Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 202920 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amarasinghe Achchige Thasun
"Isolasi merupakan faktor utama dalam biogeografi pulau, disini kami mencoba memahami fenomena filogeografi kelompok londok pohon Asia Tenggara yaitu genus Bronchocela di Kepulauan Indonesia dengan dukungan data morfologi (ukuran tengkorak), molekuler (DNA mitokondria dan inti) dan data evolusi. Genus Bronchocela kosmopolit, morfologi sangat bervariasi tersebar dan terisolasi di hutan yang terfragmentasi di kepulauan Indonesia. Variasi yang kompleks pada genus ini menyebabkan kesulitan dalam penentuan batas spesies dengan jelas. Sebanyak 520 individu spesimen koleksi museum telah diperiksa untuk diuji mengenai dampak isolasi pulau secara geografis terhadap struktur morfologi populasi. Uji statistic dilakukan dengan menggunkan analisis univariat dan multivariat. Sejauh ini baru diketahui hanya hanya empat spesies yang teridentifikasi di wilayah Indonesia, setelah dilakukannya penelitian ini setidaknya teridentifikasi menjadi enam spesies. Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan berdasarkan marka DNA mitokondria yaitu 16s rRNA (~500 bp) dan ND2 (~1300 bp) serta gen inti yaitu oocyte maturation factor mos (CMOS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. cristatella yang tersebar luas, dalam penelitian ini terbukti sebagai spesies kompleks yang setidaknya terdiri atas tiga spesies berbeda. Rekonstruksi pohon filogenetik DNA mitokondria dan inti menggunakan Maximum Likelihood (ML) dan Bayesian Inference (BI) menunjukkan adanya enam garis keturunan evolusi Bronchocela di Indonesia. Tingkat variasi selama ini mungkin diremehkan karena tingginya tingkat kesamaan morfologi yang disebabkan oleh sifat arboreal. Haplotipe network berdasarkan gen mitokondria ND2 dengan jelas menunjukkan adanya delapan garis keturunan. Indeks isolasi diestimasi melalui uji interaksi dua arah (ANOVA) antara luas daratan dan ukuran tubuh dari setiap populasi. Hasil penelitian ini menunjukkan pulau-pulau yang lebih besar mendukung kehidupan londok yang berukuran besar dibandingkan dengan pulau-pulau yang lebih kecil (fenomena dwarfisme pulau) dan sejalan dengan teori isolasi pulau. Hasil analisis waktu BEAST berbasis penggabungan menghasilkan pohon filogenetik dengan dua klade utama dan mengungkapkan nenek moyang terbaru atau most recent common ancestor (MRCA) untuk Bronchocela berasal sekitar 42 juta tahun yang lalu di daratan Asia. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Pohon kredibilitas clade maksimum atau Maximum Credibility Clade (MCC) skala waktu geologi menunjukkan bahwa genus Bronchocela berevolusi pada zaman Miosen awal (~18,7 juta tahun yang lalu) dan memulai spesiasi cepat pada Miosen akhir. Pohon filogenetik menununjukkan bahwa klade basal Bronchocela terdiri dari B. burmana dan taksa nenek moyangnya yang sebagian besar terbatas di Semenanjung Malaysia. Dalam penelitian ini, distribusi klade berdasarkan keberadaan spesies londok dalam pohon filogenetik. Model State-dependent Speciation and Extinction (SSE) digunakan untuk merekonstruksi Ancestral Range Estimation (ARE). Hasil simulasi silsilah Bronchocela dengan ARE sesuai hipotesis kami bahwa daratan Sunda merupakan asal muasal genus ini dan menjalan kepulauan Sunda Besar, kepulauan Sulu, Sulawesi, dan Maluku utara pada zaman Miosen. Penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai isolasi pulau di wilayah yang belum pernah diteliti sebelumnya dan hal ini menyiratkan bahwa pola distribusi Bronchocela sebagian besar dibentuk oleh peristiwa dispersal pada pra-Pliosen yang diikuti oleh peristiwa vicarian yang mendalam. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perubahan iklim Pliosen dapat berdampak besar pada diversifikasi spesies dan demografi spesies-spesies hutan ini.

