Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115561 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiradharma Sampurna Putra
"Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum dan pada saat perkawinan berlangsung seharusnya didasarkan pada kesepakatan dan kesesuaian para pihak. Serta harus mengacu pada regulasi dan peraturan perundang-undangan sebagai dasar menyusun isi Perjanjian Perkawinan tersebut. Namun pada kenyataannya Perjanjian Perkawinan Postn uptial Agreement dan Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama dibuat 1 (satu) hari sebelum gugatan perceraian dilayangkan oleh Nyonya YTS kepada mantan suaminya yaitu Tuan ST yang mengakibatkan pembatalan Akta perjanjian perkawinan Postnuptial Agreement dan Akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama seperti yang ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat 636/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Brt. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melaku studi dokumen yang selanjutnya di analisis. Dapat dikemukakan 2 (dua) hasil analisis dalam penelitian ini yaitu: Pertama, Perjanjian Perkawinan Postnuptial Agreement yang dibuat antara Nyonya YTS dan Tuan ST tidak berlaku surut dan tetap sah, namun tidak memiliki implikasi apapun, karena setelah dibuatnya Postnutptial tersebut tidak terdapat harta lagi yang diperoleh. Sedangkan Akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama batal demi hukum, karena harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi kewenangan terikat bersama antara suami dan istri, serta perjanjian obligatoir (akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama) tidak dapat meghapuskan hak kebendaan dari seorang subyek hukum. Kedua, persangkaan hakim memang diakui sebagai suatu alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), namun persangkaan hakim tersebut hanya menitikberatkan tenggat waktu dibuatnya Perjanjian Perkawinan dan Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama yang hanya berjarak 1 (satu) hari dari Nyonya YTS mendaftarkan gugatan perceraiannya. Sehingga terhadap putusan pengadilan tersebut terdapat ketidakakuratan majelis hakim dalam memberikan pertimbangannya, seharusnya yang menjadi pertimbangan majelis hakim adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi kewenangan terikat bersama suami dan istri dan baru akan berakhir setelah putusnya perceraian, serta perjanjian obligatoir (akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama) tidak dapat meghapuskan hak kebendaan dari seorang subyek hukum.

Marriage agreement, made before and during the marriage should be based on the agreement and consent of the parties involved. It should also refer to the regulations and legal provisions as the basis for drafting the contents of the prenuptial agreement. However, in reality, the Postnuptial Agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property were made 1 (one) day before Mrs. YTS filed for divorce against her former husband, Mr. ST, resulting in the cancellation of the Postnuptial Agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property as found in the Decision of the West Jakarta District Court 636/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Brt. This legal research was conducted by collecting primary, secondary, and tertiary legal materials and studying documents for further analysis. Two (2) results of the analysis in this research can be presented: First, the Postnuptial Agreement made between Mrs. YTS and Mr. ST is not retroactively valid and remains valid, but it has no implications because there were no more assets acquired after the Postnuptial Agreement was made. Meanwhile, the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property is null and void because the joint assets acquired during the marriage are the joint responsibility of the husband and wife, and an obligatory agreement (the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property) cannot extinguish property rights of a legal subject. Second, the presumption of the judge is indeed recognized as a means of evidence regulated in Article 164 of the Herzien Inlandsch Reglement (HIR), but the judge's presumption only emphasizes the timing of the making of the prenuptial agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property, which was only 1 (one) day before Mrs. YTS filed for divorce. Therefore, the court's decision contains inaccuracies in the judges' considerations. The judges' consideration should have been the joint assets acquired during the marriage, which are the joint responsibility of the husband and wife and will only end after the divorce, and an obligatory agreement (the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property) cannot extinguish property rights of a legal subject."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Fabiola
"Pembuatan Perjanjian Perkawinan Sepanjang Perkawinan (Postnuptial Agreement) yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan atas harta campur bulat yang telah ada, selain harus dibuat dengan diikuti pencatatan pada Instansi yang berwenang, Postnuptial Agreement tersebut pun harus mendapatkan pengesahan melalui Penetapan Pengadilan. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan batalnya Postnuptial Agreement tersebut serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak ketiga. Perubahan isi Pasal 29 UU Perkawinan, menyebabkan banyak dibuatnya Postnuptial Agreement. Pada praktiknya, ditemukan adanya Postnuptial Agreement bermasalah, dikarenakan isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada, dan Postnuptial Agreement tersebut hanya dilakukan pencatatan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Salah satu Postnuptial Agreement yang bermasalah yaitu, akta Perjanjian Perkawinan Nomor 00 yang dibuat di hadapan IM Notaris di KB.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah mengenai (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat dan (2) keabsahan transaksi jual beli tanpa persetujuan pasangan pihak penjual dan perlindungan terhadap kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan. Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada penelitian ini telah digunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan tipologi penelitian preskriptif. Data yang digunakan ialah data sekunder serta wawancara sebagai data pendukung, dengan metode analisis data kualitatif.
