta karya fotografi harus berhati-hati dalam memilih objek foto. Kebutuhan atas izin tergantung objek dan tujuan pemanfaatan karya fotografinya, mengingat relasi objek dan subjek hukum bervariasi. Tedapat objek foto yang memerlukan izin contohnya apabila patut diduga karya tersebut masih dilindungi hak cipta berdasarkan UUHC 2014. UUHC 2014 tidak mengatur mengenai pemanfaatan karya cipta yang berlokasi secara permanen di tempat umum secara khusus dalam aturan pembatasannya, khususnya yang berhubungan dengan karya fotografi. Selama UUHC 2014 masih berlaku dan perlindungan hak cipta atas ciptaan juga masih berlaku, hak eksklusif Pencipta dan/atau pemegang hak juga berlaku.

This thesis analyses the freedom of panorama doctrine in the context of copyright protection for photographic works. Freedom of Panorama is related to limitations and exceptions in regulations related to copyright. Copyright gives rise to the exclusive rights of the Author and/or copyright holder. Photographic works are a type of copyrighted work that is protected, but to what extent is the protection if there are other works in it. This thesis was prepared using normative legal research methods, which focus on legal norms or rules with an inter-disciplinary approach, and qualitative data analysis to answer the following main issues: how can copyright for photographic works arise, whether the Author of a photographic work must ask permission from the owner of each the objects they photographed, and whether the Freedom of Panorama doctrine is recognized in copyright law in Indonesia. The result of this research is Copyright for photographic works is born when the idea is embodied in a tangible form, declared, can be seen, heard, reproduced, or communicated through any device, and is an original work or derived from the creation, imagination, and personal expression of its author, without imitating or plagiarizing the work of others. Protection of photographic works is limited, Economic rights are valid for a certain period, which is 50 (fifty) years from the date of Publication. The status of the works becomes public domain after the protection time expires. Author of photographic works must be careful in choosing photo objects. The need for permission depends on the object and purpose of using the photographic work, considering that the relationship between object and legal subject varies. There are photo objects that require permission, for example if it is reasonable to suspect that the work is still protected by copyright under UUHC 2014. The UUHC 2014 does not regulate freedom of panorama or the use of copyrighted works that are permanently located in public places specifically in its limitations, especially those relating to photographic works. As long as the 2014 UUHC is still in effect and copyright protection of the work is still in effect, the exclusive rights of the Author and/or rights holder also apply."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bhaladika Adhibrata Pradana
"Meningkatnya jumlah investor di Indonesia harus diimbangi dengan perlindungan terhadap investor dari perbuatan curang pihak pihak yang tidak bertanggungjawab, dewasa ini kita dapat melihat di sosial media ada beberapa Public Figure yang rutin membagikan suatu promosi terhadap saham tertentu dilihat dari beberapa harga saham yang di promosikan oleh Public Figure pada saat promosi tersebut dilakukan mengalami kenaikan yang tidak wajar, lain hal di Amerika Serikat Securities Exchange Commission menuntut Andrew Murstein Seorang Pendiri dan Chief Operating Officer dari Medallion Financial Corp karena bersekongkol dengan beberapa pihak untuk mempromosikan saham MFIN, Securities Exchange Commission menuntut Andrew Murstein, karena terbukti melakukan “Illegal Touting”, karena promosi yang di lakukan oleh mereka menciptakan gambaran yang semu karena tidak sesuai dengan fakta material aslinya, untuk menjawab bagaimana menentukan suatu pelanggaran dalam “promosi saham” pada penelitian ini digunakan pendekatan komparatif yang membandingkan pengaturan pasar modal di Indonesia dan Amerika Serikat, hasil dari penelitian ini adalah promosi saham yang dilakukan Andrew Murstein merupakan promosi saham illegal karena menyebarkan informasi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan fakta material aslinya, sedangkan promosi saham yang dilakukan Public Figure melanggar ketentuan POJK No 7 POJK.04/2019 Tentang Promosi Pemasaran Efek Termasuk Iklan Brosur atau Komunikasi Lainnya Kepada Publik.