Isolation is the main factor in insular biogeography, here we try to understand the insular biogeographical phenomenon of the southeast Asian arboreal lizard genus Bronchocela across the Indonesian Archipelago with the support of morphological (including skull morphology), molecular (mitochondrial and nuclear DNA) and evolutionary data. The morphologically highly variable, cosmopolitan arboreal forest lizards of the genus, Bronchocela are dispersed and isolated in fragmented island forests across the Indonesian Archipelago. These species exhibit complex morphological variations, which weaken clear species delimitation. To determine the effects of geographical island isolation on the morphological structure of the populations, 520 individuals of museum specimens (including name-bearing types) were examined across Peninsular Malaysia and the Indonesian Archipelago. Both univariate and multivariate analyses were conducted on morphometric characters. So far only four species have been identified within Indonesian territory and after evaluating morphological and morphometric evidence at least six distinct species have been recognised. We screened two mitochondrial markers comprising 16s rRNA (~500 bp) and ND2 (~1300 bp), with intervening nuclear loci (CMOS) to obtain a robust phylogenetic hypothesis. Based on both morphology and genetics, we delimit potential biogeographic boundaries of the species composition. The previously widely distributed Bronchocela cristatella is here considered as a species complex with at least three distinct species. The phylogeny of mitochondrial and nuclear DNA using Maximum likelihood (ML) and Bayesian Inference (BI) revealed at least six evolutionary lineages within the Indonesian Bronchocela. This level of variation has probably been underestimated because of the high levels of morphological similarity brought about by the arboreal lifestyle. The haplotype networks based on the ND2 mitochondrial gene differentiated the eight lineages. An isolation index was estimated and defined for each island landmass based on its area and tested for two‐way interactions (ANOVA) between landmass and the mean body sizes of each population. Our results show the significant influence of the larger islands supporting larger-bodied lizards compared to the smaller islands, agreeing with the island theory. The coalescent-based BEAST time-analysis yielded a phylogenetic tree with two major clades. It revealed that the most recent common ancestor (MRCA) for the Bronchocela genus originated approximately 42 MYA in mainland Asia. The basal clade of Bronchocela consists of B. burmana and its ancestral taxa which are mostly confined to the Malay Peninsula. The geological time-scaled maximum clade credibility (MCC) tree indicated that the genus Bronchocela evolved in the early Miocene epoch (~18.7 MYA) and started rapid speciation in the late Miocene. We divided the distribution of the clade into regions based on the species in the phylogenetic tree by its presence in those regions, and we used the State-dependent Speciation and Extinction (SSE) models to reconstruct Ancestral Range Estimation (ARE). As we hypothesised, ancestral Range Estimation (ARE) analyses supported that mainland Sundaland served as the origin for Bronchocela, which colonized the Great Sundaic Islands, the Sulu Archipelago, Sulawesi, and Northern Moluccas during the Miocene epoch. Our results provide new insights into insular isolation in a previously unstudied region, and it implies that the distribution pattern of Bronchocela has been largely shaped by pre-Pliocene dispersal followed by deep vicariance events. We further demonstrate that Pliocene climatic changes can have profound effects on species diversification and demography in these forest species."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Pengkajian variasi morfologi 98 spesimen Bronchocela cristatella
(Kuhl, 1820) di Indonesia telah dilakukan menggunakan analisis multivariat.
Analisis komponen utama (PCA) terhadap 19 karakter morfologi
menghasilkan 5 komponen dari variabel awal. Total variabilitas yang dihitung
adalah 81,0 % (Komponen 1 = 55,8 %; Komponen 2 = 8,4 %; Komponen 3 =
6,8 %; Komponen 4 = 5,6 %; Komponen 5 = 4,4 %). Komponen skor 2 pada
PCA merupakan komponen yang dapat memperlihatkan pengelompokan
populasi Bronchocela cristatella di Indonesia. Hasil analisis sidik kelompok
(CA) yang dapat dilihat pada dendrogram menunjukkan empat cluster
terhadap lima populasi B, cristatella di Indonesia. Pola persebaran variasi
morfologi B. cristatella di Indonesia berdasarkan hasil analisis sidik kelompok
(CA) tidak bersesuaian dengan proses geografis Indonesia. Populasi
Sumatera dan Jawa memiliki kekerabatan yang dekat karena membentuk
satu cluster, kemudian diikuti oleh populasi Maluku + New Guinea yang
membentuk cluster 2. Populasi Sulawesi dan Kalimantan berkerabat jauh
dengan populasi Sumatera dan Jawa karena membentuk cluster 3 dan
cluster 4 yang terpisah dari populasi yang lain."
