Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135006 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moh Targib
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhardi
"Latar belakang. Penderita hemodialisis memerlukan kanulasi arteriovena.
Selama ini diperlukan waktu tunggu hingga empat minggu agar fistula arteriovena
siap digunakan. Hal ini meningkatkan morbiditas dan biaya. Diperlukan suatu
penelitian untuk mengetahui efektifitas fistula arteriovena pada waktu tunggu
yang lebih singkat.
Metode. Studi potong lintang komparatif membandingkan kelompok kanulasi dua
minggu dan empat minggu, menggunakan data sekunder dari RS.P pada kurun
waktu 2010 – 2012. Penilaian efektifitas menggunakan pemeriksaan thrill.
Hasil. Terdapat 174 data subyek yang memenuhi kriteria, dimana tidak ditemukan
perbedaan thrill pada kelompok kanulasi dua minggu dan empat minggu. Dimana
efekifitas keduanya diatas 90 %. Pada analisis statistik hanya riwayat CVD yang
berhubungan dengan hasil kanulasi empat minggu.
Pembahasan. Tidak terdapat perbedaan efektifitas pemasangan kanulasi pada
kelompok dua minggu dan empat minggu, sehingga waktu tunggu untuk
hemodialisis dapat diusulkan menjadi dua minggu.

Background. Hemodyalisis patients requires arteriovenous cannulation. It’s
needed a waiting period for up to four weeks for arteriovenous fistula ready for
use. It will increases morbidity and cost. It’s required a study to determine the
effectiveness of the arteriovenous fistula on a shorter waiting period.
Methods. Comparative cross-sectional study comparing the cannulation two
weeks and four weeks, using secondary data from RS.P in the period from 2010 to
2012. Assessing the effectiveness of using thrill.
Results. There were 174 subjects who met the criteria of data, which is not found
on thrill difference between cannulation two weeks and four weeks. Where both
effectiveness were above 90%. In the statistical analysis only the history of CVD
associated with cannulation results four weeks.
Discussion. There was no difference in the effectiveness of the installation of
cannulation in group two weeks and four weeks, so the waiting period for
hemodialysis may be proposed in two weeks
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutopo
"Standarisasi benang bedah di bedah sentral rumah sakit penting untuk tujuan efisiensi biaya dan sumber daya, mengurangi terjadinya benang kadaluarsa dan kehilangan. Kesulitan untuk standarisasi sering kali disebabkan pemakai mempunyai kesukaan terhadap benang tertentu, munculnya dokter bedah baru menyebabkan muncul pula kode kode baru dan kodekode sebelumnya menjadi tidak bergerak lagi atau lambat bergeraknya. Standarisasi akan menghilangkan resiko yang akan datang terhadap stok yang berlebihan. Secara keseluruhan mengurangi kesulitan dalam administrasi dari inventori yang juga berarti mengurangi biaya inventori. Tersedianya data yang akurat pemakaian benang dapat dijadikan dasar yang Iebih baik untuk menganalisa, memperkirakan dan merencanakan pemakaian berikutnya.
Data sekunder persediaan benang bedah di Bedah Sentral RSPAD Gatot Soebroto periode Maret 1997 sampai dengan April 1998 diteliti dengan Analisis ABC sehingga diketahui pemakaian yang banyak (fast moving) dan sedikit ( slow moviig) demikian pula diketahui nilai investasi yang tinggi, sedang dan rendah. Dipiih 14 dokter spesialis sebagai respondens mewakili semua spesialis pemakai bedah sentral untuk mengisi kuesioner, sehingga didapatkan nilai kritis dan masing-masing benang bedah. Dengan pembobotan nilai investasi, nilai pemakaian dan nilai kritis tersebut didapatkan indeks kritis dari masing-masing benang.