Hasil analisis, (1) keabsahan Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan Penetapan Pengadilan yang isinya mengatur mengenai pembagian dan pemisahan harta campur bulat adalah tidak sah atau batal demi hukum jika yang dilakukan yaitu, pembagian dan pemisahan terhadap harta yang telah ada. Agar Postnuptial Agreement ini dapat sah dan mengikat, maka harus dilakukan permohonan pengesahan pada Pengadilan Negeri. (2) Keabsahan transaksi jual beli yang dilakukan tanpa adanya persetujuan pasangan pihak penjual dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement yang telah dicatatkan tanpa diikuti dengan penetapan pengadilan adalah tidak sah atau batal demi hukum, akan tetapi pembeli beriktikad baik dilindungi. Adapun kepentingan pihak ketiga selaku kreditur yang menerima jaminan harta campur bulat dikarenakan adanya pembagian dan pemisahan harta campur bulat yang telah ada pada Postnuptial Agreement telah dilindungi oleh hukum baik dalam bentuk perlindungan hukum preventif maupun represif.

The drawing up of a Postnuptial Agreement setting out terms regarding the distribution and separation of existing community property, other than having to be registered to the regulatory authorities, such Postnuptial Agreement must acquire validation through a Court Order. This is done so as not to cause the voiding of the Postnuptial Agreement and to provide legal certainty to third parties. The existence of Article 29 of Marriage Law, has caused the creation of many Postnuptial Agreements. In practice, the existence of Postnuptial Agreements is problematic, as the contents set out terms regarding the distribution and separation of existing community property, and towards such Postnuptial Agreement a simple registration is done to the Department of Population and Civil Registration without being followed by a Court Order. An example of a problematic Postnuptial Agreement is Deed of Marriage Agreement Number 00 made before IM, Notary in KB.
The problem raised within this research is on (1) the validity of a Postnuptial Agreement containing terms on the distribution and separation of existing community property that is registered without being followed by a Court Order and (2) the validity of a sale purchase transaction without the spousal consent of the seller and the protection towards third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the distribution and separation of community property within the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order. To address such problem, this research uses a judicial-normative method through prescriptive research typology. The data used is secondary data with interviews as supporting data, with a qualitative data analysis method.
The result of such analysis is that, (1) the validity of the Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a Court Order that sets out terms related to the distribution and separation of joint marital property is that it is not valid or should be null and void if what is set out is the distribution and separation of existing community property. In order for the Postnuptial Agreement to be valid and binding, an application for the validation by a District Court. (2) the Validity of the sale purchase transaction conducted without the spousal consent of the seller due to the existence of distribution and separation of existing community property within a Postnuptial Agreement that has been registered but is not followed by a court order is invalid or null and void, however a buyer in good faith is protected. Third party interests as a creditor receiving collateral in the form of community property due to the existence of separation and division of existing joint marital property within a Postnuptial Agreement is also protected by law, whether through preventive or repressive legal protection.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurmaida Delviana
"Di Indonesia, terdapat dua jenis perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut dibuat sebelum dan setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XII/2015. Dari hal itu timbul pertanyaan bagaimanakah perbandingan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan belangsung sebelum dan setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015? Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan saat perkawinan berlangsung sebelum adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 didahului dengan menggunakan Penetapan ke Pegadilan. Sedangkan mengenai bentuk perjanjian perkawinan pada saat perkawinan berlangsung setelah adanya Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 seharusnya berupa Akta Otentik Notaris saja. Serta terdapat saran atas berlakunya ketentuan pasal 29 Ayat 1 UU Perkawinan jo. Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 bahwa peraturan tersebut seharusnya segera dirubah demi kepastian dan keadilan hukum.