Universitas Indonesia, 2008
S31540
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rohmatin Isnaningsih
"ABSTRAK
Morfologi cangkang spesies-spesies anggota Famili Thiaridae memiliki variasi intra spesies yang sangat tinggi sehingga dapat menyulitkan penentuan identitas tiap-tiap spesiesnya. Studi ontogeni, mekanisme, dan strategi reproduksi merupakan pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyempurnakan identitas dan sistematika suatu spesies. Pengamatan terhadap morfologi cangkang pada spesies Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , dan Stenomelania punctata Lamarck, 1822 menunjukkan variasi terutama pada karakter dimensi cangkang, warna cangkang, ornamen cangkang, serta kuat lemahnya garis tumbuh spiral dan aksial. Hasil studi ontogeni dan reproduksi pada ketiga spesies tersebut menunjukkan bahwa T. granifera dan M. tuberculata bereproduksi secara euvivipar, sementara S. punctata bersifat ovovivipar. Data ontogeni memperlihatkan adanya perbedaan dalam kisaran jumlah, ukuran, dan morfologi embryonic shell antara spesies T. granifera dan M. tuberculata. Jumlah embryonic shell yang tersimpan dalam subhaemocoelic brood pouch T. granifera lebih banyak 9-203 dibandingkan dengan jumlah embryonic shell yang mampu dihasilkan oleh satu individu M. tuberculata 1- 66 . Adapun kisaran ukuran embryonic shell pada T. granifera adalah 0,22-5 mm dan M. tuberculata sebesar 0,12-5,95 mm. Informasi mengenai ontogeni dan mekanisme serta strategi reproduksi selanjutnya dapat dijadikan sebagai bukti terjadinya fenomena-fenomena biologi di alam seperti kolonisasi, radiasi atau evolusi.Kata kunci : Morfologi, ontogeni, reproduksi, variasi intraspesies, Thiaridae.

ABSTRACT
The shell morphology of some Thiarid rsquo s species are known to have highly inter species variation. Hence, species identification based on morphological characters only is quite difficult. The morphological observation of species Tarebia granifera Lamarck, 1822 , Melanoides tuberculata M ller, 1774 , and Stenomelania punctata Lamarck, 1822 from Indonesia indicates that interspecies variation occur especially on the characters of shell dimensions, colour, ornaments, as well as the strength of spiral and axial growth lines. Studies on ontogeny, mechanisms and strategies of reproduction is another approach that can be used to enhance the valid identity and determination of Thiarid rsquo s species. The studies on ontogeny and reproductive of that three species reveal that T. granifera and M. tuberculata reproduces by eu viviparity while S. punctata are ovo viviparous. Ontogeny data exhibit the differences in the range number of embryonic shell as well as size between embryonic shell of T. granifera and M. tuberculata. Tarebia granifera have more embryonic shell stored in a subhaemocoelic brood pouch 9 203 individu compared with the number of embryonic shell that can be produced by one individual of M. tuberculata 1 66 individu . Tarebia granifera embryonic shell sizes ranging from 0.22 to 5 mm in height. While the size of M. tuberculata embryonic shell are between 0.12 to 5.95 mm. Information about ontogeny and mechanisms as well as reproductive strategies then can be used as an evidence of the occurrence of biological phenomenon in nature such as colonization, radiation as well as evolution.Key words Morphology, ontogeny, reproductive, inter species variation, Thiaridae "
2017
T46889
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Gustiana
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian mengenai variasi morfologi organ vegetatif
tanaman bidara upas (Merremia mammosa) yang dikumpulkan di daerah jawa
serta aktivitasnya sebagai anti-plasmodium secara in-vitro. Penelitian bertujuan
untuk memperoleh informasi karakter morfologi organ vegetatif tanaman bidara
upas dan aktivitas anti-plasmodium secara in-vitro. Tahapan penelitian meliputi
pengambilan sampel di lapangan, pengamatan morfologi secara visual, ekstraksi,
skrining fitokimia, uji aktivitas antimalaria ssecara in-vitro. Hasil penelitian
menunjukkan sembilan sampel tanaman yang diamati membentuk dua kelompok