Hasil Analisis indeks Knitis ABC sebagai berikut Kelompok A merupakan kelompok knitis tinggi terdapat 44 jenis benang bedah (28,39%) dengan nilai kumulatifpemakaian Rp 188,834.636,- (46,31 %) dan kelompok B merupakan kelompok kritis sedang terdapat 65 jenis benang (41,84%) dengan nilai kumulatif Rp 75.132.959,- (18.42%) dan kelompok C inerupakan kelompok kritis rendah terdapat 46 jenis benang (29,77%) dengan nilai investasi Rp. 143.807.411,- (35,27%). Hasil Analisis Indeks Kritis ABC tersebut selanjutnya didiskusikan untuk disederhanakan dengan cara menghapuskan jenis benang yang spesifikasinya sama dari berbagai produk dan dengan pertimbangan penilaian kritisnya benang oleh para doktcr spesialis. Hasil dari penyederhanaan jenis benang tersebut dari semula 155 jenis dapat disederhanakan menjadi 62 jenis benang. Susunan 62 jenis benang bedah tersebut merupakan standar benang bedah di Bedah Sentral RSPAD Gatot Soebroto dan ditetapkan sebagai Dafiar Benang Esensial RSPAD Gatot Soebroto.
Saran selanjutnya kepada rumah sakit adalah mengembangkan suatu formula benang bedah yang tepat yang sesuai dengan yang dibutuhkan dalam prosedur standar operasi dan lapisan jaringan, Menyusun Efficient Pack (Paket Hemat) dengan cara mengidentifikasi pemakaian benang bedahyang paling efisièn dengan menentukan jumlah yang dibutuhkan dan meminimalkan benang yang terbuang. Rumah Sakit diharapkan dalam situasi krisis moneter saat mi dapat menetapkan biaya PaNe (Paket Hemat) setiap prosedur dengan tetap mengutamakan kualitas penanganan pásien, sehingga harga terjangkau dengan kualitas terjarmin.

The standardization of surgical suture at the Central Surgery Unit is of great importance for cost efficiency and human resources. It checks the possibility of using expired suture and prevents loss. There are several difficulties in developing a standard on suture. First, standardization would be more difficult if surgeons has different preferences for certain kinds of suture. Second, new surgeons would devise new codes and thus make old codes unworkable or just too slow-moving. Stadardization could decrease a possibility of over-stocking. On the whole, it helps in inventory control and saves cost. The availability of accurate data on the use of sutures is useful for analyzing, estimating and planning future needs.
Secondary data on the inventory of surgical suturesat the Central Surgery Unit of the Central Army Hospital (RSPAD Gatot Soebrojo ) during the period March 1997 to April 1998 were used and analyzed using ABC Analysis. This analysis separated fast-moving and slow-moving sutures. In addition the analysis who divided high invesment value of suture from the low one. Fourteen specialist doctors representing defferent specialties and who frequently used the Central Surgery Unit for surgery were asked using questionaries. A critical score of the use of each type of suture was gathered. After compiling the investment score, usage score, and.critical score.