The increasing number of investors in Indonesia must be balanced with the protection of investors from fraudulent actions by irresponsible parties, nowadays we can see on social media there are Public Figures who routinely share promotions for certain stocks, the stock prices promoted by the Public Figures always experienced an unnatural increase at the time it was promoted, on the other hand in the United States the Securities Exchange Commission sued Andrew Murstein, a Founder and Chief Operating Officer of Medallion Financial Corp, for conspiring with several parties to promote MFIN stock, Securities Exchange Commission sued Andrew Murstein, because committed “Illegal Touting”, because the promotion carried out by them created a false information because it was not in accordance with the original facts, to answer how to determine a violation in “stock promotion” writer used a comparative approach that compares capital market Provisions in Indonesia and the United States, the result of this study is that the stock promotion carried out by Andrew Murstein is illegal because it spreads misleading information and is not in accordance with the original material facts, while the stock promotion carried out by Public Figures violates POJK provisions No 7 POJK.04/2019 Concerning Securities Marketing Promotions Including Brochure Advertisements or Other Communications to the Public."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kris Henry Yohanes
"Impor paralel merupakan fenomena yang muncul karena perkembangan pasar yang saat ini dialami oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Produk impor paralel sendiri merupakan produk asli dan secara teoritis bukan merupakan pelanggaran merek, sesuai dengan prinsip exhaustion dalam hukum merek. Namun, pada praktiknya impor paralel dapat merugikan berbagai pihak. Salah satu pihak yang dinilai merasakan dampak terbesar dari impor paralel adalah pemegang lisensi merek. Sayangnya, hukum Indonesia tidak secara jelas dan eksplisit mengatur mengenai legalitas dan penanganan impor paralel, sehingga pemegang lisensi merek pun dapat merasa kesulitan untuk memulihkan kerugian yang timbul dari praktik tesebut. Oleh karena itu, skripsi ini bertujuan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terkait upaya yang tersedia bagi pemegang lisensi merek untuk menangani dampak yang timbul dari praktik impor paralel, serta membandingkannya dengan hukum yang berlaku di negara lain, yaitu Amerika Serikat dan Singapura. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baru serta memberikan masukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk memperjelas posisi hukum Indonesia dalam menanggapi dan menyelesaikan sengketa impor paralel yang terjadi di Indonesia.

Parallel Importation is a phenomenon that rises as a consequence of globalization and market development that affect various countries across the globe, including Indonesia. The imported goods themselves are genuine goods, so theoretically, parallel importation is not classified as a trademark infringement, according to the exhaustion principle. Yet, in practice, parallel importation can cause a damage to various parties. One of the parties that potentially suffers the biggest loss is trademark licensee. Unfortunately, Indonesian law does not explicitly regulate the legality nor a mechanism to handle parallel importation, so a party that affected by the damage may find it difficult to recover from their loss. Therefore, this thesis will try to analyze the Indonesian trademark law to find an available procedure for trademark licensees to handle parallel importation, and will also compare such procedure with regulations in the United States of America and Singapore. The research method in writing this thesis is a juridical-normative method, using library materials that include primary, secondary, and tertiary legal materials. Hopefully, this thesis can give new insights to the readers, while also suggests the Indonesian lawmakers to clear up the position of Indonesian law on handling and resolving the parallel importation issues in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabiq Aqdam Muslich
"Inovasi manusia dalam teknologi digital telah mengubah dinamika pelaku ekonomi seperti dengan munculnya skema penawaran efek melalui layanan urun dana atau securities crowdfunding (SCF). Penghimpunan modal melalui SCF menjadi salah satu alternatif untuk para pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) untuk mempermudah mendapatkan modal. Industri SCF memiliki potensi besar di Indonesia karena banyaknya demand dari pengusaha-pengusaha UMKM untuk skema pemodalan yang mudah digunakan untuk perusahaan kecil. Akan tetapi, persoalan risiko penipuan dapat menjadi hambatan besar dalam perkembangan SCF di Indonesia. Kurangnya perlindungan dari penipuan akan berimplikasi pada kepercayaan publik terhadap industri SCF. Terkait isu ini, Peraturan OJK No. 57 Tahun 2020 tentang Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi belum mengatur secara komprehensif mengenai risiko penipuan. Sementara itu, dibutuhkan payung hukum yang sistematis untuk melindungi para Pemodal, terutama dari kejahatan penipuan yang dapat mengurangi kredibilitas industri SCF secara keseluruhan dan justru menghambat pemodalan bagi UMKM. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan mengkaji bahan pustaka dan menelaah peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan membahas mengenai perlindungan hukum atas risiko penipuan dalam SCF di Indonesia dan membandingkan pengaturannya dengan regulasi di Amerika Serikat dan Australia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai perlindungan hukum dari kejahatan penipuan dalam SCF di Indonesia serta perbandingannya dengan perlindungan hukum yang ada di negara Amerika Serikat dan Australia.