utama yaitu kelompok PKL, HAJ dan Purwakarta serta kelompok JJ, HAA,
Balittro, KRP, NL dan KRB. Dua kelompok utama dapat dibedakan berdasarkan
karakter permukaan daun lebih agak kasar (HAJ) atau lebih licin mengkilat
(Purwaka), bentuk umbi, warna pangkal umbi,warna permukaan umbi, banyaknya
serat umbi, warna daging umbi setelah kering, kulit umbi, getah umbi dan warna
akar umbi. Hasil skrining fitokimia kesembilan sampel umbi tanaman bidara upas
(Merremia mammosa) menunjukkan bahwa kesembilan umbi tanaman bidara
upas memiliki kandungan senyawa aktif yang sama yaitu mengandung senyawa
flavonoid, saponin dan terpenoid. Sehingga secara fitokimia, dari kesembilan
sampel esktrak n-heksan umbi bidara upas, diambil satu sampel yaitu sampel
ekstrak n-heksan dari Juragan Jamu (JJ) dari Sleman Jogyakartau ntuk diuji
aktivitas anti-plasmodium. Hasil uji aktivitas anti-plasmodium menunjukkan
bahwa ekstrak n-heksan umbi bidara upas bersifat anti-plasmodium dengan nilai
IC50 3,36, sehingga umbi bidara upas memiliki aktivitas kuat sebagai antiplasmodium
secara in-vitro

ABSTRACT
Morphological Variation study on plant vegetative organs of bidara upas
(Merremia mammosa) collected in the area of Java and its activities antiplasmodium
as in-vitro. The aim of the study is to obtaining information on
morphological characters of vegetative organs of plants bidara upas collected in
the area Java and anti-plasmodium activity in vitro. The study include field
sampling, visual morphological observation, extraction, phytochemical screening,
and testing antimalarial activity in-vitro. The results showed whole plant samples
were observed to form two main groups, namely the first group of PKL, HAJ and
Purwakarta and a second group consisting of JJ, HAA, Balittro, KRP, NL and
KRB. The two main groups can be distinguished by the character form bulbs,
tubers base color, the color of the surface of the bulb, the amount fiber of bulb,
such as tuber flesh color after drying, tubers, bulbs and color sap tuber. The results
of nine samples of phytochemical screening tubers of plants bidara upas
(Merremia mammosa) showed that all nine plant bulbs bidara upas contains
flavonoids, saponins and terpenoids. So that phytochemicals, of the nine samples
of n-hexane extract the tubers bidara upas, was taken one sample of n-hexane
extracts of Juragan Jamu (JJ) from Yogyakarta's Sleman was tested antiplasmodium
activity. Anti-plasmodium activity test results showed that n-hexane
extract the tubers are bidara upas anti-plasmodium with IC50 values of 3.36, so the
bulbs bidara upas have strong activity as anti-plasmodium in vitro"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T46771
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sandy Leo
"ABSTRAK
Ahaetulla prasina merupakan spesies ular dari famili Colubridae yang tersebar luas dari Asia hingga Kepulauan Indonesia. Persebarannya yang luas dapat dijadikan petunjuk untuk menjelaskan sejarah pembentukan Kepulauan Indonesia dan mempelajari proses penyebaran serta adaptasinya melalui variasi morfologi. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan variasi morfologi dan menganalisis pola pengelompokan dari populasi A. prasina yang berada di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Penelitian dilakukan dengan menghitung dan mengukur karakter pada 64 spesimen A. prasina koleksi Museum Zoologicum Bogoriense yang berasal dari empat kawasan. Analisis karakter dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan Cluster Analysis (CA). Hasil penelitian menunjukkan terdapat variasi karakter meristik antar individu dan variasi karakter morfometrik yang tidak terlihat signifikan, namun terdapat perbedaan ukuran kepala pada populasi Kalimantan dibandingkan dengan populasi lainnya. Proses penyebaran A. prasina yang belum terlalu lama dan proses adaptasi terhadap mangsa diduga menjadi penyebab tidak signifikannya variasi morfologi populasi antar kawasan meskipun terdapat sedikit perbedaan pada populasi Kalimantan. Selanjutnya, analisis DNA diperlukan untuk memetakan variasi genetis dari A. prasina di Indonesia.