In Indonesia, there is two kind of marriage agreement that made into postnuptial agreement, that agreement made before and after the Decision of the Constitutional Court No. 69 PUU XIII 2015. From that, it arises the question of how the comparison of postnuptial agreement before and after the Decision of the Constitutional Court No. 69 PUU XIII 2015 By using literature research method that is juridical normative, it can be concluded that the marriage agreement before the Decision of the Constitutional Court. 69 PUU XIII 2015 to be made into Postnuptial Agreement preceded by the Decree of State Court. While on the form of marriage agreement on Postnuptial Agreement after the Decision of the Constitutional Court. 69 PUU XIII 2015 suupposed to be just in the form of notary authentic act. And there are suggestions on the application of the provisions of Article 29 Paragraph 1 of Marriage Law jo. Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 that the regulation should be immediately changed for the sake of legal certainty and justice. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sathya Aisha Tunggadewi
"Skripsi ini mengeksplorasi implikasi hukum dari perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan dalam konteks harta perkawinan dalam kerangka perkawinan campuran, dengan fokus khusus pada Hukum Internasional Swasta Indonesia. Di era globalisasi yang semakin meningkat, perkawinan campuran yang melibatkan individu-individu dari latar belakang hukum dan budaya yang berbeda menjadi semakin lazim. Penelitian ini mengkaji kompleksitas dan tantangan yang terkait dengan penentuan hak atas harta perkawinan dalam perkawinan campuran, dengan mempertimbangkan beragam sistem hukum dan norma-norma budaya yang berlaku. Melalui analisis mendalam terhadap ketentuan hukum Indonesia yang relevan dan kerangka hukum internasional, tesis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan mempengaruhi pembagian harta perkawinan dalam perkawinan campuran. Dengan menyoroti kerumitan hukum yang terlibat, penelitian ini berkontribusi pada wacana yang lebih luas tentang hukum keluarga dan hukum internasional privat, menawarkan wawasan yang dapat memandu para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan individu dalam menavigasi kerumitan perkawinan campuran di Indonesia.

This thesis explores the legal implications of prenuptial and postnuptial agreements in the context of marital property within the framework of mixed marriages, with a specific focus on Indonesian Private International Law. In an era of increasing globalization, mixed marriages involving individuals from different legal and cultural backgrounds have become more prevalent. The study examines the complexities and challenges associated with determining marital property rights in such unions, considering the diverse legal systems and cultural norms at play. Through an in-depth analysis of relevant Indonesian legal provisions and international legal frameworks, the thesis aims to provide a comprehensive understanding of how prenuptial and postnuptial agreements impact the division of marital property in mixed marriages. By shedding light on the legal intricacies involved, this research contributes to the broader discourse on family law and private international law, offering insights that may guide policymakers, legal practitioners, and individuals navigating the complexities of mixed marriages in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Gitawati Purwana
"Semestinya perjanjian perkawinan memuat harta benda perkawinan saja. Namun, dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta No. 62/PDT/2022/PT DKI, perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak mengatur mengenai akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian. Sementara itu, di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa “disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris” dan frasa “harta perkawinan atau perjanjian lainnya” yang selanjutnya menimbulkan ketidakpastian. Untuk itu, penelitian ini mengangkat permasalahan terkait keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dan akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian dalam Putusan a quo dari PT DKI Jakarta dengan mempertimbangkan kedua frasa dalam Putusan a quo dari MK. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif. Data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dikumpulkan melalui studi dokumen yang dianalisis secara kualitatif. Dari hasil analisis dapat dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya sah terhadap para pihak yang membuatnya saja, tetapi tidak berlaku terhadap pihak ketiga apabila belum dicatatkan di Disdukcapil. Hal ini karena yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan hanyalah Disdukcapil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 dan Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri No. 472.2/5876/DUKCAPIL. Sedangkan Notaris hanya mengakomodir keinginan para pihak ke dalam Akta Perjanjian Perkawinan. Adapun akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan karena perceraian tidak dapat berlaku secara langsung karena tidak sesuai dengan esensi tujuan perkawinan dan harus diputuskan melalui pengadilan. Begitu pula klausul yang dimuat dalam perjanjian perkawinan yakni hanya mengatur harta perkawinan. Adapun sebab dan akibat hukum putusnya perkawinan karena perceraian telah diatur secara limitatif dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

The postnuptial agreement should only contain marital assets. However, in the case of DKI Jakarta High Court (HC) Verdict No. 62/PDT/2022/PT DKI, the postnuptial agreement made by the parties regulate the legal consequences of breaking up a marriage due to divorce. Meanwhile, in the Verdict of the Constitutional Court (CC) No. 69/PUU-XIII/2015 there is the phrase "ratified by a Marriage Registrar or Notary" and the phrase "marital asset or other agreement." For this reason, this study raises issues related to the validity of postnuptial agreements that were not ratified by the Population and Civil Registry Service (Disdukcapil) and the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of marriage breakup due to divorce in the a quo verdict from HC DKI Jakarta by considering the two phrases in the a quo verdict from CC. This research is in the form of juridical-normative. Secondary data in the form of legal materials were collected through document studies which were analyzed qualitatively. From the analysis results, it can be explained that the postnuptial agreement is only valid for the parties who made it, but does not apply to third parties if it has not been registered at Disdukcapil. This is because only Disdukcapil can register postnuptial agreements as referred to in the Presidential Regulation No. 96 of 2018 and Circular Letter of the Directorate General of Population and Civil Registration of the Ministry of Home Affairs No. 472.2/5876/DUKCAPIL.  Meanwhile, the Notary only accommodates the parties' desires in the Deed of Postnuptial Agreement. As for the legal consequences of making a postnuptial agreement that regulates the consequences of breaking up a marriage due to divorce, it cannot apply directly because it is not in accordance with the essence of the purpose of marriage and must be decided through a court. Likewise, the clause contained in the postnuptial agreement only regulates marital assets. As for the legal causes and consequences of breaking up a marriage due to divorce, it has been regulated in a limited manner in Law No. 1 of 1974 concerning Marriage."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ejos Micel Kiko
"Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 membuat terjadinya perubahan regulasi di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak ketiga atas postnuptial agreement dengan membandingkan antara Indonesia dan Australia. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal berbentuk yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh pasangan atau suami-isteri untuk menyelamatkan harta benda dari hal yang tidak diinginkan di masa yang akan datang seperti perceraian dan lainnya. Perjanjian perkawinan tidak lepas dari pihak-pihak yang membuat maupun pihak ketiga yang tersangkut. Dengan diperbolehkannya membuat perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan (postnuptial agreement), menimbulkan permasalahan hukum terhadap pihak ketiga yang tersangkut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa peraturan mengenai postnuptial agreement di Indonesia belum sepenuhnya melindungi pihak ketiga. Sementara itu, Australia mengatur postnuptial agreement lebih sistematis dan jelas dalam Family Law Act 1975. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadikan Australia sebagai contoh negara yang mengatur postnuptial agreement dengan jelas dan tegas. Dengan demikian, perlindungan hukum bagi pihak ketiga atas postnuptial agreement di Indonesia akan lebih terjamin.