Human innovation in digital technology has changed the dynamics of economic actors, such as the emergence of securities offering schemes through crowdfunding or securities crowdfunding (SCF). Capital accumulation through SCF is an alternative for Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) to make it easier to obtain capital. The SCF industry has great potential in Indonesia due to the large demand from MSME entrepreneurs for capital schemes that are friendly for small companies. However, the issue of fraud may be a major obstacle to the development of SCF in Indonesia. Lack of legal protection will have implications on public trust in the SCF industry. Regarding this issue, OJK Regulation No. 57 of 2020 concerning Securities Offerings Through Information Technology-Based Crowdfunding Services has not comprehensively regulated the risk of fraud. Meanwhile, a systematic legal umbrella is required to protect investors, especially from fraud crimes which can reduce the credibility of the SCF industry as a whole and hinder MSMEs from gaining capital. This research method uses a normative juridical method by reviewing literature and examining relevant laws and regulations with a comparative approach. This research will discuss legal protection for fraud risk in SCF in Indonesia and compare Indonesia’s regulation with regulations in the United States and Australia. Thus, this research is expected to provide information and an overview of legal protection from fraud in SCF in Indonesia and its comparison with legal protection in the United States and Australia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moch. Zairul Alam
"Perkembangan teknologi digital dan internet selain membawa manfaat bagi pencipta bagaimana suatu ide diekspresikan dalam bentuk ciptaan digital juga menimbulkan adanya bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta baru terkait ciptaan digital. Hal ini semakin menegaskan perlunya penggunaan sarana teknologi sebagai alat perlindungan dan pencegahan pelanggaran hak cipta atas karya digital. Bentuk perlindungan dengan menggunakan cara atau sarana teknologi atas karya digital perlu mendapatkan legitimasi hukum, sehingga pada tahun 1996 diadakan WIPO Diplomatic Conference yang membahas bentuk perlindungan baru atas karya digital, sebagai tambahan dari apa yang sudah diatur dalam Bern Convention. Salah satu hal penting dalam WIPO Copyright Treaty (WCT) adalah diaturnya larangan atas tindakan pembobolan (circumvention) dalam pasal 11 atas teknologi proteksi atas ciptaan (technological protection measures), dan juga larangan tindakan pengubahan/peniadaan identitas digital dari suatu ciptaan (rights management information-RMI) dalam pasal 12, sebagai mekanisme proteksi ganda (double protection) atas ciptaan. Uni Eropa dan terutama Amerika Serikat merupakan penggagas utama kebutuhan perlindungan atas karya digital. Sebagai bentuk harmonisasi ketentuan hak cipta atas ditandatanganinya WCT oleh negara peserta, maka baik AS dan Indonesia menerjemahkan aturan tentang RMI pada ketentuan masing-masing negara. Studi ini mencoba menjelaskan dengan metode perbandingan hukum bagaimana aturan tentang RMI dalam WCT diterapkan dalam Digital Millenium Copyright Act 1998 di AS dan UU No.19 tahun 2002 di Indonesia, dimana ternyata ada perbedaan variasi dan corak pengaturan ketika diterjemahkan dalam legislasi nasional. Perbedaan tersebut tercermin dalam 5 (lima) hal : sistematika pengaturan, definisi pengaturan, tindakan yang dilarang, sanksi, serta pengecualian/pembatasan. Dalam Pasal 25 UUHC tercermin bahwa selain pengaturannya tidak sesuai dengan konsep dalam RMI dalam WCT juga terdapat perbedaan yang menonjol apabila dibandingkan dengan pengaturan di AS. Perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan menjadi masukan yang berarti bagi arah perumusan ketentuan RMI pada ketentuan UU Hak Cipta di Indonesia pada masa yang akan datang.