ABSTRAK
Ahaetulla prasina is a colubrid snake, which has widespread from Asia to Indonesia Archipelago. This widespread distribution can explain the formation and biogeographical history of the Indonesian Archipelago through the distribution and adaptation process that are derived from morphological variations. The aims of this research was to explain and analyze the morphological variation and group pattern of A. prasina population in Sumatera, Java, Kalimantan and Sulawesi. This research was done by manually counting and measuring the characteristics of 64 A. prasina specimens collected from the Museum Zoologicum Bogoriense which comes from four islands of Indonesia. The morphological characters were analyzed using Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis (CA). The results showed meristic character variation among individuals and morphologically character variation that are have lower significance. However, there were different in head characters and size on the Kalimantan population in compared to other populations. A relatively short distribution period and the adaptation towards its prey could be the main reason why there is the morphological variations although our analysis showed they have lower significance in all samples except slightly different characters in Kalimantan population. Furthermore, DNA analysis is necessary to show genetic variation of A. prasina in Indonesia.
"
2016
S64993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Prastiwi
"Arginase (L-arginine ureahydrolase) adalah enzim yang berperan dalam siklus
urea. Arginase juga memainkan peran penting dalam produksi nitrat oksida (NO).
Gangguan keseimbangan NO merupakan kontributor terjadinya gangguan fungsi
endotel pembuluh darah. Senyawa fenol dan flavonoid diketahui mempunyai
aktivitas penghambatan arginase. Genus Sterculia kaya dengan senyawa fenol dan
flavonoid. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa dari tanaman genus
Sterculia yang mempunyai aktivitas penghambatan arginase. Penelitian diawali
dengan skrining dari 5 tanaman genus Sterculia yaitu: S. macrophylla, S. comosa,
S.parkinsonii, S.rubiginosa, S.stipulata. Bagian yang digunakan adalah daun dan
kayu. Ekstrak diuji aktivitas inhibitor enzim arginase dan antioksidan dengan
metode DPPH dan FRAP. Ekstrak yang aktif adalah ekstrak metanol kayu Sterculia
comosa dan ekstrak metanol kayu Sterculia macrophylla. Ekstrak aktif dipisahkan
dengan kromatografi kolom vakum menjadi fraksi. Tiap fraksi di uji aktivitas
inhibitor enzim arginase dan antioksidan dengan metode FRAP dan DPPH. Fraksi
dilanjutkan diisolasi menggunakan kromatografi kolom dan Kromatografi Lapis
Tipis Preparatif sampai didapatkan isolat. Hasil isolat diidentifikasi dengan FTIR,
1H-NMR,13C-NMR, HSQC, HMQC, HMBC, LCMSMS. Sterculia comosa (kayu
comosa/KC) didapatkan isolat KC4.4.6 asam (-)-2-(E)-kafeoil-D-gliserat, dan
KC4.4.5.1 adalah asam trans-isoferulat, yang merupakan turunan sinamat. Sterculia
macrophylla (kayu macrophylla/KM) diperoleh senyawa senyawa KM3.9.1
merupakan 3β-5α,6α-epoksi-3-hidroksi-7-megastigmen-9-on. Senyawa KM3.5.M
merupakan asam pikolinat, dan Senyawa KM-1 merupakan campuran β-sitosterol
dan stigmasterol. Hasil uji aktivitas inhibitor enzim arginase diperoleh nilai IC50
untuk isolat KM3.9.1: 59,31μg/ml, KM3.5.M: 73,98 μg/ml, KC4.4.6: 98,03 μg/ml,
KC4.4.5.1: 292,58 μg/ml, dan KM1: 140,56 μg/ml, kontrol positif nor-NOHA:
3,97 μg/ml. Aktivitas antioksidan metode DPPH didapatkan nilai IC50 isolat
KM3.9.1:92,60 μg/ml, KM3.5.M: 106,42 μg/ml, KC4.4.6: 48,77 μg/ml, KC4.4.5.1:
88,08 μg/ml dan KM1: 185,09 μg/ml, kontrol positif kuersetin: 5,63 μg/ml.