With the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 made changes to the regulations in Indonesia regarding marital agreements. This paper aims to determine the legal protection for third parties on postnuptial agreements by comparing Indonesia and Australia. This research is a doctrinal research in the form of normative juridical with a comparative legal approach. A marriage agreement is an agreement made by a couple or husband and wife to save property from unwanted things in the future such as divorce and others. The marriage agreement cannot be separated from the parties who make it and the third parties involved. With the permissibility of making a marriage agreement after the marriage takes place (postnuptial agreement), it raises legal issues for third parties involved. The results of this study show that the regulations regarding postnuptial agreements in Indonesia have not fully protected third parties. Meanwhile, Australia regulates postnuptial agreements more systematically and clearly in the Family Law Act 1975. Therefore, Indonesia can take Australia as an example of a country that regulates postnuptial agreements clearly and firmly. Thus, legal protection for third parties to postnuptial agreements in Indonesia will be more guaranteed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syariful Alam
"Penelitian ini membahas perbandingan pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan menurut hukum Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario , dengan melakukan analisis terhadap peraturan di Indonesia yaitu KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, peraturan di Belanda yaitu Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW , serta peraturan di Kanada Ontario yaitu Family Law Act 1990.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode analisis data yang menggunakan pendekatan kualitatif. Pada peraturan dari masing-masing negara ini, terdapat beberapa perbedaan dalam hal pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.
Hasil penelitian ini menunjukan bagaimana pengaturan mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan di Indonesia, Belanda, dan Kanada Ontario, dengan tujuan untuk memperbaiki pengaturan di Indonesia mengenai perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan.

This research discusses about comparison of regulation for postnuptial agreement in Indonesia, Netherland and Canada Ontario by doing analysis on Indonesia rsquo s regulation such as Indonesian Civil Code KUHPerdata and Law No. 1 1974 about Marriage, Netherlands rsquo regulation such as Nieuw Burgerlijk Wetboek NBW and Canada rsquo s Ontario regulation such as Family Law Act 1990.
This is a normative juridical research using qualitative approach method. Among those countries rsquo regulations, the Author found some similarities and differences regarding postnuptial agreement among those countries.
This research shows how is postnuptial agreement regulated in Indonesia, Netherland and Canada Ontario in order to find suggestions to amend regulation regarding postnuptial agreement in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69845
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Disa Victoria Deran
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perbandingan pengaturan mengenai postnuptial agreement sebelum dan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, akibat adanya postnuptial agreement terhadap pihak ketiga yang telah membuat perjanjian sebelum pasangan suami isteri membuat postnuptial agreement berdasarkan hukum Indonesia dan Belanda serta peranan Notaris dalam pembuatan dan pengesahan postnuptial agreement di Indonesia dan Belanda. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XIII/2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat postnuptial agreement. Pada pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan, setelah pasangan mendapatkan putusan pengadilan yang mengabulkan pemisahan harta kekayaan, maka dalam jangka waktu 1 satu bulan harus membuat postnuptial agreement atau mengajukan tuntutan ke pengadilan mengenai pembagian harta kekayaan. Disisi lain, output pada postnuptial agreement berupa perjanjian perkawinan itu sendiri yang kemudian harus didaftarkan pada pegawai pencatat perkawinan. Indonesia dan Belanda sama-sama mengatur bahwa postnuptial agreement tidak berakibat hukum terhadap pihak ketiga yang sebelumnya telah membuat perjanjian dengan pasangan suami isteri tersebut. Notaris berperan sebagai satu-satunya pihak yang berwenang membuat perjanjian perkawinan baik itu di Indonesia maupun di Belanda, namun tidak memiliki peranan pada pengesahan perjanjian perkawinan.