Development of digital technology and the internet is not only bringing benefits to the creator of how an idea is expressed in the form of digital works, but also gave rise to new forms of copyright infringement related to new digital creation. This further confirms the need to use technology as a means of protection and prevention of copyright infringement on digital works. Form of protection by using a method or means of digital technology on the works seeks to get legal legitimacy, so that in 1996 WIPO Diplomatic Conference held to discuss new forms of protection for digital works, as an addition to what is already regulated in the Berne Convention. One of the important point in WIPO Copyright Treaty (WCT) is arrangement of banning on acts of circumvention as regulated in Article 11 on technological protection measures, and also bans the alteration action / removal of digital identity of a works (rights management information -RMI) in chapter 12, as a double mechanism protection of works. The European Union and especially the United States is the main initiator for enhance and develop the protection of digital works. As a form of harmonization of the provisions of the copyright as legal consequence for the signing of the WCT by participating countries, the U.S. and Indonesia both translate the rules of the RMI to the provisions of each country. This study attempts to explain how the rules of the RMI in the WCT were interpreted in the Digital Millennium Copyright Act 1998 (DMCA) in the U.S. and Act 19 of 2002 in Indonesia, where there were differences in variety and style settings when it translated into national legislation. Differences are reflected in the 5 (five) things: a systematic arrangement, the definition of regulation, provision which prohibited acts, penalties, and exclusion / limitation. UUHC as reflected in Article 25 reveals that the arrangements do not fit with the concept of the RMI in the WCT also there is a difference that stands out when it compared to the U.S DMCA. These differences are expected to be a significant input for the formulation of the provisions of the RMI in developing better Indonesian Copyright Law in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31076
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Desiree Hardigaluh
"Perkembangan teknologi dan informasi serta internet telah memudahkan manusia untuk melakukan segala sesuatu secara daring, termasuk membeli suatu barang atua jasa. Salah satu dari banyak jenis perkembangan teknologi dan informasi adalah e-commerce. E-Commerce adalah segala bentuk transaksi bisnis atau pertukuran informasi yang dilakukan melalui teknologi informasi dan komunikasi, termasuk perdagangan barang dan jasa secara elektronik. Di dalam perjanjian jual-beli baik secara konvensional maupun elektronik, perlindungan terhadap hak-hak konsumen seyogianya menjadi perhatian utama pelaku usaha. Hal ini disebabkan meskipun sudah terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen, hingga saat ini masih sering ditemukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, terutama dalam transaksi e-commerce. Skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif yang mengkomparasikan peraturan perundang-undangan tentang hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce antara Indonesia, India, dan Amerika Serikat. Melalui studi komparasi dan analisis menggunakan sumber data dari kepustakaan, penelitian ini menemukan jawaban atas bagaimana kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga mendeskripsikan perihal perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia dengan India dan Amerika Serikat berdasarkan United Nations Guidelines for Consumer Protection. Lebih lanjut, penelitian ini juga memberikan preskripsi tentang kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang seharusnya, apabila ditinjau dari perbandingan kepastian hukum perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce di India dan Amerika Serikat.