Aktivitas antioksidan dengan metode FRAP KM3.9.1: 10,76 FeEAC (Mol/g),
KM3.5.M: 5,79 FeEAC (Mol/g), KC4.4.6: 16,40 FeEAC (Mol/g), KC4.4.5.1: 15,79
FeEAC (Mol/g) KM-1: 11,89 FeEAC (Mol/g), kontrol positif kuersetin: 1201,61
FeEAC (Mol/g). Isolat KM3.9.1 (3β-5α,6α-epoksi-3-hidroksi-7-megastigmen-9-
on) merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas sebagai inhibitor enzim yang
paling baik, sedangkan aktivitas antioksidan yang paling baik adalah isolat
KC4.4.6/asam ()-2-(E)-kafeoil-D-gliserat
Arginase (L-arginine urea-hydrolase) is an enzyme that plays a role in the urea
cycle. Arginase also plays an essential role in the production of Nitric Oxide (NO).
NO balance disorder is a contributor to the impaired endothelial function of blood
vessels. Phenol and flavonoid compounds are known to have arginase inhibitory
activity. The genus Sterculia contains rich of phenol compounds and flavonoids.
This study aims to obtain compounds from the genus Sterculia which have arginase
inhibitory activity. The study began with the screening of five plants of Sterculia
genus: S. macrophylla, S. comosa, S.parkinsonii, S.rubiginosa, S.stipulata. The
parts used are leaves and wood. The extract tested for the activity of arginase
inhibitory activity and antioxidant by DPPH and FRAP methods. The active
extracts were methanol extract of Sterculia comosa wood and methanol extract of
Sterculia macrophylla wood. The active extract was separated by vacuum column
chromatography into fractions. Each fraction tested for the activity of arginase
inhibitory and antioxidant by the FRAP and DPPH methods. The fraction isolated
using column chromatography and Preparative Thin Layer Chromatography until
isolates obtained. The isolates identified with FTIR, 1H-NMR,13C-NMR, HSQC,
HMQC, HMBC, LCMSMS. Sterculia comosa (comosa woods/KC) obtained
isolates KC4.4.6/(-)-2-(E)-caffeoyl-D-glyceric acid., KC4.4.5.1 trans-isoferrulic
acid, which are cinnamic. Sterculia macrophylla (comosa woods/KC) obtained
compound: KM3.9.1 is a compound of 3β-5α,6α-epoxy-3-hydroxy-7-
megastigmen-9-one. KM3.5.M is picolinic acid, and KM1 is β-sitosterol and
stigmasterol. The results of arginase enzyme inhibitor activity obtained IC50 values
for isolates KM3.9.1: 59.31 μg/ml, KM3.5.M: 73.98 μg/ml, KC4.4.6: 98.03 μg/ml,
KC4.4.5.1: 292.58 μg/ml, and KM1: 140.56 μl/ml, positive control of nor-NOHA:
3.97 μg/ml. Antioxidant activity DPPH method obtained IC50 isolates KM3.9.1:
92.60 μg/ml, KM3.5.M: 106.42 μg/ml, KC4.4.6: 48.77 μg/ml, KC4.4.5.1: 88,08
μg/ml and KM1: 185.09 μg/ml. Quercetine as positive control: 5.63 μg/ml.
Antioxidant activity with FRAP method KM3.9.1: 10.76 FeEAC (Mol/g),
KM3.5.M: 5.79 FeEAC (Mol/g), KC4.4.6 of 16.40 FeEAC (Mol/g), KC4.4.5.1:
15.79 FeEAC (Mol/g) KM1: 11.89 FeEAC (Mol/g), quercetine: 1201.61 FeEAC
(Mol/g). KM3.91 (3β-5α,6α-epoxy-3-hydroxy-7-megastigmen-9-one) isolates was
compound that have the best activity as enzyme inhibitor, while the best antioxidant
activity was KC4.4.6/()-2-(E)-caffeoyl-D-glyceric acid."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Intan Tjahaja
"ABSTRAK
Penelitian tentang cicak rumah dari genus Hemidactylus dan Cosymbotus sangat jarang dilakukan. Pada tahun 1915 pernah dilakukan inventarisasi genus Hemidactylus beserta distribusinya di Indonesia. Karena berubahnya kondisi lingkungan maka perlu dilakukan kembali inventarisasi Hemidactylus dan Cosymbotus beserta distribusinya di Indonesia.