ABSTRACT
This thesis explains the comparative of postnuptial agreement before and after the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015 implication to the third party who has entered into an agreement before the married couple make a postnuptial agreement under Indonesian and Dutch law and notary's role in making and endorsing postnuptial agreement in Indonesia and Netherlands.The research method in this thesis is normative juridical. Before the Constitutional Court Decision Number 96/PUU-XIII/2015, the couple must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage with the limitative reason as stipulated in Article 186 Indonesian Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a specific reason to make postnuptial agreement. In the separation of property throughout the marriage, the couples should make postnuptial agreement in one month after the court decision, or file a lawsuit in the form of separation to their property. In comparison, the output of postnuptial agreement is the marriage agreement itself which must be registered by the marriage registry officer. Both Indonesia and Netherlands are stipulate that the postnuptial agreement has no legal consequences to a third party who has previously entered into an agreement with the spouses. Notary acts as the sole authorized party to make the marriage agreement either in Indonesia or in Netherlands, but has no authority to legitimize the marriage agreement."
2017
T48187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marshella Laksana
"Seorang pria dan seorang wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan selanjutnya disahkan pada pegawai pencatat perkawinan. Akan tetapi dapat terjadi perjanjian perkawinan yamg dibuat oleh suami isteri tidak didaftarkan pada pegawai pencatat perkawinan. Permasalahan yang dikemukakan pada tesis ini adalah apakah dimungkinkan pengesahan perjanjian perkawinan setelah perkawinan berlangsung serta apakah konsekuensi dari perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan pada pencatat perkawinan. Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah tipe penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Pokok hasil dari penelitian dalam tesis ini adalah bahwa perjanjian perkawinan antara suami isteri dimaksudkan untuk menentukan bagian harta kekayaan masing-masing yang dibuat dalam klausula perjanjian dengan tujuan untuk menyelamatkan harta salah satu pihak apabila pihak yang lain dinyatakan pailit. sedangkan akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak dimintakan pengesahan pada pegawai pencatat perkawinan bagi suami isteri dan pihak ketiga, adalah perjanjian perkawinan tersebut tetap sah tetapi tidak berlaku bagi pihak ketiga, sehingga pihak ketiga dapat menganggap dalam perkawinan tersebut tidak terjadi pisah harta.

Man and a woman who wanted to establish a marriage can make a marriage aggrement. Marriage aggrement must be made in writing and subsequently passed in marriage registrar officer. But can occur marriage aggrement made by the husband and wife are not registered with the civil registrar of marriage. Issues raised in this thesis is whether the possible ratification of a treaty of marriage after the marriage took place and whether the consequences of the marriage aggrement is not registered with the registrar of marriage. Research used in this thesis are the type of normative research, namely a study of primary legal materials and secondary legal materials.
Principal results of the research in this thesis is that the marriage aggrement between husband and wife are meant to determine the assets of each clause in the agreement made with the goal to save one party property if the other party is declared bankrupt. while the legal consequences of marriage aggrement don't have approval from the marriage registrar officer the marriage aggrement is still valid but it does not apply to any third party, that third parties can assume the marriage aggrement is doesn't exist.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31594
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Halifa Pasha
"Tesis ini membahas mengenai implikasi yuridis perjanjian perkawinan yang dibuat dalam proses kepailitan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, serta peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement serta akibatnya bagi pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat 1 , 3 , dan 4 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan prenuptial agreement tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung postnuptial agreement . Hal ini kemudian dapat berdampak pada dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.

This thesis discusses the juridical implications of marriage agreements made in the bankruptcy proceedings in relation to the decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, as well as the role of Notary in the making of marriage agreements made after the postnuptial agreement and its consequences for third parties. The research method used in this thesis is normative juridical. Prior to the Ruling of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015, couples must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the marriage for the limitative reason as provided for in Article 186 of the Civil Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not require a particular reason for making a marriage agreement made after marriage takes place postnuptial agreement . Decision of the Constitutional Court Number 69 PUU XIII 2015 provides a constitutional interpretation of Article 29 Paragraph 1 , 3 , and 4 Law no. 1 Year 1974 on Marriage by extending the meaning of the marriage agreement so that the marriage agreement is no longer interpreted only as a contract made before the marriage prenuptial agreement but also can be made after the marriage took place postnuptial agreement . This can then have an impact on the possibility of a married couple who are in bankruptcy process to make a marriage agreement that then harms the third party."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>