The development of technology and information and the internet has made it easier for humans to do many things, including purchasing goods and services. One of many developments in technology and information is e-commerce. E-Commerce is all kinds of business transactions or information exchange carried out through the internet, including trading of goods and services electronically. In the matter of buying and selling, both conventionally and electronically, the protection of consumer rights should be the main concern of business actors. This is because despite the provisions of laws and regulations governing consumer protection, until now there are still frequent violations of consumer rights, especially in e-commerce transactions. This thesis is a piece of juridical-normative research that compares the laws and regulations concerning consumer protection law in e-commerce transactions between Indonesia, India, and the United States. Through comparative studies and analysis using literature study, this thesis explores on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia is being achieved. In addition, this research also describes about the comparison regarding legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia between India and the United States based on the United Nations Guidelines for Consumer Protection. Furthermore, this study provides a prescription on how the legal certainty of consumer protection in e-commerce transactions in Indonesia should be, when viewed from a comparison of consumer protection laws in e-commerce transactions in India and the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Randy Pongtiku
"ABSTRAK
Gangguan Pemusatan Perhatian Hiperaktivitas GPPH adalah suatu gangguan jiwa yang menyebabkan penderitanya terganggu dalam melaksanakan fungsi eksekutif dalam kehidupannya sehari-hari, seperti tugas yang melibatkan detail, karena mereka sangat sensitif terhadap distraksi sekecil apapun. Prevalensi kejadian GPPH paling tinggi terdapat pada anak, namun penelitian mutakhir menunjukkan tingginya juga kejadian GPPH pada orang dewasa. Di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang relevan terhadap GPPH adalah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 330/MENKES/PER/II/2011 tentang Pedoman Deteksi Dini GPPH pada Anak serta Penanganannya. Berangkat dari hal tersebut, Penulis kemudian tertarik untuk membandingkan pengaturan dan implementasi dari pengaturan terkait GPPH di Indonesia dan Amerika Serikat, suatu negara di mana GPPH telah dikenal sejak lama. Bentuk dari penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian yuridis-normatif, dengan tipe penelitian deskriptif. Kesimpulan dari perbandingan ini adalah terdapat persamaan yaitu pengaturan dilakukan dalam bentuk yang sama yaitu undang-undang di Indonesia, dan Act yang merupakan ekuivalen dari undang-undang di Amerika Serikat. Adapun perbedaannya terletak pada fakta bahwa adanya tiga peraturan terkait GPPH tidak cukup untuk memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi penderita GPPH di Indonesia. Di sisi yang lain, perlindungan hukum terhadap penderita GPPH di Amerika Serikat berjalan dengan baik meskipun tidak terdapat peraturan yang secara khusus mengatur GPPH. Penulis menyarankan pemerintah melakukan inisiatif-insiatif dan kampanye lebih luas untuk membuat semua orang, terutama tenaga kesehatan Indonesia, lebih memahami GPPH dan dampak bagi kualitas hidup penderitanya jika tidak diatasi.

ABSTRACT
Attention Deficit Hyperactivity Disorder ADHD is a mental health disorder that causes disruption to a person rsquo s daily activities in carrying activities related to executive functions, such as detail oriented, mundane tasks, due to their sensitivity towards distractions. ADHD mostly occurs in children, however latest research also suggests a high prevalence in adult. In Indonesia, laws and regulations relevant to ADHD are Law No. 36 2009 on Health, Law No. 18 2015 on Mental Health and Regulation of Minister of Health No. 330 MENKES PER II 2011 on Guidelines for Early Detection of ADHD in Children and Its Treament. Departing from that, the writer is then interested to compare the laws and regulations and the implementations of those instruments in Indonesia and in the United States US , a country where ADHD has been known and understood since a long time ago. This research is conducted under juridical normative, descriptive method. The writer then arrives at the conclusion that the numbers of legislation on ADHD in Indonesia do not necessarily correspond to adequate legal protections that persons with ADHD received. On the other hand, legal protections for persons with ADHD in the US is satisfactorily achieved despite the lack of formal regulations on ADHD. The writer advices that greater initiative and campaign has to be procured by the relevant government agencies in Indonesia, so that the public and specifically public health frontliners can be aware of ADHD as a mental health phenomenon and how it affects the daily functioning of the affected person if not treated."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>