Dalam penelitian ini dilakukan penghitungan jumlah lamellae pada jari kaki, jumlah lubang femoral pada hewan jantan, serta pengukuran beberapa bagian tubuh Hemidactylus dan Cosymbotus.
Dari hasil inventarisasi terhadap sampel yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dijumpai 3 spesies Hemidactylus, yaitu: H. frenatus, H. brooki, dan H. garnoti, serta 1 spesies Cosymbotus, yaitu C. platyurus. H. frenatus dan C. platyurus terdapat hampir di seluruh kepulauan Indonesia. H. brooki hanya terdapat di pulau Alor, Flores, Roti, Sumba, dan Sulawesi. Sedangkan H. garnoti terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Lombok, Sumba, Kalimantan, dan Sulawesi.
Jumlah lamellae pada jari kaki Hemidactylus dan Cosymbotus tidak dapat dipakai untuk membedakan spesies. Sedangkan jumlah lubang femoral, serta ukuran beberapa bagian tubuh dapat digunakan untuk membedakan spesies."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wita Wardani
"Athyrium adalah marga paku sejati dari suku Athyriaceae yang beranggotakan 160-220 jenis, yang sebagian besar anggotanya berada di Asia Timur. Delapan jenis Athyrium yang diketahui dari Jawa dan dua jenis dari Bali belum pernah dievaluasi kekerabatannya, baik secara morfologi maupun molekuler. Kajian filogenetika molekuler dilakukan dengan menggunakan lima marka kloroplas DNA dari total 78 sampel yang 22 sampel diantaranya baru diperoleh dalam penelitian ini. Kajian fenetik difokuskan pada penguraian kekerabatan berdasarkan kesamaan morfologi pada kelompok Athyrium nigripes yang mengalami permasalahan penyematan nama secara tidak konsisten. Hasil analisis menunjukkan bahwa A. nigripes Jawa dan Bali berbeda dari sampel yang berasal dari Cina, yang menguatkan pendapat bahwa penggunaan nama tersebut dalam flora daratan Cina adalah tidak tepat. Karakter yang bermanfaat dalam memisahkan jenis-jenis dalam kumpulan yang serupa ini adalah rambut-rambut pada rakis dan pina rakis, serta adanya tonjolan semacam duri pada sisi adaksial tulang-tulang daun Dengan demikian, Jawa terkonfirmasi memiliki delapan jenis sedangkan Bali dua jenis, seluruhnya merupakan jenis yang juga terdistribusi di luar Jawa dan Bali sehingga tidak ada jenis yang endemik.

Athyrium is a large genus in the Athyriaceae with 160-220 species that most of it are concentrated in the eastern Asia. Java is known to have eight species and two species from Bali, which relationship between them has not being evaluated. A molecular phylogenetic study was conducted using five chloroplast markers with 78 samples, 22 of it were newly generated. A phenetic study was carried, focused to elucidate the relationship within Athyrium nigripes based on morphological similarity. The name has been inconsistently applied to various form of bi- and tripinnate Athyrium. The analyzes show that A.nigripes of Java and Bali nested in different clade with sample from China, which prove the misapplication of the name to Chinese plants. A. pulcherrimum is closely related to A. nigripes, but here is treated as one as the differences between the two is scanty. A. erythropodum and A. nitidulum nest in different clades and are confirmed as separate species. Characters useful to differentiate species in a looked-a-likes gathering are hairs on rachis and pinna rachis, and the spine-like protuberance on the adaxial side of leaf axis. Both A. atratum and A. puncticaule are also segregated as separate species. It is now confirmed that Java has eight species and Bali has two, and none of the are endemic."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryandi Dwi Prakoso
"Empat spesies ikan yang berasal dari wilayah tenggara Kalimantan, yaitu Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, dan R. cf. bankanensis telah diideskripsikan. Deskripsi dilakukan dengan mengukur morfometrik, menghitung meristik, mendeskripsikan pola pigmentasi, dan diuji dengan PCA. Rasbora cf. volzi dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi pada garis mediolateral berbentuk pita, retikulasi basal dapat terlihat di 5 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. elegans dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: pola pigmentasi garis mediolateral yang berbentuk persegi panjang pada pertengahan samping tubuhnya, retikulasi basal terlihat 4 baris sisik longitudinal dari bagian atas gurat sisi, dan retikulasi periferal terlihat 3 baris sisik longitudinal dari bagian dorsal. Rasbora cf. trifasciata dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan adanya: terdapat pola pigmentasi basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral hanya 1 sisik, dan memilki sisik circumferential ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis dapat dibedakan dari spesies lainnya dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut: tidak memiliki basicaudal spot, jarak antara gurat sisi dengan sirip ventral 2 sisik, terdapat noktah hitam di jari-jari sirip anal, dan memiliki jumlah sisik circumferential ½ 4, 1, 2 ½. Keempat spesies tersebut termasuk ke dalam kelompok spesies Rasbora sumatrana (Rasbora cf. volzi dan R. elegans), dan kelompok spesies Rasbora trifasciata (R. cf. trifasciata dan R. cf. bankanensis).