A critical index for each type of suture were developed. The result was as follows Group A represented the high critical group. This group used 44 different types of surgical suture (28.39%) amounting to a cumulative usage value of Rp. 188.834.636,- (46.31 %). Group B which represented the medium critical group, used 65 different types of surgical suture (41.84 %) amounting to a cumulative usage value of Rp. 75.132.959,- (18.42 %). Group C , which represented the low critical group, used 46 different types of sugical suture (29.77 %) amounting to a cumulative usage value of Rp. 143.807.411,- (35.27 %). Based on the importance of critical index value of sutures used by specialist doctors, the ABC Critical Index Analysis was further simplified by eliminate sutures of the same specification from different producers. Finally, 62 types of sutures out of originally 155 were chosen to be the standard surgical suture to be used at the Central Surgery Unit of the Central Army Hospital (RSPAD Gatot Soebroto ) and called as the Essential Sutures of the Central Army Hospital ((RSPAD Gatot Soebroto)
It is suggested that a special formula for surgical suture should be developed, in accordance to appropriatenes of standard operating procedure and tissues layer. An Efficient Pack (Paket Hemat) should also be devised by identifying the most efficient use of surgical suture and by determining the amount to be used, to minimize its wastage. In conclusion, during this monetary, crisis, hospitals should try to establish the cost of such an Efficient Pack (Pal-le) for each procedure affordable to the patient without even decreasing the quality of care for patients."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Informasi pra bedah pada klien yang pertama kali akan dilakukan operasi besar merupakan kebutuhan klien untuk mengatasi kecemasan dan mencegah/meminimalkan komplikasi selama dan sesudah pembedahan. Kebutuhan informasi pra bedah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan klien. Melalui penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan terhadap kebutuhan informasi pra bedah pada klien yang pertama kali akan dilakukan operasi besar. Hipotesa penelitian yang diajukan yaitu ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap kebutuhan informasi pra bedah pada klien yang pertama kali akan dilakukan operasi besar. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif inferensial. Tempat penelitian di Ruang Bedah IRNA A Rumah Sakit Pusat Dr. Cipto Mangunkusumo dengan 30 responden yang bisa membaca dan menulis serta bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Untuk mengumpulkan data hubungan tingkat pendidikan terhadap kebutuhan informasi pra bedah tersebut peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk diagram dan dianalisa dengan menggunakan perhitungan statistik hipotesis selisih mean. Hasilnya menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap kebutuhan informasi pra bedah pada klien yang pertama kali
dilakukan Operasi besar yaitu dengan tingkat kemaknaan t = 2,20. Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap kebutuhan informasi pra bedah pada klien yang pertama kali dilakukan operasi besar. Peneliti merekomendasikan pada perawat untuk lebih aktif dalam memberikan informasi pra bedah pada klien yang pertama kali dilakukan operasi besar sesuai dengan tingkat perldidikan dan pemahaman klien. Untuk peneiitian selanjutnya agar menambah jumlah responden, mengembangkan variabel lebih spesifik sehingga data yang diperoleh lebih akurat dan dapat digeneralisasikan."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5094
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Efendi Oswari
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2000
617.023 1 EFF b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Britto, J.A.
Jakarta: EGC, 2005
617 BRI k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cameron, John L.
Jakarta: Binarupa Aksara, 1997
617 CAM t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Elly Nurachmah
Jakarta: EGC, 2000
617.023 1 ELL b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Senalda Defa Viani
"Kondisi kritis pasien mengacu pada kondisi yang memerlukan perawatan intensif khusus yang tidak jarang memerlukan alat bantu napas baik berupa dukungan oksigenasi maupun peralatan yang lebih advance lainnya seperti ventilator mekanik. Posisi tirah baring merupakan posisi yang kerap kali dialami oleh pasien kritis yang dirawat di unit perawatan intensif. Minimnya pergerakan dan status nutrisi yang buruk dapat menimbulkan masalah lain yaitu luka tekan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui tingkat efektivitas madu manuka sebagai balutan madu pada perawatan luka tekan yang dialami oleh pasien kritis tirah baring lama. Evaluasi perkembangan luka dipantau setiap hari melalui pergantian balutan luka untuk diamati ukuran, kedalaman, eksudat, pus, biofilm, perdarahan aktif dan slough. Hasilnya, terdapat perbaikan luka ditandai dengan berkurangnya panjang, lebar dan kedalaman luka, terhentinya perdarahan aktif dan tidak ada lagi eksudat baik pus, biofilm maupun slough.

The critical condition of the patient refers to conditions that require special intensive care which often require breathing apparatus in the form of oxygenation support or other more advanced equipment such as mechanical ventilators. The bed rest position is a position that is often experienced by critically ill patients who are treated in the intensive care unit. Lack of movement and poor nutritional status can cause another problem, namely pressure sores. The purpose of this paper is to determine the level of effectiveness of manuka honey as a honey dressing in the treatment of pressure sores experienced by critically ill patients on prolonged bed rest. Evaluation of wound development was monitored every day by changing wound dressings to observe size, depth, exudate, pus, biofilm, active bleeding and slough. As a result, there was improvement in the wound characterized by reduced length, width and depth of the wound, cessation of active bleeding and no more exudate either pus, biofilm, or slough."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sydney Tjandra
"Latar Belakang
Setiap tahun, 13,8 juta kasus neurologis di dunia membutuhkan operasi; di Indonesia, kebutuhan operasi elektif bedah saraf meningkat seiring waktu, diperparah populasi lansia yang bertumbuh, beban penyakit tidak menular, dan dampak pandemi COVID-19. Walaupun optimalisasi penjadwalan operasi elektif sudah diupayakan, disparitas waktu tunggu tetap terlihat. Guna menghindari penjadwalan yang kurang proporsional atau etis, penelitian ini menginvestigasi waktu tunggu operasi elektif bedah saraf dan hubungannya dengan berbagai karakteristik sosiodemografis pasien.
Metode
Penelitian potong lintang ini menganalisis rekam medis pasien operasi bedah saraf elektif di RSCM antara bulan Juli 2021—Desember 2023 secara retrospektif. Selain penyajian data durasi waktu tunggu (keputusan hingga tanggal dilakukannya operasi) secara deskriptif, perbedaan rerata waktu tunggu antarkelompok jenis kelamin, usia, agama, status pernikahan, jarak tempat tinggal, pekerjaan, divisi operasi, dan asuransi kesehatan dianalisis dengan uji yang sesuai. Regresi linear dilakukan dengan karakteristik pasien sebagai prediktor durasi waktu tunggu.
Hasil
Dari 765 data rekam medis yang dianalisis, diperoleh median waktu tunggu selama 16 (1—1109) hari. Pasien perempuan, berusia 40—55, janda/duda, atau berasuransi BPJS menunggu lebih lama dibandingkan kelompok lainnya. Sebaliknya, tidak terdapat perbedaan signifikan antarkategori tempat tinggal dan pekerjaan. Regresi linear menunjukkan asuransi BPJS, jenis kelamin perempuan, dan operasi divisi trauma menjadi prediktor-prediktor signifikan bagi durasi waktu tunggu operasi elektif bedah saraf yang lebih lama di RSCM.
Kesimpulan
Jenis kelamin, usia, status pernikahan, asuransi kesehatan, dan divisi operasi berhubungan dengan waktu tunggu operasi elektif bedah saraf. Determinan sosial perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penjadwalan.

Introduction
Each year, 13.8 million neurological cases worldwide require surgery; in Indonesia, the need for elective neurosurgery has been increasing over time, compounded by the growing elderly population, the burden of non-communicable diseases, and the COVID- 19 pandemic. Despite optimization efforts made to schedule elective surgeries, inequities in waiting times are still evident. To avoid disproportionate and unethical scheduling, this study investigates the waiting times for elective neurosurgery and their association with various sociodemographic characteristics of patients.
Method
This cross-sectional study retrospectively analyzed randomly-sampled medical records of elective neurosurgery patients at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) from July 2021 to December 2023. In addition to presenting the waiting time duration (from decision to surgery date) descriptively, mean differences in waiting times between groups based on gender, age, religion, marital status, residence distance, occupation, surgery division, and health insurance type were appropriately analyzed. Linear regression was performed with patient characteristics as predictors of waiting times.
Results
The median waiting time of 765 analyzed patients was 16 (1–1109) days. Patients who were female, aged 40–55, widowed, or publicly insured waited longer compared to their counterparts. Conversely, no significant differences were found between categories of residence distance and occupation. Linear regression showed that public insurance, female gender, and trauma division surgeries were significant predictors of longer waiting times for elective neurosurgery at RSCM.
Conclusion
Gender, age group, marital status, health insurance, and surgery division are related to the waiting times for elective neurosurgery. Social determinants should be considered in scheduling decision-making.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>