Four species of fishes, Rasbora cf. volzi, R. cf. elegans, R. cf. trifasciata, and R. cf. bankanensis, are described from southeastern Kalimantan. Description is done by measuring morfometrics, counting meristics, seeing the color pattern, and tested by PCA. Rasbora cf. volzi is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a thick line, basal reticulation covering five longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering four longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. elegans is distinguished from the other species by having the black medial lateral stripe forming a square profile in the middle of their body, basal reticulation covering four longitudinal scale rows from dorsal lateral line, and peripheral reticulation covering three longitudinal scale rows along dorsolateral portion of body. Rasbora cf. trifasciata is distinguished from the other species by having basicaudal spot, having one scale between lateral line and ventral fin, and having circumferential formula ½ 4, 1, 1 ½. Rasbora cf. bankanensis is distinguished from the other species by not having basicaudal spot, having two scale between lateral line and ventral fin, having a black spot in anal fin rays, and having circumferential formula ½ 4, 1, 2 ½. These species are from the Rasbora sumatrana-Group (Rasbora cf. volzi and R. elegans), and the Rasbora trifasciata-Group (R. cf. trifasciata and R. cf. bankanensis).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astri Zulfa
"Salah satu kegiatan yang paling penting untuk kelangsungan hidup adalah makan. Produksi makanan orang utan dapat dipengaruhi oleh musim (curah hujan, temperatur, kelembaban). Dalam penelitian terlihat bahwa produksi daun muda di Stasiun Penelitian Ketambe dipengaruhi oleh kelembaban, sedangkan produksi buah dan bunga tidak dipengaruhi oleh musim. Untuk melihat perubahan perilaku makan yang dilakukan oleh orang utan jantan dewasa, jantan remaja, dan betina dewasa dapat digunakan metode Focal Animal sampling. Hasil penelitian menunjukkan orang utan lebih suka makan buah berdaging saat produksi buah berlimpah, tetapi saat produksi buah langka, maka orang utan akan mengonsumsi serangga, daun muda, vegetasi, daun tua, bunga dan kategori lain-lain. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa betina dewasa relatif lebih banyak memakan serangga daripada jantan dikarenakan orang utan betina dewasa beradaptasi untuk memperoleh protein guna pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu, dalam penelitian ditemukan pula ada perbedaan perilaku makan daun tua, bunga, serangga, vegetasi dan kategori lain-lain antara jantan dewasa, jantan remaja, dan betina dewasa.

One of the most important activities for survival is feeding. Productivity of orang utan food was effect by weather (rain, temperature, humidity). The results of this investigation indicate that the young leaves season at Ketambe Research Station in Sumatra is influenced by humidity, while the fruiting season and flower season are not influenced by weather. To see feeding behavioral change at orang utan we use Focal Animal Sampling method. Orangutans prefer to eat fruits with soft pulp when fruit is abundant, but will fall-back on insect, young leaves, vegetation, mature leaves, flower and other food items when fruit is not available. We also examined patterns of feeding behaviour among adult males, sub-adult males, and adult females. We found that adult females spend a greater proportion of time feeding on insects relative to all males, perhaps as an adaptation to obtain enough protein for adequate growth and development of dependent offspring. In addition, we found additional differences among these age/sex classes in feeding behaviour on mature leaves, flowers, insect, vegetation and other food items."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
T29625
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>